Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Yes, I wanna be architect. Oh my
childhood. Berawal dari permainan sederhana dengan tanah liat, saya mulai
menyusun mimpi itu. Bukan dengan belajar sungguh sungguh untuk nilai raport
full angka sembilan, masa sekolah dasar saya terlalu suram jika hanya untuk
mendapat nilai sembilan dalam raport. :D Bersama rekan rekan, saya selalu
menjadi proklamator bermain rumah rumahan :D Bukan dengan membangun rumah
kardus dan berperan menjadi ayah, ibu, adik, kakak atau semacamnya. Bermain
rumah rumahan bagi saya dan rekan sekolah dasara saya adalah tentang mencari
lahan cukup luas dengan tanah yang bisa di kikir menjadi serbuk halus, lalu
membentuknya menjadi sekat sekat ruang sebuah rumah, menata beberapa butir batu
menjadi perabot rumah tangga, bungkus korek api bergambar kucing menjadi lemari
pakaian, bungkus korek api bergambar kupu kupu menjadi televisi, bungkus rokok
menjadi sebuah tempat tidur, dan wajah wajah kartun dari kertas menjadi avatar
diri. Sebuah kompleks perumahan selalu terbentuk saat istirahat pertama di
halaman sekolah kami, diramaikan oleh beberapa pasar kecil dan sekotak lapangan
karya bersama. Manis sekali. Avatar diri pun siap menjadi wayang kertas yang
kami mainkan, setiap peserta dalam permaianan kami memiliki peran dan avatarnya
masing masing. Sebab Avatar saya yang charming :D gadis bule berkepang dua
dengan poni ala Cleoptra, saya menjadi anak kedua dari sebuah keluarga bahagia.
:D Setidaknya dalam permaianan ini saya berkesempatan memiliki kakak :D Untuk
Ayah selalu dipernakan oleh seorang dalam imaji, Ayah sibuk diluar kota dan
sering melewatkan masakan Bunda yang penuh cinta. Ketiadaan sosok Ayah di alam
permainan kami, sebab avatar dalam wayang kertas kami memang jarang yang
menyediakan sosok laki laki. Bisa dikatakan 1 : 100 gitulah. Tapi tenang, sebab
nyatanya mereka (bocah laki laki) di kelas kami, kerap turut berpartisipasi
dengan kami. Membangun area balapan, lapangan, juga beberapa gedung bertingkat.
Dan tetep dari tanah.
Mari menyusuri daerah Gilingan ke
arah kampus UNS (Sindurejo, Banjarsari), juga di daerah depan SMANSA dan SMANDA
(Coyudan) Solo, tak ketinggalan Mangkubumen disana masih banyak sejenis rumah
warga belanda/ bangsawan abad 18 yang ada di buku buku sejarah. Benteng benteng
di Solo yang masih malang, ditumbuhi ilalang dan rerumputan penuh kemerdekaan.
Pusat pusat perbelanjaan yang masih mengusung sisi tradisional Kota Solo (Pasar
Gedhe, Pasar Legi, Pasar Gembelkan, Pasar Klewer, dll). Dua dinding kokoh
sepanjang sapit urang yang saya yakin mengandung ragam kenangan, ah ya bisa
jadi dia lah salah satu saksi mati atas sebuah kehidupan keraton Surakarta.
Putaran Laweyan, sebagai gudangnya seni batik, dari pabrik hingga butik ramai
di kanan kiri jalan, tertata apik dengan ragam artistik menarik para pembeli
atau sekedar pengunjung :v. Patung patung yang gagah berani membelah banyak
jalan menjadi perempatan perempatan besar (di Jalan Slamet Riyadi, Tipes). Dan
yang tak kalah menariknya Monumen Pers Nasional. Sepanjang mata ini tak
terpejam, selalu saja saya dibuat kagum habis habisan oleh para perancang
desain bangunan (plus pekerja yang membangunnya tentu). Lalu klimaks atas ragam
kekaguman itu, ialah kecanggihan desain yang Allah ciptakan untuk manusia, bumi
dalam sistem tata surya atau bumi dalam rotasinya.
Hmm menghela nafas panjang, menikmati helaan jaman dalam sebuah pejam yang memurnikan ragam kenangan. Negeri ini sudah tumbuh kian jauh dari penjajahan raga, namun kian dekat saja pada penjajahan karakter. Bangunan bangunan itu, rancangan rancangan masa lalu yang belum tergusur globalisasi hanya mampu diam. Hening merapal doa semoga tidak tergusur, setidaknya dibiarkan roboh sendiri itu lebih beruntung dibanding digusur tangan penuh peluh asing.
Rabu,
19 Februari 2014
Masih pukul tujuh pagi lebih
sedikit, tapi sesosok Maryam sudah bertandang menghampiri saya di asrama, dan
saya baru saja mau mandi :D Sebenarnya itu bukan fakta mengejutkan jika tidak
ingat bahwa perkuliahan dimulai pukul 11.10 WIB, masih ada empat jam untuk
bersiap masuk kelas :D Rabu di semester ini akan menjadi rabu yang istimewa
mengalahkan car free day slamet riyadi :D Perkuliahan dimulai siang, dan
kuliahnyapun terntang bermain. Ya beginilah enaknya menjadi mahasiswi PG-PAUD,
bermainpun dijadikan mata kuliah :D
Kembali pada sosok Maryam, akhirnya
saya ajak dia ke Islamic Book Fair di IT Center Solo, Purwosari. Hari ini
memang saya berencana untuk kesana sebelum masuk kuliah. Kira kira pukul 08.00
WIB kami berangkat, berboncengan dengan Vio. Disertai gerimis yang malu malu
untuk turun, kami pun menggowes boncengan (saya di depan dan Maryam di
belakang). Duh sweet gitu jadinya :D Sesampainya di tkp, kamipun menjadi
pengunjung bersepeda onthel yang parkir pertama kali (dan menjadi satu satunya
hingga pulang). Memasuki ruang book
fair, kami disambut oleh pintu dengan kata ‘closed’ yang masih melekat.
Duhdek! Berkeliling gedung sebentar, niatnya mau mencapai atap gedung terus
liat putaran kota Solo gitu tapi berhubung gedungpun masih dalam proses
pembangunan, sangat tidak nyaman untuk melakukan hal tersebut (lagian atapnya
juga mana? -,- belum jadi sih ya)
Panggilan alampun datang, cengkrama
dari cacing cacing perut yang kelaparan. Kamipun mencari sarapan. Berjalan ke
arah timur, dan melenggang santai di depan JackStar, lalu belok ke kiri (ke
jalan arah STIMIK Sinus) kami hanya mampu menenangkan perut kami. Fakta bahwa
mayoritas tempat makan permanen (bukan Pedagang Kaki Lima) jarang yang buka jam
delapan pagi. Melupakan lapar sejenak, kami duduk di kursi taman tepi jalan,
fasilitas pemerintah kota Solo di beberapa jalan besar kota. Dalam istirahat
sejenak kami, melalui ragam bangunan di sekeliling kami, saya teringat mimpi
masa kecil saya, sebuah keinginan untuk menjadi seorang arsitektur. :D
Berawal dari kerukan tanah,
pembentukan sekat sekat ruang, pembagian peran pembangunan kota
bersama,
berinteraksi melalui avatar, menjaga komplek rumah dari injakan makhluk makhluk
raksasa (ayam, bebek, orang dewasa, juga yang lainnya), kemudian dakhiri kasus
meratakan kota kembali, memasukan perabot rumah tangga dan kebutuhan kota ke
dalam kantong ajaib (bisa saku seragam, tempat pencil, atau kresek hitam). Kami
menikmati semua tahap dalam permainan itu. Bekerja sama, menerima peran tugas,
tanggung jawab, kejujuran (setidaknya tidak saling mengambil barang yang bukan
miliknya), kepedulian (bergantian ke kantin dan membiarkan sebagian membangun
kota). Dan miniatur ‘wonderfullandd’ kami, masih berdiri di sana, di tanah
lapang bawah pohon mangga depan kelas tiga Sekolah Dasar Pagedangan, berdiri
kokoh dalam ruang kerajaan kenangan saya.
“Yam, dulu aku kan pernah pengen
jadi arsitek!” celetukku tiba tiba. Menyapu pandang pada ragam bangunan di
sekitar kami. Di depan kami, sebuah bangunan dalam kemasan ala Belanda.
Berdinding kokoh, dengan jendela dan pintu besar serta bangunan yang tidak
terlalu tinggi. Hmm saya tidak bisa menggambarkan dengan tepat, :v. Intinya
banyaknya bangunan, entah itu rumah pribadi, ruko, salon kencantikan, butik
batik, juga bangunan umum di Solo (khususnya) banyak yang menarik pandang saya.
Bagaimana benua benua itu terbentuk.
Pulau pulau membentuk selat, tanjung, pantai, bukit, gunung. Bagaimana alam
berkonspirasi dalam siklus air, kecanggihan
stomata memasak karbondioksida menjadi
udara bebas hirup untuk manusia. Ah Subhanallah sekali Dia. Arsitek Maha Keren. Menjadi seorang yang turut andil dalam sebuah perencanaan dan perancangan lingkup binaan guna mewadahi kegiatan manusia, itu keren. Meski hanya sempat memimpikan menjadi arsitek, namun saya bersyukur atas kegaguman yang singgah untuk arsitek. Dan saya nyata kini hanya menjadi penikmat kesatuan prinsip estetika bersama keseimbangan, keserasian, irama dalam rak rak manifestasi nilai seni yang juga hasil rekayasa teknologi penjamin keselamatan jiwa raga penggunanya, ah ya lingkup arsitek menjadi begitu kompleks jika dikaitkan dengan aspek kemanusiaannya, dari segi psikologi, sosiologi, antropologi, filasafat, hingga ekonomi.
udara bebas hirup untuk manusia. Ah Subhanallah sekali Dia. Arsitek Maha Keren. Menjadi seorang yang turut andil dalam sebuah perencanaan dan perancangan lingkup binaan guna mewadahi kegiatan manusia, itu keren. Meski hanya sempat memimpikan menjadi arsitek, namun saya bersyukur atas kegaguman yang singgah untuk arsitek. Dan saya nyata kini hanya menjadi penikmat kesatuan prinsip estetika bersama keseimbangan, keserasian, irama dalam rak rak manifestasi nilai seni yang juga hasil rekayasa teknologi penjamin keselamatan jiwa raga penggunanya, ah ya lingkup arsitek menjadi begitu kompleks jika dikaitkan dengan aspek kemanusiaannya, dari segi psikologi, sosiologi, antropologi, filasafat, hingga ekonomi.
Hmm menghela nafas panjang, menikmati helaan jaman dalam sebuah pejam yang memurnikan ragam kenangan. Negeri ini sudah tumbuh kian jauh dari penjajahan raga, namun kian dekat saja pada penjajahan karakter. Bangunan bangunan itu, rancangan rancangan masa lalu yang belum tergusur globalisasi hanya mampu diam. Hening merapal doa semoga tidak tergusur, setidaknya dibiarkan roboh sendiri itu lebih beruntung dibanding digusur tangan penuh peluh asing.
0 comments:
Post a Comment