Rss Feed
  1. (Menjadi) Ibu?

    Tuesday 16 December 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                Percaya bahwa peremuan terlahir tiga kali dalam hidupnya. Pertama jelas ia terlahir sebagai seorang gadis yang lantas proses kelahiran kedua melalui seorang laki-laki yang mengimaminya dan melabelnya ‘istri’. Kelahiran ketiga adalah keutuhan diri seorang perempuan menempati kehakikatannya, menjadi Ibu.
                Perempuan paruh baya yang saya temui kala menanti hujan mereda dengan senja yang kelabu,  saya mulai cemburu padanya. Dibuka dengan percakapan basa basi mengenai nama serta alamat, saya mulai memasang telinga atas ragam penuturannya. Ceritanya yang menyertakan gerimis itu berpindah dalam nurani saya. :”)
    ^O^
                Usia menjelang empat puluhnya tersimpan rapi dalam rona ceria yang ia hadirkan. Barangkali sebab interaksi intensnya dengan anak-anak hingga usia senja itu menjadi tak kentara.
                “Kelak Nduk ketika kamu sudah menikah, kamu harus lebih tangguh dari sekarang. Jika sekarang kamu masih ditanya tentang kapan menikah. Jawablah dengan proses memantaskan diri menjadi istri yang baik untuk laki-laki yang baik. Sebab kelak setelah kamu menikah kamu harus bersiap dengan pertanyaan kedua, kapan punya anak!” ucapmu membuka cerita. Dudukku menegak, fikirmu jauh meninggalkan masa kini. Menjejak jauh ke masa depan.
                Anak? Menghela nafas sejenak. Jujur, dalam sebuah alinea pernah saya utarakan keinginan saya untuk segera memiliki momongan setelah menikah. Bahkan beberapa pekan ini tulisan saya, entah itu cerpen atau sebatas tulisan curhat, selalu ada sesosok bocah sebagai aktor tulisan saya. -_- Dan memiliki anak setelah pernikahan? Jelas adalah keinginan, namun bagaimana jika keinginan itu tak segera di acc oleh Allah SWT? Salah satu tujuan pernikahan memang memiliki keturunan tapi apa benar itu adalah keutamaan? Amm lantas nomor berapa pernyataan ‘melengkapi separuh agama’ itu diletakkan? Atau pernyataan itu telah berfusi dalam kehadiran seorang anak yang menjadi kewajiban sepasang suami istri?
                Semua tanya yang mengarah pada beberapa tragedi di sekitar. Tentang sepasang suami istri yang menua berdua tanpa kehadiran pihak ketiga sebagai seorang anak. Menutup nafas bersama tanpa pernah terpanggil ayah-bunda. Tentang sepasang suami-istri yang berpisah sebab tak kunjung hadirnya celoteh bocah diruang utama mereka lantas mencari dia yang lain agar kian lengkap hidupnya sebagai manusia, mengabaikan luka yang telah ditorehkan pada pasangan masa lalunya. Tentang sepasang suami-istri yang bersama mencari jalan alternative mengadakan rekayasa sperma, mengikhtiarkan tangisan bayi menghiasi malam-malam mereka. Tentang sepasang suami-istri yang merapatkan sujud dua puluh empat jam, dengan lelehan air mata sesudahnya, merapalkan doa beratus kali untuk kehadiran seorang pejuang kecil di rahim sang perempuan.
                “Ketika itu terjadi nak, bersabarlah dalam prosesmu. Urusan memiliki anak, sungguh! Itu murni ridha Illahi.”
                Benarkah?
                Katanya memiliki anak adalah kesiapan mengemban amanah. Lantas apakah ketika sepasang suami istri belum memilikinya itu berarti sepasang suami-istri itu belum layak mengemban amanah? Hingga seumur hidupnya harus terus memantaskan diri agar amanah itu sudi tinggal dipundak mereka? Jika demikian, apakabar tetangga di rumah saya, atas pernyataan lugas beliau yang mengaku sudah ndak siap memiliki anak lagi (anaknya sudah sampai tahap lusinan) sebab untuk makan sendiri saja susah. Apa kabar mereka yang aborsi? Meniadakan dengan paksa kehadiran bayi sebab hubungan diluar nikah atau usia terlalu dini?
                Katanya memiliki anak adalah bukti kepantasan seorang mengemban amanah. Kepantasan sebuah amanah yang tercermin dari sebuah takwa kepada.Nya semata. Jika takwa menjadi tolak ukurnya maka harap saya untuk memiliki anak jelas akan kandas. Lolos bekaspun tidak. Jika takwa, maka adakah yang lebih pantas dari Sarah istri Ibrahim as serta Aisyah Istri Rosulallah SAW?
                Bukan perkara siap atau tidak siap, pantas atau tidak pantas, sebab memiliki anak bukan semata urusan semua syarat dan prosedur terpenuhi. Menikah, sehat, ikhtiar, dan doa. Tidak seindah itu nyatanya. Dengan maha Romantis, Allah SWT memfirmankannya dalam As-Syuura 49-50.
                "Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa."          
                Ada Allah SWT yang menyertai setiap perkara. Dan sebab itulah merunut pada pertanyaan kemungkinan memiliki anak bagi setiap pasangan yang telah halal, pun dengan kemungkinan untuk saya kelak. Tawakal adalah kunci untuk tetap bersyukur. Menguatkan perempuan yang tertakdirkan untuk tidak memiliki anak dari rahimnya. Menangguhkan imannya agar tetap setakwa Aisyah binti Abu Bakar As-Sidiq dan Sarah istri Ibrahim AS. :”)  “Pernikahan adalah tentang bagaimana suami dan istri saling mengisi tanpa saling menuntut berlebih. Selama keduanya tetap melangkah pada kebaikan itu adalah kelengkapan separuh diennya. Perkara anak itu bonus ikhtiar Nduk. Sebagaimana bonus, bisa disertakan bisa tidak. Dan yang jelas juga, kalian harus bersiap dengan segala kemungkinan yang hadir setelah menikah. Kemungkinan baik maupun buruk. Yang jelas semua akan ada waktu dan hikmahnya. Percayalah.” Tuturnya kembali. Cemburu itu kian subur. Ya Rabb, hibahkanlah sedikit saja ketegaran perempuan di depan saya ini untuk hati saya yang kerap rapuh. Batinku melirih.           
                Sedih? Nyata perasaan macam itu ada. Dan itu sangat wajar. Sebuah wajar yang bercermin pada kisah Nabi Zakaria as. Menanti kehadiran bocahnya hingga mendapati rambutnya beruban. Lantas dengan segala keMahaBaikkan Allahlah penantiannya yang penuh kesabaran itu berbuah manis. Dalam keadaan tua dan istri mandul, beliau dianugerahi keturunan. Pun dengan Nabi Ibrahim as juga Imran yang menanti dalam kepasrahan berserah diri kepada Illahi. Mengimani dengan sebenar-benarnya iman bahwa hanya kepada Allahlah semua perkara itu kembali.
                “Kuncinya ya Cuma satu Nduk. Berserah diri tanpa pernah mengotori kebaiksangkaanmu kepada Illahi. Percayalah sepenuhnya kepada Peciptamu.”           Pesan perempuan itu menutup percakapan menjelang senja.
                Hujan telah mereda sedari tadi, melegakan sebuah hati yang telah diberi banyak inspirasi. Hati saya ramai merapal doa untuk perempuan yang telah meninggalkan saya dalam takjub. Punggungnya telah menjauh, bersama angan saya yang melesat jauh ke masa depan. Sebuah masa dengan kehadiran seorang ‘kamu’ dalam hidup saya. Semoga engkau adalah seorang dengan kesabaran luas tanpa stok terbatas, hati yang lapang untuk membersamai saya menerima ragam kemungkinan dalam kebersamaan yang halal. :”)
                Dan untuk perempuan paruh baya dengan rona ceria, meski rahimmu belum terjamah proses pembuahan sperma, tapi engkau adalah Bunda untuk semua anak bangsa. :”) Senantiasa melenggangkan langkah penuh kebermanfaatan, meninggalkan jejak-jejak inspirasi untuk mereka yang sedia berbagi. Saya adalah satu yang beruntung sempat berbincang denganmu. Senyum dan sapamu akan abadi dalam ingatku, semoga ada lain kesempatan bertemu denganmu kembali. (Aamiiiin....)
    ^O^
                Peluk itu masih menghangat dan bersahabat. Membebat banyak rapuh yang sempat ada di hati kerdil saya. Menguatkannya agar mampu menguatkan yang lain. Terima kasih untuk berbagi inspirasi ^_^ Mari berdoa untuk bertemu kembali :”)

               

     

  2. 0 comments: