Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa, 20 Mei 2014
Kalau boleh, saya iri pada Alina, si
gadis yang beruntung menerima sepotong senja dari kekasihnya.
Hmm terkadang saya ingin seperti
Alina, bersama putaran roda Pak Pos yang kayuhannya terhenti di depan asrama,
kemudian mengetuk pintu sembari berkata. "Paket...Mbak Risa nya ada? Ada
paketan untuknya."
Dan begitu saya buka, ada sepotong
langit jingga disana. Kehangatan surya yang memancar berkoalisi mesra dengan
riak halus Ranu Kumbolo, desiran bayu, dan sepasang tenda kecil.
Kemudian saya akan mengucapkan
terima kasih kepada Pak Pos dan sepeda kumbangnya, sebab kesediannya mengantar
sepotong senja itu untuk saya, meski akan lebih membahagiakan jika kamu
langsung yang memberikannya untuk saya.
Sepotong senja itu lantas saya bawa
masuk ke kamar, menyandingkannya dengan paketan-paketan manis yang pernah kamu
kirimkan sebelumnya. Kembang sepatu yang tak kenal layu, dua buah buku penyejuk
khalbu, sepasang sayap kupu yang jauh dari debu, juga selingkar cincin bermata
biru.
Dan kamar saya lagi ragi ranum oleh
warna putih tulang, merebaklah jingga di semua penjuru, hangat dan bersahabat.
Dalam duduk, saya menikmatinya. Menyadari bahwa matahari tak pernah tenggelam
disini.
Riak riak halus Ranu Kumbolo
mengarahkan ingat saya pada sosokmu. "Kamu pasti telah berjuang keras
memperoleh senja ini, menjejaki terjalnya bebatuan menanjak di lereng Semeru
ini, menebas keputusasaan, juga menepis menyerah dini. Tunggu, apakah kamu
seberjuang Si Sukab itu? Mengalami aksi kejar kejaran dengan warga penikmat
senja lain? Memasuki lorong tikus yang bacin dan pesing itu lantas mengambil
sepotong senja disana, menempelkannya di sudut langit senja yang telah kamu
curi sebelumnya, iya senja yang kamu berikan padaku ini?" batinku asik
bermonolog.
"Allahu Akbar Allahu
Akbar...." Gema adzan magrib menyenggolku ke alam nyata. Membuka pintu kesadaran bahwa nyata
Pak Pos tak pernah datang membawakan sepotong senja untuk saya dari kamu.
Membuka mata bahwa warna kamar saya masih sepucat putih tulang, membosankan
tanpa rona jingga. Dan tentu saja, tak ada jingganya senja, riak manis Ranu
Kumbolo apalagi sepasang tenda. Hmm satu satunya yang tersisa adalah terpaan
halus sang bayu yang lirih mengabarkan kamu, si Tuan Tanpa Nama yang masih saya
balut rapat dalam doa.
Sang bayu masih terus menggoda,
meyakinkan saya bahwa kamu senantiasa mengirimiku satu hal yang selalu lebih
indah dari senja ataupun jingga. Satu hal yang membuat kamu seakan nyata dan
bernama. Satu hal yang kabarnya menjadi jalan jumpa kita. Jujur saya sulit
percaya pada ucap Sang Bayu, mengingat seringkali dia berdusta tentang cuaca.
“Kamu harus percaya, Sa. Bahwa di
luar sana ada seorang yang selalu mengirimimu hal indah melebihi jingga ataupun
senja.” Ucapnya penuh ke yakinan.
“ Halah, hal indah apa yang
keindahannya melebihi senja dan jingga? Hah?” tantangku enggan percaya.
“Doa, Sa!”
“Doa?” alisku tertaut.
“Setidaknya dengan adanya orang yang
mendoakanmu itu, kesempatanmu untuk menikmati senja itu selalu ada. Setidaknya dengan
adanya orang yang mendoakanmu itu, kesempatanmu untuk menatap tiap jingga itu
ada.” Kali ini Bayu benar benar penuh kesungguhan.
“Hmmm, tetap saja aku iri pada
Alina.”
“Tunggu sampai kamu bertemu dengan
si Pendoa itu. Kamu akan tahu, bahwa Tuhan telah menyiapkan kisah indah lain
untuk setiap hamba.Nya. Percayalah, setiap manusia memiliki kisahnya sendiri,
tak perlu iri pada Alina. ”
Bayu berlalu dengan kerlingan menggoda,
meledek tepatnya. Senyumnya nampak seperti seringai mengejek pada saya yang
masih iri pada Alina, amm barangkali tepatnya iri pada kisah Alina.
Gema adzan telah mereda bersama
tanya yang kian menumbuh, “Siapa pendoa
itu? Benarkah kamu ada dialam nyata? Bernama dan juga penyuka senja? ”