Sekilas
lalu dia hanya lelaki biasa, seorang laki laki penjual nasi goreng yang hanya tahu cara meramu bawang, garam,
dan nasi menjadi sebuah menu masakan seharga delapan ribu rupiah. Seorang laki
laki yang setia di tikungan belakang asrama kampus tempat tinggal saya selama
kuliah. Seorang paruh baya yang biasa saja dimata dunia.
Dan rinai pukul delapan malam
bersamaan kepulangan saya mengampu bimbel sekolah dasar mengantarkan saya untuk
mengenal sosok lelaki itu. Membincangkan beberapa hal yang bermula dari
kebasabasian. Pak Yono, begitu yang tertera dalam brand nasi gorengnya.
“Nasi goreng sedang enggak pakai
kubis sama timun ya Pak.” Pesanku membuka perbincangan kami.
“Nggeh
Nduk.1” Jawab ia sembari meracik bahan mie dog dog untuk dua Ibu
yang mengantri sebelum saya.
Bersama penantian saya menunggu
giliran, sebuah kenangan menggenang dalam benak. Memaksa saya memenjarakan
rindu pada sesosok perantau di negeri tetangga, Ayah.
Sepuluh
tahun ia mengolah lahan negeri tetangga, menanaminya dengan kelapa sawit,
merawat benih benih di sana untuk menyulam biaya pendidikan dan penutupan
kebutuhan keluarga. Bentuk tanggung jawab seorang laki laki agar asap dapur
keluarganya tetap mengepul dan agar mimpi anaknya untuk turut mencerdaskan anak
bangsa tetap berkibar. Sepuluh tahun ia mengolah lahan negeri tetangga,
menanaminya dengan bibit pohon karet, menorehnya ketika telah dewasa demi
mempersilahkan putra putrinya menorehkan prestasi untuk negeri. Ya, di luar negeri
ia merantau. Mengirimi ringgit tiap bulannya semata untuk putra putrinya. Hidup
di luar negeri untuk menghidupi yang di dalam negeri. Hmm Ayah.
“Sedang
mboten kaleh kubis lan timun nggeh Nduk?2” ucap Pak Yono
memastikan pesanan saya. Mengembalikan saya dari alam lamun.
“Enggeh, Pak!” ucapku agak terkaget.
Mengumpulkan ingat tentang kini yang harus dihadapi sambil tak jeda memanjatkan
rapalan doa untuk Ayah di sana.
“Hayoo
nglamunke sinten Nduk?3” goda pak Yono di sela peracikan pesanan
saya.
“Hehe
mboten nglamun kok Pak!4” alihku agak tersipu. “Pak, ini bapak
jualannya sih biasanya habisnya sampai jam berapa?!” lanjutku masih berupaya
mengalihkan.
“Hwah mboten mesti nduk, kalau lagi
rame itu jam dua belas udah habis tapi kalau lagi sepi bisa sampai jam dua baru
habis.”
Adegan itu pun membayang. Seorang
paruh baya dengan sebuah gerobak yang menanti pembeli hingga tengah malam,
berkeliling komplek perumahan untuk menu seharga delapan ribu rupiah. Menahan
dinginnya malam di Solo. Menahan serangan kantuk sebab lama terduduk. Menahan
hasrat pulang sebelum habis barang dagang. Barangkali seperti Ayah yang juga
menahan kerinduannya pada kami selama bertahun tahun. Meniatkan semuanya
berlandas tanggung jawab sebagai seorang pemimpin keluarga.
Dan air bincang itu terus mengalir,
menganakkan banyak tanya dan canda di antara kami. Menjalar lebih dalam dari
sekedar kebasa-basian. Menjamah tentang keluarga yang menunggu kepulangan sang
Pencari Nafkah Keluarga. Seorang istri yang selalu sedia untuk membukakan pintu
meski jam dua dini hari pintu terketuk. Tiga putra yang gagah dengan mimpi
mimpinya. Dengan Sulung di Bandung, mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar di
Universitas Pendidikan Indonesia, merengkuh jalur Bidik Misi sebagai pemulus
jalan pendidikannya. Program beasiswa yang tepat sasaran rupanya. Si Bungsu
yang masih rajin mengeja alfabet ditahun pertamanya sekolah dasar, serta si
Tengah yang mulai sibuk berkegiatan dengan tepuk praja muda karana sekolah
lanjutan tingkat pertamanya. Tiga ksatria harapan bangsa yang kelak akan
mencantumkan nama Pak Yono sebagai Ayahnya penuh rasa bangga.
“Bapak
niki bodo mbak mulo uripe susah. Bapak ndak pengen mereka itu sama seperti
Bapak!5” tutup Pak Yono sembari menyerahkan sebungkus nasi goreng
pesanan saya.
Rinai malam itu memang membuat basah
ujung rok saya yang menjulur hingga bawah mata kaki. Tapi jauh dari ujung rok
yang basah, ada satu syukur yang membanjir merambah ke hati.
Dengan hati basah, transaksi malam
itu tak hanya sekedar sebungkus nasi goreng dengan empat kertas dua ribu
rupiahan. Sebuah ketulusan yang ditularkan nyata dari seorang biasa kepada
saya, ah Pak Yono bukanlah insan biasa lagi, beliau seorang Ayah yang istimewa
sekarang.
Keinginannya sederhana, keengganan
melihat anak anaknya hidup sengsara dan dipandang sebelah mata oleh dunia hanya
sebab ketidaktahuan serta kedangkalan ilmu. Bahkan meski beliau seorang yang
sekolah sampai kelas tiga sekolah dasar, seorang yang dikatakan buta huruf,
seorang yang katanya hanya tahu takaran garam, bawang merah, bawang putih,
merica, minyak, dan nasi yang pas untuk sepiring nasi goreng tek tek. Bagi
saya, Pak Yono telah masuk Ayah Hebat versi saya, merubah dunia dengan
mengawalinya dari keluarga. Tanpa perlu koar koar pada dunia, tanpa perlu
banyak kata, tanpa perlu banyak suara, Pak Yono, juga ayah ayah yang lain telah
mengawali tindak nyata merubah dunia. Mengawali dari hal sederhana dalam
keluarganya.
Dalam kegelapannya menjamah
serangkaian alfabet, dia memiliki obor semangat untuk menerangi jalan anak
anaknya mengeja aksara.
Dalam ketakberdayaannya menghindari
takdir terlahir dari keluarga tak berpunya hingga pendidikan harus terhenti
sebelum kelulusan di jenjang sekolah dasar, ia berhasil tumbuh penuh daya dan
upaya menyulamkan pendidikan untuk putra putranya.
Dalam kekhusu’annya meracik rempah
untuk nasi goreng dan menu sederhana lain, ia pun meramu bumbu penuh asa untuk
asupan cita anaknya. Bumbu cinta tiada tara untuk ketiga keluarganya.
Terkadang tanpa harus banyak kata,
kaum adam satu ini telah mengucap banyak cinta dalam tindak nyata. Ayah.
Melalui peluh yang sering menganak sungai di dahi bidangnya. melalui kerutan
kerutan kening yang tak henti memikirkan kepentingan keluarga melebihi
kepentingan dirinya. Melalui legamnya warna kulit yang diterpa perjuangan di bawah
matahari. Melalui dekapan tangan yang menahan rasukan bayu penyebab badan
menggigil. Melalu kantuk kantuk yang tertahan melunasi deadline harian. Tanpa
perlu kata cinta, ia telah mengandung banyak cinta untuk keluarga.
Ayah yang selalu berkata, “Tumbuhlah
Nak, menjadi apapun yang engkau inginkan. Tebarkan manfaat untuk setiap umat
yang kamu temui di jalan. Hiduplah dalam kebermanfaatan untuk sesama!”
serangkaian kata cinta yang benar benar terlumuri keikhlasan. Kesejatian cinta
yang tak pernah terungkap kata ‘Aku mencintaimu, Nak!’. Namun di sana, dalam
pernyataan cinta tanpa kata cinta itu lah ikhlas benar benar ada. Bukankah
ikhlas itu baru ada ketika tak pernah terucap? Bukankah hanya dia yang ikhlas
yang hanya berbuat tanpa perlu mengucapkannya? Pun dengan cinta yang ikhlas,
cinta yang barangkali tak pernah berkata cinta namun berbuat banyak untuk ia
yang di cinta tanpa perlu mengucapkannya.
^O^
Air masih menyatakan kepasrahannya
pada gravitasi, mengecup tanah dalam rombongan tetes langit penguar petrichor.
Selokan asrama telah membanjir terisi penuh aliran air hujan. Benakkupun penuh
terisi inspirasi, memaknai lebih dalam tentang berbagi, memperbaiki, serta
mencintai. Berbagi kebaikan untuk saling memperbaiki sebagai tindak nyata
mencintai.
Ayah yang berjuang atas nama
perbaikan penerus. Berbuat lebih banyak agar generasinya tak seperti dirinya.
Merelakan ketakberlakuan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.
Menyilahkan generasi penerusnya untuk tumbuh bebas sesuai pilihannya tanpa
harus terikat persamaan takdir sang induk. Bukankah menjadi hal yang percuma
jika generasi baru harus dipaksabentukan menjadi seperti keinginan sang Induk
Generasi, membuat yang muda menjadi produk pembentukan yang tua tanpa melihat
perkembangan kondisi yang terjadi, sepertinya itu bukan sebuah tindak bijak.
Dan terkadang menjadi seorang
motivator tak harus dengan dasi menjulur
gagah dibidangnya dada, berjas hitam lalu melantangkan kata semangat. Seorang
Ayah yang buta huruf, seorang Ayah yang sederhana pun mampu menjadi seorang
motivator hebat. Menebar inspirasi melalui keberdayaannya berupaya.
Dan terkadang menjadi seorang yang
bisa membantu dan menolong sesama tak harus dengan limpahan harta yang
terbagikan dalam lengan dermawan. Seorang Ayah penjual nasi goreng, seorang
Ayah buruh tani, seorang Ayah tukang becak, juga Ayah Ayah lain yang harus
bekerja penuh peluh menghasilkan beberapa lembar ribuan itu memiliki kelapangan
hati untuk senantiasa berbagi. Seorang yang dikatakan rakyat kecil namun
menyimpan keluasan hati lebih dari bentangan Sabang hingga Merauke.
Keterangan:
1.
Iya Nak! Nduk sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa.
2.
Sedang tidak pakai kubis dan timun ya Nak?
3.
Hayoo melamunkan siapa?
4.
Tidak melamun kok Pak!
5.
Bapak ini bodoh Mbak, makannya hidupnya susah. Bapak tidak mau mereka itu sama
seperti Bapak.
0 comments:
Post a Comment