Rss Feed
  1. Bukan Wanita, Tapi Perempuan Dewasa!

    Thursday 27 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Judul : TOKOH (Pemenang Antologi Lomba Bertema “TOKOH”)
    Pengarang : ECA LOVERS
    Ukuran : 14 x 20 cm
    Tebal : vi + 105 hlm
    Harga : 32.000
    Ketik: TOKOH# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
    Kirim ke : 082333535560
    Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.
    Sinopsis:
    Sosok tokoh atau seseorang terkadang mampu membuat diri kita merenung dan menunduk lebih dalam. Mungkin kita jauh lebih beruntung darinya yang harus menghadapi cerita pahit dan susah dalam hidup. Atau sebaliknya kita ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bermakna dengan mengikuti jejaknya dalam hidup yang membahagiakan atau mengambil secuil semangat dari kisahnya.

    Buku ini berisi antologi kisah nyata tentang tokoh yang dikagumi, idola kebanggaan, atau seseorang yang disayangi sehingga menjadi motivator atau inspirator bagi para penulis. Sebuah buku sederhana yang membuka mata kita tentang berartinya sosok tertentu di hidup kita.

    Kita selalu bisa mendapatkan pelajaran dari setiap orang, apakah ia orang baik atau jahat. Kita dapat memetik pelajaran dari orang yang kita temui. Yang baik dari dia menjadi contoh untuk ditiru dan yang tidak baik menjadi contoh untuk tidak diteladani.

    Lewat cerita-cerita penuh hikmah ini, kita akan lebih bisa mengelola hati agar menjadi manusia yang lebih arif dalam memahami makna kehidupan.

    Kontributor:
    Adinda Zetya Salsabila, Annisa Yumna Ulfah, Ayuke Mentari, Desih Sukaesih, Dhya Rahmani, Dini Nurdianti, Dyah Istiani, Eny Lupita Sari, Lela Rahmat, Maftuhatus Sa’diyah, Mitri Komalasari, Nenny Makmun, N. Kirana, Nur Aini, Nuri Fadlilatin, Oktaviani, Putri Ayu Maryam, Putri Larasati Wulandari, Rabiatul Adawiyah, Reni Agustini, Rere Zivago, Risa Rii Leon, Ruhaini, Singgih Prayogi Hidayat, Ulil Latifah, Witri Prasetyo Aji, Yuan Yunita, Yulita Rohman, You Nie Iyyun, Zarratul Ziand Zainia
    .

    Dan ini adalah coretan tinta -Risa- :")


    ^O^
                Kesederhanaan adalah atmosfer yang dikenalkan orang tuaku sejak lahir. Sapaan aroma tanah dan embun dari pucuk pohon adalah sarapanku setiap hari. Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dengan punggung menghadap ke langit. Mengairi sawah dengan tetesan keringat cinta. Malam demi malam mereka rangkai dalam benang benang rajutan mesin jahit. Dan aku mempunyai seorang kakak, tiga tahun lebih tua dariku.
                Dia perempuan, namun untuk ketegarannya seperti laki-laki.
                Menjadi pertama tidak selalu menyenangkan, terlebih untuk sebuah tongkat estafet regenerasi manusia. Ada amanah indah terpasung dipundak. Lebih dari sekedar kata pertama, namun ada sebuah keutamaan atas peran perdana itu. Ing ngarso sung tuladha. Di depan memberikan contoh. Pertamapun demikian. Menjadi teladan bagi adik adiknya. Terdepan mengabarkan. Pertamapun selalu demikian. Menjaga adik adiknya dengan kedisplinan dalam lembutnya akhlak. Dia menjadi contoh terindah untuk refresnsi bertindak. Dia menjadi pembicara dan pendengar terhebat saat dunia tak sempat melirik atau menyediakan telinga bagiku. Bukan menasehati, hanya menemani dan mengerti. Tak pernah menyalahkan ataupun membenarkan, namun mengarahkan kemana harus berjalan atas apa yang terjadi. Saat itu aku lima tahun dan dia delapan tahun.
    ^O^
                Dia masih perempuan, namun lihatlah apa yang dia lakukan pada rambutnya. Cepak, pendek. Memangkas ciri perempuan pada umumnya. Membiarkan tengkuknya terbakar surya karena mengayuh sepeda sepanjang tiga kilo meter setiap senja. Membantu Bunda mengepulkan asap dapur dengan ojek sepeda. Dan lihat pula apa yang dia kenakan. Celana trining siap pensiun di dapur Bunda. Dan apa pula yang dia kerjakan? Dia memanjat genting rumah. Gerakan preventif menyambut musim hujan. Melupakan bahaya gravitasi bumi. Semua hanya demi perlindungan pada penghuni rumah. Mensponsori kenyamanan dalam gubuk sederhana itu. Saat itu aku delapan tahun, dan dia sebelas tahun.
    ^O^
                Dia tetap seorang perempuan, namun lihatlah! Dia begitu sederhana ditengah berkilaunya gadis remaja dalam pubertasnya. Rambutnya mulai sebahu. Kadang tergerai, tak jarang pula terikat oleh karet gelang.  Bukan tergerai penuh kilau hasil rawatan salon. Dia telah cukup indah dengan tetesan air endapan kulit padi. Tidak juga terhias pita pita indah penghias mahkota. Bukan konsumsinya, ucapnya. Dia seperti mawar. Cantik dalam kesederhanaan. Indah dalam ke-apaada-annya. Hanya butuh kelopak dan tangkai tanpa perhiasan bunga lain, dan ia masih tetap mampu menjaga dirinya sebagai seorang perempuan. Menjaga kodratnya untuk mengayomi dengan kelembutan dan kehangatan adab tindak. Menjaga kewajibannya untuk tetap merangkul adik adiknya penuh amanah. Saat itu aku tiga belas tahun, dan dia enam belas tahun.
    ^O^
    Dia bukan wanita, melainkan perempuan dewasa. Kata wanita yang mengandung unsur pengabdian dan mendampingi serta menyenangkan pria. Muatan makna aktif, menuntut hak tak termuat dalam kata wanita. Sehingga wanita harus mengabdi setia pada tugas tugas pria. Suka atau tidak suka, itulah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Namun tidak untuknya, perempuan adalah penjaga keselamatan, pencegah kelenaan pada gravitasi hidup yang sering menjatuhkan.
    Kata ‘sederhana’ memberinya kekayaan hati yang tak terperi. Sekalipun dia terjatuh itu hanya untuk bangkit kembali dengan kekuatan lebih. Bukankah semakin besar tekanan, maka semakin besar pula kekuatan yang dibangun? “Jikapun kau pernah terluka dan hampir mati olehnya, bukankah itu malah akan menguatkanmu?” bisiknya selalu sembari menbelai rambutku.
    Dia menangis tersedu disamping Bunda, aku mengintipnya di balik tirai kamarnya. Menjaga jarak, dan menyembunyikan cinta juga kekhawatiran atas tangisnya dengan rapi. Dia tersakiti oleh jarak yang akan dia jemput dalam rangka mencari ilmu di tanah seberang. Menuruni tanah gunung yang hijau, dan memasuki daerah metro. Lebih dari sekedar urbanisasi, namun menjurus pada proses menyatukan mozaik mimpi mimpi besar dalam raga seratus lima puluh sembilan sentimeter itu. Aku sudah merindu sebelum dia beranjak. Saat itu aku empat belas tahun, dan dia tujuh belas tahun.
    ^O^
                Dia telah menjadi kupu kupu yang bermetamorfosa dari kepompong. Dari seorang gadis lugu, menjadi perempuan dewasa yang berilmu. Perempuan pertama yang mampu memberi contoh adik-adiknya. Perempuan pertama dalam garis keturunan keluarga bernama cemara. Sederhana dan apa adanya. Perempuan yang tanpa lelah berfalseto guna mengajak displin adik adiknya meski sang adik mulai lelah dalam prosesnya. Perempuan yang selalu terbangun pukul dua dini hari. Mengukir sujud di tengah kolaborasi derik serangga malam dan deru mesin jahit. Merapalkan ayat ayat cinta untuk mereka yang terlelap dalam atap rimba sederhana ini. Merangkai selimut keselamatan dan kemudahan dalam langkah langkah di depan mata. Menyusun mimpi-mimpi guna membangunkan mereka yang masih enggan membuka mata. Saat itu aku tujuh belas tahun, dan dia dua puluh tahun.        
    ^O^
                Untuk seorang perempuan di depan laptop yang selalu menyiapkan senyum termanis saat menjumpai orang lain. Membuat mereka yang menatap enggan berpaling.
                Untuk seorang perempuan di depan laptop yang sedang menuliskan syair syair hidupnya dalam guratan kata sederhana penggugah jiwa yang lena.
                Untuk seorang perempuan yang tetap menari meski ombak hidup berkali kali menjatuhkannya.
                Untuk seorang perempuan yang Tuhan takdirkan untuk menjadi panutanku. Perempuan pertama dalam garis keturunan keluargaku. Perempuan pertama yang aku panggil “kakak”. Terima kasih kakakku yang manis dan cerdas J. Cerdas lahir maupun batin. J Semoga rapalan doa kita akan tetap terus saling menghangatkan. Lengan doa yang mampu mengalahkan angkuhnya jarak.         

  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Rabu, 26 Februari 2014

                Pesawat imaji saya bertandang menuju arah jam tiga dari bumi. Hmm perjalanan antariksa pertama
    saya, dan Neptunus resmi menjadi tujuan utama. Pasangan kembar dari Uranus ini tak kalah menarik dari makhluk antariksa lainnya. Bimasakti telah menganugerahi ketiga tetangga ini dengan cincin asteroid yang sangat menunjukkan betapa Tuhanpun menyukai seni. Gaya tarik Maha Keren yang mampu menyusun milyaran partikel debu dan batu berlapis es dalam garis orbit agar tak jatuh membuncah mengenai mata.
                Pijakkan awal saya disambut sebuah gemuruh udara. Tak berwujud namun jelas terasa, tanpa santun mengibarkan jilbab saya. Ya Rabbi, seluruh udara berputar terus menerus. Udara di permukaan yang hangat terus naik lantas ketika sudah dingin akan kembali turun, terserap kembali oleh permukaan Neptunus. Gumpalan gumpalan awan bergerak seiring angin yang melesat cepat, anak anak domba yang diharuskan berlari. Juga sebuah tuan yang tak ramah, penguasa atas gerakan angin cepat ini, si Bintik Gelap Raksasa, paduka dari semua angin cepat, adalah ancaman terbesar pendaratan saya.
                “Saya harus lekas kembali!” batin saya berseru. Memangkas segala ingin untuk sekedar berkeliling daratan Neptunus. Saya harus kembali, menyelamatkan diri dari pusaran badai Neptunus yang enggan berlalu. Aahh baru saya tahu, mengapa Neptunus tak berpenghuni manusia, baru saya paham angin di bumi adalah angin teramah di Bimasakti.Tanpa sempat menyapa Triton, Thalassa, Despina dan rekan rekan sesama pengiring Neptunus lainnya, saya kembali menuju Bumi.
                Seandaianya mereka ke sini, mendarat di Neptunus, diterjang badai bahkan sebelum kaki mengendus tanahnya. Betapa bersyukurnya tinggal di bumi dengan badai pasti berlalunya. Ya, sekencang apapun badai yang melintas di bumi, dia hanya sedang lewat saja, serupa bis dengan halte persinggahannya. Badai badai yang menerjang, segala rupa problematika hidup pasti akan berlalu, karena kita hidup di bumi, bukan di Neptunus. :3
                Terkadang kita lupa, lupa pada pijakan kita yang masih didaratn bumi, lupa pada kebijakan Allah SWT untuk tidak menguji hamba.Nya melebihi kemampuan hamba.Nya hingga menghiasi hidup penuh keluh kesah. Seolah olah semua angin adalah badai tanpa sepoi.
                “Kapan badai akan berlalu?” keluhnya setiap hari.
                Come on! Masihkah kamu akan tertawa dengan lelucon yang sama setelah sepuluh kali mendengarnya? Masihkah kamu akan terbahak dengan satu tayangan warkop yang sama setelah sebelas kali menontonnya? Masihkah kamu akan terpingkal dengan satu tingkah Mr.Bean yang sama setelah dua belas kali menontonnya? Masihkah? Tapi yang sering terjadi kita masih sering diresah galaukan dengan masalah yang sama atau pernah terjadi sebelumnya. :3
                Terkadang kita, tepatnya kita mensugesti diri kita, menyatakan pada diri sendiri tentang sesuatu yang tidak perlu. Meresahkan diri, penggalauan diri yang berlarut sebab masalah yang sebenarnya sudah sering kita temui. Bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan. Kesendirian, keputusasaan, kesepian, kekecewaan, kemarahan, juga hal hal pengundang galau lainnya yang menyiratkan betapa sengsaranya hidup kita. Hal yang sudah biasa namun dipikirkan dengan luar biasa hingga menjadi tekanan tersendiri. Menyalahkan beberapa pihak, mencari kambing hitam, serta memendam magma dalam dalam, siap bererupsi kapan saja. Stop! Please!
                Semua badai di sini pasti akan berlalu! Sebuah janji yang tidak mungkin Allah ingkari. Bahwa Allah SWT tidak akan memberi ujian pada hamba.Nya melebihi batas kemampuan hamba.Nya. Bahwa selalu ada kemudahan setelah kesulitan. Bahwa Allah tidak akan merubah suatu kamu jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya. :”)
                Tak perlu mencari dan menuruti kata kata motivator terbaik di dunia untuk memperoleh motivasi memperbaiki diri. Tak perlu mahal mahal membeli buku setebal setengah meter untuk memiliki inspirasi diri. Sungguh, tak perlu repot repot mengharapkan orang lain untuk memotivasi diri kita. Percayalah, kita lebih bertanggung jawab pada semangat diri kita sendiri. Motivator, keluarga, sahabat dekat, buku buku inspirasi hanya menyumbang sepersekian persen dari seratus persen semangat dan bara api yang kita miliki. Percayalah pada kemampuan diri! Percaya bahwa segala gundah, resah, galau, atau semacamnya yang bertandang kala sepi menyergap adalah cara Allah meminta kita lebih banyak berbicara dengan.Nya sebelum bercurhat ria dengan sesama kita.
                Baiklah, tidak perlu seyakin itu pada saya. Menuntut kalian untuk percaya pada apa yang saya katakan pun tak akan merubah perasaan kalian. Namun, percayalah ketika kalian sudah mengalaminya. Meninggalkan jejak jejak nyata dalam rapal doa. Jejak nyata yang membias di pelupuk mata, meneteskan hangat yang mengalir melalui bukit pipi, lalu mendarat di tanah untuk lenyap dalam lelap penuh senyum. Ya, ada tangis bahagia disana. Bukan sebab apa apa, hanya sebab Ia semata, Sang Maha Besar yang telah manunggal dalam jiwa raga, melebur dalam detak dan debar jantung, dalam arus nadi, juga dalam bibir yang basah merapalkan mantra mengingat asma.Nya :")
                Percayalah setelah mengalami. :”)
                Badai Neptunuspun berseru tanpa henti tentang kebesaran.Nya :”)

  3. Sebersit Mimpi Tentang Arsitek

    Monday 24 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Rabu, 19 Februari 2014
               
                Masih pukul tujuh pagi lebih sedikit, tapi sesosok Maryam sudah bertandang menghampiri saya di asrama, dan saya baru saja mau mandi :D Sebenarnya itu bukan fakta mengejutkan jika tidak ingat bahwa perkuliahan dimulai pukul 11.10 WIB, masih ada empat jam untuk bersiap masuk kelas :D Rabu di semester ini akan menjadi rabu yang istimewa mengalahkan car free day slamet riyadi :D Perkuliahan dimulai siang, dan kuliahnyapun terntang bermain. Ya beginilah enaknya menjadi mahasiswi PG-PAUD, bermainpun dijadikan mata kuliah :D
                Kembali pada sosok Maryam, akhirnya saya ajak dia ke Islamic Book Fair di IT Center Solo, Purwosari. Hari ini memang saya berencana untuk kesana sebelum masuk kuliah. Kira kira pukul 08.00 WIB kami berangkat, berboncengan dengan Vio. Disertai gerimis yang malu malu untuk turun, kami pun menggowes boncengan (saya di depan dan Maryam di belakang). Duh sweet gitu jadinya :D Sesampainya di tkp, kamipun menjadi pengunjung bersepeda onthel yang parkir pertama kali (dan menjadi satu satunya hingga pulang). Memasuki ruang book  fair, kami disambut oleh pintu dengan kata ‘closed’ yang masih melekat. Duhdek! Berkeliling gedung sebentar, niatnya mau mencapai atap gedung terus liat putaran kota Solo gitu tapi berhubung gedungpun masih dalam proses pembangunan, sangat tidak nyaman untuk melakukan hal tersebut (lagian atapnya juga mana? -,- belum jadi sih ya)
                Panggilan alampun datang, cengkrama dari cacing cacing perut yang kelaparan. Kamipun mencari sarapan. Berjalan ke arah timur, dan melenggang santai di depan JackStar, lalu belok ke kiri (ke jalan arah STIMIK Sinus) kami hanya mampu menenangkan perut kami. Fakta bahwa mayoritas tempat makan permanen (bukan Pedagang Kaki Lima) jarang yang buka jam delapan pagi. Melupakan lapar sejenak, kami duduk di kursi taman tepi jalan, fasilitas pemerintah kota Solo di beberapa jalan besar kota. Dalam istirahat sejenak kami, melalui ragam bangunan di sekeliling kami, saya teringat mimpi masa kecil saya, sebuah keinginan untuk menjadi seorang arsitektur. :D
    Yes, I wanna be architect. Oh my childhood. Berawal dari permainan sederhana dengan tanah liat, saya mulai menyusun mimpi itu. Bukan dengan belajar sungguh sungguh untuk nilai raport full angka sembilan, masa sekolah dasar saya terlalu suram jika hanya untuk mendapat nilai sembilan dalam raport. :D Bersama rekan rekan, saya selalu menjadi proklamator bermain rumah rumahan :D Bukan dengan membangun rumah kardus dan berperan menjadi ayah, ibu, adik, kakak atau semacamnya. Bermain rumah rumahan bagi saya dan rekan sekolah dasara saya adalah tentang mencari lahan cukup luas dengan tanah yang bisa di kikir menjadi serbuk halus, lalu membentuknya menjadi sekat sekat ruang sebuah rumah, menata beberapa butir batu menjadi perabot rumah tangga, bungkus korek api bergambar kucing menjadi lemari pakaian, bungkus korek api bergambar kupu kupu menjadi televisi, bungkus rokok menjadi sebuah tempat tidur, dan wajah wajah kartun dari kertas menjadi avatar diri. Sebuah kompleks perumahan selalu terbentuk saat istirahat pertama di halaman sekolah kami, diramaikan oleh beberapa pasar kecil dan sekotak lapangan karya bersama. Manis sekali. Avatar diri pun siap menjadi wayang kertas yang kami mainkan, setiap peserta dalam permaianan kami memiliki peran dan avatarnya masing masing. Sebab Avatar saya yang charming :D gadis bule berkepang dua dengan poni ala Cleoptra, saya menjadi anak kedua dari sebuah keluarga bahagia. :D Setidaknya dalam permaianan ini saya berkesempatan memiliki kakak :D Untuk Ayah selalu dipernakan oleh seorang dalam imaji, Ayah sibuk diluar kota dan sering melewatkan masakan Bunda yang penuh cinta. Ketiadaan sosok Ayah di alam permainan kami, sebab avatar dalam wayang kertas kami memang jarang yang menyediakan sosok laki laki. Bisa dikatakan 1 : 100 gitulah. Tapi tenang, sebab nyatanya mereka (bocah laki laki) di kelas kami, kerap turut berpartisipasi dengan kami. Membangun area balapan, lapangan, juga beberapa gedung bertingkat. Dan tetep dari tanah.
                Berawal dari kerukan tanah, pembentukan sekat sekat ruang, pembagian peran pembangunan kota
    bersama, berinteraksi melalui avatar, menjaga komplek rumah dari injakan makhluk makhluk raksasa (ayam, bebek, orang dewasa, juga yang lainnya), kemudian dakhiri kasus meratakan kota kembali, memasukan perabot rumah tangga dan kebutuhan kota ke dalam kantong ajaib (bisa saku seragam, tempat pencil, atau kresek hitam). Kami menikmati semua tahap dalam permainan itu. Bekerja sama, menerima peran tugas, tanggung jawab, kejujuran (setidaknya tidak saling mengambil barang yang bukan miliknya), kepedulian (bergantian ke kantin dan membiarkan sebagian membangun kota). Dan miniatur ‘wonderfullandd’ kami, masih berdiri di sana, di tanah lapang bawah pohon mangga depan kelas tiga Sekolah Dasar Pagedangan, berdiri kokoh dalam ruang kerajaan kenangan saya.
                “Yam, dulu aku kan pernah pengen jadi arsitek!” celetukku tiba tiba. Menyapu pandang pada ragam bangunan di sekitar kami. Di depan kami, sebuah bangunan dalam kemasan ala Belanda. Berdinding kokoh, dengan jendela dan pintu besar serta bangunan yang tidak terlalu tinggi. Hmm saya tidak bisa menggambarkan dengan tepat, :v. Intinya banyaknya bangunan, entah itu rumah pribadi, ruko, salon kencantikan, butik batik, juga bangunan umum di Solo (khususnya) banyak yang menarik pandang saya.
               
    Mari menyusuri daerah Gilingan ke arah kampus UNS (Sindurejo, Banjarsari), juga di daerah depan SMANSA dan SMANDA (Coyudan) Solo, tak ketinggalan Mangkubumen disana masih banyak sejenis rumah warga belanda/ bangsawan abad 18 yang ada di buku buku sejarah. Benteng benteng di Solo yang masih malang, ditumbuhi ilalang dan rerumputan penuh kemerdekaan. Pusat pusat perbelanjaan yang masih mengusung sisi tradisional Kota Solo (Pasar Gedhe, Pasar Legi, Pasar Gembelkan, Pasar Klewer, dll). Dua dinding kokoh sepanjang sapit urang yang saya yakin mengandung ragam kenangan, ah ya bisa jadi dia lah salah satu saksi mati atas sebuah kehidupan keraton Surakarta. Putaran Laweyan, sebagai gudangnya seni batik, dari pabrik hingga butik ramai di kanan kiri jalan, tertata apik dengan ragam artistik menarik para pembeli atau sekedar pengunjung :v. Patung patung yang gagah berani membelah banyak jalan menjadi perempatan perempatan besar (di Jalan Slamet Riyadi, Tipes). Dan yang tak kalah menariknya Monumen Pers Nasional. Sepanjang mata ini tak terpejam, selalu saja saya dibuat kagum habis habisan oleh para perancang desain bangunan (plus pekerja yang membangunnya tentu). Lalu klimaks atas ragam kekaguman itu, ialah kecanggihan desain yang Allah ciptakan untuk manusia, bumi dalam sistem tata surya atau bumi dalam rotasinya.
                Bagaimana benua benua itu terbentuk. Pulau pulau membentuk selat, tanjung, pantai, bukit, gunung. Bagaimana alam berkonspirasi dalam siklus air, kecanggihan  stomata memasak karbondioksida menjadi
    udara bebas hirup untuk manusia. Ah Subhanallah sekali Dia. Arsitek Maha Keren. Menjadi seorang yang turut andil dalam sebuah perencanaan dan perancangan lingkup binaan guna mewadahi kegiatan manusia, itu keren. Meski hanya sempat memimpikan menjadi arsitek, namun saya bersyukur atas kegaguman yang singgah untuk arsitek. Dan saya nyata kini hanya menjadi penikmat kesatuan prinsip estetika bersama keseimbangan, keserasian, irama dalam rak rak manifestasi nilai seni yang juga hasil rekayasa teknologi penjamin keselamatan jiwa raga penggunanya, ah ya lingkup arsitek menjadi begitu kompleks jika dikaitkan dengan aspek kemanusiaannya, dari segi psikologi, sosiologi, antropologi, filasafat, hingga ekonomi.
              
    Hmm menghela nafas panjang, menikmati helaan jaman dalam sebuah pejam yang memurnikan ragam kenangan. Negeri ini sudah tumbuh kian jauh dari penjajahan raga, namun kian dekat saja pada penjajahan karakter. Bangunan bangunan itu, rancangan rancangan masa lalu yang belum tergusur globalisasi hanya mampu diam. Hening merapal doa semoga tidak tergusur, setidaknya dibiarkan roboh sendiri itu lebih beruntung dibanding digusur tangan penuh peluh asing.
               
     

  4. Penyebab Tangisku, Kamu!

    Monday 17 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Selasa, 18 Februari 2014



                “Ada yang lebih efektif memproduksi air mata dibanding irisan bawang, kamu!” posting saya untuk sebuah update sosial media. Benar, saat itu nyata saya memang sedang menangis sebab seseorang. :D
                Dan tak beberapa lama setelah itu, dua rekan saya memberi komentar menguatkan. Berharap saya tidak menangis dan dilanda GALAU! Haha sungguh, air mata saya kian membuncah. Menyekanya teriring derai tawa. Saya memang menangis, mengeluarkan air mata hingga membasahi bantal, membuang beberapa tissu, dan menyisakan rona merah di kornea saya. Tapi jujur, itu bukan air mata kesedihan, juga bukan bentuk lain dari amarah, itu air mata syukur. Sebuah syukur sebab telah bertemu banyak hal, dan dari sekian banyak hal ada ‘kamu’ disana. Seorang yang masih setia mendoakan saya untuk kelak diberi jalan untuk saling melengkapi bersama. Seorang ‘kamu’ yang masih setia saya mohonkan Allah untuk menjaganya.
                Hmm saya paham tentang komentar dari saudari tersayang saya itu, mereka hanya sedang berfikir bahwa saya sedang menangis dan butuh penguatan. Sebab mereka masih mengira, bahwa menangis (sebuah aktivitas mata untuk memproduksi air mata/ mengalirkan air mata) identik dengan kelemahan, cengeng, dan hal hal lain yang mengacu pada label kerapuhan.
                Benarkah demikian? Bagi saya, alasan Allah menciptakan air mata tak melulu perkara lambang kerapuhan. Coba kita sedikit flasback, pada kenangan mengalirkan air mata, sebuah aliran aneh yang berhulu di pelupuk mata. Bukankah ada banyak ragam alasan kita mengeluarkan air mata? Membaca kisah hidup seseorang, mengenang masa lalu, mendengar pernyataan seseorang, melihat penderitaan orang, bahkan mendengar kabar yang sangat membuat bahagiapun kadang air mata bergulir tanpa permisi, dan parahnya gas volatil pada bawang yang telah bereaksi dengan udara sehingga menjadi sulphuric acid pun mampu membuat kita benar benar termewek mewek tanpa kaitan dengan suasana hati.
                Terbukti bahwa sejatinya air mata diciptakan tak semata untuk label kerapuhan, ada banyak guna disana. Dari segala rupa suasana hati, sebuah refleksi dari ragam rasa yang mengahampiri, wujud ekspresi kebahagiaan, kesedihan, keterharuan, kekecewaan, kemarahan, kerinduan, dan masih banyak lainnya. Juga tentang perlindungan diri sebuah kornea, sebab saraf mata yang sensitif dan akan teriritasi jika terkena sulphuric acid sehingga terangsang untuk memproduksi air mata tanpa peduli suasana.
                Dan salahkan dengan aktivitas menangis sehingga harus dihentikan dan dilarang?
                Keterkaitan mata dan rasa, dimana air mata sebagai pintu dari ragam pendaman rasa, saya sangat memperbolehkan seseorang untuk menangis. Silahkah menangis, laki laki maupun perempuan tak jadi soal. Laki laki tidak akan kehilangan apapun ketika dia menangis, bahkan dia akan semakin lengkap menjadi manusia. Perempuanpun tidak akan kehilangan ketegarannya hanya sebab menangis, malah akan nampaklah kekuatannya yang sebenarnya. Menangislah, bukan untuk minta dipahami, namun menangislah sebab kamu memahami. Memahami akan apa yang sebenarnya terjadi. Memahami kepada siapa harus berserah diri. Memahami tempat tepat untuk menunjukkan kepasrahan sejati. Ya, Allah SWT semata. Menangislah sebab kita paham akan segala hikmah yang bertebaran dalam tiap perkara. Menangislah sebab kita paham rapalan doa akan merajutkan sajadah tempat bersujud kita. Dan menangislah sebab kita paham Allahlah satu satunya Dzat tepat untuk kita bersandar.
                Ya, sekali kali tak apa memanjakan mata untuk menangis, namun bersama tetesan air mata itu, buktikan bahwa kamu sedang mengumpulkan batu bata iman untukmu berpijak kemudian. Sebuah percaya akan kebesaran.Nya. Bahwa Allah selalu lebih besar dan berkuasa  dari apapun yang dihadapi.
                Dan pernahkan kita meneteskan air mata saat mendengar ayat ayat.Nya?
                Pernahkah kita meneteskan air mata saat mengingat alam mahsyar dan hari hisab, atau sekedar membayangkan siksa neraka?
                Subhanallah, jika pernah, air mata itu adalah air mata termahal di dunia. Sebab melalui air mata itu, Allah akan melindungi kita pada hari yang saat itu tiada perlindungan kecuali  perlindungan.Nya.
                “Ada tujuh golongan yang dilindungi Allah SWT pada hari yang saat itu tiada perlindungan kecuali perlindungan_Nya.(Dan salah satunya dia adalah)seseorang yang mengingat Allahdalam kesendirianya,lalu berlinanglah air matanya”
                Diperkuat dalam salah satu hadist riwayat Imam  Tirmidzi.
                “Dua mata yang tidak akan pernah tersentuh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut pada Allah dan mata yang selalu terjaa di jalan Allah.”
                Menangis pun tak hanya menjadi aktivitas fisik manusia, namun ia juga sebuah manifestasi dari Kemahalembutan Allah SWT. Berbahagialah mereka yang selalu menyebutkan asma Allah setiap mengalirkan air mata.
                Kali ini, dalam linangan saya, ada ‘kamu’ yang hilir mudik membersamai rapal syukur saya.
                Sangat bersyukur bertemu dengan kamu, saudariku :”)
                Kamu yang selalu mengajak saya untuk lebih kuat dan tegar.
                Kamu yang selalu membantu saya untuk bangun saat terjatuh.
                Sangat bersyukur bertemu dengan kamu, rekan dengan ragam karakter :”)
                Kamu yang selalu mengajarkan makna keragaman tanpa membedakan.
                Kamu yang selalu mengajarkan membuat makna setiap harinya.
                Sangat bersyukur bertemu kamu, adikku sayaang :”)
                Kamu yang selalu memberikan kepingan semangat empat limamu.
                Kamu yang selalu mengulumkan senyum ramahmu.
                Sangat bersyukur bertemu kamu, seorang yang masih ku simpan baik baik di sela doa.
                Kamu yang selalu menjadi refleksi pada cermin masa depan.
                Kamu yang selalu menghangatkan melalui lengan doa.
                Juga kamu yang selalu memberi inspirasi tiada henti. :”)
                Dalam linangan ini, saya hanya sedang bersyukur atas kejutan dan keajaiban yang Allah pertemukan dengan saya sehingga kamu dan saya mampu bersua. Saya sedang bersyukur, sebab diajarkan banyak hal dalam rencana rencana.Nya yang jauh dari duga. Maka biarkanlah saya menangis :”)
                Lantas, ketika cobaan datang menyesakkan dada kita tidak menangis, melihat kepedihan orang lalu mencoba berempati seolah kitalah yang menanggung kepedihan itu namun tetap tak berair mata, tepatkan itu sebagai bukti kehebatan dan ketegaran?
                May be, its right, kembali dari kacamata mana kita melihatnya, hanya saja pernah kah kita menanyakan tentang kelembutan hati  kita? :”) Dan saya masih tetap tidak menolak untuk menemanimu menangis, bahuku memang kecil, namun saya akan menyediakan hati yang besar untuk menemanimu menangis. :”)