Rss Feed
  1. Sekelopak Rindu Merah Jambu

    Thursday, 9 January 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Jumat, 10 Januari 2014
    http://aepublishing.blogspot.com/2014/01/seasons-are-changing.html
    Judul : Seasons Are Changing
    Pengarang : Lailla Tifani and Friends
    Ukuran : 14 x 20 cm
    Tebal : vi + 198 hlm
    Harga : 43.000

    Ketik: MUSIM# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
    Kirim ke : 082333535560
    Untuk kontributor, tambahkan #JUDUL KARYA
    Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.

    SINOPSIS :
    Aku ibarat sebuah titik. Mengamati, mendengar, merasakan, lalu kutuliskan segala hal. Menarik maupun tidak, tugasku tetap mengukir kisah. Titik tak selalu membentuk garis lurus, melengkung, terputus-putus, samar-samar, lalu menebal, hingga sampai pada titik di mana ceritaku berakhir ....
    Aku suka mengamati. Ya, aku pasif. Tapi ini adalah aku, sebuah titik yang masih sibuk mengukir kenangan mencari bentuk diriku yang sebenarnya.

    ~Lailla Tintani~



    Dan ini adalah ceritaku :") #HappyReading ^^
    ^O^
                 Kertas putih yang digantung di luar jendela dengan wajah emoticon senyum itu hampir habis masa pajangnya. Dia telah memasuki ranah pensiun, tugasnya sebagai pawang hujan telah usai. Hujan tak akan lagi mengguyur seintens musim lalu. Ini adalah waktu bermerah jambu. Selamat beristirahat Teru Teru Bozu :) Bye bye salju :) Selamat datang Sakura. Negeri Tirai Bambu bermetamofosa menjadi Negeri Merah Jambu.
                Salju mulai mencair, tertiup kehangatan Semi. Ada es yang membeku pula dalam hati saya. Ada sehembus angin yang menerpa. Meluluhkan hati dan meredam kegigilan. Ada pertemuan yang harus dibayar. Ada rindu yang segera terselamatkan dari masa kadaluarsa.
                “Tunggu saya di Hananami *perayaan melihat bunga sakura saat musim semi* seminggu setelah ia nampak. Di taman, di bangku kali pertama kita bertemu. Satoshi.”
                Pesan elektronik berkapasitas delapan belas kata itu menjadi tiket bahagia saya yang tertunda setahun ini. Tentu, seperti udang hati saya sekarang. Melompat dan melonjak kegirangan. Dan ini masih hari pertama. Masih ada lima hari untuk menanti dan menyiapkan hati. Dan bonus waktu memimpikan pertemuan yang belum terjadi. Manis dan lucu.
    ^O^
                Lusa. Rindu segera terlunaskan. Sibuk menyiapkan kimono terbaik untuk menemuinya. Saya ingat benar pesan terakhirnya sebelum terbang ke Indonesia guna passionnya akan ilmu berbisnis, memperluas pangsa pasar katanya.
                “Kelak, saya ingin melihatmu memakai kimono. Saya kira kamu akan terlihat sangat manis.” Bisiknya musim panas lalu saat Tanabata (Festival Musim Panas).
                Badan saya menggigil. Suhu tubuh lebih dari tiga puluh delapan. Satoshi datang menjenguk, memilih menemani saya dan melewatkan Tanabata. Lucunya, dia tidak lupa membawakan saya unagi juga teh teman setianya. Sayangnya, unagi yang dibawa tidak senikmat saat dimakan di tempat penjualnya atau mungkin karena lidah saya yang sedang sakit? Tapi, sungguh Satoshi manis sekali waktu itu.
    ^O^
                Masih ada enam puluh menit. Masih ada tiga ribu enam ratus detik lagi. Sebelum saya menatap mata kecilnya. Menyibakkan sepagar poni yang menutup kening, juga menekan hidungnya gemas. Ah saya nyata rindu Satoshi. Tiga belas bulan, hampir empat belas bulan adalah waktu yang cukup bagi saya menabung rindu. Saldo saya sudah hampir mencapai unlimited. Saya akan menjadi jutawan saat seorang yang merindu digaji.
                Lima belas menit berjalan kaki, saya telah sampai di taman itu. Menambah waktu untuk menabung rindu lagi. Ueno Park, tempat saya mengantar keberangkatan, dan kini tempat saya menanti hadirnya. Saya duduk di bangku dekat replika Saigo Takamori dalam balutan semen, dan di dekat kakinya ada Hachiko, belahan jiwa penuh setia. Melihat mereka bersanding, tentu saja sangat romantis. Si Tuan penuh penjagaan dalam merawat peliharaannya dan si Pengawal yang mengabdi penuh kesetiaan.

    chemibuneba.wordpress.com
                Empat belas bulan tepat pada pukul tiga sore ini. Dan kereta yang dinaiki Satoshi tiba pada pukul 15.15. Ada waktu lima belas menit untuk menata hati. Meredam rindu agar nampak tidak menggebu dan terburu. Melatih debar jantung agar tidak terlalu membuat gempa tubuh. Juga mengeja kalimat rindu tanpa berunsur kata rindu, “Apa kabar?” misalnya. Lalu diucapkan dengan ekspresi datar, dan seolah biasa saja.   
                Lalu bercengkrama mengenai kesibukan masing masing selama tidak bersama. Semua sudah saya latih, agar rapi dan nampak natural. Kenapa tak bilang rindu saja tanyamu? Bukankah hal yang wajar saat perempuan menjadi sangat pemalu dihadapan lelaki yang dicintainya diam diam selama ini? Terlebih jika sebenarnya mereka hanya bersahabat sejak di bangku Himawari Daycare :D. Bangku tempat saya dan Satoshi selalu dijodoh-jodohkan oleh Shizuka Sensei*guru* dengan alasan wajah kami yang mirip satu sama lain. Ada titik hitam kecil bibir atas Satoshi dan begitu juga dengan saya. Selain itu kami berdua menyukai satu jenis makanan yang sama. Sushi. Selalu saja. Belum lagi permainan yang selalu kami mainkan bersama. Bermain lumpur. Saat semua rekan putri tengah asik bermain dengan boneka, Satoshi menarik tangan saya dan membawa saya ketaman samping sekolah. Mengajak membuat adonan coklat berbahan dasar air dan tanah liat, lantas mengalirkannya dari gundukan tanah yang lain. Nampaklah air terjun coklat buatan kami. :D Dulu, saat kami masih belum menyadari resiko dari keintensitasan sebuah interaksi lelaki dan perempuan. Dulu, sebelum saya menyadari saya telah jatuh cinta duluan. Dulu saat saya dan Satoshi masih bergandengan tangan sepulang sekolah tanpa peduli terik musim panas, atau salju musim dingin. Bagi kami semua daun selalu indah seperti saat musim gugur, jingga dan indah. Bagi kami udara selalu sesejuk dan sesegar musim semi. Hangat dan bersahabat dalam mekarnya alam. Bagi kami, selama masih bersama dan saling menatap, kami baik baik saja. :)
                Meski nyata, waktu tidak membiarkan semua semanis itu. Tanggung jawab terus berkembang dan meminta terperhatikan seiring bertambahnya usia. Bukan lagi anak ingusan yang beransel kuning, bertopi kuning dan berseragam renda. Kami telah bermetamorfosa, ada dasi yang meminta perhatian, dan juga ada kerah yang meminta dilipat. Kami berpura pura menjadi dewasa meski hati terpenjara dalam jiwa anak anak. Bukankah memang demikian? Tidak ada orang yang benar benar tumbuh menjadi dewasa. Menjadi tua itu pasti namun menjadi dewasa adalah soal pilihan bersikap bukan?
    ^O^
                Jam tiga lebih lima menit. Dua keluarga diseberang mulai merapikan perlengkapan pikniknya. Melipat tikar dan menata keranjang kosong. Entah karena telah puas bercumbu pandang dengan sakura, entah karena menyadari sakura hampir lelah dipandang dan mulai berjatuhan oleh angin, atau bisa juga karena ada segerombol kolumunimbus yang mulai berarak dalam lapisan troposfer ini? Entahlah, yang pasti keberanjakkan mereka menjadikan saya satu satunya penghuni di taman gubahan tanah hibahan Kaisar Taiso. Dan tentu saya masih sesetia Hachiko pada tuannya. Menunggu di bangku taman, menatap sakura yang mulai terjamah gravitasi dan dipermainkan angin. Mata saya panas. Dada saya sesak. Ada sakit dalam kekosongan penantian. Nyata jarum pendek berada diangka empat, dan jarum panjang diangka enam. Satoshi belum menampakkan batang hidungnya.
                “Dimana kamu?”
                “Saya mematung disini. Tak menghiraukan colomusnimbus yang mulai menyapa. Membiarkan gerimis menjamah penutup raga. Mengikhlaskan diri menggigil demi menunggu. Saya percaya. Sekali kamu berjanji, kamu akan menepati. Bahkan bulan rela dan ikhlas menjadi pasi demi berjumpa dengan sang surya. Bulan memang bodoh, tapi tidak. Barangkali dia hanya terlalu rindu. Dan bulan ingin setia penantiaannya segera terlunas oleh pertemuan nyata, meski harus menjadi pasi sekalipun.”
                Meski kimono telah berganti rupa, percayalah saya tetap akan menunggu disini. Meski sakura mulai ragu dan goyah terbawa angin, saya akan tetap yakin. Meski musim siap berganti dan menyisakan jingga pada dedaunan, saya tetap percaya. Janjimu itu nyata. Senyata hangat mentari pagi tanpa penghalang mendung. Bukankah menunggu saat rindu adalah cara Tuhan mengajarkan untuk menghargai pertemuan ? Bukankah menunggu sebab rindu adalah cara Tuhan mengajarkan tentang kesabaran sekaligus keikhlasan? Karena menunggu tanpa keikhlasana hanya akan menyesakkan dada.
    ^O^
                Saya terjebak disebuah lorong. Gelap dan panjang. Mungkin membutuhkan waktu bertahun tahun untuk mencapai titik terang di ujung lorong, seberkas cahaya yang sangat kecil di depan sana. Badan saya menggigil, gigi gemerutuk tak menentu, baju saya kuyup tanpa sebab. Bukan karena keringat, sungguh tak ada setetespun keringat mengucur. Ini terlalu sejuk untuk sebuah lorong, dan tunggu! Saya mendengar suara, di belakang. Sangat akrab ditelinga.
    wallsaved.com
                “Sakura...sakura.. bangun.. buka matamu!” bisik suara itu. Dekat di telinga. Suara itu seperti tiket sinar memasuki gelap. Akhirnya terang mau berbagi sinar dengan gelap. Saya dapat melihatnya. Jelas sekali, di depan saya.
                “SATOSHI?!!?” sorakku kaget. Batas percaya dan ragu. Masih mengerjap-ngerjap mencari kebenaran pandang. “Ini kamu?” Nyawaku kembali utuh, tidak lagi separuh, tidak pula setengah.
                “Iya, ini saya. Maaf membuatmu menunggu hingga pingsan begini. Gomen*maaf*” Ucapnya lirih rapi terbungkus sesal.
                “Hei, kenapa meminta maaf. Saya tak apa.” Saya coba menjelaskan. Dan memastikan tak membuatnya khawatir. “Hehe saya yang seharusnya meminta maaf. Saya gagal menunggumu. Lihat, kimono saya sudah jadi jelek begini. Hahhaaha.” Tawaku renyah. Mencoba mencairkan suasana.
                Yushima Tenjin Shrine menyelamatkan saya dan Satoshi. Menaungi seribu cerita yang terlucur deras. Takdir memang sempat mengantarkan kereta yang dinaiki Satoshi terlambat sampai di Okachimachi Station beberapa jam. Hujan memang sempat menjerumuskan saya pada lorong gelap itu. Sakura juga telah melambaikan tangan, berkata sampai jumpa di musim mendatang. Tapi sebuah setia menghangatkan hati yang hampir beku. Menyelamatkan asa yang hampir kadaluarsa. Di saat para pelajar mengunjungi kuil ini untuk berdoa agar sukses dalam ujian sekolah atau agar mereka sukses mendapat beasiswa, kami di sini hanya untuk bercengkrama. Menyampaikan syukur pada Tuhan atas segala nikmat.
    ^O^
                “Sakura, kamu tahu kenapa Ayahmu memberimu nama sama seperti bunga sakura?” Tanya Satoshi sambil menatap lekat lekat, bukan jenis pertanyaan yang dia belum tahu jawabannya. Tapi, jenis pertanyaan karena dia hendak menguji.
                “Tidak. Ayah tidak pernah bercerita padaku.” Jawabku agak sebal. “Kamu memangnya tahu?”
                “Haha taulah!!”  ucapnya setengah bangga bercampur sombong.
                “Kenapa?!” Tuntutku segera.
             “Kata Ayahmu, agar kamu dapat seperti bunga sakura. Kehadirannya yang singkat tak menghalanginya untuk tetap bermanfaat. Memberi keindahan.”
                “Oh...” saya ber oh ria. Belum terlalu peduli dengan cerita dibalik layar. Apalah arti sebuah nama jika bunga mawar tetaplah harum baunya? Demikian kata Shakesphare. Nama hanya sebuah judul diri, bukan?
    ^O^
                “Karena sakura adalah cara Tuhan menunjukkan keseimbangan, betapa semua yang hadir di dunia ini itu hadir satu paket. Seperti dua sisi mata uang. Berkebalikan namun ada dan saling melengkapi. Ada saatnya pertemuan, dan perpisahan akan menjadi pelengkap dari pertemuan itu sendiri. Bahagia karena berkesempatan berpandang dengan si mungil merah jambu sehingga membuncahlah syukur, bersedih atas kehadiran sakura yang singkat hingga perpisahan nampak memilukan. Meski dari perpisahan itulah kelak ada ratusan dan pertemua kembali :).”
                Dan Tuhan memberi kami sekelopak sakura terakhir di musim ini. sakura di hari ketujuh di dahan terendah. Merah jambu hampir layu, jatuh diterpa bayu. Pasrah pada gravitasi, dan terbang. “Sampai Jumpaaaa...” katanya.


  2. 0 comments: