Rss Feed
  1. Sebersit Mimpi Tentang Arsitek

    Monday, 24 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Rabu, 19 Februari 2014
               
                Masih pukul tujuh pagi lebih sedikit, tapi sesosok Maryam sudah bertandang menghampiri saya di asrama, dan saya baru saja mau mandi :D Sebenarnya itu bukan fakta mengejutkan jika tidak ingat bahwa perkuliahan dimulai pukul 11.10 WIB, masih ada empat jam untuk bersiap masuk kelas :D Rabu di semester ini akan menjadi rabu yang istimewa mengalahkan car free day slamet riyadi :D Perkuliahan dimulai siang, dan kuliahnyapun terntang bermain. Ya beginilah enaknya menjadi mahasiswi PG-PAUD, bermainpun dijadikan mata kuliah :D
                Kembali pada sosok Maryam, akhirnya saya ajak dia ke Islamic Book Fair di IT Center Solo, Purwosari. Hari ini memang saya berencana untuk kesana sebelum masuk kuliah. Kira kira pukul 08.00 WIB kami berangkat, berboncengan dengan Vio. Disertai gerimis yang malu malu untuk turun, kami pun menggowes boncengan (saya di depan dan Maryam di belakang). Duh sweet gitu jadinya :D Sesampainya di tkp, kamipun menjadi pengunjung bersepeda onthel yang parkir pertama kali (dan menjadi satu satunya hingga pulang). Memasuki ruang book  fair, kami disambut oleh pintu dengan kata ‘closed’ yang masih melekat. Duhdek! Berkeliling gedung sebentar, niatnya mau mencapai atap gedung terus liat putaran kota Solo gitu tapi berhubung gedungpun masih dalam proses pembangunan, sangat tidak nyaman untuk melakukan hal tersebut (lagian atapnya juga mana? -,- belum jadi sih ya)
                Panggilan alampun datang, cengkrama dari cacing cacing perut yang kelaparan. Kamipun mencari sarapan. Berjalan ke arah timur, dan melenggang santai di depan JackStar, lalu belok ke kiri (ke jalan arah STIMIK Sinus) kami hanya mampu menenangkan perut kami. Fakta bahwa mayoritas tempat makan permanen (bukan Pedagang Kaki Lima) jarang yang buka jam delapan pagi. Melupakan lapar sejenak, kami duduk di kursi taman tepi jalan, fasilitas pemerintah kota Solo di beberapa jalan besar kota. Dalam istirahat sejenak kami, melalui ragam bangunan di sekeliling kami, saya teringat mimpi masa kecil saya, sebuah keinginan untuk menjadi seorang arsitektur. :D
    Yes, I wanna be architect. Oh my childhood. Berawal dari permainan sederhana dengan tanah liat, saya mulai menyusun mimpi itu. Bukan dengan belajar sungguh sungguh untuk nilai raport full angka sembilan, masa sekolah dasar saya terlalu suram jika hanya untuk mendapat nilai sembilan dalam raport. :D Bersama rekan rekan, saya selalu menjadi proklamator bermain rumah rumahan :D Bukan dengan membangun rumah kardus dan berperan menjadi ayah, ibu, adik, kakak atau semacamnya. Bermain rumah rumahan bagi saya dan rekan sekolah dasara saya adalah tentang mencari lahan cukup luas dengan tanah yang bisa di kikir menjadi serbuk halus, lalu membentuknya menjadi sekat sekat ruang sebuah rumah, menata beberapa butir batu menjadi perabot rumah tangga, bungkus korek api bergambar kucing menjadi lemari pakaian, bungkus korek api bergambar kupu kupu menjadi televisi, bungkus rokok menjadi sebuah tempat tidur, dan wajah wajah kartun dari kertas menjadi avatar diri. Sebuah kompleks perumahan selalu terbentuk saat istirahat pertama di halaman sekolah kami, diramaikan oleh beberapa pasar kecil dan sekotak lapangan karya bersama. Manis sekali. Avatar diri pun siap menjadi wayang kertas yang kami mainkan, setiap peserta dalam permaianan kami memiliki peran dan avatarnya masing masing. Sebab Avatar saya yang charming :D gadis bule berkepang dua dengan poni ala Cleoptra, saya menjadi anak kedua dari sebuah keluarga bahagia. :D Setidaknya dalam permaianan ini saya berkesempatan memiliki kakak :D Untuk Ayah selalu dipernakan oleh seorang dalam imaji, Ayah sibuk diluar kota dan sering melewatkan masakan Bunda yang penuh cinta. Ketiadaan sosok Ayah di alam permainan kami, sebab avatar dalam wayang kertas kami memang jarang yang menyediakan sosok laki laki. Bisa dikatakan 1 : 100 gitulah. Tapi tenang, sebab nyatanya mereka (bocah laki laki) di kelas kami, kerap turut berpartisipasi dengan kami. Membangun area balapan, lapangan, juga beberapa gedung bertingkat. Dan tetep dari tanah.
                Berawal dari kerukan tanah, pembentukan sekat sekat ruang, pembagian peran pembangunan kota
    bersama, berinteraksi melalui avatar, menjaga komplek rumah dari injakan makhluk makhluk raksasa (ayam, bebek, orang dewasa, juga yang lainnya), kemudian dakhiri kasus meratakan kota kembali, memasukan perabot rumah tangga dan kebutuhan kota ke dalam kantong ajaib (bisa saku seragam, tempat pencil, atau kresek hitam). Kami menikmati semua tahap dalam permainan itu. Bekerja sama, menerima peran tugas, tanggung jawab, kejujuran (setidaknya tidak saling mengambil barang yang bukan miliknya), kepedulian (bergantian ke kantin dan membiarkan sebagian membangun kota). Dan miniatur ‘wonderfullandd’ kami, masih berdiri di sana, di tanah lapang bawah pohon mangga depan kelas tiga Sekolah Dasar Pagedangan, berdiri kokoh dalam ruang kerajaan kenangan saya.
                “Yam, dulu aku kan pernah pengen jadi arsitek!” celetukku tiba tiba. Menyapu pandang pada ragam bangunan di sekitar kami. Di depan kami, sebuah bangunan dalam kemasan ala Belanda. Berdinding kokoh, dengan jendela dan pintu besar serta bangunan yang tidak terlalu tinggi. Hmm saya tidak bisa menggambarkan dengan tepat, :v. Intinya banyaknya bangunan, entah itu rumah pribadi, ruko, salon kencantikan, butik batik, juga bangunan umum di Solo (khususnya) banyak yang menarik pandang saya.
               
    Mari menyusuri daerah Gilingan ke arah kampus UNS (Sindurejo, Banjarsari), juga di daerah depan SMANSA dan SMANDA (Coyudan) Solo, tak ketinggalan Mangkubumen disana masih banyak sejenis rumah warga belanda/ bangsawan abad 18 yang ada di buku buku sejarah. Benteng benteng di Solo yang masih malang, ditumbuhi ilalang dan rerumputan penuh kemerdekaan. Pusat pusat perbelanjaan yang masih mengusung sisi tradisional Kota Solo (Pasar Gedhe, Pasar Legi, Pasar Gembelkan, Pasar Klewer, dll). Dua dinding kokoh sepanjang sapit urang yang saya yakin mengandung ragam kenangan, ah ya bisa jadi dia lah salah satu saksi mati atas sebuah kehidupan keraton Surakarta. Putaran Laweyan, sebagai gudangnya seni batik, dari pabrik hingga butik ramai di kanan kiri jalan, tertata apik dengan ragam artistik menarik para pembeli atau sekedar pengunjung :v. Patung patung yang gagah berani membelah banyak jalan menjadi perempatan perempatan besar (di Jalan Slamet Riyadi, Tipes). Dan yang tak kalah menariknya Monumen Pers Nasional. Sepanjang mata ini tak terpejam, selalu saja saya dibuat kagum habis habisan oleh para perancang desain bangunan (plus pekerja yang membangunnya tentu). Lalu klimaks atas ragam kekaguman itu, ialah kecanggihan desain yang Allah ciptakan untuk manusia, bumi dalam sistem tata surya atau bumi dalam rotasinya.
                Bagaimana benua benua itu terbentuk. Pulau pulau membentuk selat, tanjung, pantai, bukit, gunung. Bagaimana alam berkonspirasi dalam siklus air, kecanggihan  stomata memasak karbondioksida menjadi
    udara bebas hirup untuk manusia. Ah Subhanallah sekali Dia. Arsitek Maha Keren. Menjadi seorang yang turut andil dalam sebuah perencanaan dan perancangan lingkup binaan guna mewadahi kegiatan manusia, itu keren. Meski hanya sempat memimpikan menjadi arsitek, namun saya bersyukur atas kegaguman yang singgah untuk arsitek. Dan saya nyata kini hanya menjadi penikmat kesatuan prinsip estetika bersama keseimbangan, keserasian, irama dalam rak rak manifestasi nilai seni yang juga hasil rekayasa teknologi penjamin keselamatan jiwa raga penggunanya, ah ya lingkup arsitek menjadi begitu kompleks jika dikaitkan dengan aspek kemanusiaannya, dari segi psikologi, sosiologi, antropologi, filasafat, hingga ekonomi.
              
    Hmm menghela nafas panjang, menikmati helaan jaman dalam sebuah pejam yang memurnikan ragam kenangan. Negeri ini sudah tumbuh kian jauh dari penjajahan raga, namun kian dekat saja pada penjajahan karakter. Bangunan bangunan itu, rancangan rancangan masa lalu yang belum tergusur globalisasi hanya mampu diam. Hening merapal doa semoga tidak tergusur, setidaknya dibiarkan roboh sendiri itu lebih beruntung dibanding digusur tangan penuh peluh asing.
               
     

  2. 0 comments: