Rss Feed
  1. Hujan (di awal) Juni

    Monday 15 August 2016

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    google search
    Selingkar itu masih bertengger nyaman di jari manis. Terpilin pilin jemari lainnya sembari membangun yakin. Belum ada seumur jangung, dan ada ragu yang tetiba menggunung. Slide slide prosesi yang terus berputar serupa film layar lebar di kepala.

    Berbekal sepaket lengkap alamat tempat tinggal dan kepala keluarga yang menahkodai juga tak ketinggalan peta transportasi untuk menuju lokasi yang ia tanyakan sepekan sebelum terlunasi, lelaki itu melangkah penuh percaya diri. Bersiap menjemput pertemuan pertama di rumah Bunda. Lantas berlanjut pertemuan kedua di rumahnya, pertemuan dua keluarga menentukan hari H hingga hari hari sesudahnya. Setiap detik adalah ingat yang kesegarannya masih mampu dibaui. Dan pada detik kesekian di malam kesekian, ada detik yang menyematkan asma di dalamnya.

    Sekalipun ia sudah terbingkai dalam kenang masa lalu serupa kisah virtual dalam kotak video, tetap saja ada hangat dipelupuk mata. Menetes dan menguap di udara. Asma yang benar benar menyiksa.

    Kaktus itu masih terguyur hujan, sebagian dirinya sudah terendam air. Ada keyakinan yang muncul bahwa ia akan lekas menemui kematian. Kaktus yang malang. Batinku melirih.

    Mungkin seperti aku. Lanjutku masih membatin.

    Proses kebatinan yang lekas teralihkan sebab ada seirama dua kali jentikan jari dari pusat gravitasi tempatku berkontemplasi. Mau tidak mau, menatap sumber suara adalah jawaban paling efektif.
    Alisku terangkat sebagai wakil “Ada apa?”

    “Jangan melamun! Sekalipun ini caffe bertajuk perpustakaan, rasanya tidak sopan menggunakan tempat sehening ini hanya untuk melamun.” Isyaratnya dengan mata keberatan dan senyum ejekan.

    Dalam sekali pengacuhan tatap, semoga ia tahu ada raga yang enggan berdebat. Doaku membatin.

    “Banyak yang harus melepaskan dan dilepaskan, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, ikhlas tidak ikhlas.” Secarik kertas itu datang bersama secangkir ButterBeer Capuchino, minuman hangat a la Hogsmeade di serial Harry Potter yang kandungan alkoholnya digantikan teh jahe wangi pandan.

    Seulas senyum itupun hadir tanpa dosa dengan isyarat, “Selamat Mengeja sajian kami….”

    Tatapku jelas mengena pada retinanya, memintakan padanya agar mengerti bahwa ada yang terluka disini.

    Tapi tetap saja, wajah itu terus tersenyum tanpa dosa.

    Damn! Dia tahu dan enggan menanyakan perihal hatiku.

    “Aku sakit.” Kataku singkat tanpa suara.

    “Kamu hamil?!” serunya dalam isyarat. Matanya berbinar.

    “Iya, tapi bukan itu maksudnya.” Ucapku geram. Masih dengan tanpa suara.

    “Selamaaaat yaa….” Isyaratnya bahagia dengan seiring tangan hendak mendekap tapi diurungkan. Dia teringat batasan di jari manisku.

    Canggung.

    “Tapi bukan itu Ra… Aku sekarat.” Ucapku akhirnya. Lirih dan benar benar membiarkannya membaca gerak bibir. Pertahananku tumbang. Bendungan itu menjadi bah di bukit pipi. Nafas itu keluar tak teratur.

                    Tuhan tidak suka memaksa. Keadaanlah yang terkesan memaksa terjadi sebab kitalah yang lebih dulu memaksa. Semesta hanya pengapresiasi, dan siapapun yang kita temui selalu punya energi. Ia dapat merasakan, memilah, memilih. Memeluk atau menjauh. Menggenggam atau melepas.

                    Bahkan benda mati pun bisa tahu bedanya dicintai dengan tulus, atau seperti dicintai tapi sebenarnya tidak. Apalagi manusia yang berhati dan bernurani?
                    Awal bulan Juni jatuh seperti puisi Sapardi. Seperti biasa, alam selalu lebih jujur dibanding manusia. Meskipun keduanya sama sama sulit dieja. Pun seperti itu juga, manusia akhirnya terkikis oleh egonya yang menjadikan ia manusia. Ironisnya, sisa kekuatannya adalah tetap egonya yang masih tersisa.
                    Dialog itu terurai begitu saja. Perang batin yang sedari kemarin lalu sudah ingin di ledakkan melebihi Ramayana. Hanya saja, kali ini  Rama yang diculik Husna, bukan Sinta yang terperdaya Rahwana.

                    Ku baca ulang berlembar kertas itu. Kertas yang sedari pagi ku tekuri di antara lalu lintas pengunjung caffe. Kertas yang ku harap mampu meluruhkan segala tanyaku perihal setia, cinta, dan kita. Kertas yang entah dengan keberanian macam apa akan sanggup mengantarkannya pada seorang yang memang dituju.

                    “Hmmmmhhhh.” Nafasku menghela. Meminta kekuatan semesta demi untuk membuka selembar kertas. Tabularasa yang sudah bertabur warna. Bunga luka.
    Surakarta, Di Awal Juni
    Assalamualaykum Saudariku,
    Salam selamat dan sejahtera untukmu dan untukku.
    Aku ingin memanggilmu Saudari, sebab kita masih diberi nikmat mengimani satu yang Esa. Kebenaran yang terlabel dalam satu kata. Islam.
    Tulisan ini sampai padamu seperti namamu yang sampai padaku berbulan lalu. Husna, begitu ia memanggilmu. Nama yang berbeda yang kamu sebutkan saat kedua  tangan dan raga kita saling mendekap.
    Nuraini, begitu kamu mengenalkan diri. Dan namamu sungguh selaras dengan parasmu. Cantik nan meneduhkan. Pujiku dalam hati. Aku menyukai senyummu seperti aku menyukai senyum kakak tingkatku di halaqah. Dengan jarak usiaku yang lebih muda, aku bisa merasakan kamu adalah kakak perempuan yang baik. :”)
    Kak Husna, ijinkan aku memanggil nama itu dengan lisanku. Istri dari lelaki yang memanggilmu dengan nama itu. Sebab begitulah engkau mengenalkan diri ketika aku memasuki peran sebagai istri dari lelaki itu.
    Dari sekian nama rekan yang yang pernah ia ceritakan, maaf, namamu adalah satu yang ku pertanyakan. Dan dia dengan tenang menjawab,
    “Itu panggilan Mas untuk dia.”

    Sebaris kata yang mengantar pada sesak yang sungguh menyiksa. Baiklah. Aku butuh udara segar. Terlalu banyak makhluk hidup yang berebut oksigen. Bisa kah aku pergi sejenak???
    Tidak.
    Aku sudah tidak bisa lagi kemana-mana.

    Kamu tahu kak? Ketika seumur hidup aku menghindari stagnansi, pada Lelaki itulah aku memilih berhenti. Berhenti menjadi Perempuan, lantas menyingkap strata tertinggi dari keberanian kaum hawa menembus feminimitas. Menjadi Wanita (wani ditata), menitipkan ketaatkan atas titahnya guna meraih ridha.Nya.
    Lalu malam itu, di malam pertama aku menjadi istri. Aku patah hati. Tanpa bisa lagi memilih lari atau membiarkan sesiapa pergi.
    Bahkan untuk seorang Pepeng harus menempuh tiga belas tahun usia pernikahan agar dimampukan memberikan panggilan mesra untuk istrinya, panggilan yang hanya di dengar dua telinga manusia, suami dan istrinya saja. Tiga belas tahun untuk sebuah nama ‘Dik Tami’ yang menggenapi perasaan cintanya kepada sang istri di malam penganugerahan ‘Keluarga Bahagia Caplang’. Satu dasawarsa lebih setengah lusin semester.
    Nama itu. Husna atau semacamnya.
    Bahkan aku tidak memilikinya.

    Lantas siapa yang harusnya menjadi istrinya?

    Maka, sedalam apa perasaan yang pernah terjadi di antara kalian?
    Maka, sekokoh apa hubungan yang pernah terupayakan di antara kalian?
    Maka, semurni apa hubungan yang kini ada di hadapanku?
    Maka, apa yang hendak kamu sampaikan dalam lima huruf yang terlabel sebagai namamu di matanya? Jika hanya perihal jalinan silaturahim kalian sebagai teman, mengapa harus nama itu, bukankah kamu memiliki nama yang sesuai KTP? Nama yang sesuai akta kelahiran, ijazah atau sepaket perangkat administrasi kependudukan lainnya. Yang siapapun pasti mengenalmu dalam keseharian. Yang sudah pasti aku tidak akan menanyakannya.
    Atau kamu ingin mengenalkan diri sebagai perempuan pendahuluku? Dan aku adalah Perempuan Bocah yang dipungut lelaki itu atas dasar kasihan dan perasaan kehilangan sebab penolakan yang terjadi dari keluargamu? Atau kamu hendak menegaskan bahwa tidak seharusnya aku menerimanya sebab nyatanya tidak pernah ada penolakan, tapi waktu menanti yang harus diulur lagi hingga beberapa tahun kedepan?
    Aku merasa bersalah, tidak suka, risih, dan gamang secara akut. Dengan prosi yang tidak bisa dibilang sedikit. Dalam sekali waktu, di malam pertamaku menjadi istrinya.
    Lantas jika kamu membaca ini sebagai kecemburuan, kalau boleh ku luruskan ini hanya segaris perasaan tidak nyaman sebab aku melihat dalam sepersekian detik ia membaca  namamu. Ada senyumnya melengkung dengan sangan tampan. Senyum yang mampu meningkatkan keteduhan di wajahnya lima belas persen. Senyum yang masih ku cari formula untuk dimunculkan kembali.
    Bagiku tindak cemburu itu tidak terlalu terpuji, terlebih engkau sudah dilunasi perannya sebagai masa lalu. Aku paham benar perihal masa lalu. Dan bukankah setiap dari kita memiliki masa lalu? Ayam saja memiliki masa lalu sebagai telur. Pun si kupu cantik yang pernah menjadi ulat buruk rupa.
    Detik itu. Aku memutuskan untuk berhenti bertanya perkaramu. Aku enggan menggali pusaraku sendiri. Aku enggan terkubur dalam kisah kalian yang mungkin sangat heroic. Bahwa bersaing dengan masa lalu adalah kemustahilanku untuk menang.
    Aku kalah. Bahkan sebelum bertanding.
    Aku (ingin)mengalah tanpa harus menyerah. Bahkan sebelum kalian memintakan.
    ^o^
    “Seared Scallop with Creamy Fettucini selalu pas untuk membaca semestamu, Nona!” Dua Jentikkan jari dan segenap isyarat penyertanya. Tersaji dengan aroma pasta yang cukup mengobati empat puluh dua persen kepatahhatian. Sayangnya, masih ada lima puluh delapan persen kepatahatian yang mengendap dan tak tergantikan rasanya.

    “Thanks, Ra. Hope I can make it look and taste as spectacular as yours did, someday. But, Im sorry I cant try this dish.” Balasku lirih bernada penuh putus asa.

    “Why?” Bahunya terangkat, selaras dengan alisnya yang tertaut. Tatapnya menuntut jawaban tidak singkat.

    “I wanna ask you. May I?”

    “With pleasure…” senyumnya empat senti.

    “Bagaimana cara agar manusia menang dari hujan, Ra?”

    “Aku merindukan hujan di musim hujan, bukan di bulan Juni. Ku merasa aman dengan yang memang semestinya.” Tanyaku pada udara. Catra hanya sesosok raga sebagai penyeimbang agar aku tidak dianggap gila. Mengobrol dengan diri sendiri, untuk manusia masa kini sudah bisa masuk kategori kelainan psikis. Dan aku tidak pernah siap dibawa kerumah sakit jiwa.

    RisaRiiLeon

    -R-