Rss Feed
  1. Hujan (di awal) Juni

    Monday 15 August 2016

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    google search
    Selingkar itu masih bertengger nyaman di jari manis. Terpilin pilin jemari lainnya sembari membangun yakin. Belum ada seumur jangung, dan ada ragu yang tetiba menggunung. Slide slide prosesi yang terus berputar serupa film layar lebar di kepala.

    Berbekal sepaket lengkap alamat tempat tinggal dan kepala keluarga yang menahkodai juga tak ketinggalan peta transportasi untuk menuju lokasi yang ia tanyakan sepekan sebelum terlunasi, lelaki itu melangkah penuh percaya diri. Bersiap menjemput pertemuan pertama di rumah Bunda. Lantas berlanjut pertemuan kedua di rumahnya, pertemuan dua keluarga menentukan hari H hingga hari hari sesudahnya. Setiap detik adalah ingat yang kesegarannya masih mampu dibaui. Dan pada detik kesekian di malam kesekian, ada detik yang menyematkan asma di dalamnya.

    Sekalipun ia sudah terbingkai dalam kenang masa lalu serupa kisah virtual dalam kotak video, tetap saja ada hangat dipelupuk mata. Menetes dan menguap di udara. Asma yang benar benar menyiksa.

    Kaktus itu masih terguyur hujan, sebagian dirinya sudah terendam air. Ada keyakinan yang muncul bahwa ia akan lekas menemui kematian. Kaktus yang malang. Batinku melirih.

    Mungkin seperti aku. Lanjutku masih membatin.

    Proses kebatinan yang lekas teralihkan sebab ada seirama dua kali jentikan jari dari pusat gravitasi tempatku berkontemplasi. Mau tidak mau, menatap sumber suara adalah jawaban paling efektif.
    Alisku terangkat sebagai wakil “Ada apa?”

    “Jangan melamun! Sekalipun ini caffe bertajuk perpustakaan, rasanya tidak sopan menggunakan tempat sehening ini hanya untuk melamun.” Isyaratnya dengan mata keberatan dan senyum ejekan.

    Dalam sekali pengacuhan tatap, semoga ia tahu ada raga yang enggan berdebat. Doaku membatin.

    “Banyak yang harus melepaskan dan dilepaskan, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, ikhlas tidak ikhlas.” Secarik kertas itu datang bersama secangkir ButterBeer Capuchino, minuman hangat a la Hogsmeade di serial Harry Potter yang kandungan alkoholnya digantikan teh jahe wangi pandan.

    Seulas senyum itupun hadir tanpa dosa dengan isyarat, “Selamat Mengeja sajian kami….”

    Tatapku jelas mengena pada retinanya, memintakan padanya agar mengerti bahwa ada yang terluka disini.

    Tapi tetap saja, wajah itu terus tersenyum tanpa dosa.

    Damn! Dia tahu dan enggan menanyakan perihal hatiku.

    “Aku sakit.” Kataku singkat tanpa suara.

    “Kamu hamil?!” serunya dalam isyarat. Matanya berbinar.

    “Iya, tapi bukan itu maksudnya.” Ucapku geram. Masih dengan tanpa suara.

    “Selamaaaat yaa….” Isyaratnya bahagia dengan seiring tangan hendak mendekap tapi diurungkan. Dia teringat batasan di jari manisku.

    Canggung.

    “Tapi bukan itu Ra… Aku sekarat.” Ucapku akhirnya. Lirih dan benar benar membiarkannya membaca gerak bibir. Pertahananku tumbang. Bendungan itu menjadi bah di bukit pipi. Nafas itu keluar tak teratur.

                    Tuhan tidak suka memaksa. Keadaanlah yang terkesan memaksa terjadi sebab kitalah yang lebih dulu memaksa. Semesta hanya pengapresiasi, dan siapapun yang kita temui selalu punya energi. Ia dapat merasakan, memilah, memilih. Memeluk atau menjauh. Menggenggam atau melepas.

                    Bahkan benda mati pun bisa tahu bedanya dicintai dengan tulus, atau seperti dicintai tapi sebenarnya tidak. Apalagi manusia yang berhati dan bernurani?
                    Awal bulan Juni jatuh seperti puisi Sapardi. Seperti biasa, alam selalu lebih jujur dibanding manusia. Meskipun keduanya sama sama sulit dieja. Pun seperti itu juga, manusia akhirnya terkikis oleh egonya yang menjadikan ia manusia. Ironisnya, sisa kekuatannya adalah tetap egonya yang masih tersisa.
                    Dialog itu terurai begitu saja. Perang batin yang sedari kemarin lalu sudah ingin di ledakkan melebihi Ramayana. Hanya saja, kali ini  Rama yang diculik Husna, bukan Sinta yang terperdaya Rahwana.

                    Ku baca ulang berlembar kertas itu. Kertas yang sedari pagi ku tekuri di antara lalu lintas pengunjung caffe. Kertas yang ku harap mampu meluruhkan segala tanyaku perihal setia, cinta, dan kita. Kertas yang entah dengan keberanian macam apa akan sanggup mengantarkannya pada seorang yang memang dituju.

                    “Hmmmmhhhh.” Nafasku menghela. Meminta kekuatan semesta demi untuk membuka selembar kertas. Tabularasa yang sudah bertabur warna. Bunga luka.
    Surakarta, Di Awal Juni
    Assalamualaykum Saudariku,
    Salam selamat dan sejahtera untukmu dan untukku.
    Aku ingin memanggilmu Saudari, sebab kita masih diberi nikmat mengimani satu yang Esa. Kebenaran yang terlabel dalam satu kata. Islam.
    Tulisan ini sampai padamu seperti namamu yang sampai padaku berbulan lalu. Husna, begitu ia memanggilmu. Nama yang berbeda yang kamu sebutkan saat kedua  tangan dan raga kita saling mendekap.
    Nuraini, begitu kamu mengenalkan diri. Dan namamu sungguh selaras dengan parasmu. Cantik nan meneduhkan. Pujiku dalam hati. Aku menyukai senyummu seperti aku menyukai senyum kakak tingkatku di halaqah. Dengan jarak usiaku yang lebih muda, aku bisa merasakan kamu adalah kakak perempuan yang baik. :”)
    Kak Husna, ijinkan aku memanggil nama itu dengan lisanku. Istri dari lelaki yang memanggilmu dengan nama itu. Sebab begitulah engkau mengenalkan diri ketika aku memasuki peran sebagai istri dari lelaki itu.
    Dari sekian nama rekan yang yang pernah ia ceritakan, maaf, namamu adalah satu yang ku pertanyakan. Dan dia dengan tenang menjawab,
    “Itu panggilan Mas untuk dia.”

    Sebaris kata yang mengantar pada sesak yang sungguh menyiksa. Baiklah. Aku butuh udara segar. Terlalu banyak makhluk hidup yang berebut oksigen. Bisa kah aku pergi sejenak???
    Tidak.
    Aku sudah tidak bisa lagi kemana-mana.

    Kamu tahu kak? Ketika seumur hidup aku menghindari stagnansi, pada Lelaki itulah aku memilih berhenti. Berhenti menjadi Perempuan, lantas menyingkap strata tertinggi dari keberanian kaum hawa menembus feminimitas. Menjadi Wanita (wani ditata), menitipkan ketaatkan atas titahnya guna meraih ridha.Nya.
    Lalu malam itu, di malam pertama aku menjadi istri. Aku patah hati. Tanpa bisa lagi memilih lari atau membiarkan sesiapa pergi.
    Bahkan untuk seorang Pepeng harus menempuh tiga belas tahun usia pernikahan agar dimampukan memberikan panggilan mesra untuk istrinya, panggilan yang hanya di dengar dua telinga manusia, suami dan istrinya saja. Tiga belas tahun untuk sebuah nama ‘Dik Tami’ yang menggenapi perasaan cintanya kepada sang istri di malam penganugerahan ‘Keluarga Bahagia Caplang’. Satu dasawarsa lebih setengah lusin semester.
    Nama itu. Husna atau semacamnya.
    Bahkan aku tidak memilikinya.

    Lantas siapa yang harusnya menjadi istrinya?

    Maka, sedalam apa perasaan yang pernah terjadi di antara kalian?
    Maka, sekokoh apa hubungan yang pernah terupayakan di antara kalian?
    Maka, semurni apa hubungan yang kini ada di hadapanku?
    Maka, apa yang hendak kamu sampaikan dalam lima huruf yang terlabel sebagai namamu di matanya? Jika hanya perihal jalinan silaturahim kalian sebagai teman, mengapa harus nama itu, bukankah kamu memiliki nama yang sesuai KTP? Nama yang sesuai akta kelahiran, ijazah atau sepaket perangkat administrasi kependudukan lainnya. Yang siapapun pasti mengenalmu dalam keseharian. Yang sudah pasti aku tidak akan menanyakannya.
    Atau kamu ingin mengenalkan diri sebagai perempuan pendahuluku? Dan aku adalah Perempuan Bocah yang dipungut lelaki itu atas dasar kasihan dan perasaan kehilangan sebab penolakan yang terjadi dari keluargamu? Atau kamu hendak menegaskan bahwa tidak seharusnya aku menerimanya sebab nyatanya tidak pernah ada penolakan, tapi waktu menanti yang harus diulur lagi hingga beberapa tahun kedepan?
    Aku merasa bersalah, tidak suka, risih, dan gamang secara akut. Dengan prosi yang tidak bisa dibilang sedikit. Dalam sekali waktu, di malam pertamaku menjadi istrinya.
    Lantas jika kamu membaca ini sebagai kecemburuan, kalau boleh ku luruskan ini hanya segaris perasaan tidak nyaman sebab aku melihat dalam sepersekian detik ia membaca  namamu. Ada senyumnya melengkung dengan sangan tampan. Senyum yang mampu meningkatkan keteduhan di wajahnya lima belas persen. Senyum yang masih ku cari formula untuk dimunculkan kembali.
    Bagiku tindak cemburu itu tidak terlalu terpuji, terlebih engkau sudah dilunasi perannya sebagai masa lalu. Aku paham benar perihal masa lalu. Dan bukankah setiap dari kita memiliki masa lalu? Ayam saja memiliki masa lalu sebagai telur. Pun si kupu cantik yang pernah menjadi ulat buruk rupa.
    Detik itu. Aku memutuskan untuk berhenti bertanya perkaramu. Aku enggan menggali pusaraku sendiri. Aku enggan terkubur dalam kisah kalian yang mungkin sangat heroic. Bahwa bersaing dengan masa lalu adalah kemustahilanku untuk menang.
    Aku kalah. Bahkan sebelum bertanding.
    Aku (ingin)mengalah tanpa harus menyerah. Bahkan sebelum kalian memintakan.
    ^o^
    “Seared Scallop with Creamy Fettucini selalu pas untuk membaca semestamu, Nona!” Dua Jentikkan jari dan segenap isyarat penyertanya. Tersaji dengan aroma pasta yang cukup mengobati empat puluh dua persen kepatahhatian. Sayangnya, masih ada lima puluh delapan persen kepatahatian yang mengendap dan tak tergantikan rasanya.

    “Thanks, Ra. Hope I can make it look and taste as spectacular as yours did, someday. But, Im sorry I cant try this dish.” Balasku lirih bernada penuh putus asa.

    “Why?” Bahunya terangkat, selaras dengan alisnya yang tertaut. Tatapnya menuntut jawaban tidak singkat.

    “I wanna ask you. May I?”

    “With pleasure…” senyumnya empat senti.

    “Bagaimana cara agar manusia menang dari hujan, Ra?”

    “Aku merindukan hujan di musim hujan, bukan di bulan Juni. Ku merasa aman dengan yang memang semestinya.” Tanyaku pada udara. Catra hanya sesosok raga sebagai penyeimbang agar aku tidak dianggap gila. Mengobrol dengan diri sendiri, untuk manusia masa kini sudah bisa masuk kategori kelainan psikis. Dan aku tidak pernah siap dibawa kerumah sakit jiwa.

    RisaRiiLeon

    -R-

  2. Memeluk Masa Lalu

    Tuesday 22 March 2016

    Dan malam kian renta dalam penjemputan pada rona pagi yang masih dini. Masa lalu itu hadir dalam banyak tutur kisahnya. Tiba tiba saya ingin meredam gumpalan rasa tidak menyenangkan ini dengan memelukmu, Perempuan dengan nama berawalan huruf sama denganku. :”) Perempuan dengan huruf N diawal namanya. :”)

    Assalamualaykum.. :”)

    Saya pertegas, ini bukan cemburu, ini hanya setitik rasa tidak menyenangkan yang hadir sebab paham betapa engkau dulu pernah sangat diperjuangkan oleh dia. :”D
    Just warm hug. And not more. Ok? ^^

    Nyatanya, bertanya tentang masa lalu menjadi perkara bukan karena benar benar ingin tahu, tapi ikhtiar memulung hikmah, menghindari kesalahan yang sama terulang kembali pada kisah saya dan ia. :”).

    Jelas, perkara menjaga bukan bahan untuk bercanda :”)

    Terima kasih untuk menjadi jalan ia menguatkan diri. :")

    Bagaimana rasanya menunggu tanpa diminta? Layaknya membaca buku lalu ketiduran. Akhirnya kita hanya akan melanjutkan perjalanan dalam ekspektasi, melunasi harapan tertinggi berdasarkan imajinasi terindah. Berangan bahwa Tuhan telah resmi merestui.

    Benar. Allah selalu sesuai dengan prasangka hamba.Nya :”) saya sangat percaya itu. Namun mengemas percaya itu pun perlu sedikit jujur pada diri, bahwa hamparan fenomena semesta adalah tanda untuk dibaca. Bahwa teka teki Illahi hadir bukan berdasarkan ekspektasi, jauh dari itu adalah untuk menggenapi kita sebagai makhluk Illahi. :”)

    Terima kasih untuk menjadi jalan ia membenah diri. :")

    Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk kata ‘tunggu’ tapi bukan waktu yang lama jika untuk menjemput kepastian. :”) sayangnya, lupa itu kerap hadir. Bahwa kepastian tidak selalu berbuah kebahagiaan. Serupa pohon manga tetangga yang tidak selalu manis rasanya, tapi jelas kita memiliki kelegaan luar biasa mampu merawatnya hingga berbuah. ^^ Ada lega yang tertunaikan dalam senyum simpul lima senti itu.

    Dan ya, ada jemuran harapan yang bisa lekas diangkat untuk ditata kembali di lemari upaya menggenapi separuh agama. Menilik segala niat dan cara untuk melampauinya.
    Masihkah benar benar berdasarkan Allah Ta’ala atau masih terbingkis kata selera atau malah terkena gravitasi ‘terbiasa ada’.

    Entah.

    Proses itu nyata berlangsung lama.
    Memindahkan jemuran harapan nyata tidak semudah kala menjemurnya, terlebih jika sudah mengakar bahkan nyaris menjamur.

    Sebab nyata, engkau adalah perempuan yang sama denganku. Pengemban amanah seorang putri dari sepasang suami istri yang enggan berpindah surga pada lelaki yang belum diridhoi :”) Iya, restu orangtua menjadi tonggak utama kita menerima ia yang mengajak menggenapi agama. :”)

    Meski fakta masa keberjalanan proses mengenal itu sudah menjadi hal biasa untuk kalian saling ada. Saya percaya, sebab saya masih perempuan. :”) I know that as well. Cause so far, im still a girl. :D trust me! :v

    Hukum Newton ketiga. Keselarasan aksi dan reaksi proses kalian yang cukup berpolemik. Manis.

    Bagaimana ia menjagamu.

    Bagaimana kamu mempercayainya.

    Bagaimana kalian menuliskan cerita pro dan kontra.

    Bagaimana kalin berproses. Adalah secangkir good day vanilla latte dengan hangat suam kuku. :”D

    Sungguh, bahkan saat mendengar penuturannya perkara engkau, lisanku masih mengembangkan senyum. :")

    Dan terima kasih telah menjadi perantaranya menemukan jalan pulang. :”)

    Ketamatan cerita pasca Abah menyampaikan jawab, jelas tidak lagi satu hati yang patah. Ada dua hati yang patah. Jujur saja. Masa yang tidak sebentar, adalah indikasinya. ^^ Semoga kejujuran tidak lagi menjadi hal yang engkau sungkankan. Ingat, saya masih perempuan. ^^

    Kepatahatian yang lantas menyabangkan jalan yang sempat diharap akan searah.

    Pelaku Pertama, dalam ketegarannya menerima jawab atas penantian, ia mulai berbenah, mengembalikan segalanya pada Illah. Pulang ke titik nol. (Disanalah cerita bersambung di Rumah Aksara. Koordinat pertemuan Ksatria Aksara dan Nona Aksara. Sepasang manusia yang sedang belajar mengeja). Iya, cintanya tak lagi utuh untuk seorang yang kelak mengutuhkannya. Tapi, percayanya pada Sang Pencipta scenario terbaik itu kian menebal. Sangat percaya bahwa Allah knows what is the best. :”)

    Maka,
    Si Tokoh Utama Pelaku Pertama, bisa apa selain menerima dan terus percaya bahwa surga anak senantiasa ada di ridho orangtua. Ridhollohu fi ridho walidain. Bahwa keterikatan masa membersama sudah seharusnya ditutup buku saja. Bahwa semua akan kembali baik baik saja. :”)

    Terima kasih telah menjadi bagian perjalanan panjangnya. Semoga engkau ridho untuk saya meneruskan sepersekian jalan yang sempat engkau bersamai. :”)

    Di Malam Bulan Kedua dengan mata masih terbuka dan banyak semut buah mangga.
    Rumah Aksara.


  3. Peluk Frasa untuk Azizah

    Saturday 12 March 2016

    Minggu, 13 Maret 2016

    Dan ketika banyak orang mencari nilai sebuah kekuatan, mereka lupa bahwa sejatinya kekuatan itu sudah di depan mata, hadir dalam sebuah amal  menerima. Iya, penerimaan atas segala scenario Allah terhadap kita sebagai seorang hamba.

    Dusun Gampingcilik, Desa Tegalrejo, Kecamatan Bayat, Klaten, dalam rumah sederhana Keluarga Bapak Wagiyono  dipinggir jalan Klaten – Gunungkidul beberapa ratus meter dari SD N Tegelrejo, Allah menitipkan sebuah kekuatan di sana. Bocah berusia lima tahun itu, resmi mengambil hati saya.
    Tanpa perlu mencuri, hati ini lekas terpaut pada bait pertama saya membaca ceritanya. Nyata, kebijakan penggunaan media social berhasil membuka jalan pertemuan kami.

    Broadcast dari Bunda Wahyu dalam grup Istitut Ibu Profesional Solo adalah gerbang pertama, yang lantas saya tularkan di grup Laskar Sedekah Surakarta. Tidak banyak yang saya lakukan saat itu, namun satu yang pasti. Mencari kebenaran informasi tersebut adalah langkah pertama.

    Terhubunglah dengan Kang Jaka Triwiyana (0856 – 4287 - 8277) tetangga desa Dik Azizah yang turut merawat Kakak Sulung Dik Azizah, Mahasiswa DKV ISI Surakarta yang sungguh baiknya tiada tara.  Kebenaran informasi tersebut ditemui. Tanpa perlu dusta, nyata ada dik Azizah disana, terbaring tanpa daya namun terus berupaya bersama simbahnya.
    Ramadhan 2015.

    Duka itu datang mengetuk melalui sebuah bengkak dileher serupa gondongen disertai panas, lantas di bawa ke rumah sakit kota sebagai upaya penyembuhan. Alhamdulillah, bengkak itu pergi. Namun duka masih mengiringi, diagnose dokter jatuh dalam sebuah vonis kanker darah. Leukemia katanya. Ingat ini melayang pada ingat mengenai sakit itu, sedikit gambaran dalam pelajaran biologi sewaktu smp. Sakit dengan sebab sel darah putih yang terlalu banyak dan diawali anemia akut. Keberadaan darah merah dan darah putih yang tidak seimbang. Tidak pernah ada bayangan bahwa akan berakibat sefatal itu pada Dik Azizah.

    Tidak ada mimisan, rambut rontok, atau pingsan berkali kali. Itu hanya gambaran fiksi penyesatan dalam sinetron. Nyatanya, dalam proses kemoterapi yang dijalani dik Azizah pasca pemvonisan kanker, dik Azizah masih bisa berlarian bersama teman temannya, mewarnai gambar bersama dokter jaga di rumah sakit ia dirawat, juga bercerita pada simbahnya bahwa ia akan masuk sekolah dengan tas baru, pergi ke mushola bersama Mbak dan adiknya. Ya, anak kedua dari tiga bersaudara itu masih sempat bertumbuh layaknya bocah lima tahun yang banyak tingkah kesana kemari hingga ia berpamitan pada simbahnya untuk berobat ke kota tetangga. Tiga hari berselang tanpa pulang, Dik Azizah dikabarkan ‘masih lebih baik dari kondisi bayi’ oleh Bundanya. Simbah Putripun menyusul ke Kota Tetangga. Mendapati cucu terdekatnya terbaring kaku, dengan reflek genggam kuat, respond mata yang hilang, dan badan yang mengurus kehilangan isi, bahkan untuk mengonsumsi makanan harus melalui selang. Keceriaan Dik Azizah lenyap, dunia Simbah senyap. Tidak ada lagi celoteh dik Azizah untuknya.

    Lantas cinta itu hadir penuh daya. Telinga Dik Azizah masih bisa menerima, raga Simbah masih sekuat kala muda. Proses pengobatan itu terus berjalan tanpa kehilangan sedikitpun harapan. Sayangnya, ujian itu datang dengan banyak jalan juga.
    Bapak Dik Azizah menikah lagi tanpa kembali (yang semoga lekas pulang bersama nurani dan kepedulian kepada sang Putri …aamiin), Sang Bunda berpulang pada Illahi tepat sepuluh hari sebelum kedatangan kami.
    Seminggu sekali kemoterapi itu dijalani (sebelum ibunya meninggal), pengambilan sumsum tulang belakang itu tentu bukan tidak sakit dan tidak membutuhkan biaya sedikit. Alhamdulillah ada BPJS (tanpa harus pro dan kontra, saya hanya bersyukur dan berterima kasih), pembebasan pembiayaan jelas ditangan.

    Lalu sepeninggal sang Bunda, Dik Azizah tidak lagi dirawat di rumah sakit ataupun kemoterapi, dia masih dirawat dalam pelukan Simbah Putrinya. Mbah Mi panggilannya, menyuntikkan susu dua jam sekali melalui selang. Ada susu Proten sebagai suplemen makanan utama Dik Azizah, selang yang sepuluh hari sekali harus diganti demi menjaga sterilisasi gizi, keduanya resmi menyalurkan nafas kehidupan dik Azizah.

    Semoga kekuatan menerima itu bisa menular untuk sesiapa saja yang menyapa. Perempuan yang tidak lagi muda itu penuh telaten menyibin (mandi kering dalam bahasa jawa) Dik Azizah, mengelap keringat dik Azizah, mengganti posisi Dik Azizah, dan ya saya ingat. Ada lubang luka dibagian belakang tubuh dan kepala dik Azizah, entah akibat proses Kemo atau apa, tapi keduanya mengeluarkan semacam cairan. Dan sebab stok obat dokter sudah habis, luka dik Azizah hanya diberi obat warung, antibioatik (supertetra) dan satu obat yang harus dihaluskan untuk lantas ditempel di luka. Alhamdulillah, sudah lebih baik. :”)

    Sabtu, 12 Maret 2016
    Dibersamai saya (0857 – 2847 - 9204), Mbak Avilia (0857 – 2524 - 8080), Dek Ifna, Aldi, Sabriyan. Kami bersaksi kebenaran informasi ini. Maka kepada siapapun yang hendak berdonasi bisa menghubungi kami untuk menjemput kesembuhan Dik Azizah. Maaf tidak ada publikasi fotografi, sebab nurani tidak bisa dibohongi. Jika ia terketuk, tunaikanlah hak saudara kita diamanpun ia berada, jika ia ragu dekaplah yang terdekat dalam jangkauan mata.

    Semoga langkah kita diringankan untuk meringankan langkah saudara kita.
    Semoga Allah senantiasa menjaga setiap amal baik kita sebagai pemberat di yaumul hizab kelak. Aaamiiiin.

    Rumah Aksara dalam Minggu yang seadanya.
    RisaRiiLeon


  4. #JumpaKlorofil @Kelas Aksara

    Sunday 28 February 2016

    Tidak tepat pukul setengah empat seperti yang dijanjikan, sebab semesta berkehendak lain. Hujan rahmat nyata memperlambat langkah untuk bergegas dan lekas sampai. Tapi, besertanya syukur itu senantiasa melirih, bahwa ada kegersangan iman yang resmi dibasahinya dimenjelang senja Sabtu lalu. Bersama kamu, faktanya kita mampu melaju mengejar waktu. ^^ Terima kasihh :*

    @TinyCaffeLibrary.

    Tidak terlalu ramai, tapi juga tidak perlu dibilang sepi. Seusai menyalami staff caffe yang saya kenal, langkah ini segera masuk. Mendapati empat perempuan sudah menanti.

    Hi April, Hi Karina, Hi Tami, dan Hi Aini ^^

    Tanpa basa basi, wajah ini tak bisa dipungkiri menyatakan bahagia tak berperi. Semangat itu terpompa. Debar itu makin terasa. Saya jatuuh cintaa :’D

    @KelasAksara

    Lingkaran itu cukup rapat dengan enam perempuan berjilbab. Haha mengingatkan saya pada lingkaran yang satu itu. :D Syukur kehadiran Allah semesta alam, pengenalan Kelas Aksara dibuka dengan bahagia :”) Alhamdulillah…
    Kelas Aksara yang merupakan keeping mozaik dari keutuhan puzzle Rumah Aksara hadir sebagai ruang apresiasi atas ragam karya. Sastra, skestsa gerak raga ataupun suara, mereka adalah karya yang tak perlu sungkan menerima apreasiasi. Dan ruang itu jelas tidak mengikat perkara kehadirannya. Siapapun dengan latar belakang apapun, adalah sesiapa yang akan selalu diterima adanya. ^^

    Satu satunya syarat ialah semangat belajar. Sebab mengikuti kelas aksara bukan jaminan para pesertanya menjelma menjadi penulis hebat. Kehebatan itu adalah satu yang harus dijemput sendiri, namun dalam proses menuju penjemputan tersebut Kelas Aksara akan membersamaimu. ^^

    Mengeja Aksara.

    Benar. Pada akhirnya kita hanya akan belajar mengeja. Segala rupa pertanda yang Allah titipkan melalui semesta sebagai hamparan pembelajaran manusia manusia berakal. :”)

    Mengeja semesta untuk lebih dekat dengan sang Pencipta.

    Sebab Setiap dari kita adalah aksara yang akan menemukan alur ceritanya. Iya, dengan mencoba membaca melalui ejaan peraksara kita akan paham untuk apa setiap cerita itu ada. Hingga kita paham, Tuhan itu Maha Kreatif. Dan jalan setiap orang wajib bersyukur dengan jalan ceritanya.
    Mengapa copy paste? :P
    Dee. Fiksi Ilmiah yang sekilas Nampak picisan tapi setelah terselami akan paham apa makna proses menulis yang tidak sebentar. Perjalanan menulis yang tidak hanya mengajak kita berimajinasi tapi juga menyerap informasi kini.
    Pram. Fiksi Lintas Generasi. Gerbang mengenal Negara sendiri meski dari balik jeruji pena. Setidaknya kala itu kebebasan menulis belum selebar sekarang.
    Seno Gumiro Ajidharma. Perayu ulung yang tidak hanya memikat hati melalui bunga diksi, tapi menggelitik politik dengan beberapa lirisnya. Penutur Kisah Sebentar dengan gravitasi tingkat tinggi.
    Cak Nun. Pembaca masa dengan bingkai agama. Nampak religious tapi sebenarnya humoris nan manis tanpa meninggalkan keseriusannya berpendapat.
    Sapardi Joko Damono. Pujangga penakluk banyak wanita. Tuan Metafora dengan senjata bunga aksara.
    Habbiburrahman. Penyampai fiksi berbumbu informasi islami. Tanpa merancukan mana fiksi dan nonfiksi, keduanya dituturkan dengan jujur dalam diksinya.
    Adrea Hirata. Pengamat budaya keseharian dari tanah kelahiran dan jejak langkah perjuangannya. Jika Nampak berlebihan, itu hanya syarat agar tulisannya disangka fiksi. :”D
    Mereka adalah yang telah berhasil menemukan aksaranya. Menjadi pembeda tanpa mengotak otakkan. Manis tanpa buatan.^^
    Mereka telah berhasil menjadi media sesama untuk memudahkan mereka mengeja tanda semesta.
    Sang Maha Pencipta membuat hamparan semesta ini sebagai ladang pembelajaran. Just to be nice Reader :”)

    Jelas. Tidak ada yang seperti mereka. Kamu bisa menjadi dirimu sendiri dengan ragam potensi dalam dirimu. Ingat. Tuhan Maha Kreatif.
    Maka, BERKARYALAH!! Bukan sebab kamu memiliki massa atau followers yang akan menjadi diterimanya karyamu, tapi berkaryalah untuk memanusiakan manusia.
    Apapun karya itu.

    Dan satu karya yang bisa kita buat setiap detik ialah nafas syukur atas setiap masa yang hadir dengan ragam cita. Semoga selalu ada Allah disana.

    Dan syukurku menjumpa kalian sebagai keluarga baru. Teman belajar kelompok untuk mengeja aksara kita. :”) Terima kasih atas upaya kehadirannya.
    April, Aini, Karina dan Tami yang rela menanti lebih awal dari seharusnya.
    Ibnu dan Bayu yang hadir lebih dari jam seharusnya, kebersamaan kalian mengingatkan saya pada suadara kembar yang baru dipertemukan. Arggghh kalian itu mirip tauk! :D
    Udin yang kepolosannya menyapa ditengah bincang kita. Masih dengan bara yang menyala meski terguyur hujan.
    Juga dua partner TerKeceh Dedek Burhan dan Kakak Titi, sinih tak peluk deh.

    Terima kasih untuk upaya kehadiran di malam minggu yang biru. Sebab ada semangat baru di ujung senja malam sabtu itu. ^^

    Dan tanpa maksud melupakan kehadiranmu di ujung temu, Terima Kasih Kang Catraaa atas upayanya untuk dataaang :D next time langsung joint saja yak :D katanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali hlooo….

    Lantas untuk semua insan dibalik layar yang turut mendoakan upaya ini berjalan lancar, terima kasiihhh… :*
    Untuk kalian yang belum sempat datang…
    Masih ada pertemuan kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya sampai Allah yang Maha Tahu :”)

    ______________((((^^^))))______________
    Sekedar mengingatkan materi untuk kelas aksara akan diisi dengan beberapa agenda.
    ^^ Di setiap pekan pertama dan ketiga, akan ada Kepo Karya. Semacam bedah karya, bisa berupa buku, cerpen, antologi, puisi, naskah drama, gambar, dkk. Bedah karya tersebut bisa langsung dilaksanakan bersama si Kreator ataupun hanya bertukar kaca mata tentang sebuah karya. Semisal: kita akan membedah buku Perahu Kertas karya Dee, jika memungkinkan kita akan mengundang Dee untuk kita KEPOin habis habisan tentang karyanya, jika belum memungkinkan kita akan sharing pandangan tentang karya tersebut. Teknis materi sharing bisa seputar unsur intrinsik karya maupun unsur ekstrinsiknya. :D

    ^^ Di pekan kedua dan keempat, insha Allah akan ada Jaring Inspirasi. Kita akan jalan jalan guys, nyuri inspirasi dari mana mana untuk kelas Aksara. Haha terjun kelapangan untuk menemukan cinta memanusiakan manusia. Inget ye, ini jalan jalan bukan sepedaan atau motoran apalagi mobilan. :D semoga terlaksana. :”)

    ^^ Akan ada tiket berupa karya untuk setiap pertemuan. Tiket itulah yang akan mengantarkan kita masuk pada kelas Aksara selanjutnya. Tidak perlu merasa tertinggal, sebab kita akan selalu bergandengan tangan untuk mengeja kebesaran Allah Ta’ala. ^^

    ^^ Base Camp Kelas Aksara ada dua. Titik Nol pertama ada di Tiny Caffe Library Purwosari Solo. Titik Nol kedua ada di Ketiak Sekolah Alam Bengawan Solo Juwiring Klaten (sebab kontrakan saya masih disana :v )

    Sampai bertemu di Tangga Kelas Aksara Kedua ^^ ada Rindu yang butuh dijemput Temu. Mari berupaya mencipta jumpa. ^^

    Rumah Aksara, 28/2/2016
    – Nona Aksara –


  5. Bergegaslah...!! ^^

    Friday 19 February 2016

    Kepada Putri yang sedang Membangun Diri ^^

    SemangArt Pagi Putri ^^
    Apa kabar nuranimu? Masihkah kematian menjadi hayalanmu sebelum lelap? :”) Setidaknya dengan mengingat kematian,
    prioritas kehidupan fana kita akan lebih tertata. :”)

    Maafkan sikap abai saya terhadap pesan singkatmu. ^^

    Sungguh, abai saya tak senyata yang kamu rasakan. Saya membacanya lantas memerdekakan engkau menjawabnya sendiri. ^^
    Perkenalan kita memang belum lama, terhitung dari jumpa pertama di layar virtual, lantas ku jemput petemuan kita dalam aksi membersamai. :”)

                               ^O^

    Perkara benci membenci itu murni urusan nurani sendiri, Putri. :”) Sekalipun kamu sudah bertanya kesana kemari untuk mengilangkan rasa itu jika kamu tidak bertanya pada diri sendiri perihal memaafkan yang telah terjadi, niscaya dia, kebencian itu akan terus menggerogoti. :”)

    Kamu bertanya bagaimana cara menghilangkan benci. Kamu bertanya bagaimana cara melenggang pergi tanpa beban urusan hati. Kamu bertanya bagaimana cara melogikan rasa. Dan akhirnya kamu bertanya mengapa saya menjadi sebegitu sombong dihadapmu. :D

    Mari tertawa sejenak.

    Mau kopi Atau mau saya buatkan Teh?

    Dua sedok makan gula dan setengah gelas air panas yang dibauri air es hingga penuh, lantas sebagai penutup kamu memilih biji kelengkeng atau daun mint. ^^ Keduanya bisa disediakan untukmu Putri, selama hati dan ragamu bersedia hadir di bincang senja kita.

    Duduklah sejenak.

    Seperti halnya senja yang menghadirkan jingga, mengabarkan keramahan matahari pasca menyengat sepanjang siang. Di sanalah momen berdamai itu dengan jenak dapat terangkai. Bahwa segala klimaks masa ketidakmenyenangkan akan ada anti klimaksnya, meredupkan segala amarah dan dengki dengan satu kata. Damai. Iya, berdamailah dengan ekpektasimu. Berdamailah dengan realisasi semesta. Berdamailah dengan dirimu sendiri.
    Mengabaikan pesan singkatmu adalah cara saya membuatmu merdeka dalam berlaku. Kamu bisa mengambil apapun langkah yang butuh kamu ambil. Kamu bukan hamba sahaya dari sesama manusia, kamu adalah perempuan merdeka! Sekalipun engkau menghamba, menghambalah pada Allah semata.

    Ayolah, jangan mau diperbudak rasa!

                              ^O^
    Pertama. Tanyakanlah perihal kebencian itu.
    Berlandas pada apa kebencian itu kamu pupuk? Jika hadirnya sebab Illah, teruskanlah, tapi jika sebab yang lain, buanglah. Sejauh mungkin.

    Susah? Jelas, sebab kita masih dilangkah pertama. Langkah awal memang sering membuat terengah.
    Ayok, ada langkah kedua yang akan membuatmu sedikit melega.

    Tanyakanlah perihal kebencian itu.
    Bergunakah untuk terus memendam kebencian?

    Dalam sebuah tragedy, saya pernah meminta anak anak untuk mengantongi sebiji kentang yang harus mereka bawa kemana mana kapanpun dan dimanapun. Tujuh hari mereka tak terpisahkan dengan kentang itu. Ya, makhluk organic itu mulai membusuk. Menguarkan bau tak sedap dan membuat tak nyaman. Ingin rasanya lekas membuang kentang dikantong itu, aku mereka. Kentang busuk itu serupa dengan hati kita yang terserang benci. Menyebalkan dan tak berguna.

    Buang saja. Sudahi.
    Kamu mengangguk? Baiklah. Tak perlu ragu. Buang saja sekarang.
    “Caranya?”
    Minumlah dulu tehmu sebelum dingin. Aroma hangat the mint lebih menyegarkan kala hangat.
    Iklashkan apapun yang membuatmu benci.
    Perihal patah hati, kehilangan, sampai ketidakjelasan rasa. Kembalikan pada Ia yang Maha Membolak Balikkan hati.
    Kamu butuh kekuatan untuk melangkah?
    Mari, saya ajak ke rumah itu. Rumah penuh obat dan selang. Di ujung ruang anak anak, di pojok paling ceria.
    Dalam sisi pandangmu, mereka sangat berhak membenci, sangat berhak marah, sangat berhak mengadili. Tapi? Tawa mereka merekah, hati mereka berperi, ceria itu terpatri.
    Mereka adalah adik adik dengan banyak kekuatan yang diuji melalui kanker, tapi tak sedikitpun mereka menyesali suratan.Nya. setidaknya jikapun pernah, mereka berhasil melalui itu.
    Pun di ruangan ruangan sebelumnya, ada kekuatan yang tersebar disetiap penjuru rumah itu. Bangsal bangsal yang malah membuat mereka kian tangguh dalam dera kata ‘sakit’. Mungkin itu mengapa kita dianjurkan meluangkan waktu sejenak untuk membersamai mereka mengurai senyum.
    Mendekatlah pada mereka, dan kamu akan tertulari semangat kekuatan mereka. ^^
    Iya, pancaran kekuatan itu resmi menular.
    Kekuatan yang tak pernah melemahkan. Kekuatan yang datang lebih dari sekedar syukur sebab kamu bukan mereka, tapi sebab kamu paham bagaimana cara menyikapi hidup yang mungkin tidak sebentar. Bahwa beban rasa yang masih kamu biarkan teremban adalah perihal cara pandang saja. Bahwa semua uji adalah solusi yang butuh digali dan direnungi untuk lantas dijadikan refrensi menyapa hari. ^^
    “Tapi, serius. Ini bukan hal yang mudah!” alismu masih tertaut. Pipimu tersambar gravitasi dan melukiskan mendung diwajah.
    Tidak ada yang mudah untuk meraih jannah Sayang ^^ jika ingin mudah, mungkin kamu hanya akan mendapat piring pecah atau kalau sedikit lebih beruntung mendapat kipas angina ^^ lantas apakah keduanya mampu melindungimu dari panasnya api neraka? ^^
    Putri, semua bisa begitu mudah pun mampu sangat rumit. Kembali kepada diri menatap cermin. Iya, semua berawal dari diri sendiri. Insan lain hanya lalu lalang pencaci atau pembersama. Yang jelas satu, ada aku disini. ^^

    Surakarta, minggu kedua bulan penuh hujan di tahun banyak pesta penikahan.

    RisaRiiLeon


  6. Akan ku katakan kepadanya, bahwa menerima tak semata perkara bahagia. Meski aku akan selalu bahagia bersamanya, tapi berani bermimpi diluar kebanyakan manusia adalah perihal mengemas bahagia dengan cara yang berbeda.
    Meski harus tertatih dan penuh peluh, dengan semangat meraih ridho.Nya serta mengingat segala nikmat.Nya semoga selalu cukup untuk menumbuhkan kita.
    Sebab tidak ada nikmat yang lebih mulia dari segenggam cinta yang terpupuk kasih sayang Allah Ta’Alla.
    Bukankah tujuan kita surga? ^^ Maka tak perlu ragu untuk sedia.

    Akan ku katakan kepadanya, bahwa menerima tak semata perkara seorang raga tapi juga banyak raga. Iya, menerimamu berarti menerima segala manusia yang ada dihidupmu. Pun beberapa yang bersinggungan dalam langkahmu meraih cita. Perkara berbagi dengan sesamapun sudah masuk daftar citamu bukan? ^^ Toh, begitu Allah berfirman. Membersihkan amal dan mall kita melalui indahnya berbagi. ^^ Seperti katamu, memudahkan jalan orang lain adalah langkah tidak biasa untuk memudahkan jalan kita. ^^ Pun dengan perihal makan enak, bukankah kamu seorang omnifora? Pemakan segala yang hanya mensyaratkan halal, bersih, dan sehat sebagai sajian utama.
    Dan halal dan toyib bukan perkara enak bukan? ^^ Maka jenak lebih menentramkan.

    Akan ku katakan kepadanya, bahwa menerima tak semata perkara tangan dibawah beserta fasilitas mewah. Juga perihal rumah. ^^ Bukankah kita percaya, rumah kita sejati kita dalam proses pembangunan di jannah. Biarlah sepetak kecil hunian kita di dunia mampu melapangkan rumah kita disurga. Kita landasi Rumah Aksara itu dengan banyak hal yang berguna. ^^ Menjembatani banyak proses sesame untuk mulai mengeja asma.Nya di hamparan semesta. ^^ Dengan halaman penuh saung saung pengemas ragam cita anak bangsa. Rindangnya daun yang sukses mensuplay nafas potensi mereka. ^^ Ah ya, kita belajar sabar membersamai pada akhirnya. Menjadi sebaik baik hara yang menjaga mereka dari pencemaran akhlak yang kian merajalela.

    Jelas, akan ku katakan kepadanya, bahwa menerima bukan perihal harta ataupun tahta. Tapi biarlah ia menjadi pijakan anak anak tangga meraih jannah.Nya. menerima ialah perkara membersama mengibarkan kebaikan vertical dan horizontal.

    Menguatkan untuk bergantung semata pada yang Maha Besar.
    Bukankah kekuatan seseorang Nampak pada siapa ia bersandar? ^^
    Akan ku katakan padanya, bahwa  ia adalah satu rahasia yang akan ku eja. :v


  7. Setiap kelahiran menggemgam banyak rahasia dalam tangis pertamanya mengudara. Rahasia yang sejatinya sudah ditakdirkan. Banyak kitab menyatakan tiga perkara itu. Rizky, jodoh, dan ajal. Kitap siapa? Bagaimana? Allah yang Maha Tahu. Kehadiran ketiganya.pun rahasia, lantas bagaimana jika nyatanya banyak manusia lancing mengeja rahasia rahasia itu?
    Baiklah. Tidak lancang. Toh memang Tuhan mencipta hamparan semesta ini sebagai tanda tanda bagi mereka yang hendak mengeja kearifan takdir.Nya.
    Satu rahasia nyaris terbuka untuk seorang Arda. Gadis belia itu belajar mengeja perkara masa. Kisah sebentar yang akan saya coba paparkan dalam waktu yang tak kalah sebentar. Sungguh! Dengan penuh kejujuran, saya tidak mengenal baik perihal lahir batinnya. Semua perkenalan itu melalui perantara lisan lisan itu. Serupa endors di belakang sampul sampul buku, tutup buku Hidup Arda hadir seusai tanah hitam itu berguguran. Menyisakan banyak isak dan air mata mereka yang pernah tersapa.
    Menuju senja yang masih ashar, beserta gerimis yang tidak romantic sebab perjalanan kali itu melaju kencang diantara bis bis luar kota. Menempuh Solo – Klaten dengan hati berdebar. Takut terjatuh. Bukan jatuh hati tentu saja :v
    “Pelan pelan aja ya Kak.” Tawarku pada rekan seperjalanan. (Saudari kembar dihati ^^ Ukhti Shalihah Maryam)
    Bismillah…
    Aroma kehilangan itu masih terhirup. Ada kenang yang masih menggenang. Basah serupa rumput halaman terguyur hujan tadi. Gambar A3 dengan wajah ramah penuh rekahan senyum itu terduduk di depan kami. Dan seorang di sebelah kiri kami duduk bergelora menyatakan rindu pada wajah terbingkai itu.
    Rindu pada suadari penghuni Rahim yang sama meski berbeda masa. Kakak beradik yang terpisah masa mencinta.
    Mesin waktu terputar. Slide slide peristiwa terpampang bergantian. Suka duka, upaya, ikhtiar, kepasrahan, dan doa. Mereka menjadi fakta dalam cerita.
                                  ^O^
    Upaya mengeja rahasia itu terlaksana, tepat saat gadis belia itu duduk di kelas lima sekolah dasar. Bukan vonis manis, tapi cukup membuat miris bocah yang sedang optimis meraih mimpi. ya, gadis kecil itu memiliki mimpi besar.
    DM tipe 1.begitu kata mereka.

