Rss Feed
  1. Berdamai dengan Ketidaknyamanan

    Thursday 28 May 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    by risariileon


                “Anak – anak membutuhkan rasa kecewa, sedih, juga berbagai rasa yang kurang menyenangkan untuk membawanya pada proses pendewasaan. #risariileon”
                Beberapa buah bincang dengan mereka yang sudah menjadi orangtua kritis dalam forum jagongan cahbocah ataupun forum evaluasi pembelajaran di PAUD, nyata ada kenyamanan yang mulai dikhawatirkan para orangtua.
    ^O^
                Ada seorang anak yang terpenuhi fasilitas pengembang bakat dan minatnya. Kerajinannya mencorat-coret kertas dengan berbagai bentuk disekitarnya, ayah bunda telah siaga dengan fasilitas kertas gambar, pensil banyak warna, software pendukung, pun dengan kebersamaan menemaninya menggambar. Menyenangkan dan menyamankan. Dan kerisauan itu mulai datang, saat di luar rumah anak mulai menunjukkan keengganannya berbaur dengan lingkungan, keengganannya bertegur sapa, ah ya, nyaman membuatnya lupa pada sekitar yang tak sama dengan rumahnya.
                Setiap kata yang keluar dari si kecil adalah titah. Ayah Bunda harus ‘iya’ meski seharusnya tidak. Harus menuruti apa yang dikehendaki. Jika sebaliknya, ada gelegar panjang berbuntut rengekan tak henti. Si Anakpun tak pernah mau mengalah, kepatuhannya entah terbawa laut mana. Tak ayal lagi, kecemasan mulai menyergap hati Ayah Bunda.
    ^O^
                Zona kenyamanan memang kerap melenakan, membuat kita enggan melakukan perpindahan pada hidup yang nyata terus bergerak. Menjadi sangat perlu bukan? Untuk mengenalkan anak pada ketidaknyamanan. Mengenalkannya pada hal – hal yang kurang menyenangkan. Mengenalkannya dengan ikhtiar untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Mengajaknya untuk sedikit berpeluh tanpa banyak mengeluh. Menjalani penundaan keinginan sebab mendapat jeda mengikhtiarkan.
                Memang akan ada guratan kecewa atau sedih ketika keinginannya tidak segera terwujud. Memang akan ada berontak yang tercuat ketika keinginannya tidak segera terlaksana. Memang akan ada kemarahan yang muncul dipermukaan ketika keinginannya tidak sesuai dengan harapan.
                Namun, tenanglah, berlahan anak pun akan belajar untuk bersabar. Berdamai dengan ketidaknyamanan. Bersyukur atas anugerah yang diberikan. Bukan proses pendek tentunya, maka kitapun harus turut menyabarkan diri, menguatkan diri untuk membuat anak – anak turut kuat bersama kita. Kuat berikhitar, kuat bersabar, kuat dalam ujian, kuat mengarungi samudra kehidupan. Hingga kuatlah imannya kepada Tuhan.
                Lebih dari itu, ketika sebuah ikhtiar terlaksana, senyum sapa ramah sekitar pun mulai terangkai. Melibatkan anak tentu akan membawanya bertemu dengan banyak atmosfer sosial. Pembiasaan dini untuk mengajaknya belajar beradaptasi dengan banyak ranah. Tidak harus mengandalkan lembaga pendidikan formal agar anak mau memulai pertemanan. Seminggu sekali atau dua kali keluar rumah, menyapa tetangga, bismillah akan membawanya mengenal banyak orang.
                Ingat bukan? Tugas orang tua adalah fasilitator, bukan diktator :v
                Tidak perlu melarang anak untuk ini itu yang sedang ia ingintahui, atau menuruti apa yang dimaui. Cukup mengawasi tanpa mengekang. Mencukupi tanpa banyak memanjakan. Bukan melarangnya mencoba, tapi tetap mendampinginya saat terjatuh. Biarlah dia terjatuh selama dia tahu bagaimana caranya bangkit. Biarlah dia memiliki masalah selama dia paham bagaimana solusinya. (keknya saya pernah menulis ini deh :v)
                Kemandirian ataupun kematangan anak bertemu dengan banyak lingkungan itu tidak melulu soal usia, tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang keluarga dan pola asuh orangtua itu juga memiliki andil pada kematangan anak. Dan meski tidak dapat dipukul rata, usia seorang anak berpengaruh terhadap proses pembelajarannya di kelas (secara klasikal). Akan ada masanya untuk anak belajar dengan teman sebayanya, melepas genggaman nyaman Ayah Bunda.
                Jika dikaitkan dengan yang lebih dekat (sebelum mengarah pada pola asuh, pemilihan mengikhtiarkan seorang ‘partner of life’ adalah yang terdekat dengan saya setidaknya :v ) perkara jodoh sejatinya tidak melulu soal kenyamanan. Sekedar mengingatkan saja, bukankah zona nyaman itu kerap melenakan? Maka ikhtiarkanlah terhadap ia yang mampu meningkatkan kadar keimanan. Ikhtiarkanlah terhadap ia yang membawa banyak kebermanfaatan. Ikhtiarkanlah yang bersamanya kamu mampu berbuat banyak kebajikan. Ikhtiarkanlah yang bersamanya kamu mampu membuat banyak perbaikan. Ikhtiarkanlah yang bersama dengannya membuatmu saling mengingatkan dalam kebaikan. Ikhtiarkanlah yang kebersamaan dengannya meningkatkan kecintaanmu kepada Tuhan. Semangat mengikhtiarkan! ^_^ Semangat berdamai dengan ketidaknyamanan! ^_^
    ^O^

                “Menikahlah sebelum mapan agar anak – anak kita dibesarkan bersama kesulitan – kesulitan kita. Agar anak – anak turut kenyang bersama keajaiban – keajaiban yang Allah anugerahkan. Menjaga anak –anak dari ketertinggalan makna perjuangan hidup. Andriano Rusfi”