Rss Feed
  1. Biru

    Thursday, 29 May 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Lisanmu begitu menggebu.
    Menghamburkan rangkaian puji atas satu warna.
    Biru.
    Ya, Biru menjadi warna hidupmu.
    Kamar, gorden, kursi, piring, gelas, gantungan kunci, bahkan satu lemari hanya terisi kain biru.

    Penuh pengagungan kaupun menjadi biru.
    Memaknai hidup dalam jalur biru, tuturmu masih dengan menggebu.

    Mengaminkan dalam dalam sajak biru jalanmu.
    Serupa blue film yang menjajar bebass dari sabang sampai merauke.

    Ya, Biru.
    Bebas katamu, dusta sergahku.

    Kebebasan apa yang kau maksudkan?

    Langit tak pernah menjadi Biru.
    Itu adalah tipu daya matahari.
    Lupakan pada ocehan Hamburan Rayleigh?
    Fenomena hamburan elastis yang resmi membuat raportmu terbakar sebab nilai merah dalam fisika.

    Pun dengan samudra yang nampak Biru.
    Sungguh itu hanya tipu!
    Tak beda dengan langit,
    samudra hanya korban dari kebinalan pancaran gelombang elektromagnetik dalam semua spektrum cahaya tampak.

    Tidakkah narapidana memakai kain biru dalam hidupnya?

    Solo, 29 Mei 2014 pukul 22:42
    Risa Rii Leon

  2. Sehelai Kain Biru

    Wednesday, 28 May 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim



    Bagaimana lukamu?
    Sudah sembuhkah?
    Memang tak berdarah, namun sepertinya berdampak sangat parah hingga kamu terus menatap spion itu.
    Seolah ada anggota jiwamu yang masih tertinggal disana, di masa yang kamu miliki tanpa saya.

    Dan saya mulai tidak menyukaimu, lantas dosakah jika saya melenggang pergi sebelum sempat menyembuhkan lukamu?
    Ku tinggalkan sehelai kain itu untuk mengelap cairan bening itu, yang mugkin akan segera membanjir dalam pamitku.
    Sebab saya paham, lukamu tak pernah berdarah, makannya tak kusarankan kamu gunakan kain itu untuk membalut luka.

    Maka, bolehkan saya pergi?

    Solo, 25 Mei 2014
    Risa Rii Leon
     

  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Minggu, 25 Mei 2014


               
     “Nak, tidak ada cita cita yang ketinggian, hanya saja tidak semua usaha setinggi cita citanya, itulah mengapa ada beberapa cita cita yang tak tercapai sebagaimana yang di impikan.” Ayah Karsito
    ^O^
                Dan kalimat petuah itu mengendap dalam benak kami, anak anaknya. Cita cita adalah hal utama yang ditanyakan Bapak setelah hal agama. Cita cita, sebab ia adalah tujuan. Ibarat papan putih di depan mata, cita cita adalah titik berwarna di tengah luasnya samudra putih yang membuat pandang kita jelas tertuju padanya, fokus pada satu hal yang kasat mata. Tanpa adanya titik berwarna itu langkah hanya akan menjadi peluh tanpa arah. Cita cita adalah tujuan. Sebuah visi hidup seseorang yang mengarahkannya untuk melunasi banyak misi.
                “Gantungkan cita citamu setinggi bintang di langit!” Dapat dikatakan cita cita adalah bintang yang bertaburan di langit. Pilihlah satu yang paling menarik dan mampu memompa semangat ketika menatap bias cahayanya. Dari ribuan bintang di langit pilihlah satu yang mampu membuatmu terus berjuang dalam kenyamanan pilihan, bukan yang melenakan hingga lupa pada sekitar.
                Dan ketika pilihan telah meluncur, maka perlakukanlah cita cita itu sebagaimana mestinya. Perlakukanlah cita cita dengan perjuangan. Bukan sekedar pembanggaan diri karena telah memiliki cita cita setinggi langit namun peluh hanya menetes di atas tanah tanpa pernah membekas. Ketika kita telah mengharga mati sebuah cita cita maka sudah sepatutnya berjuang penuh daya untuk mewujudkannya, agar ia tak menjadi isapan mimpi semata.
                Bocah itu barangkali belum paham apa itu harga mati, pun dengan fokus pada satu warna, namun setidaknya bocah delapan tahun itu paham bahwa memiliki mimpi sama dengan siap berjuang mewujudkan mimpi. Bocah kelas tiga sekolah dasar itu, mengabarkan pada saya tentang cita cita sederhana mengantarkan para penumpang sampai pada tujuan mereka dengan selamat melalui rel rel besi. Ya, bocah itu bercita cita menjadi Masinis, Supir Kereta Api.
                Sejak saya kabarkan bahwa pengemudi kereta itu harus tinggi serendah rendahnya seratus enam puluh centimeter, dia tanpa ba bi bu mulai proses meninggikan badan. Entah mendapat informasi dari mana, Riki, begitu ia sering kami sapa, mulai enggan diantar Bunda ke sekolah. Riki memilih bersepeda berangkat pulang sekolah dengan sepeda merah bekas saya sewaktu SD yang nyaris pensiun.
                “Kalau naik sepeda kan kakinya bisa jadi panjang.” Jelasnya menanggapi keheranan saya.
              
      Biar bagaimanapun saya percaya dia kelak akan tumbuh tinggi, setidaknya sekarang dia masih dalam masa pertumbuhan, kemungkinan besar dia akan mampu lebih tinggi dari saya kelak. Dan jika dianalisa dengan logika barangkali benar, dan nyata sebuah web penunjang tinggibadan dengan label KIOS TINGGI menyertakan bersepeda sebagai salah satu point tips tinggi secara alami. Gerakan mengayuh sepeda yang dinyatakan sebagai aksi peregangan otot kaki sehingga mampu menstimulus pertumbuhan tinggi badan. Lantas masih berdasarkan tips tersebut, saya juga mengajak Riki, adik bungsu saya itu untuk lari sprint di pesisir pantai dekat rumah setiap kali saya mudik. Hasilnya memang belum terlalu siginifikan, hanya saja proses menambah tinggi badan ini telah menyadarkan saya bahwa proses mewujudkan cita selalu dapat dimulai sejak dini, melalui kebiasan kecil dan sederhana yang kelak akan bermetamorfosa dalam kebiasaan konsisten penuh komitmen memperjuangkan cita. Kebiasaan kecil dan sederhana yang belum siginifikan namun akan terakumulasi dalam kebiasaan yang sangat dibutuhkan.
                Riki Yuliawan, semoga kelak namamu ada dalam daftar Masinis Baik, yang tak hanya mengantarkan para penumpang selamat hingga tujuan namun juga membuat mereka kerasan dalam perjalanan. :”) Dan seperti kata Ayah. Ketika bakat dan minat sejalan, cita cita menjadi pekerjaan lakukanlah dengan kesenanghatian terhias keikhlasan agar saat dijalani seperti liburan. :D Kalau kerjanya setiap hari kan seneng :D liburannya juga setiap hari.
     

  4. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Sabtu, 24 Mei 2014
               

               
    Tiba tiba saya memikirkanmu, entahlah. Dan menuliskan inipun, saya tak berharap kamu akan membacanya, ini hanya sebatas penyaluran uneg uneg saya yang sering tak kesampaian berbincang denganmu.
                Saya ingat benar jabat tangan kita beberapa waktu lalu, saat kamu bersama beberapa rekanmu asik berbincang di depan asrama, lalu saya menyapa salah satu rekanmu dan ya akhirnya kita memiliki sempat berjabat setelah setahun lalu.
                Rabu, 22 Mei 2013 adalah perjumpaan kita kesekian kali dan jabat kita pertama kali. Agak mengejutkan mengingat kamu sangat mahal senyum saat berpapasan, dan betapa murahnya senyum itu 22 mei 2013 lalu. Kamu bahkan menyapa beberapa rekan yang sepertinya kamu kenal dekat, rekan rekan organisasimu. Dan saya melihatmu dalam diri yang berbeda, kamu banyak bicara sedangkan saya masih tertegun menikmati keterkejutanku atas dirimu yang muncul itu.
                Barangkali kamu tidak sadar, bahwa kamu sering membuat saya cemburu. Kamu dengan wordpressmu yang sarat makna juga ego. Kamu dengan komunitasmu yang selalu kamu agung agungkan dalam pena. Aku cemburu dengan luasnya pandang yang kamu miliki, dengan hal hal luar biasa yang kamu tuturkan dengan apik, dan tentu saya cemburu dengan mereka yang sedia kamu ajak bincang.
                Kedatanganmu dua tahun silam sempat menarik gravitasi saya, adik tingkat transfer yang sejatinya sebaya dengan saya? ya, itu kamu. Banyak lisan yang menuturkan tajamnya analisismu, banyak lisan yang mengabarkan cadasnya buah pikirmu, dan tentu banyak lisan yang tak segan memuji kecerdasanmu. Dari sekian banyak kabar itu, saya mencari tahu sosokmu lebih lagi, yaa meski nyatanya tak setiap senyum yang saya lempar selalu kamu tanggapi, tapi dari lubuk hati saya, jujur. Saya ingin diajak berbincang olehmu, seatusias kamu berbincang dengan rekan rekanmu 22 mei 2013 lalu bukan sekedar basa basi “mau kemana dari mana?”. Sebab kamu banyak bicara, maka saya akan banyak diam dan mendengar katamu dengan sesekali saya menimpali wujud antusias saya.
                Atau barangkali saya memang tak sepantas itu mendapat kesempatan sekedar berbincang denganmu? Sebab saya tak secerdas kamu menganalisis sebuah peristiwa, sebab saya tak sepandai kamu merangkai hipotesa, sebab saya hanya seorang Risa? Ahh sudahlah, pada intinya, saya benar benar ingin diajak berbincang denganmu, bertukar ilmu dan seperti katamu, “Saling Mencerdaskan.”
                Anggap saja saya pengagummu yang diam diam dalam sapaan tiap jumpanya berharap ada undangan diskusi. :”)


                                                                                                Pengagum sekaligus rekan satu atapmu. ^_^
     

  5. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Sabtu, 15 Mei 2014

              
    Foto By Risa Rii Leon


      “Masa aku kalau ulang tahun enggak pernah dirayain. Mama malah dirayain.” Tiru Bunda pada keluhan si Rio siang tadi.
                “Hla emang Mama dirayain ulang tahunnya?” alisku tertaut, heran.
                “Hla kue yang kamu bawain pas kemarin pulang yang terus Mama suruh tiup lilin itu.” Kenang Bunda pada Februari lalu, perayaan ulang tahun yang terlampau telat. Ulang tahun 1 Januari saya rayakan bulan Februari saat saya mudik :v.
                “Owalah itu..kan juga Cuma kue. Hmm apa kita buatin nasi kuning aja Bund? Besok tapi ya, hehe masih capek akunya.” Tawarku pada Bund.
                “Berarti besok abis subuhan kita ke pasar gitu ya?” Ajak Bunda.
                “Oke Sip.”
    ^O^
                Hujan menyapa lebih dini membuat Rio dan Riki nyaris tidak berangkat sekolah, berhenti tepat di pukul delapan menyilahkan dua siswa sekolah dasar itu menghampiri ilmunya. Saya dan Bunda bergegas membereskan rumah. Bunda mengurus ternak, saya bagian sumur, dan Romi membuat pagar untuk kebun depan. Pukul sembilan, Bunda dan Saya langsung cus ke Pasar Lawas (Lama) Kutowinangun. Memilih bahan pelengkap nasi kuning.
                10.33 WIB kami sampai rumah dan bersiap mengolah bahan. -_- Dan tiba tiba seorang hadir mengetuk pintu, mengharuskan Bunda membuka pintu, menyambut, serta berbincang dengannya, dan tentu saja membiarkan saya di dapur sendirian. So? Apa adanya saja ya :D Masak nasinya dulu yee :D
    ^O^
                Dua jam sebelum keberangkatan saya ke Kutoarjo, piringan nasi kuning telah beredar di komplek perumahan, menyinggahi setiap atap rumah agar sudi mengaminkan doa kebaikan untuk adik saya terkasih. Rio Tri Mardianto.
    ^O^
                     Le Sayanaaag :”) Barakallah Fi Umrik :”)
                Semoga di usiamu kini dan hingga kemudian hari langkah mu kian baik, kian berguna untuk Ibu Bapak juga rekan sesamammu. Kian cerdas memilih dan memilah teman mana yang patut jadi panutan. Kian rajin belajarnya. Amin :”)
                Semoga di usiamu kini hingga kemudian hari langkahmu kian baik, kian dekat dengan Sang Illahi, kian teguh menjalani hari hari dalam cerianya usiamu. Kian pandai mengolah waktu dalam mutu hidup yang Cuma satu. :”)
                Semoga di usiamu kini hingga kemudian hari langkahmu kian baik, kian dicintai insan insan disekelilingmu, Yayu, Bunda, Ayah, Romi, Riki, Nini, Kaki juga semuanya :”) Kami mencintaimu sayaang :”) tumbuhlah dalam kedamaian, tumbuhlah dalam kasih.Nya, dan tumbuhlan tanpa kebencian ataupun dendam pada insan yang terkadang salah menudingkan tangan. :”) Aamiin aamiin aamiiin ya Rabbal’alamin :”)   

    Selamat Bertambah Baik, Untuk Kamu, Bolang Kecilku :") tetap setia temani Yayu berbakti ya :") temani Yayu jalan jalan ke sawah atau pantai :")     
     

  6. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Selasa, 20 Mei 2014 


             
       Kalau boleh, saya iri pada Alina, si
    Risa Rii Leon gadis yang beruntung menerima sepotong senja dari kekasihnya.
                Hmm terkadang saya ingin seperti Alina, bersama putaran roda Pak Pos yang kayuhannya terhenti di depan asrama, kemudian mengetuk pintu sembari berkata. "Paket...Mbak Risa nya ada? Ada paketan untuknya."
                Dan begitu saya buka, ada sepotong langit jingga disana. Kehangatan surya yang memancar berkoalisi mesra dengan riak halus Ranu Kumbolo, desiran bayu, dan sepasang tenda kecil.
                Kemudian saya akan mengucapkan terima kasih kepada Pak Pos dan sepeda kumbangnya, sebab kesediannya mengantar sepotong senja itu untuk saya, meski akan lebih membahagiakan jika kamu langsung yang memberikannya untuk saya.
                Sepotong senja itu lantas saya bawa masuk ke kamar, menyandingkannya dengan paketan-paketan manis yang pernah kamu kirimkan sebelumnya. Kembang sepatu yang tak kenal layu, dua buah buku penyejuk khalbu, sepasang sayap kupu yang jauh dari debu, juga selingkar cincin bermata biru.
                Dan kamar saya lagi ragi ranum oleh warna putih tulang, merebaklah jingga di semua penjuru, hangat dan bersahabat. Dalam duduk, saya menikmatinya. Menyadari bahwa matahari tak pernah tenggelam disini.
                Riak riak halus Ranu Kumbolo mengarahkan ingat saya pada sosokmu. "Kamu pasti telah berjuang keras memperoleh senja ini, menjejaki terjalnya bebatuan menanjak di lereng Semeru ini, menebas keputusasaan, juga menepis menyerah dini. Tunggu, apakah kamu seberjuang Si Sukab itu? Mengalami aksi kejar kejaran dengan warga penikmat senja lain? Memasuki lorong tikus yang bacin dan pesing itu lantas mengambil sepotong senja disana, menempelkannya di sudut langit senja yang telah kamu curi sebelumnya, iya senja yang kamu berikan padaku ini?" batinku asik bermonolog.
                "Allahu Akbar Allahu Akbar...." Gema adzan magrib menyenggolku ke alam nyata.           Membuka pintu kesadaran bahwa nyata Pak Pos tak pernah datang membawakan sepotong senja untuk saya dari kamu. Membuka mata bahwa warna kamar saya masih sepucat putih tulang, membosankan tanpa rona jingga. Dan tentu saja, tak ada jingganya senja, riak manis Ranu Kumbolo apalagi sepasang tenda. Hmm satu satunya yang tersisa adalah terpaan halus sang bayu yang lirih mengabarkan kamu, si Tuan Tanpa Nama yang masih saya balut rapat dalam doa.
                Sang bayu masih terus menggoda, meyakinkan saya bahwa kamu senantiasa mengirimiku satu hal yang selalu lebih indah dari senja ataupun jingga. Satu hal yang membuat kamu seakan nyata dan bernama. Satu hal yang kabarnya menjadi jalan jumpa kita. Jujur saya sulit percaya pada ucap Sang Bayu, mengingat seringkali dia berdusta tentang cuaca.
                “Kamu harus percaya, Sa. Bahwa di luar sana ada seorang yang selalu mengirimimu hal indah melebihi jingga ataupun senja.” Ucapnya penuh ke yakinan.
                “ Halah, hal indah apa yang keindahannya melebihi senja dan jingga? Hah?” tantangku enggan percaya.
                “Doa, Sa!”
                “Doa?” alisku tertaut.
                “Setidaknya dengan adanya orang yang mendoakanmu itu, kesempatanmu untuk menikmati senja itu selalu ada. Setidaknya dengan adanya orang yang mendoakanmu itu, kesempatanmu untuk menatap tiap jingga itu ada.” Kali ini Bayu benar benar penuh kesungguhan.
                “Hmmm, tetap saja aku iri pada Alina.”
                “Tunggu sampai kamu bertemu dengan si Pendoa itu. Kamu akan tahu, bahwa Tuhan telah menyiapkan kisah indah lain untuk setiap hamba.Nya. Percayalah, setiap manusia memiliki kisahnya sendiri, tak perlu iri pada Alina. ”
                Bayu berlalu dengan kerlingan menggoda, meledek tepatnya. Senyumnya nampak seperti seringai mengejek pada saya yang masih iri pada Alina, amm barangkali tepatnya iri pada kisah Alina.
                Gema adzan telah mereda bersama tanya yang kian menumbuh,  “Siapa pendoa itu? Benarkah kamu ada dialam nyata? Bernama dan juga penyuka senja? ”