    Kata sebuah iklan resiko Diabetes itu lebih besar pada proses genetika, sayangnya kasus gadis belia ini berbeda. Diabetes Miletus tipe 1 adalah yang hadir tanpa di duga, tak melalui jalur genetika, hanya hadir begitu saja.
    Merusak autoimun pada sel beta di pancreas, membabat produksi insulin pada tubuh.
    Kepatahan itu tak hanya menyerang gadis belia itu, jelas ada keluarga yang juga merasa.
    “Bisa diganti kah peran untuk menanggungnya?” Tanya mereka retoris.
    Tanpa maksud menyalahkan suratan ataupun keadaan, mereka berikhitiar saling menegarkan. Membangun pondasi kekuatan lebih besar untuk menopang berita gusar itu.
    Ada banyak hal yang perlu dilakukan.
    Check medis, pencarian upaya penyembuhan, dan jauh sebelum itu, ada langkah mengenal DM tipe 1.
    Insulin menjadi kata kunci di sana, hingga akhirnya prosesi penyuntikan itu hadir setiap hari. Setidaknya dua kali atau lebih sehari. Dosis yang lantas disesuaikan atas dasar monitoring kadar glukosa darah. Proses penggantian shift insulin basal dan preprandial insulin. Bekerjasamalah untuk raga itu, pinta mereka penuh percaya pada Allah Ta’ala.
    Tak lagi sesuka hati menyantap, tapi dia masih dengan leluasa hati menatap.
    Matanya tak pernah kekurangan bara semangat. Menatap cerah cita citanya untuk bisa menjadi sebaik baik manusia. Ya, berguna untuk sekitarnya.
    Jalur prestasi akademik ia kejar penuh cita. Keselarasan horizontal pun enggan tertinggal, ia teman yang baik untuk banyak rekan. Sayang, kakak perempuannya kerap menjadi bahan bullyannya. Tapi percayalah, itu adalah keakraban yang akan dirindukan. Tanda sayang menyebalkan tapi kehadirannya enggan dibuang dalam kenangan. ^^
    Saya melihat, waktu gadis belia itu terlaksana penuh daya. Penuh guna untuk sesama. Tamparan cerita di waktu menuju isya.
    Lantas nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan? :”)
    Ketika sepasang mata itu masih terbangun menatap bias mentari pagi, bukan sepasang malaikat yang menanyakan siapa Rabb.mu.
    Ketika raga itu masih bebas bergerak melanglangbuana menyapa penuh ceria tanpa rambu rambu larangan atas nama kesehatan.
    Tak kenal maka tak sayang. Dan saya tak harus mengenal (nyatanya) untuk jatuh sayang. Berbusa cerita menuju isya itu membuat resmi ada cinta yang membuncah bagi seorang adik perempuan di Surga.Nya. :”) dan sebaik baik cinta adalah ia yang membawamu lebih dekat dengan Allah Ta Ala. Maka, ijinkan cinta ini berbicara dalam doa.
    Bahwa gadis belia itu tidak kemana mana, bahkan sejengkalpun tidak. Dia masih di sana. Di rumah pinggir jalan dengan penghuni tiga raga penuh ketegaran. Raga adik perempuan itu memang tak kasat mata, tapi bias keberadaannya yang penuh manfaat adalah amal bakti yang abadi. Bahasa cinta tak melulu perkara tatap mata, tapi rapal doa yang kian lirih berpasrah pada.Nya.
    Merajuklah pada.Nya untuk keterangan jalan bagi gadis belia itu.
    Merayulah pada.Nya untuk keselamatan jalan bagi gadis belia itu.
    Tidak ada yang berubah, bahkan setelah raga itu tertutup tanah merah dan basah.
    Ia ada. Nyata hadir. Di hati. Di doa. Di nafas dan paru kita menggenapi fitrah sebagai hamba.Nya.
    Hanya satu yang berbeda. Bahasa kita mencinta. Tak lagi lewat kata. Tak lagi lewat belai manja. Tak lagi lewat tatap mata. Tak lagi lewat peluk mesra. Tapi, lewat doa. :”)

    Satu nama resmi masuk dalam list doa, bersanding dengan dua insan terkasih itu… Romo, Biyung, dan Fitria Ardana Anindya Jati

    Selamat mendoa untuk ia yang tercinta. :”)
    Ya Rabbi, kasih.Mu adalah nyata. Maka dengan ridho.Mu Tuhan semesta alam. Yang Maha Satu lagi Maha Berdiri Sendiri, ijinkan kami untuk berkumpul kembali di tempat sebaik baiknya kembali. :”) Surga.Mu. Aaamiiiin…aamiiin…aaamiiin ya rabbal’alamin.
                                   ^O^
    Dan kamu, Kakak Perempuan Gadis Belia itu. Sudikah kamu melanjutkan hari bersamaku? ^^ Menggenggam tangan kecil ini untuk meneruskan apa yang kita mulai, ya, ada amanah untuk menyelsaikan hal yang satu itu. Sungguh, ini belum terlambat. ^^ Sudikah untukmu menyudahi kemanjaan rasa itu? ^^ ada langkah panjang dan hari luar biasa di depan sana. Waktu istirahatmu sudah cukup untuk membangun kekuatan. ^^
    Ujian itu resmi membuatmu menjadi perempuan tegar. Percayaalah, semua baik baik saja.
    Lakukanlah apa yang memang butuh dilakukan, tidak perlu banyak bertanya. Kita tidak akan pernah tahu sebelum mengalaminya sendiri. Hi, I’m here.
    Saya disini. Siap membersamai.