Rss Feed
  1. Sahabat Tanpa Pamrih, Temanku Di Surga

    Wednesday 28 August 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Rabu, 28 Agustus 2013

    just friendship

                Pembagian kelompok tugas selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan ketika pembagian itu berdasarkan kehendak hati. Ada beberapa insan yang kadang tidak terpilih menjadi bagian kelompok. Hingga pada akhirnya insan insan itu membuat kelompok sendiri, menamainya dengan ‘kelompok buangan’, kelompok insan insan tak diinginkan yang terpinggirkan sebab tak memiliki kelebihan, atau penuh kekurangan di hadap rekan sekelas.             
                  Pembagian kelompok, pada akhirnya memberi kesempatan saya untuk lebih tahu mereka yang terpandang sebelah mata. Karena nyata, saya hanya diam menunggu ada rekan yang menawarkan saya masuk kelompoknya. Hei, itu bukan karena saya malas untuk mencari. Sungguh bukan karena itu, namun saya pernah ditolak dengan sangat halus. :D bukan hanya sekali. Ketika saya sangat percaya diri telah merasa bahwa seseorang memasukkan saya pada kelompoknya namun nyata tak ada nama saya disana. Maha Besar Allah dalam rencana.Nya :’)
                Dan begitu tahu dunia kuliah selalu semandiri ini, sekepentingan ini, sepamrih ini, saya merindukan mereka rekan SMA. Baiklah, keep moving on! :D
                Sepintas kisah Said pun bertengger dalam benak saya. Mengalunkan kemurnian cinta sebab Allah semata. :’)
    ^O^
                Tanah Kurdistan memiliki seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra, seorang anak laki laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia mengajari anaknya membaca Al-Quran. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel jika di tengah tengah ayahnya bercerita, tiba tiba ada orang yang memutuskannya.
                Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu yang penting yang harus ditemui oleh raja, sang raja tahu ada yang dirasakan anaknya.
                Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kamu mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kamu ajak bercinta untuk surga.”
                Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
                “Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.
                “Dia adalah teman sejati yang benar benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kamu pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan, karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan dahsyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga.”
                “Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.
                Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kamu anggap cocok untuk menjadi temanmu saat makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur jika kamu bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”
                Said sangat gembira mendengar nasihat dari ayahnya. Diapun mempraktikan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula – mula, dia mengundang anak anak pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah marah karena hidangannya tidak keluar keluar. Bahkan ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesalm ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji, memaki maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
                Di antara teman anak raja itu, ada seseorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak anak sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengulurkan sebuah piring berisi tiga buah telur rebus.
                Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”
                Adil tidak menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian.said diam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil, karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak coock untuk menjadi teman sejatinya.
                Hari berikutnya, dia mengundang anak seoarng saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja ia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak banyaknya. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
                Pagi pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnyan dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur di atasnya.
                “Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu diatas meja. Saya kedalam dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu diatas meja.
                Lalu, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiag telur itu telah lenyap. Dia kaget.
                “Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
                “Telah aku makan.”
                “Semuanya?”
                “Iya, habis aku lapar sekali.”
                Melihat hal itu Said langsung tahu bawa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman sejati. Tidak setia. Tida bisa meraskan suka dan duka bersama sama. sesungguhnya, Said juga belum makan apa apa.
                Said, merasa jengkel kepada anak anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas dijadikan teman sejatinya. Akhirnyam dia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.
                Dan Said pun mencari teman di luar istana. Mulailah ia berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
                Sampai akhirnya, ia bertemu dengan anak seorang pencari kayu bakar. Said mengikutinya diam diam sampai anak itu tiba digubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.
                “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu namamu siapa? Kamu tadi shalat apa?” tanya Said seusai anak itu shalat.
                “Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
                Lalu Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.
                Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kamu anak seorangkaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
                Said menyahut, “Tidak baik kamu mengatakan begitu. Mengapa kamu membeda bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kamu tidak mau berteman denganku? Mengapa kita tidak coba beberapa waktu dulu? Kamu nanti bisa melihat, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”
                “Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia sekata.”
                Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu bakar. Sejak hari itu, mereka bermain bersama, pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Abdullah mengajarinya berenang ke sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada, dan setia. Akhirnya dia kembali ke istana dengan hati gembira.
                Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Abdullah langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan dia telah diundang makan.
                Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu sahabatnya itu sedang mengujinya. Oleh karenanya, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan.
                Selesai makan. Said mengucapkan hamdallah dan tersenyum. Setelah itu mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal hal yang baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari untuk mengenali dan mmbedakan jenis jenis dedaunan dan buah buahan di hutan, antara buah dan daun yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat serta yang beracun.
                “Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” Seru Abdullah penuh semangat.
                Seketika itu Said merasa ilmu tidaklah cukup diperoleh dari madrasah seperti yang ada di ibu kota kerajaan. Ilmu ada dimana mana, bahkan di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
                Ketika matahari sudah condong ke barat. Said berpamitan kepada sahabatnya itu. Tidak lupa, Said mengundang makan dirumahnya esok pagi. Lalu ia memberika secarik kertas kepada temannya itu.
                “Pergilah ke ibu kota, berikan kertas ini kepada tentara yang kamu temui disana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku.” Kata Said sambil tersenyum.
                “Insya Allah aku akan datang.” Jawab Abdullah.
                Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga di Istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah putra raja. Mulanya, dia agak ragu untuk masuk istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia pun memberanikan diri.
                Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan, Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, Abdullah sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau terkadang makan daun daun mentah saja. Selama menunggu, dia tidak memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berfikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram.
                Selama ini, dia mendengar bahwa anak anak pembesar kerajaan senang hura hura. Namun dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
                Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan.Abdullah mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan pelan. Sementara itu, Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian dengan sengaja Said mengambil telur yang ketiga. Dia mengupasnya denagan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu, apakah dia akan memakannya sendiri atau ... ?
                Abdullah mengambil pisau yang ada di dekat mereka. Lalu, ia membelah telur itu menjadi dua bagian. Yang satu ia pegang, dan yang satunya ia berikan kepada Said. Dan hati Said basah seketika. Menangis penuh keharuan akan cinta sahabatnya.
                Pelukkan erat Said menerjang Abdullah, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga!” ucapnya disela isak harunya.
                Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan menghormati karena Allah Swt.
                Karena kekuatan cinta itu, mereka sampai bertahun tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru. Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil, Ayah Said telah meninggal. Saidpun diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu bakar itu. Abdullahpun benar benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
    ^O^
                Dan pada akhirnya, ketika nyata tak sesuai harap. Ketika aksi tak mendapat reaksi. Diri dengan tegas berkata, “Setulus apakah cintamu kepada mereka? Berlandaskan Allahkah langkahmu selama ini? ketika diri selalu meminta dan memohon agar lingkungan menatap kita, memperlakukan kita dengan baik sebagaimana yang tersurat dalam rapalan doa, sudahkah kita bertindak demikian?” selalu menuntut tanpa pernah mendahului menjadi teladan, itu bukan tindakan bijak.
                Pembagian kelompok seperti hari ini, mengajarkan saya untuk menatap tindak selama ini. Mengajarkan diri untuk bisa mengoptimalkan dengan apa yang telah terjadi. Memantaskan diri mendapat yang terbaik :’)
                “Janji Allah itu pasti, tinggal bagaimana kita memastikan diri mendapat janji.Nya.” #insya Allah
     

  2. Tirakat, Si Pesta Rakyat

    Sunday 25 August 2013


    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Pos Ronda, tersangka utama ritual tirakatan



                       Langit malam enam belas agustus dua ribu tiga belas di Surakarta.
                Bulan masih tenang dalam singgasanannya meski tanpa punggawa kerlip lintang. Alam dalam kesahajaannya, meramu biduk biduk semangat dalam dada rakyat Indonesia. Pukul dua belas malam nanti, Indonesia telah melenggang bebas selama enam puluh delapan tahun. Berekspresi dan berprestasi tanpa beban penjajah hingga dalam kancah dunia. Masih ada empat jam menuju dentang dua belas kali di jam dinding rumah. Masih ada empat jam menuju kenikmatan berikrar merdeka. Masih ada empat jam mengucap cinta pada Indonesia. Ya, masih berjam jam lagi, namun tidak untuk persiapan tujuh belas agustus esok. Empat minggu yang lalu, prosesi akbar penyambutan tujuh belas agustus ini telah berlangsung.
                Aneka lomba pengisi pra-tujuh belas agustus senantiasa menyemarakan bulan kemerdekaan. Dari gigit kerupuk hingga memasukkan benang dalam jarum. Berbalap karung juga panjat pinang. Semuanya terencana dalam bingkai rapat pemuda juga nasihat para tetua. Bukan untuk mencari pemenang, bukan pula menyaring kejuaraan. Semuanya hanya untuk satu hal, persatuan Indonesia. :’) dari semua latar belakang, membaur dan meleburkan cinta untuk Indonesia. Mencintai sepenuh hati, mengamalkan gotong royong juga keindahan interaksi sesama kaum Bunda Pertiwi.
    Jajaran Ibu Ibu dalam prosesi meyiapkan konsumsi
                Dan malam ini, dengan langit tanpa bintang namun tersapa sang rembulan. Saya menjadi saksi atas indahnya semangat persatuan. Indahnya sebuah peringatan kemerdekaan. Bersama Vio saya menuju daerah Joyotakan, dusun perbatasan kota Solo dan Sukoharjo. Meniatkan diri menyambung silaturahim dengan keluarga kakak perempuan saya. Dan saya dikejutkan dengan aneka kegiatan yang nampak tak sama dari biasanya.
                Sepanjang perjalanan menuju ke sana dari arah kampus Kentingan, saya menjumpai dua pasar malam. Dengan beberapa gubuk gubuk kecil berisi aneka produk dalam negeri yang terhiasi wajah berseri para pengunjungnya, saya melenggang penuh heran. Ada apa gerangan? Kenapa banyak pasar malam begini?
                Beberapa ratus meter mendekati daerah tujuan, saya menemukan hal yag serupa. Pasar malam, bahkan dengan sebuah panggung dan beberapa sound system serta penduduk yang ramai disekitarnya. Ini kenapa? Kok ramai sekali? Di Kebumen kok enggak ada? Haha
    Sesampainya di tempat tujuan, Subhanallah. Sepertinya memang saya melewatkan banyak hal selama ini. Empat semester di kota Solo belum juga mengajariku tentang ragam budaya Solo. Barulah saya mahfum dengan aneka peristiwa di luar kata biasa yang sedari tadi tersapa. Budaya penyambutan malam tujuh belas agustus di daerah Solo dan sekitarnya, tirakatan. Lain Kebumen (tepatnya desa Pagedangan, hehe dusun saya) lain Solo. Ternyata.
                Jika di Kebumen ada sedan yang dibagikan seusai upacara pagi tujuh belas agustus, maka  di Solo ada tirakatan yang memanjakan.
                Dulu, pagi tujuh belas agustus, saya selalu bersemangat jika berangkat upacara bendera di lapangan Gugus Depan sekolah dasar. Dengan sebotol air minum yang diselempangkan di bahu kanan, serenteng permen coklat, juga sekeping lima ratus rupiah di saku samping lalu tangan kanan sibuk mengibarkan bendera merah putih berbahan plastik yang terpasang di rautan bambu buatan Ibu sore kemarin. Saya dengan senyum lima centimeter berangkat bersama langkah penuh letupan semangat. Selain karena akan bertemu dengan aneka jajanan di area lapangan (di dekat barisan terbelakang) juga karena nanti seusai upacara akan ada pembagian sedan.
                Apa itu sedan? Bukan sejenis mobil, bukan sama sekali. Sedan merupakan bungkusan daun pisang yang berisi nasi berserta lauk pauknya. Sore tanggal enam belas agustus, Bapak Kaum desa saya mengetuk setiap pintu rumah. Mengamanahkan untuk membuat sedan per kepala keluarga, lalu dikumpulakn di kediaman beliau yang selanjutnya akan disetorkan ke Balai Desa. Yes, balai desa adalah muara semua sedan yang mengalir dari semua kepala kaluarga.
                Terbayang jelas ada kokok kepala ayam dengan bumbu sarden yang Ibu buatkan untuk saya subuh tadi. Bagian ternikmat dari ayam sebelum kaki dan dada ayam haha. Baiklah, sebenarnya apa yang dibuatkan Ibu belum tentu akan jatuh di tangan saya. Namun kata Ibu, ketika kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, insya Allah kita juga akan mendapat yang terbaik. Meski itu bukan makanan mahal, namun Ibu memasaknya dengan cinta juga semangat merdeka yang membara. Bagaimana tidak dengan cinta, jika Ibu yang jarang masak makanan aneh aneh itu bangun sebelum si Jago berkokok. Menyiapkan makanan untuk sedan ini, membangunkanku untuk mengipasi nasi yang baru diangkat agar pulen dan enak dimakan. Ah Ibu, mengapa kamu selalu memiliki alasan membuat saya jatuh cinta. :)
                Tujuan yang sama namun berbeda cara. Kebumen Solo memang berbeda, tapi tetap satu. Indonesia Merdeka!
                Berbekal tawaran dari Ibu Kakak Perempuan saya, akhirnya saya bermalam disana.
                “Mbak Risa itu sepedanya (maksudnya Vio) dimasukin aja. Terus ikut tirakatan disini. Pulangnya besok pagi ya..!”
                Jadilah saya di sini. Di antara riunya ibu ibu yang membahas prosesi pasca hari ini. Dari kegiatan lomba agustusan hingga pembuatan gudangan siang tadi. Yups, menu tirakatan malam ini adalah gudangan (sayuran yang direbus lalu dicampur dengan parutan kelapa berbumbu dan ditaburi serpihan ikan asin goreng). Sebagai negara penuh sumber daya, dimana sebatang kayu dapat menjadi sumber karbohidrat nabati, maka menu gudangan menjadi sajian tepat untuk mensyukuri tahun ke enam puluh delapan ini dengan memanfaatkan tanaman yang hidup dari tanahnya. Parutan kelapa dengan bumbu aneka rempah asli Indonesia juga menambah cita rasa khas nusantara. Ahh malam merdeka ini, tirakat ini, mungkin inilah pesta rakyat sesungguhnya. Moment rakyat saling menyejahterakan bersama guyub rukun. Teriring lagu lagu gendhing jawa yang menguarkan aroma nasionalis, semua warga di setiap rukun tetangga berkumbul. Melingkar dan berjajar mengucap syukur atas nikmat kemerdekaan selama enam puluh delapan tahun.
                Dari sound system yang sederhana itu. Dari menu penggugah selera itu. Dari riuhnya masa itu. Dari hangatnya kebersamaan itu. Dari kembangan senyum senyum itu. Saya mengenal Indonesia kembali. Saya, menatap Bunda Pertiwi. Apapun yang terjadi dengan Indonesia saat ini, sungguh ia masih tanpa cela untuk saya. Ia masih nampak penuh sumber daya, baik alam maupun manusia.
                Jika pernah terluka sebab keberadaan disini, jika pernah meradang sebab lahirmu disini, jika pernah terkoyak disini, jika pernah asma disini, itu bukan karena Indonesia, tapi ulah manusia. Indonesia, dia masih setia mengalirkan mata air untukmu membasuh pahitnya masa lalu. Indonesia masih setia dengan tanahnya, memberimu ruang memulai pijakkan baru menata masa depan. Indonesia dengan segala cintanya, memberimu atmosfer kenyamanan tanpa perang seperti saudara diseberang. :’)
    “MERDEKA!!” seru Pak RT menutup sambutannya.
    “Indonesia, berjayalah!” lirihku mengaminkan. :’)
                                                                                                                          Sabtu, 17 Agustus 2013

  3. Bisa Pesan Antar

    Thursday 22 August 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Ria, Produknya, dan temannya




                Disela pesta busa saya dengan berember ember rendaman pakaian, ada suara kecil memanggil dalam untaian salam dari arah depan blok.
                “Assalamualaykum, mbaak, beli gelang dong, bagus lo mba ini. Ayo mba sini mba beli gelangnya.” Tawar mereka dalam seruan ala pedangang bawang.
                Masih dengan berlumur busa dan aroma detergen, aku melenggang menuju sumber suara. Dan?
                Olalala, ada dua gadis mementeng sebuah hand made berupa gelang dengan warna warni dan aneka model.
                “Ayo mbak ini beli gelangnya. Murah lo, cantik cantik lagi!” tawarnya berulang.
                “Ini siapa yang buat Nduk? Ih iya i cantik!” seruku dalam kekaguman.
                “Aku dong mba.. Baguskan. Ayo mba beli. Ntar mba jadi cantik!” Tawarnya dengan bumbu rayu.
                “Iya mbak. Beli ya...Aku inget lo. Mba namanya Mba Risa kan?” tatapnya memastikan benar itu nama saya. Tercerminlah kebenaran atas tebaknya dalam senyum simpul saya. “Tuh kan aku inget!”
                Mereka berdua merupakan salah dua santriwati di TPA yang dibina Lembaga Dakwah Kampus saya. Dan beberapa kali saya berkesempatan menyapa mereka selepas ashar. Meramaikan masjid juga merdermakan sepenggal ilmu yang saya peroleh kepada mereka bocah dengan semangat empat lima. Dan keajaiban sekali, ketika saya yang hanya beberapa kali menyambang kelas TPA mereka, masih teringat. Subhanallah memori mereka.
                “Ayoo mbaa, beli yaa...!” kali ini Salsa memasang wajah memelas.
                “Iya mba beli, nanti ini bisa dipesen lo mbaa!” timpal Ria, santriwati paling kritis dan banyak kata.
                “Bentar dong, tak milih milih dulu Nduk!” tenangku pada kerisauan mereka. “Aku suka yang warna ungu ini, tapi ini kecil adane!”
                “Jadi mba suka yang ini? tapi kekecilan. Bentar ya mba, aku buatin!” ucapnya seraya berlari meninggalkan saya dan Ria.
                “Ciee Ria sepedanya baruuu!” goda saya kepada bocah yang sedari tadi lalu lalang di depan blok saya.
                “Iya dong mba. Bagus kan!” katanya penuh kebanggaan.
                “Iya bagus!” puji saya tak mau kalah. “Fitrahannya Ria buat beli sepeda to ceritanya?”
                “Iya mba. Kemarin ditemenin bapak beli sepedanya.”
                “Oh sama bapak to. Ria beli dimana emang?”

                “Di sana itu lo mba.” Jawabnya sambil menunjuk arah barat.
                “Kertasura?”
                “Iya.”
                “Hwah jauh ya. Ehm berati Ria itu pas pulangnya langsung naik sepeda gitu dari kertasura?”
                “Hwah mbak iki. Yo enggak buw mba. Jauh og. Capeklah Ria kalo naik sepeda dari Kertosuro!” wajahnya sok manyun.
                “Hahaha hlaa kan Ria kuat. :D Hla terus gimana Ria bawa pulangnya?”
                “Bapak yang bawa pulang.”
                “Bapak?” alis saya bersatu. “Bapak naikin sepedanya Ria?”
    Orange Ria, Yang Hitam temennya Ria (maaf saya lupa ini haha)
                “Ihh mbak lah gag pinter *saya syok mendengarnya hahahha* bapak itu naik mobil pick up, terus sepedanya Ria dibawa pakai mobil pick upnya itu. Gitu mbaaa!” ucapnya dengan gemas. Hahah saya juga jadi ikutan gemas. Sekali kali menguji kesabaran mereka itu perlu, biar mereka juga belajar menjelaskan, pikir saya. Haha
                “Ohhhhh gitu!” saya ber_oh ria. “Eh hla kenapa beli sepedanya warna merah? Kenapa enggak warna ungu saja? Kaya punya mba tuh si Vio, lucu kan!” goda saya lagi.
                “Ria enggak suka warna ungu og mba. Ungu itu warna janda lo mba! *saya hanya tertawa ahahha bocah ini* Ria itu sukanya warna merah mba!” tegasnya.
                Sembari menunggu gelang pesanan saya yang masih dalam proses pembuatan saya meneruskan perbincangan dengan Ria, santriwati yang susah kalo dianggurin. :D Dia banyak bercerita tentang libur lebarannya kemarin, juga rencana libur lebarannya tahun depan yang akan digunakan untuk menjenguk saudaranya di tanah seberang, Sumatera hingga ajakannya untuk car free day barenga bareng (kapan kapan gitu bilangnya haha). Juga proses kreatif yang sedang dijalankan bersama teman temannya itu. Usaha jualan gelang, bisa dipesan dan siap antar, gitu katanya. Subhanallah.
                Mereka dengan kemandiriannya, mereka dengan keceriaannya, mereka dengan dunia bermainnya, mereka dengan kekompakkannya. Mengajari saya banyak hal, untuk lebih kreatif memanfaatkan barang barang yang terdiamkan didasar lemari. Ya, kata mereka, bahan dari gelang gelang itu mereka dapatkan Cuma Cuma (secara tidak langsung). Sebab mereka menemukan barang barang itu dilemari salah satu dari mereka, lalu dengan inisiatif mereka dibuatlah gelang aneka bentuk dan ukuran. Manik manik yang dianggurkan berubah dalam sekejap. Menjadi penghias tangan yang cantik. Menjadi penyalur ide kreatif si bocah cerdik. Oh dear, sinilah tak peluk :D saya gemas :D saya kagum :D Minggu pagi, 19 Agustus 2013, perhatian saya tak lagi hanya pada seember pakaian yang minta dijemur, kagum saya tak lagi hanya pada molto ultra yang super harum. :D semuanya tercuri pada bocah bocah itu :D
    “Riaaa, see you at TPA ya :) maaf lahir batin lagi yaa” Tutup saya menyudahi perjumpaan pagi itu.

    Ini dia contoh produk mereka yang minta tolong dipromosiin keteman teman saya haha

    Produk Handmade Ria Dkk
    Tiga gelang cantik