Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Selasa, 29 April 2014


    blog.jwaddellinteriors.com



                Bahunya masih terguncang oleh duka sebab kepergian seorang tersayang. Keputusan sepihak yang harus ia setujui meski hati bahkan tak merestui. Ya, dia patah hati, mendatangi saya dengan luka tanpa darah yang sangat parah. Matanya merah, sembab dengan kantong panda dibagian bawah. Nafasnya tersengal, menyesakkan.

                “Mbaak Rissssa!” peluknya sesak. Membuatku lupa pada serangan peningku yang menyerang beberapa menit lalu.

                “Ssstt, pripun Nduk? Hmm?” balasku masih dengan dia dibahu saya.

                Kisah itu mengalir, mengabarkan sebab musabab semua dukanya.

                Hubungan yang dibangun nyaris seperti cicilan motor, hampir tiga tahun dan harus kandas sebab sebuah iman yang berbeda. Bukan iman tentang cara mencintai Tuhan, namun iman mengartikan kebersamaan.

                “Aku kan cuma nanya dia kemana aja, kenapa enggak sms dan ngasih kabar. Dia sempet banget update status hang out bareng temen temennya tapi sms aku aja enggak disempatkan. Wajar kan mba, kalau aku nanya gitu. Aku nanyanya juga baik baik Mbak padahal, tapi dianya malah bilang kita jalan sendiri sendiri dulu gitu. Aku kan butuh penjelasan, butuh ngobrol bukan pemutusan sepihak kaya gini Mbak. Kalau kaya gini, dia sama aja enggak percaya sama aku!” Jelasnya masih dengan sisa isak.

                Hmm. Saya menghela nafas. Baiklah, ini kasusnya nyaris sama.

                “Dia bilangnya langsung ke kamu?”

                “Iya Mbak. Dia bilang langsung. Kan dia sms aku, ngajak ketemu gitu di kampus. Terus kita juga sempat makan bareng, nah pas udah selesai makan dia bilang itu.” Isaknya tertahan dalam kenang.

                “Setidaknya dia masih mengucapkannya baik baik Nduk.” Senyumku menguatkan.

                “Tapi kan mbaak. Sama aja bikin nyesek.” Tangisnya nyaris pecah lagi.

                “Hehe iya to?” Alisku terangkat satu. Menggodanya. “Nduk, kamu inget lagu balonku enggak?”

                “Inget Mbak..Kenapa Mbak?”

                “Mbak, agak lupa. Bisa bantu ngingetin Nduk?”

                “Ahh mbak! Aku kan lagi sedih. Mana mood buat nyanyi lagu balonku.” Dengusnya kesal.

                “Buat tugas i nduk. Hehe bantu yaa...” rayuku dengan mata berkeling.

                Dan diapun melantunkan irama itu. Mendendangkan lagu jaman kanak kanak dengan paksa. Bersama suaranya yang serak serak becek sebab terbanjiri air mata, dia mulai lupa pada lukanya.

                “Balonku ada lima. Rupa rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru. Meletus balon hijau. Dooor!” kagetku menirukan ekspresinya beberapa menit lalu. “Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat. Ku pegang erat erat. Gitu ya nduk?” ulangku mengeja lirik lagu.

                Dia hanya mengangguk, kembali meratapi lukanya. Dan kali ini dia tak lagi bersandar dibahu saya. Memilih bantal menjadi tumpuannya membungkam rasa.

                “Balonku tinggal empat ku pegang erat erat. Gitu kan Nduk?”

                “Iya Mbaaak!” sahutnya kesal ritual peratapan lukanya terganggu.

                “Itu berarti balonnya tinggal empat, yang tadinya lima. Karena kitanya sekarang Cuma punya empat balon berarti itu yang mesti kita jaga. Gitu kan ya Nduk?” Godaku lagi.

                Kali ini tangisnya benar benar berhenti. Berusaha mencerna pernyataan saya sebelum mengiyakan atau menidakkan. Dan dua puluh detik kemudian tangisnya kembali pecah di bahu saya.

                “Kadang Nduk, kehilangan memang terasa sangat menyakitkan, terlebih jika kehilangan itu datang tanpa mengabarkan lebih dahulu. Tapi Nduk, dari kehilangan itu bukan berarti kewajiban kita juga ikut hilang bersamanya. Kewajiban apa? Kewajiban untuk belajar dari kehilangan, kaya misalnya, kewajiban untuk menjaga yang masih ada serta mengikhlaskan yang tak lagi di depan mata.” Usapku pada bahunya yang kian berguncang. “Bismillah Nduk...dia sedang mengajarkanmu tentang kehilangan. Pun dengan Gusti Allah yang sedang berbaik hati mengenalkanmu dengan kerelaan dan kepasrahan pada.Nya. Masa ini, masa yang ia namakan dengan jalan sendiri sendiri, gunakanlah untuk memperbaiki diri. Kan mbak sering bilang, kalau perempuan baik itu pasti untuk laki laki yang baik, pun sebaliknya. Dan kelak jika masanya tiba, entah itu untuk kisah yang sempat bersambung dan berlanjut dengan pelaku yang sama, atau kisah yang baru lagi dengan kalian sebagai pemeran utama, insya Allah ada bahagia disana. Saling menyanyangi itu tak sebatas saling mengabari setiap hari, kadang ada yang lebih melegakan ketika kita percaya bahwa dia disana sedang berjuang untuk sebuah masa. Ada yang lebih melegakan ketika kita percaya, ada doa yang selalu terpanjat untuk sebuah masa. Kalau kamu memaksa dia memberitahumu setiap agendanya dia, aktivitasnya dia, atau semua hal yang dialami, lantas apa bedanya kamu dengan satpam hayoo? Laporan dua puluh empat jam :D. Kadang laki laki memang seperti itu, kita kelimpungan mencari kabar, dianya malah santai tanpa dosa, tanpa paham kita nyaris terbunuh khawatir kehilangan. Sering juga menganggap semua baik baik saja, sedang kita butuh banyak cerita dan penjelasan.” Kembali ku hela nafas. Menata hati yang sedikit berantakan.

                “Makannya mbak, pengenku kan diobrolin dulu, enggak langsung keputusan sepihak kaya gini...” lirihnya berlahan menyeka duka.

                “Hehe kan udah dibilang, kadang laki laki memang seperti itu, sering menganggap semua baik baik saja, sedang kita butuh banyak cerita dan penjelasan.” Ulangku mengingatkan.

                “Terus aku mesti gimana mbaak?”

                “Balonku tinggal empat. Ku pegang erat erat.” Dendangku lagi.

    ^O^

                Punggungnya kian mengecil bersama deru Beat yang menjauh. Gadis itu masih patah hati, obrolan nyaris tiga jam itu belum benar benar mengobati lukanya. Errghhh tidak semudah itu mengobati luka tanpa darah kisanak! -_- Meski demikian, ketika dia datang dengan hati yang tak menyatu (berkeping banyak), dia pulang membawa kembali hatinya yang kembali satu. Belajar menyatukan serpihan hati menjadi sebuah ketegaran srikandi. Setidaknya Srikandi tahu bagaimana mencintai  Permadi dengan tepat, Permadi yang kabarnya menjadi lelaki tertampan dengan hati tak kalah rupawan memang wajar menjadi idaman, dan Srikandi tahu bagaimana mencintai Permadi yang telah beristri banyak itu. Menjaga kesucian cintanya tanpa ‘tapi’, dan melekatkan kata ‘meski’ didasar hati.

    ^O^

                “Meletus balon hijau! Dooor! Hatiku sangat kacau.”

                Ah tentu saja kacau atau galau kata orang kebanyakan. Wajar ketika sesuatu yang kita miliki itu hilang. Ayolah, kehilangan tak melulu menyoal asmara horisontal kan? -_- jangan menyempitkan makna kata, menghubungkan semua hal dengan asmara :3. Ranah kehilangan itu tak terhingga, bisa apa saja! Kehilangan amanah, entah sebab masa bakti yang habis atau kepercayaan salah satu pihak yang habis. Kehilangan harta, entah sebab terinfakkan dijalan.Nya atau terinfakkan paksa oleh kaum perompak. Kehilangan kesempatan untuk meraih sesuatu yang teridamkan dalam juang, entah sebab kurangnya sebuah ikhtiar atau pembukaan sempat lebih besar tanpa duga dikemudian hari. Kehilangan salah satu fungsi tubuh, entah sebab tindak ceroboh sebuah pihak, atau kecintaan Allah agar kita dimudahkan mampu menutup salah satu pintu masuk dosa.

                Semua kehilangan itu, mengajarkan banyak hal untuk kita.

    1.      Mengenalkan pada sebuah kata ‘kehilangan’ itu sendiri. Bukan semata agar kita tahu sakitnya kehilangan itu, namun juga agar kita paham bagaimana kehilangan itu. Pun tak semata untuk kita sendiri, namun juga untuk rekan kita yang barangkali sedang atau pernah kehilangan. Dengan paham kehilangan itu, kita akan tahu bagaimana cara mengatasinya. Layaknya saat kita tahu jenis sakit yang kita alami, kitapun akan tahu obat yang tepat untuk menyembuhkan lantas merekomendasikan resep tersebut pada rekan kita. Juga tentang ragamnya rasa yang Allah anugerahkan pada manusia.

    2.      Memahami hakikat ikhlas tanpa bekas. Dalam kitab suci saya, ada sebuah surat yang diberi nama Al-Ikhlas. Bahkan di dalamnya tidak tersurat kata ikhlas, surat itu mengabarkan tentang keEsaan Allah SWT, bahwa Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, bahwa Dia satu satunya tempat kita meminta segala sesuatu, dan Tidak ada satu dzatpun yang mampu menyerupaik Dia. Dimana ikhlas itu? Ikhlas terkandung didalamnya, meringkuk nyaman dalam rahim surat itu. Iya, ikhlas itu tak pernah tersurat. Sangat lucu ketika ada seorang yang bilang, “Aku udah ikhlas kok.”, ahh sejak kapan ikhlas melintas dibibir dan dikabarkan penuh frontal?

    3.      Agar kita tahu cara tepat menjaga. Haha jelas! Ketika kita sudah tahu bagaimana rasanya kehilangan, kitapun tahu bagaimana seharusnya menjaga hal itu tetap ada untuk kita.

    ^O^

                “Balonku tinggal empat, ku pegang erat erat!”

                Tentu saja, kehilangan memang sempat membuat berantakan susun batu ketegaran sebuah raga. Hi, masih ingat kan? Bahwa Allah itu Maha Pengasi lagi Maha Penyayang, menyayangi makluknya meski dengan mengenalkan kehilangan. Tenanglah, sekalipun Allah membiarkanmu tersapa kehilangan, Dia tak sepenuhnya benar benar merengut semuanya. Selalu ada satu dan banyak hal yang masih nyata ada untuk kita, memberi sempat untuk kita untuk lebih bisa menjaga.

                Pemimpin dan pemilik amanah yang tergusur dari kursinya sebab riuhnya masa meneriakan pelengserannya. Dia kehilangan percaya dari masa yang dipimpinnya, juga kehilangan tahta singgasananya, namun dia masih punya waktu untuk memperbaiki apa yang salah dengan dirinya. Menjaga waktu itu dengan segala asa yang masih ada, berjuang agar waktu yang ia miliki tak terbunuh sia.

                Pemimpin dan pemilik amanah yang turun dari kursi kebanggaanya sebab masa kadaluarsa yang telah tiba. Sebuah pergantian empunya kursi  yang membuatnya kehilangan kuasa, namun dia masih punya keluarga dan lingkungan untuk dia bekerja. Membaktikan diri pada keluarga yang lama tak tersapa penuh hangat, misalnya. Membangun lingkungan kecil yang kerap terduakan oleh perkara besar menyangkut negara, barangkali.

                Hartawan dengan limpahan intan berlian yang terpangkas nilainya sebab aksi rampok tengah malam atau aksi tipu tipu dari koleganya. Nyata dia kehilangan sekian rupih, dolar, euro ahh atau apalah yang mewakili mata uang, namun dia masih punya indra untuk belajar darinya. Indra yang menuntunnya untuk lebih peka pada kesejatian kolega juga kebutuhan kaum papa.

                Seorang sanak saudara yang tinggal nama serta meninggalkan kehampaan mendalam atas kepergiannya berpulang pada Sang Maha Kuasa. Fenomena yang nyaris mengerinkan air mata, namun Allah selalu menitipkan bahu untuk bersandar, jikapun tak ada bahu yang tersisa selalu ada lantai untuk bersujud. Ingat kisah Nabi Ayub AS? Iya, beliau yang manusia pilihan Allah pun dikenalkan dengan nyeri sebuah kehilangan. Ketika Allah dalam cinta.Nya mendatangkan ujian dengan ragam penyakit yang melekat pada diri Nabi Ayub AS hingga satu per satu keluarga pergi, meninggalkan Ayub yang sedang penuh derita. Pun istrinya yang semula berjanji setia dalam suka dan duka. Nabi Ayub AS, benar benar dirundung kedukaan, namun ia masih punya ruang iman yang juga tak kalah mendalam. Iman bahwa Allah SWT senantiasanya menyertai hamba.Nya.

                Jadi? Sudah bertemukah? :”)

                Iya, sejatinya kita tak pernah benar benar kehilangan selama iman itu masih ada. Selama kita tak kehilangan iman pada.Nya kita tak pernah kehilangan apa apa. Kekuasaan, harta, kasih sayang, keluarga, teman, kolega, dan segala rupa hal duniawi. Bagaimana kita kehilangan jika kita masih memiliki iman pada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Kaya, Yang Masa Menyayangi, Yang Maha Mengasihi, Yang Maha Mengetahui, Dzat yang tiada tandingan atas Dirinya. Allah SWT. ^_^

                Tapi bukan berati kehilangan itu tidak penting. Terkadang kita butuh tahu bahwa kita sedang kehilangan, agar tahu harus mencari atau menjaga. ^_^

     


  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 20 April 2014


                “SD Muhammadiyah 23!” seru seorang berkaos hitam di depan gerbang selatan Novotel Solo diantara riuhnya pekikkan nama instansi lain. Lebih dari sekali ia berteriak dan menyapu pandang sekitar, berharap instansi dengan nama tersebut menghampirinya bersama belasan bocah pejuang budaya hari ini.
    ^O^
                Tepat pukul 05.40 WIB sepeda onthel Ungu keluaran Phoenix itu keluar dari gerbang asrama kampus PGSD, menyusuri Slamet Riyadi bersama dua rekannya. Tiga gadis dengan senyum mengembang yang sedang menebarkan semangat sepanjang putaran roda. Dan Radyapustaka menjadi pilihan mereka memarkirkan sepeda, mempercayakannya pada seorang bapak penjaga parkir museum, dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju TKP kegiatan, Lapangan Parkir Selatan Novotel. Mengisi presensi dan membantu beberapa rekan menata kain putih berjajar. Mengambil lembaran nama sekolah dasar.
                Dan disinilah saya. berdiri dengan lembaran kertas bertulis “SD Muhammadiyah 23”, di depan gerbang menanti para bocah. Belum apa apa sudah mendapat pelajaran moral pertama hari ini “Jika yang ditunggu tak kunjung datang, barangkali kamu memang harus menjemputnya!”
                “Mbak, itu di depan gerbang Novotel sebelah timur ada banyak SD! Dikiranya acara disana.” Ucap seorang wali murid saat registrasi. Berharap ada SD yang diamanahkan, saya menjemput mereka disana.
                 Taraaaa! Mereka ada disana.
                “SD Muhammadiyah 23?” sapaku dengan tatap tanya pada serombongan bocah berseragam batik dan para wali pendampingnya.
                “Iyaaa!” seru mereka serentak. Aihh manis nian aroma semangat pagi itu.
                “Yuk, adik adik ikutin kakak yaa..kita registrasi dulu di parkiran sebelah selatan!” ajakku, menggiring mereka menuju medan laga penulisan huruf jawa.
                Tanggal 18 April lalu ialah hari Pusaka Dunia aka World Heritage Day. Jatayu Solo, Mahasiswa Berbudaya, mengapresiakan hari budaya dengan membuat ruang #OjoLaliJawane sebagai aksi pelestarian budaya tradisi, khususnya Jawa. Derasnya arus globalisasi menginspirasi mereka untuk mengajak kembali adik adik sekolah dasar se-Solo Raya untuk mengeja budaya melalui torehan huruf Hanacaraka dan kunjungan ke museum Radyapustaka.
                Rencana tepat pukul enam pagi prosesi penulisan aksara jawa akan dimulai, nyata pukul tujuh lebih acara baru dibuka dengan serangkaian sambutan dan hiburan. Diawali prakata dari Kak Cythia sebagai ketua pelaksana kemudian sambutan dari Wali Kota Solo yang diwakilkan dengan selingan Performance perkusi oleh rekan rekan dari FISIP UNS barulah adik adik dari dua puluh tujuh sekolah dasar di Solo yang membawa delegasinya kisaran lima belas anak, siap bercorat coret ria. Mengingat mereka yang sudah kelas empat dan lima sekolah dasar, menemani mereka menulis aksara jawa tidak terlalu menyulitkan. Jika pun kami lupa, ada banyak huruf Hancaraka bertebaran seantero TKP.
                “Nulis apa Nduk?” tanyaku pada Elsa, salah satu adik SD Muhammadiyah 23 yang saya temani.
                “Pasar Kliwon, Bu!” jawabnya bersama kembangan senyum.
                Sebenarnya mereka dibebaskan untuk menuliskan apapun yang mereka mau, tapi rupanya dari sekolah masing masing sudah mengarahkan mereka untuk menuliskan nama nama pasar si Solo, ada juga yang nama nama tokoh pewayangan, nama senjata tradisional dll.
                Meski penuh sesak, ku edarkan pandang pada lautan bocah usia sekolah dasar. Subhanallah, antusias sekali mereka. Saling berbagi papan, saling berbagi tempat, saling mengingatkan, dan tentu saja saling menyemangati.
                Jelang beberapa menit berlangsungnya prosesi penulisan, beberapa adik sudah selesai dengan tulisannya, “Kalau yang udah selesai boleh ditulisin nama sama sekolahnya. Kalau yang belum selesai dilanjutkan aja dulu, santai saja.” Bisikku pada adik adik mengingat MC di depan masih asik dengan celotehnya. (MC.nya siapa? Sepasang Mbak dan Mas, Mbak.nya aku lupa namanya, kalau Mas.nya aku tahu -_- seorang yang sebenernya pengen gue timpuk pake jimbe pas liat dari pagi ada di sana. Sudahlah!).
                Jajan pasar dan segelas air mineral turut mengisi energi mereka pagi ini. menyemangati mereka yang sudah mulai berpeluh. Dan disinilah, kesabaran mulai diuji. Bukan, bukan adik adiknya yang gimana gimana, tapi ammm wali pendamping (wali murid maupun pendamping dari sekolah) yang juga mulai rewel melihat jam kunjung ke Radyapustaka sudah molor nyaris satu jam.
                “Bu, kapan ke Radyapustakanya? Katanya jam sembilan ke selesai?” sapa seorang guru pendamping saat saya akan mengambil snack untuk adik adik.
                “Bu, kasian mereka kepanasan!” seru seorang wali murid.
                “Bu, mereka keringetan!” ucap seorang wali siswa.
                Dan masih banyak keluhan lagi.
                “Nggeh Bu, ini habis kalau adik adiknya sudah selesai, nanti kita bareng bareng kita  Radyapustaka. Sementara adik adiknya di sini dulu aja. Menunggu adik lain yang belum selesai dan menikmati hiburan. Ada konsumsi kok buat adik adiknya, jadi insya allah mereka ndak papa.” Jelasku dengan wajah super manis. -_-
                Padahal dalam hati. Duh ini, siapa yang manja sebenarnya. Berkeringat kan tanda kalau sistem metabolisme tubuhnya bagus. Sinar matahari pagi  (06 – 10an) itu kan mengandung Vit.D, baik untuk pertumbuhan. Menunggu teman bukannya akan mengajarkan mereka untuk bersabar atas proses rekannya, setidaknya menstimulus kecerdasan intrapersonal maupun interpersonal. ^_^
                Ahsudahlah, mari melanjutkan ke sesi acara selanjutnya. Bersama membawa kain yang sudah terhias tulisan tangan mereka, kami pun melangkah menuju Museum Radyapustaka. Berjalan beriringan, menjaga ketertiban, menyusuri Slamet Riyadi, dan tralalala kami siap mengantri masuk museum. ^_^ Berhubung, adik adik dari SD Muhammadiyah 23 ini memiliki adik adik yang super kece, saya dijadi hafal deh nama nama mereka. Yuk, absen dulu sebelum masuk.
                “Adik adik, dengerin Ibu ya..sekarang diabsen dulu. Nanti barisnya dua dua. Terus inget pesen kakaknya tadi. Di dalam museum itu jalannya pelan pelan aja, boleh liat tanpa pegang. Ok?
                “Ok. Bu...!” jawab mereka tak kompak.
                “Nah, sekarang absen. Karima, Elsa, Aqila, Dita, Raihana, Deltia. Baris di sebelah kanan ya....Sekarang yuk, Ian depan (berhubung dia paling usil dan banyak sambat plus paling kecil :D), Rizky (yang enggak kalah tingkah sama Ian :D), Agastya, Faqih, Fikri, Fernando, Yusuf bersaudara (yang ini kembar :D).” Seruku semangat.
                Welcome To Radyapustaka.
                Dengan ragam replika dan benda budaya yang dipajang disana juga keantusiasan adik adik Radyapustaka menjadi sangat riuh keceriaan. Lebih dari sekedar benda pajangan, benda benda itu adalah warisan budaya yang mengingatkan adik adik untuk tetap sadar sejarah. Bagaimana perkembangan senjata dari jaman dulu hingga sekarang, ragam perabot, juga alat musik tradisional, dan banyak replika arca di penjuru negeri. (Tidak ambil foto, duh mana sempat -_- menghandle lima belas anak untuk tertib menikmati di ruang penuh benda rapuh itu sungguh istimewa. Sayang untuk dilewatkan.)
                Finish! Ditutup aksi berfoto bersama adik adik dengan para gurunya (gue yang motoin :D), kamipun meninggalkan decak kagum atas warisan budaya di Radyapustaka. Hmm adalah ia yang menyakitkan, masa perpisahan yang selalu sepaket dengan pertemuan. Sampai jumpa kembali, sayaaang! ^_^
                “Kita kan tadi udah jalan jalan, udah nulis aksara Jawa, juga udah makan jajanan pasar. Sekarang kalian boleh jalan jalan sama Ibu, kalau mau pulang juga boleh, kalau mau beli buku pakai diskon yang Ibu kasih tadi juga enggak papa.”
                “Langsung pulang boleh bu?” tanya Ian.
                “Boleh sayaaag...boleh. Mau pulang sama siapa Ian?”
                “Sama Kakak Bu! Pulang dulu ya Bu..” serunya sambil berlari meninggalkan saya.
                “Ati ati dijalan Ian, Assalamualaykum..!” teriakku.
                “Bu, saya belum dijemput...” ucap Aqila lesu.
                “Nah yang belum pulang boleh nunggu di sini sama Ibu.” tawarku.
                “Biar sama saya saja Bu..!” sahut Ibu Pendamping dari sekolah.
                “Oh ngenten Bu? Hehe nggeh sampun, matursuwun ngegh Bu! Saya tak pamit dulu.” Pamitku pada adik adik. Hmm sedih deh. :”(
    ^O^
                Minggu, 20 April 2014 adalah langkah baru mengenalkan kembali budaya kita yang nyaris tersisih. Budaya induk yang telah mendarah daging sejak atmosfer Jawa kita hirup dalam nafas pertama. Budaya yang seharusnya kita tekuni melebihi mereka para kaum pendatang namun terkesampingkan oleh tuntutan pergantian kurikulum.
                Terima kasih untuk Kakak Kakak Jatayu Muda dan Berbudaya atas ruang budayanya. Terima kasih untuk peluh dan semangat kalian membersamai adik adik dan turut menggandeng kami para penikmat budaya negeri ^_^. Terima kasih untuk adik adik yang senantiasa menginspirasi kami, membuat kami berusaha menjadi lebih baik menyiapkan ruang untuk generasi hebat seperti kalian ^_^.
                Ah ya, nyaris lupa.
                Salam Budaya!

    Hasil Jepretan Semangat Adik Adik
    Foto: Risa Rii Leon







    Jajan Pasar Penyumbang Energi


  3. Pecinta Yang Tak Banyak Kata

    Thursday 17 April 2014



                   

                 Sekilas lalu dia hanya lelaki biasa, seorang laki laki penjual nasi goreng  yang hanya tahu cara meramu bawang, garam, dan nasi menjadi sebuah menu masakan seharga delapan ribu rupiah. Seorang laki laki yang setia di tikungan belakang asrama kampus tempat tinggal saya selama kuliah. Seorang paruh baya yang biasa saja dimata dunia.
                Dan rinai pukul delapan malam bersamaan kepulangan saya mengampu bimbel sekolah dasar mengantarkan saya untuk mengenal sosok lelaki itu. Membincangkan beberapa hal yang bermula dari kebasabasian. Pak Yono, begitu yang tertera dalam brand nasi gorengnya.
                “Nasi goreng sedang enggak pakai kubis sama timun ya Pak.” Pesanku membuka perbincangan kami.
                Nggeh Nduk.1” Jawab ia sembari meracik bahan mie dog dog untuk dua Ibu yang mengantri sebelum saya.
                Bersama penantian saya menunggu giliran, sebuah kenangan menggenang dalam benak. Memaksa saya memenjarakan rindu pada sesosok perantau di negeri tetangga, Ayah.
    Sepuluh tahun ia mengolah lahan negeri tetangga, menanaminya dengan kelapa sawit, merawat benih benih di sana untuk menyulam biaya pendidikan dan penutupan kebutuhan keluarga. Bentuk tanggung jawab seorang laki laki agar asap dapur keluarganya tetap mengepul dan agar mimpi anaknya untuk turut mencerdaskan anak bangsa tetap berkibar. Sepuluh tahun ia mengolah lahan negeri tetangga, menanaminya dengan bibit pohon karet, menorehnya ketika telah dewasa demi mempersilahkan putra putrinya menorehkan prestasi untuk negeri. Ya, di luar negeri ia merantau. Mengirimi ringgit tiap bulannya semata untuk putra putrinya. Hidup di luar negeri untuk menghidupi yang di dalam negeri. Hmm Ayah.
                Sedang mboten kaleh kubis lan timun nggeh Nduk?2” ucap Pak Yono memastikan pesanan saya. Mengembalikan saya dari alam lamun.
                “Enggeh, Pak!” ucapku agak terkaget. Mengumpulkan ingat tentang kini yang harus dihadapi sambil tak jeda memanjatkan rapalan doa untuk Ayah di sana.
                Hayoo nglamunke sinten Nduk?3” goda pak Yono di sela peracikan pesanan saya.
                Hehe mboten nglamun kok Pak!4” alihku agak tersipu. “Pak, ini bapak jualannya sih biasanya habisnya sampai jam berapa?!” lanjutku masih berupaya mengalihkan.
                “Hwah mboten mesti nduk, kalau lagi rame itu jam dua belas udah habis tapi kalau lagi sepi bisa sampai jam dua baru habis.”
                Adegan itu pun membayang. Seorang paruh baya dengan sebuah gerobak yang menanti pembeli hingga tengah malam, berkeliling komplek perumahan untuk menu seharga delapan ribu rupiah. Menahan dinginnya malam di Solo. Menahan serangan kantuk sebab lama terduduk. Menahan hasrat pulang sebelum habis barang dagang. Barangkali seperti Ayah yang juga menahan kerinduannya pada kami selama bertahun tahun. Meniatkan semuanya berlandas tanggung jawab sebagai seorang pemimpin keluarga.
                Dan air bincang itu terus mengalir, menganakkan banyak tanya dan canda di antara kami. Menjalar lebih dalam dari sekedar kebasa-basian. Menjamah tentang keluarga yang menunggu kepulangan sang Pencari Nafkah Keluarga. Seorang istri yang selalu sedia untuk membukakan pintu meski jam dua dini hari pintu terketuk. Tiga putra yang gagah dengan mimpi mimpinya. Dengan Sulung di Bandung, mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Pendidikan Indonesia, merengkuh jalur Bidik Misi sebagai pemulus jalan pendidikannya. Program beasiswa yang tepat sasaran rupanya. Si Bungsu yang masih rajin mengeja alfabet ditahun pertamanya sekolah dasar, serta si Tengah yang mulai sibuk berkegiatan dengan tepuk praja muda karana sekolah lanjutan tingkat pertamanya. Tiga ksatria harapan bangsa yang kelak akan mencantumkan nama Pak Yono sebagai Ayahnya penuh rasa bangga.
                Bapak niki bodo mbak mulo uripe susah. Bapak ndak pengen mereka itu sama seperti Bapak!5” tutup Pak Yono sembari menyerahkan sebungkus nasi goreng pesanan saya.
                Rinai malam itu memang membuat basah ujung rok saya yang menjulur hingga bawah mata kaki. Tapi jauh dari ujung rok yang basah, ada satu syukur yang membanjir merambah ke  hati.
                Dengan hati basah, transaksi malam itu tak hanya sekedar sebungkus nasi goreng dengan empat kertas dua ribu rupiahan. Sebuah ketulusan yang ditularkan nyata dari seorang biasa kepada saya, ah Pak Yono bukanlah insan biasa lagi, beliau seorang Ayah yang istimewa sekarang.
                Keinginannya sederhana, keengganan melihat anak anaknya hidup sengsara dan dipandang sebelah mata oleh dunia hanya sebab ketidaktahuan serta kedangkalan ilmu. Bahkan meski beliau seorang yang sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar, seorang yang dikatakan buta huruf, seorang yang katanya hanya tahu takaran garam, bawang merah, bawang putih, merica, minyak, dan nasi yang pas untuk sepiring nasi goreng tek tek. Bagi saya, Pak Yono telah masuk Ayah Hebat versi saya, merubah dunia dengan mengawalinya dari keluarga. Tanpa perlu koar koar pada dunia, tanpa perlu banyak kata, tanpa perlu banyak suara, Pak Yono, juga ayah ayah yang lain telah mengawali tindak nyata merubah dunia. Mengawali dari hal sederhana dalam keluarganya.
                Dalam kegelapannya menjamah serangkaian alfabet, dia memiliki obor semangat untuk menerangi jalan anak anaknya mengeja aksara.
                Dalam ketakberdayaannya menghindari takdir terlahir dari keluarga tak berpunya hingga pendidikan harus terhenti sebelum kelulusan di jenjang sekolah dasar, ia berhasil tumbuh penuh daya dan upaya menyulamkan pendidikan untuk putra putranya.
                Dalam kekhusu’annya meracik rempah untuk nasi goreng dan menu sederhana lain, ia pun meramu bumbu penuh asa untuk asupan cita anaknya. Bumbu cinta tiada tara untuk ketiga keluarganya.
                Terkadang tanpa harus banyak kata, kaum adam satu ini telah mengucap banyak cinta dalam tindak nyata. Ayah. Melalui peluh yang sering menganak sungai di dahi bidangnya. melalui kerutan kerutan kening yang tak henti memikirkan kepentingan keluarga melebihi kepentingan dirinya. Melalui legamnya warna kulit yang diterpa perjuangan di bawah matahari. Melalui dekapan tangan yang menahan rasukan bayu penyebab badan menggigil. Melalu kantuk kantuk yang tertahan melunasi deadline harian. Tanpa perlu kata cinta, ia telah mengandung banyak cinta untuk keluarga.
                Ayah yang selalu berkata, “Tumbuhlah Nak, menjadi apapun yang engkau inginkan. Tebarkan manfaat untuk setiap umat yang kamu temui di jalan. Hiduplah dalam kebermanfaatan untuk sesama!” serangkaian kata cinta yang benar benar terlumuri keikhlasan. Kesejatian cinta yang tak pernah terungkap kata ‘Aku mencintaimu, Nak!’. Namun di sana, dalam pernyataan cinta tanpa kata cinta itu lah ikhlas benar benar ada. Bukankah ikhlas itu baru ada ketika tak pernah terucap? Bukankah hanya dia yang ikhlas yang hanya berbuat tanpa perlu mengucapkannya? Pun dengan cinta yang ikhlas, cinta yang barangkali tak pernah berkata cinta namun berbuat banyak untuk ia yang di cinta tanpa perlu mengucapkannya.
    ^O^
                Air masih menyatakan kepasrahannya pada gravitasi, mengecup tanah dalam rombongan tetes langit penguar petrichor. Selokan asrama telah membanjir terisi penuh aliran air hujan. Benakkupun penuh terisi inspirasi, memaknai lebih dalam tentang berbagi, memperbaiki, serta mencintai. Berbagi kebaikan untuk saling memperbaiki sebagai tindak nyata mencintai.
                Ayah yang berjuang atas nama perbaikan penerus. Berbuat lebih banyak agar generasinya tak seperti dirinya. Merelakan ketakberlakuan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Menyilahkan generasi penerusnya untuk tumbuh bebas sesuai pilihannya tanpa harus terikat persamaan takdir sang induk. Bukankah menjadi hal yang percuma jika generasi baru harus dipaksabentukan menjadi seperti keinginan sang Induk Generasi, membuat yang muda menjadi produk pembentukan yang tua tanpa melihat perkembangan kondisi yang terjadi, sepertinya itu bukan sebuah  tindak bijak.
                Dan terkadang menjadi seorang motivator tak harus dengan dasi  menjulur gagah dibidangnya dada, berjas hitam lalu melantangkan kata semangat. Seorang Ayah yang buta huruf, seorang Ayah yang sederhana pun mampu menjadi seorang motivator hebat. Menebar inspirasi melalui keberdayaannya berupaya.
                Dan terkadang menjadi seorang yang bisa membantu dan menolong sesama tak harus dengan limpahan harta yang terbagikan dalam lengan dermawan. Seorang Ayah penjual nasi goreng, seorang Ayah buruh tani, seorang Ayah tukang becak, juga Ayah Ayah lain yang harus bekerja penuh peluh menghasilkan beberapa lembar ribuan itu memiliki kelapangan hati untuk senantiasa berbagi. Seorang yang dikatakan rakyat kecil namun menyimpan keluasan hati lebih dari bentangan Sabang hingga Merauke.
               


    Keterangan:
    1. Iya Nak! Nduk sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa.
    2. Sedang tidak pakai kubis dan timun ya Nak?
    3. Hayoo melamunkan siapa?
    4. Tidak melamun kok Pak!
    5. Bapak ini bodoh Mbak, makannya hidupnya susah. Bapak tidak mau mereka itu sama seperti Bapak.