Rss Feed
  1. Pesta Para Penyepi Di Lembah Kejenuhan

    Thursday, 22 August 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                “Karena sejatinya manusia diciptakan untuk merayakan kesepian, berpesta sendirian dalam sengatan senyap.”
    ^O^
                Masjid Akbar NH terbanjiri oleh wajah wajah baru berseragam putih putih, serupa jemaah haji yang hendak sa’i (barangkali). Hilir mudik di pelataran masjid, beberapa bergerompol laksana awan di langit senja ini. Dan melalui mereka Tuhan memberi saya tiket untuk pulang, untuk mengenang tentang sebuah niat awal. Ya niat awal saya sampai di kota bernama Surakarta ini.
                Satu jam yang lalu, saya masih berada dalam ruang yang sama bersama dengan beberapa rekan. Lalu saat suara mulai terdengar, saat mata mulai membangun prasangka, juga seringai yang kian menggugurkan rasa. Mengerdilkan saya seketika. Saya menjadi Alice dengan serpihan roti pengecil tubuh. Jadilah saya tak nampak, tak terdengar juga tak teranggap. Ya saya terabaikan disana. Hal paling menyedihkan ternyata ketika menyadari kesiaan dari sebuah kehadiran. Ketika hadirmu tak berpengaruh pada apapun atau siapapun, itulah hal paling menyedihkan nomor tiga menurut saya. ketidakbergunaan juga ketidakproduktivan waktu yang seharusnya mampu termanfaatkan dengan optimal.
                Saya menyerah dalam gravitasi.Nya. Enggan melangkah ataupun mengayuh lagi. Saya hanya ingin duduk manis dibangku berlengan. Menyaksikan para wayang melakukan lakonnya. Arghh saya ingin berteriak, lalu meledak dan menghilang. Tak apa selamanya. Diantara rayuan menyerah, ditengah lunglainya kaki sebab terlalu lama melangkah, ku paksa diri berpamit pada yang Maha Berdiri sendiri. Meminta kepada.Nya makna sebuah kesabaran. Lalu, Iapun menunjukkan pada saya tentang mereka. Mahasiswa mahasiswa baru yang dengan sangat khidmat mengerjakan tugas osmarunya. Mengingatkan saya, bahwa saya pernah dalam posisi mereka. Dengan semangat maksimal guna menghasilkan optimal. Semangat yang belum terkontaminasi harap yang tak sesuai nyata. Belum tersentuh adaptasi yang tak terinteraksi dengan baik, juga hal hal lain yang memupuskan semangat.
                “Kelak dalam perjalananmu Nak, kamu mungkin akan tersesat. Bukan, sungguh itu bukan kesalahan. Barangkali Tuhan hanya sedang membiarkanmu menikmati perjalanan. Jikapun kamu merasa tersesat, maka kembalilah dijalan kamu mengambil langkah pertama kali. Ujung suatu jalan tidak akan pernah kita ketahui jika kita tak melakukan perjalanan itu bukan?!” selintas bisikan itu menggema. Mengembalikan memori pada langkah awal melenggang ke kota Solo.
                Ya, mungkin ini jalan buntu saya. Tersesat sebab saya dalam kubangan itu itu saja. Merasa melangkah namun tak sejengkalpun berpindah hingga lelah benar benar membuat payah. Sederhananya inilah kejenuhan. Ya, saya jenuh.
                Secara harfiah, jenuh (dalam KBBI) ialah bosan, padat, kenyang, penuh. Saat sekolah menengah, seorang guru mengenalkan saya pada istilah titik jenuh, yaitu suatu kondisi benda yang larut namun sudah tidak bisa larut lagi pada lingkungan yang sama. Misalnya saja, garam yang larut pada air, lalu jika kita memasukan garam terus menerus ke dalam gelas berisi air tersebut, maka akan muncul keadaan garam yang tidak bisa larut lagi (titik jenuh garam pada air).
                Layaknya garam dalam segelas air, maka saya adalah garam yang sudah tak mampu lagi melarutkan diri dalam air yang sudah terlalu sempit untuk keberadaan saya. Serupa pula dengan seorang admisnistrator yang jenuh dengan berkas dihadapannya, seorang SPG jenuh terhadap posisinya dilapangan, atau seorang masinis kereta yang jenuh dengan rute perjalanan keretanya. Setiap orang memiliki titik jenuhnya masing masing baik hitungan bulan maupun tahun. Dengan kegiatan nyaris sama yang dilakukan berulang ulang, lingkungan yang tak berbeda, setiap hari, setiap minggu, selama berbulan bulan bahkan hingga bertahun tahun. Potensi jenuh maksimalpun tak dapat dihindari, resep manjur pengundang stress (astagfirullah).
                Kecepatan reaksi garam (kecepatan mencapai titik jenuh) untuk larut dalam air juga sesuai dengan suhu, semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula pelarutan terjadi. Dalam kehidupan nyata, suhu adalah kondisi lingkungan. Lingkungan yang baik, ramah, dan profesional dapat membuat diri kita lebih nyaman untuk beradaptasi (larut) dibanding dengan lingkuang yang tegang, keras, juga kaku. Saklek penuh tuntutan dan cermin  yang memangkas habis kewarasan. Arghh, lagi lagi tentang tuntutan dan tekanan. Lupakah? Jika hanya berisi tekanan dan tuntutan, bahkan jika itu hanya hubungan dua orang. Sudah sepantasnya disudahi saja. Apalagi jika ini berkaitan dengan banyak orang. Bagaimana bubarkan saja kah?! -_- tentu tidak. Sebenarnya ini cukup sederhana, ingat hukum Newton ke tiga? Benar, mengenai aksi reaksi. Ketika ada salah satu pihak yang melakukan aksi, sebaiknya harus diberi reaksi sebagai bentuk apresiasi kepedulian. Bukan hanya terus mencela dalam forum evaluasi!! Memang kuman diseberang lautan nampak gajah dipelupuk mata tak terlihat. Memang organisasi ini milik bersama. Memang semua sayang dan berjuang pada organisasi yang sama. Tapi dengan selalu membandingkan jaman kepengurusan dulu, dengan selalu menjadikan masa lalu sebagai tolak ukur, kapan akan beranjak menata masa depan? Setidaknya menghindari kesalahan kesalahan yang sama. Akankah menyerupakan diri dengan bapak beruban yang kini telah terkubur zaman namun masing terngiang dalam sapaanya, “Pie kabare? Enak jamanku to?!”.
                Kejayaan masa lalu memang selalu indah untuk dikenang. Selalu mampu menumbuhkan sayang. Selalu mampu meramaikan angan. Namun, bukan berarti membuat perubahan dimasa depan adalah kesalahan kan? Bukan berarti melakukan perbedaan adalah dosa besar kan? Setau saya perbedaan itu normal, bukan tindak kriminal.
                Saya mengakui salah. Dimana seharusnya saya melakukan pendekatan, malah saya melakukan kelekatan. Seolah mengerti dan mahfum dengan apa yang mereka pilih sehingga saya tak pernah mampu memaksakan, tak mampu membuat mereka memprioritaskan hal yang sama dengan banyak orang. Akhirnya hanya berupa ajakan, mengingatkan, lalu memberi pengertian. Ya, tidak dibenarkan! Tentu saja! Bagaimana hal tersebut dapat dibenarkan, saat dimana saya seharusnya menjadi perekat semuanya, malah saya hanya menjadi jembatan penyampai alasan ketidakhadiran.
                Saya salah sebab terlalu banyak sok mengerti orang. Sok maklum dengan keadaaan orang. Sok tidak memaksakan kehendak orang. Dan beginilah pada akhirnya. Ruangan itu terkadang sepi, tak jarang ramai pula. Terisi insan itu itu saja. Banyak yang mengeluh kemana yang lainnya? Dan kembali pada saya. “Kowe ki ngopo?!” satu pertanyaan yang sungguh menghunus hingga ulu hati. Lisan berbusa oleh ajakan juga rayuan untuk turun lapangan, untuk tak sekedar menjadi penonton berakhir pada telinga yang menggemakan alasan alasan logic untuk memilih prioritas.
    Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? – (QS: Ar Rahman)
    *Menjadi surat favorit saya akhir akhir ini, teman setia kala menyapa gulita dilembah deadline*

                Baiklah. Mungkin saya hanya perlu menambahkan air sebanyak banyaknya dalam larutan garam itu. Belajar menata kembali rencana rencana yang semoga mendapat ridha.Nya. Juga mengganti wadah garam, tak hanya gelas yang berbatas. Mungkin saatnya dipindahkan ke danau. Meluaskan pandang, bahwa kesulitan adalah kemudahan yang tertunda, bahwa Allah memberika ujian sesuai dengan kapasitas hamba.Nya. Bahwa kejenuhan adalah cara Tuhan mengajarkan tentang kenikmatan lapang fikiran, hal yang sangat manusiawi, hal yang juga mengajarkan untuk tetap berfikir positif pada ketentuan.Nya.
                Melalui mahasiswa mahasiswa baru itu. Melalui wajah wajah baru pelepas putih abu abu. Melalui pemilik langkah langkah lugu. Melalui senyum polos tanpa ragu itu. Allah menitipkan bisik, “Bagaimana kabar niatmu sayang? Masihkah ia terpenuhi dengan landasan cintamu pada.Ku? Masihkah ia terlaksana sebab kamu mengharap ridha.Ku?”
                Disaksikan cermin dikamar mandi putri dalam masjid NH, saya membasuh diri. Menyucikan niat untuk berharap tetap bermanfaat. :’) Menitipkan semoga, menitipkan doa, juga merapalkan mantra untuk tetap terjaga dalam titian.Nya. :’) aamiin. Semoga dimudahkan :’) Dan untuk adik adik saya yang telah resmi menanggalkan putih abu abunya. Saya mengucapkan selamat datang :) Semoga bukan calon mahasiswa nyinyir :D
    Selasa, 20 Agustus 2013

     

  2. 0 comments: