Rss Feed
  1. Pecinta Yang Tak Banyak Kata

    Thursday 17 April 2014



                   

                 Sekilas lalu dia hanya lelaki biasa, seorang laki laki penjual nasi goreng  yang hanya tahu cara meramu bawang, garam, dan nasi menjadi sebuah menu masakan seharga delapan ribu rupiah. Seorang laki laki yang setia di tikungan belakang asrama kampus tempat tinggal saya selama kuliah. Seorang paruh baya yang biasa saja dimata dunia.
                Dan rinai pukul delapan malam bersamaan kepulangan saya mengampu bimbel sekolah dasar mengantarkan saya untuk mengenal sosok lelaki itu. Membincangkan beberapa hal yang bermula dari kebasabasian. Pak Yono, begitu yang tertera dalam brand nasi gorengnya.
                “Nasi goreng sedang enggak pakai kubis sama timun ya Pak.” Pesanku membuka perbincangan kami.
                Nggeh Nduk.1” Jawab ia sembari meracik bahan mie dog dog untuk dua Ibu yang mengantri sebelum saya.
                Bersama penantian saya menunggu giliran, sebuah kenangan menggenang dalam benak. Memaksa saya memenjarakan rindu pada sesosok perantau di negeri tetangga, Ayah.
    Sepuluh tahun ia mengolah lahan negeri tetangga, menanaminya dengan kelapa sawit, merawat benih benih di sana untuk menyulam biaya pendidikan dan penutupan kebutuhan keluarga. Bentuk tanggung jawab seorang laki laki agar asap dapur keluarganya tetap mengepul dan agar mimpi anaknya untuk turut mencerdaskan anak bangsa tetap berkibar. Sepuluh tahun ia mengolah lahan negeri tetangga, menanaminya dengan bibit pohon karet, menorehnya ketika telah dewasa demi mempersilahkan putra putrinya menorehkan prestasi untuk negeri. Ya, di luar negeri ia merantau. Mengirimi ringgit tiap bulannya semata untuk putra putrinya. Hidup di luar negeri untuk menghidupi yang di dalam negeri. Hmm Ayah.
                Sedang mboten kaleh kubis lan timun nggeh Nduk?2” ucap Pak Yono memastikan pesanan saya. Mengembalikan saya dari alam lamun.
                “Enggeh, Pak!” ucapku agak terkaget. Mengumpulkan ingat tentang kini yang harus dihadapi sambil tak jeda memanjatkan rapalan doa untuk Ayah di sana.
                Hayoo nglamunke sinten Nduk?3” goda pak Yono di sela peracikan pesanan saya.
                Hehe mboten nglamun kok Pak!4” alihku agak tersipu. “Pak, ini bapak jualannya sih biasanya habisnya sampai jam berapa?!” lanjutku masih berupaya mengalihkan.
                “Hwah mboten mesti nduk, kalau lagi rame itu jam dua belas udah habis tapi kalau lagi sepi bisa sampai jam dua baru habis.”
                Adegan itu pun membayang. Seorang paruh baya dengan sebuah gerobak yang menanti pembeli hingga tengah malam, berkeliling komplek perumahan untuk menu seharga delapan ribu rupiah. Menahan dinginnya malam di Solo. Menahan serangan kantuk sebab lama terduduk. Menahan hasrat pulang sebelum habis barang dagang. Barangkali seperti Ayah yang juga menahan kerinduannya pada kami selama bertahun tahun. Meniatkan semuanya berlandas tanggung jawab sebagai seorang pemimpin keluarga.
                Dan air bincang itu terus mengalir, menganakkan banyak tanya dan canda di antara kami. Menjalar lebih dalam dari sekedar kebasa-basian. Menjamah tentang keluarga yang menunggu kepulangan sang Pencari Nafkah Keluarga. Seorang istri yang selalu sedia untuk membukakan pintu meski jam dua dini hari pintu terketuk. Tiga putra yang gagah dengan mimpi mimpinya. Dengan Sulung di Bandung, mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Pendidikan Indonesia, merengkuh jalur Bidik Misi sebagai pemulus jalan pendidikannya. Program beasiswa yang tepat sasaran rupanya. Si Bungsu yang masih rajin mengeja alfabet ditahun pertamanya sekolah dasar, serta si Tengah yang mulai sibuk berkegiatan dengan tepuk praja muda karana sekolah lanjutan tingkat pertamanya. Tiga ksatria harapan bangsa yang kelak akan mencantumkan nama Pak Yono sebagai Ayahnya penuh rasa bangga.
                Bapak niki bodo mbak mulo uripe susah. Bapak ndak pengen mereka itu sama seperti Bapak!5” tutup Pak Yono sembari menyerahkan sebungkus nasi goreng pesanan saya.
                Rinai malam itu memang membuat basah ujung rok saya yang menjulur hingga bawah mata kaki. Tapi jauh dari ujung rok yang basah, ada satu syukur yang membanjir merambah ke  hati.
                Dengan hati basah, transaksi malam itu tak hanya sekedar sebungkus nasi goreng dengan empat kertas dua ribu rupiahan. Sebuah ketulusan yang ditularkan nyata dari seorang biasa kepada saya, ah Pak Yono bukanlah insan biasa lagi, beliau seorang Ayah yang istimewa sekarang.
                Keinginannya sederhana, keengganan melihat anak anaknya hidup sengsara dan dipandang sebelah mata oleh dunia hanya sebab ketidaktahuan serta kedangkalan ilmu. Bahkan meski beliau seorang yang sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar, seorang yang dikatakan buta huruf, seorang yang katanya hanya tahu takaran garam, bawang merah, bawang putih, merica, minyak, dan nasi yang pas untuk sepiring nasi goreng tek tek. Bagi saya, Pak Yono telah masuk Ayah Hebat versi saya, merubah dunia dengan mengawalinya dari keluarga. Tanpa perlu koar koar pada dunia, tanpa perlu banyak kata, tanpa perlu banyak suara, Pak Yono, juga ayah ayah yang lain telah mengawali tindak nyata merubah dunia. Mengawali dari hal sederhana dalam keluarganya.
                Dalam kegelapannya menjamah serangkaian alfabet, dia memiliki obor semangat untuk menerangi jalan anak anaknya mengeja aksara.
                Dalam ketakberdayaannya menghindari takdir terlahir dari keluarga tak berpunya hingga pendidikan harus terhenti sebelum kelulusan di jenjang sekolah dasar, ia berhasil tumbuh penuh daya dan upaya menyulamkan pendidikan untuk putra putranya.
                Dalam kekhusu’annya meracik rempah untuk nasi goreng dan menu sederhana lain, ia pun meramu bumbu penuh asa untuk asupan cita anaknya. Bumbu cinta tiada tara untuk ketiga keluarganya.
                Terkadang tanpa harus banyak kata, kaum adam satu ini telah mengucap banyak cinta dalam tindak nyata. Ayah. Melalui peluh yang sering menganak sungai di dahi bidangnya. melalui kerutan kerutan kening yang tak henti memikirkan kepentingan keluarga melebihi kepentingan dirinya. Melalui legamnya warna kulit yang diterpa perjuangan di bawah matahari. Melalui dekapan tangan yang menahan rasukan bayu penyebab badan menggigil. Melalu kantuk kantuk yang tertahan melunasi deadline harian. Tanpa perlu kata cinta, ia telah mengandung banyak cinta untuk keluarga.
                Ayah yang selalu berkata, “Tumbuhlah Nak, menjadi apapun yang engkau inginkan. Tebarkan manfaat untuk setiap umat yang kamu temui di jalan. Hiduplah dalam kebermanfaatan untuk sesama!” serangkaian kata cinta yang benar benar terlumuri keikhlasan. Kesejatian cinta yang tak pernah terungkap kata ‘Aku mencintaimu, Nak!’. Namun di sana, dalam pernyataan cinta tanpa kata cinta itu lah ikhlas benar benar ada. Bukankah ikhlas itu baru ada ketika tak pernah terucap? Bukankah hanya dia yang ikhlas yang hanya berbuat tanpa perlu mengucapkannya? Pun dengan cinta yang ikhlas, cinta yang barangkali tak pernah berkata cinta namun berbuat banyak untuk ia yang di cinta tanpa perlu mengucapkannya.
    ^O^
                Air masih menyatakan kepasrahannya pada gravitasi, mengecup tanah dalam rombongan tetes langit penguar petrichor. Selokan asrama telah membanjir terisi penuh aliran air hujan. Benakkupun penuh terisi inspirasi, memaknai lebih dalam tentang berbagi, memperbaiki, serta mencintai. Berbagi kebaikan untuk saling memperbaiki sebagai tindak nyata mencintai.
                Ayah yang berjuang atas nama perbaikan penerus. Berbuat lebih banyak agar generasinya tak seperti dirinya. Merelakan ketakberlakuan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Menyilahkan generasi penerusnya untuk tumbuh bebas sesuai pilihannya tanpa harus terikat persamaan takdir sang induk. Bukankah menjadi hal yang percuma jika generasi baru harus dipaksabentukan menjadi seperti keinginan sang Induk Generasi, membuat yang muda menjadi produk pembentukan yang tua tanpa melihat perkembangan kondisi yang terjadi, sepertinya itu bukan sebuah  tindak bijak.
                Dan terkadang menjadi seorang motivator tak harus dengan dasi  menjulur gagah dibidangnya dada, berjas hitam lalu melantangkan kata semangat. Seorang Ayah yang buta huruf, seorang Ayah yang sederhana pun mampu menjadi seorang motivator hebat. Menebar inspirasi melalui keberdayaannya berupaya.
                Dan terkadang menjadi seorang yang bisa membantu dan menolong sesama tak harus dengan limpahan harta yang terbagikan dalam lengan dermawan. Seorang Ayah penjual nasi goreng, seorang Ayah buruh tani, seorang Ayah tukang becak, juga Ayah Ayah lain yang harus bekerja penuh peluh menghasilkan beberapa lembar ribuan itu memiliki kelapangan hati untuk senantiasa berbagi. Seorang yang dikatakan rakyat kecil namun menyimpan keluasan hati lebih dari bentangan Sabang hingga Merauke.
               


    Keterangan:
    1. Iya Nak! Nduk sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa.
    2. Sedang tidak pakai kubis dan timun ya Nak?
    3. Hayoo melamunkan siapa?
    4. Tidak melamun kok Pak!
    5. Bapak ini bodoh Mbak, makannya hidupnya susah. Bapak tidak mau mereka itu sama seperti Bapak.

  2. 0 comments: