Rss Feed
  1. Miracle Time! :D

    Tuesday 16 December 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 05 Oktober 2014

                Teet.....teeeet....teeeeeeet.
                Tiket menuju wonderland telah berdentang. Makhluk-makhluk kecil penghuni ruang edukasi menghambur keluar. Menyambut penuh merdeka menuju fantasi.
                Dunia fantasi penuh keajaiban. Wajar jika anak-anak selalu menyambutnya dengan hambur kemerdekaan. :D Mendapat label si Tukang Ilang sebab jarang berkumpul di ruang guru itu sungguh tak mengapa dibanding kehilangan moment keajaiban tiga kali bel. :P
                Jam istirahat amm atau saya sebut sebagai miracle time adalah masa anak-anak bebas menyalurkan imajinasinya. Mengeksplore alat permainan edukatif baik indoor maupun outdoor dengan leluasa. Saling menyapa semua rekan tanpa pandang kelas. Dan yang paling penting dari semuanya, miracle time ini bisa dijadikan indikator keberhasilan penanaman pembiasaan selama kelas berlangsung, semisal bagaimana anak-anak bersosial dengan teman-temannya, berbagi mainan, pun dengan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya; makan-minum sambil duduk dan menggunakan tangan kanan, doa dan mendoakan saat ada yang bersin, saling memaafkankan ketika ada yang berbuat salah, antri permainan tunggal, dll. Semua hal yang kemudian menjadi penyubur benih-benih pengkaderan sejak dini. Yups, Pendidikan Anak Usia Dini (Play Group, PAUD, TK, SD) bukan semata tentang ngelap ingus, ngompol atau pup di kelas, berebut mainan hingga ada yang menangis lebih dari sekedar celoteh bocah beringus penuh rengekan manja. Pendidikan Anak Usia Dini adalah proses pengisian lembar tabularasa. Proses kaderisasi dini untuk generasi rabbani di era yang kian kini.
                Jadi, yuk main sama Bu Risa ^_^
     












  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                Percaya bahwa peremuan terlahir tiga kali dalam hidupnya. Pertama jelas ia terlahir sebagai seorang gadis yang lantas proses kelahiran kedua melalui seorang laki-laki yang mengimaminya dan melabelnya ‘istri’. Kelahiran ketiga adalah keutuhan diri seorang perempuan menempati kehakikatannya, menjadi Ibu.
                Perempuan paruh baya yang saya temui kala menanti hujan mereda dengan senja yang kelabu,  saya mulai cemburu padanya. Dibuka dengan percakapan basa basi mengenai nama serta alamat, saya mulai memasang telinga atas ragam penuturannya. Ceritanya yang menyertakan gerimis itu berpindah dalam nurani saya. :”)
    ^O^
                Usia menjelang empat puluhnya tersimpan rapi dalam rona ceria yang ia hadirkan. Barangkali sebab interaksi intensnya dengan anak-anak hingga usia senja itu menjadi tak kentara.
                “Kelak Nduk ketika kamu sudah menikah, kamu harus lebih tangguh dari sekarang. Jika sekarang kamu masih ditanya tentang kapan menikah. Jawablah dengan proses memantaskan diri menjadi istri yang baik untuk laki-laki yang baik. Sebab kelak setelah kamu menikah kamu harus bersiap dengan pertanyaan kedua, kapan punya anak!” ucapmu membuka cerita. Dudukku menegak, fikirmu jauh meninggalkan masa kini. Menjejak jauh ke masa depan.
                Anak? Menghela nafas sejenak. Jujur, dalam sebuah alinea pernah saya utarakan keinginan saya untuk segera memiliki momongan setelah menikah. Bahkan beberapa pekan ini tulisan saya, entah itu cerpen atau sebatas tulisan curhat, selalu ada sesosok bocah sebagai aktor tulisan saya. -_- Dan memiliki anak setelah pernikahan? Jelas adalah keinginan, namun bagaimana jika keinginan itu tak segera di acc oleh Allah SWT? Salah satu tujuan pernikahan memang memiliki keturunan tapi apa benar itu adalah keutamaan? Amm lantas nomor berapa pernyataan ‘melengkapi separuh agama’ itu diletakkan? Atau pernyataan itu telah berfusi dalam kehadiran seorang anak yang menjadi kewajiban sepasang suami istri?
                Semua tanya yang mengarah pada beberapa tragedi di sekitar. Tentang sepasang suami istri yang menua berdua tanpa kehadiran pihak ketiga sebagai seorang anak. Menutup nafas bersama tanpa pernah terpanggil ayah-bunda. Tentang sepasang suami-istri yang berpisah sebab tak kunjung hadirnya celoteh bocah diruang utama mereka lantas mencari dia yang lain agar kian lengkap hidupnya sebagai manusia, mengabaikan luka yang telah ditorehkan pada pasangan masa lalunya. Tentang sepasang suami-istri yang bersama mencari jalan alternative mengadakan rekayasa sperma, mengikhtiarkan tangisan bayi menghiasi malam-malam mereka. Tentang sepasang suami-istri yang merapatkan sujud dua puluh empat jam, dengan lelehan air mata sesudahnya, merapalkan doa beratus kali untuk kehadiran seorang pejuang kecil di rahim sang perempuan.
                “Ketika itu terjadi nak, bersabarlah dalam prosesmu. Urusan memiliki anak, sungguh! Itu murni ridha Illahi.”
                Benarkah?
                Katanya memiliki anak adalah kesiapan mengemban amanah. Lantas apakah ketika sepasang suami istri belum memilikinya itu berarti sepasang suami-istri itu belum layak mengemban amanah? Hingga seumur hidupnya harus terus memantaskan diri agar amanah itu sudi tinggal dipundak mereka? Jika demikian, apakabar tetangga di rumah saya, atas pernyataan lugas beliau yang mengaku sudah ndak siap memiliki anak lagi (anaknya sudah sampai tahap lusinan) sebab untuk makan sendiri saja susah. Apa kabar mereka yang aborsi? Meniadakan dengan paksa kehadiran bayi sebab hubungan diluar nikah atau usia terlalu dini?
                Katanya memiliki anak adalah bukti kepantasan seorang mengemban amanah. Kepantasan sebuah amanah yang tercermin dari sebuah takwa kepada.Nya semata. Jika takwa menjadi tolak ukurnya maka harap saya untuk memiliki anak jelas akan kandas. Lolos bekaspun tidak. Jika takwa, maka adakah yang lebih pantas dari Sarah istri Ibrahim as serta Aisyah Istri Rosulallah SAW?
                Bukan perkara siap atau tidak siap, pantas atau tidak pantas, sebab memiliki anak bukan semata urusan semua syarat dan prosedur terpenuhi. Menikah, sehat, ikhtiar, dan doa. Tidak seindah itu nyatanya. Dengan maha Romantis, Allah SWT memfirmankannya dalam As-Syuura 49-50.
                "Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa."          
                Ada Allah SWT yang menyertai setiap perkara. Dan sebab itulah merunut pada pertanyaan kemungkinan memiliki anak bagi setiap pasangan yang telah halal, pun dengan kemungkinan untuk saya kelak. Tawakal adalah kunci untuk tetap bersyukur. Menguatkan perempuan yang tertakdirkan untuk tidak memiliki anak dari rahimnya. Menangguhkan imannya agar tetap setakwa Aisyah binti Abu Bakar As-Sidiq dan Sarah istri Ibrahim AS. :”)  “Pernikahan adalah tentang bagaimana suami dan istri saling mengisi tanpa saling menuntut berlebih. Selama keduanya tetap melangkah pada kebaikan itu adalah kelengkapan separuh diennya. Perkara anak itu bonus ikhtiar Nduk. Sebagaimana bonus, bisa disertakan bisa tidak. Dan yang jelas juga, kalian harus bersiap dengan segala kemungkinan yang hadir setelah menikah. Kemungkinan baik maupun buruk. Yang jelas semua akan ada waktu dan hikmahnya. Percayalah.” Tuturnya kembali. Cemburu itu kian subur. Ya Rabb, hibahkanlah sedikit saja ketegaran perempuan di depan saya ini untuk hati saya yang kerap rapuh. Batinku melirih.           
                Sedih? Nyata perasaan macam itu ada. Dan itu sangat wajar. Sebuah wajar yang bercermin pada kisah Nabi Zakaria as. Menanti kehadiran bocahnya hingga mendapati rambutnya beruban. Lantas dengan segala keMahaBaikkan Allahlah penantiannya yang penuh kesabaran itu berbuah manis. Dalam keadaan tua dan istri mandul, beliau dianugerahi keturunan. Pun dengan Nabi Ibrahim as juga Imran yang menanti dalam kepasrahan berserah diri kepada Illahi. Mengimani dengan sebenar-benarnya iman bahwa hanya kepada Allahlah semua perkara itu kembali.
                “Kuncinya ya Cuma satu Nduk. Berserah diri tanpa pernah mengotori kebaiksangkaanmu kepada Illahi. Percayalah sepenuhnya kepada Peciptamu.”           Pesan perempuan itu menutup percakapan menjelang senja.
                Hujan telah mereda sedari tadi, melegakan sebuah hati yang telah diberi banyak inspirasi. Hati saya ramai merapal doa untuk perempuan yang telah meninggalkan saya dalam takjub. Punggungnya telah menjauh, bersama angan saya yang melesat jauh ke masa depan. Sebuah masa dengan kehadiran seorang ‘kamu’ dalam hidup saya. Semoga engkau adalah seorang dengan kesabaran luas tanpa stok terbatas, hati yang lapang untuk membersamai saya menerima ragam kemungkinan dalam kebersamaan yang halal. :”)
                Dan untuk perempuan paruh baya dengan rona ceria, meski rahimmu belum terjamah proses pembuahan sperma, tapi engkau adalah Bunda untuk semua anak bangsa. :”) Senantiasa melenggangkan langkah penuh kebermanfaatan, meninggalkan jejak-jejak inspirasi untuk mereka yang sedia berbagi. Saya adalah satu yang beruntung sempat berbincang denganmu. Senyum dan sapamu akan abadi dalam ingatku, semoga ada lain kesempatan bertemu denganmu kembali. (Aamiiiin....)
    ^O^
                Peluk itu masih menghangat dan bersahabat. Membebat banyak rapuh yang sempat ada di hati kerdil saya. Menguatkannya agar mampu menguatkan yang lain. Terima kasih untuk berbagi inspirasi ^_^ Mari berdoa untuk bertemu kembali :”)

               

     

  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Selasa, 05 Nopember 2013

                “Seharusnya memang tidak dibicarakan, disinggungpun jangan! Sudah tahu jawabannya masih saja sibuk bertanya, sibuk memupuk harap tepatnya :”D.” Gumamku lebih pada diri sendiri di suatu senja bersama sebuah pesan tanpa balas.
                Udara lebih menggigilkan sore tadi dan mushaf itu menghangatkan saya seketika. Mengembalikan bara tentang mengeja diam.
    ^O^
                Saya mengenalnya. Mengaguminya sebab keagungan Allah atas cipataan.Nya. Penuh wibawa dalam ketenangannya. Tegar serupa kokoh ia berdiri. Ya, Gunung itu nampak sangat agung dalam pandang berjarak ini. Mewah menjulang langit penuh berkah. Lantas jika kita mendekatinya. Menjamah daratannya yang tak datar, serupalah ia dengan daratan lain. Berisi tanah, batuan, rumput, ilalang, juga beberapa pohon yang mungkin sedang meranggas. Keagunganya seolah hilang dalam pandang dekat itu. Apa yang istimewa ketika ternyata ia tak beda dengan daratan lain?!
                Ya, ia nampak agung dari jauh, dan nampak biasa saat didekati.
                Mungkinkah keagungan hanya nampak jika berjarak? Serupa gunung itu?!
                Lantas bagaimana dengan rasa yang agung itu? Haruskah berjarak pula?!
                Mungkin iya, harus ada jarak dalam hijab.
                Bukankah Allah telah memberi contoh lewat keagungan cinta Ali dan Fatimah?! Tidakkah kamu ingat?!
                Dan untuk daratan gunung itu, biarlah ia tetap agung dalam pandang insan. Dan tetaplah ia menjadi biasa saat didekat. Gunung tak semata mengajarimu tentang menjadi istimewa atau menjadi biasa. Dia juga menitipkan salam ketegaran juga ketangguhan. Mengingatkamu tentang kebesaran.Nya, dan betapa kerdilnya engkau dihadap.Nya. Lupakah pada atap atap mungil dan manusia yang serupa semut saat dipandang dari pucuk gunung itu?!
                Gunung juga mengajarimu tentang perjuangan. Bukankah tak mudah mencapai puncaknya? Banyak onak duri siap menghadang.
    ^O^
                Dalam jarak ketidaktahuan itu. Saat kita saling pandang dengan apa yang nampak dari jauh. Bias kagum murni mendekatkan pandang. Mencoba mencari tahu satu sama lain. Kagum yang memulai mengirim simpati dan empati hingga nampaklah dataran biasa itu. Tak lagi istimewa sebab memang serupa dengan yang lain, hanya saja ini memang nampak lebih elok berwibawa tepatnya. Mengemas ikhtiarnya dengan penuh sahaja.
    ^O^
                Melalui kesadaran yang terlambat, juga lupa yang mengkhilaf kala dua tangan saling berjabat tanpa hijab, saya meniatkan diri untuk satu hal. Mengikhtiarkanmu baik baik.        Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Dalam perjalanan inipun saya paham, bahwa setiap proses penuh mandiri ini akan diakhiri. Barangkali pertemuan denganmu adalah solusi dari sepinya langkah kesendirian saya. Sebuah temu yang telah digariskan oleh.Nya sejak dulu. Masa yang bahkan tidak kita sengaja namun jelas terencana oleh.Nya.
                Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Meski saya dan kamu telah bertemu, namun posisiku sebagai perempuan belum memungkinkan untuk membicarakan apapun tentang perasaan. Sebab memang belum butuh dilakukan. Biarlah pertemuan saya dan kamu tetap dalam koridor.Nya, tanpa perlu merubah apapun yang telah saya dan kamu proseskan.
                Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Mengisi setiap jengkal masa dengan hal yang membawa manfaat. Belajar bersama teman, berjalan-jalan mengenal sekitar, membaca buku, mengemban amanah, memburu ilmu di ragam majelis (yang terkadang saya lihat kamu disana pula), membantu ibu memasak ragam menu (yang kelak akan ada satu menu pesananmu disana).
                Sebab adanya sebuah pertemuan itu. Ruang majelis yang kerap sama. Kemungkinan pertemanan itu nyata ada. Dan ya sebut saja kita teman. ^_^ saya dan kamu selalu punya waktu untuk berbincang. Perbincangan yang selalu menghasilkan senyum tawa dari ronamu (barangkali memang ada yang lucu atau sekedar bahagia yang muncul dipermukaan). Bahkan saya dan kamu kerap diskusi berdua, kejadian sesekali yang terisi banyak solusi. Namun, kitapun tidak terlalu dekat. Bukankah kamu sering melakukan perbincangan serupa dengan rekan lain? Pun dengan saya yang tak selalu tahu kesibukanmu setiap harinya.
                Saya menjalani hari-hari sendiri setiap hari. Kamu pun demikian kan? Biarlah kita sama-sama memantaskan diri setiap harinya. Bersama berproses ditempat yang berbeda.
                Probabilitas itu jelas ada. Kemungkinan untuk saya menghubungimu, sekedar bertanya kabar atau bertukar fikir, pun dengan meminjam buku. Sekali lagi, saya perempuan. Maka itu adalah alasan cukup untuk menciptakan jarak. Amm setidaknya perbatasan untuk cukup sadar diri. Sekali lagi, saya ingin mengikhtiarkanmu baik-baik. Tanpa pertemuan-pertemuan tak beralasan, tanpa perbincangan basa-basi berlandas kepentingan yang dibuat-buat. Tanpa gemuruh berlebihan, serta pasang-surut perasaan yang kerap sukar dikendalikan.
                Mengikhtiarkanmu baik-baik. Menyertakan namamu dalam doa seusai sujud. Tersenyum dan berbincang sekadarnya. Mendukung cita-citamu semampu saya sebab saya belum menjadi (atau tepatnya bukan) siapa-siapa. Dan biarlah saya hidupkan kisah kita dalam heningnya nafas doa. Hingga Sang Maha Cinta sudi melirik saya yang mengikhtiarkanmu dengan sederhana tanpa maksud mengistimewakan. Hingga para penduduk langit cemburu dan ridha kepada kita. Dan sekiranya semoga cara  ini yang terbaik tanpa menyakiti bila nyata kamu bersama orang lain. :”)
     

  4. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Rabu, 08 Oktober 2014


                “Tulisannya bagus sih Nduk, tapi kok malah jadi menye-menye gitu ya?” lempar seorang kakak retoris seusai membaca buku rekomendasi saya. Dan saya meringis, siap melempar linggis *jikaada*.
                Hari ini tulisanmu telah ku babat habis. Tidak habis dalam arti yang sebenarnya, tapi setidaknya sudah terbaca sebagian besar. Lantas memberikan nasib sama dengan buku-buku lainnya, bukumu saya bawa kemana-mana. Saya pamerkan dan saya ajak yang lain untuk membacanya pula. Dan respond diatas adalah yang menggunggah saya menuliskan ini untukmu, bukan ding! Amm lebih tepatnya untuk melegakan hati saya.
    ^O^
                “Hujan Matahari” mengemas banyak cerita beraroma hikmah dengan sangat pekat. Tak jarang pada lembarnya ada tetesan haru yang menyaru hingga mengaburkan pandangku. Beberapa dengan tepat menginjeksikan cairan bawang dimata saya. Memang tulisanmu terkesan sangat perempuan, tapi sungguh tak terlintas sedikitpun itu sebagai indikator ketidakjantanan. -_- Ayolah, bukankah itu malah baik? Setidaknya itu menandakan bahwa kamu paham bagaimana sisi seorang perempuan memandang. Dan memahami perempuan melalui lembutnya sebuah tulisan itu tidak membuat si laki-laki kehilangan apapun kan? Sama seperti saat laki-laki menangis? Dia tidak kehilangan apapun kan? Bahkan semakin lengkap sebagai manusia. :”)
    ^O^
                Hujan. Besertanya doa-doa melangit dengan leluasa. Besertanya dosa-dosa meluruh seketika. Besertanya pula banyak cerita bermula. Besertanya lagu-lagu rasa muncul dipermukaan, memunculkan kubangan kenangan yang enggan dilupakan. Besertanya inspirasi-inspirasi itu mengudara dalam kebebasan imaji. Bersertanya tanah, rumput, daun, serta akar bersenyawa mengabarkan petrichor dalam nafas-nafas air. (RisaRiiLeon, 15/12/2014)
                Hujan Matahari adalah satu kawanan air yang menginspirasi, menyumbangkan sebuah kacamata penuh hikmah guna memandang rencana.Nya yang kerap jauh dari duga. Menguatkan dalam kelembutan. Terima kasih untuk berbagi kesempatan mengenakan kacamatamu, Tuan :”). Ini bukan rayuan. Sungguh! Bodoh jika saya mencoba merayumu melalui alinea sederhana tanpa bunga metafora ini. Pun mengingat betapa jual mahalnya kamu.
                Sebab jelas, saya tidak ada niat menawarkan hidupku untuk mengamanahkan sebuah rasa kepadamu. Pun dengan saya yang belum berminat sekedar memberi perhatian apapun untukmu. Juga dengan rupaku yang biasa saja, hartaku yang Cuma raga, darahku yang hanya merah tanpa biru, dan lebih dari itu semua titipan semata :D Jelas, saya tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan atau berikan untukmu. Tulisan ini murni testimoni untuk sebuah prestasi berbagi dari seorang penyuka Hujan. ^_^
    ^O^
                Tanpa perlu berbohong, hujan memang kerap merubah banyak agenda saya. -_- Menunda beberapa agenda sebab rintiknya yang kerap membuat sakit. Dari omelan bunda juga larangan rekan kerja untuk menunda aktivitas selama hujan menjajah semesta. Tapi sungguh! Sejujurnya beserta Hujan saya sering bahagia. ^_^ Selain sebagai alarm pengingat masa kecil yang penu canda. Hujan-hujanan adalah teguran Allah kepada saya untuk pelan-pelan berkendara. Lebih menikmati perjalanan dan percakapan dengan diri. :D dalam laju yang melambat, dalam diam hati saya berisik berbincang. Membincangkan banyak hal yang sudah atau belum terjadi. Hahaaha semacam terapi menanti seorang yang kerap akan saya ajak berbincang banyak hal :v Pun dengan hadirnya ruang resonansi maha besar yang maha merdu mengalunkan lagu rindu. Tentu kamu sudah mendengar bahwa hujan memiliki kemampuan menhipnotis manusia untuk meresonansikan ingatan masa lalu dan mengabarkan sebuah rindu. Dan hujan pula bukti betapa langit dan bumi masih saling jatuh hati dalam meski. Ya, meski keduanya tidak memiliki satu kesamaan perihal fisik dan fungsi. Tapi langit dan bumi masih memiliki rasa untuk melindungi serta mengisi satu sama lain.
                Melalui hujan. Bumi dengan kerendahhatinya mempersembahkan enambelas juta ton air, menguap dan mengabarkan pesan cinta melalui selokan, parit, sungai, telaga, danau, hingga samudra lewat awan juga deru angin diangkasa. Pesan cinta hadir dalam proses kondensasi, menjelma dalam gumpalan awan mengandung titik air lantas terjun bebas dengan kecepatan delapan sampai sepuluh kilometer per jam. Proses jatuh yang menyampaikan betapa ramainya langit merindu bumi. Mengembalikan lima ratus lima kali seribu dua puluh satu ton air. Selalu dan pasti, sejumlah yang bumi berikan untuk langit. Tanpa pernah berkurang. Air-air itu yang telah membumi atau melangit adalah pesan cinta yang sama dari zaman dahulu kala. Abadi dalam siklusnya menghidupi banyak kehidupan. Pesan cinta yang tak lekang oleh waktu. Serasi dalam takaran yang seimbang dan sesuai kebutuhan. Langit dan Bumi melalui hujan, jatuh cinta sepanjang masa. Berlandas rela menjalanni titah Rabbnya.
                Lalu Hujan Matahari, layaknya hujan yang menginspirasi serta menjembatani banyak ide. Matahari adalah bintang kehidupan. Matahari satu saja sudah menghidupi, apalagi jika banyak? :D Hmmm benar, Hujan Matahari itu serupa banjir hikmah. Sampai bingung harus bagaimana :v Tidak, tidak hanya bercanda. Tapi jujur ya, satu matahari saja sering menyilaukan, apalagi banyak :v Saya sempat terbutakan kisanak! Terbutakan atas apa? Atas kamu -__- Sempat saya kira kamu manusia setengah dewa -_- sebuah prasangka yang hadir tidak pada tempatnya. Maafkan. Ya, wajar dong. Sosokmu yang begitu ammm ‘pas’ mengutarakan frasa mampu menghadirkan perkara dengan sangat bijak. Ceritamu yang sederhana namun mengena, itu. Ya itu yang membuat saya sempat buta. Tenang! Tenang saja, akal saya masih bekerja kok ^_^ Saya tetap akan memandang kamu sebagai manusia sehingga saya tidak akan terkejut dengan kemungkinan kamu memiliki sesuatu yang tidak baik :P Sudahlah, intinya saya berterima kasih atas hujannya. Ayo hujan-hujanan (lagi)! ^_^