Rss Feed
  1. Tunjuk Satu Bintang, Nak!

    Monday 16 December 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Selasa, 17 Desember 2013

                “Nak, lihatlah ke langit.” Bisik Ayah di suatu malam saat duduk merapat diteras rumah. Seraya membaringkan punggung didipan kecil beranda, mengajakku melihat apa yang ia tatap.    
                “Banyak bintangnya ya Yah.” Seruku antusias.
                “Iya, sekarang coba kamu pilih salah satu yang paling kamu sukai.”
                “Itu yah itu!” tunjukku pada satu bintang paling terang diantara semuanya. Bintang yang lalu ku beri nama kamu hingga kini.
                “Kenapa milih bintang yang itu?” tanya Ayah ingin tahu.
                “Karena suka, kan kata Ayah yang aku suka.” Jelasku masih dengan bahagia.
                “Hebat. Nah, nak, diantara banyaknya pilihan cita cita yang ada. Pilihlah satu cita cita yang paling kamu sukai. Jadikan itu bintangmu.”
                Saya diam. Merenung. Menyeleksi banyak hal yang saya sukai dalam waktu yang tak sebentar. Menanam bunga, menggambar desain bangunan, menata ruang, menyulam, memanjat pohon, bermain air, membantu ibu memasak, bersepeda, berlarian saat hujan, belajar bersama teman, berjualan donat bersama Feri, menjajakan soup buah ala Nova Risa, menjahit baju boneka, membuat origami, mendengarkan cerita, membaca buku, menulis surat, berjalan dipematang sawah, menyabuti uban Biyung, menganyam bambu, juga hal hal yang saya suka, semuanya resmi berlalu lalang meminta perhatian. Dan dari semua itu harus ada satu yang terpilih untuk kemudian saya sebut cita cita.
                “Entah apa pilihan cita citamu itu Nak, buatlah agar cita citamu itu tak hanya berguna untukmu tapi juga bermanfaat untuk sekitarmu.” Ucap Ayah menyudahi lamunanku.
                “Risa suka kalau diajak cerita Ayah! Mendengarkan Nini cerita, Ayah cerita, Kaki cerita, Bunda cerita, Mas Romi cerita, Biyung cerita, Rama cerita, semua deh.”
                “Kenapa Nak?” Alis Ayah terpaut. Membenarkan duduk menatap mata saya.
                “Soalnya dengan diajak bercerita, Risa merasa dipercaya. Merasa keberadaan Risa dibutuhkan. Dan ya seneng aja kalau mereka udah cerita beban mereka berkurang.hehhe” cengirku aroma stroberi pasta gigi.
                “Hahaha jika memang demikian lakukanlah Nak. Buatlah orang orang sekitarmu nyaman dengan kehadiranmu. Buatlah hal yang kamu cita citakan itu menjadi sebuah pekerjaan.”
                “Pekerjaan Yah?”
                “Iya, sebuah amalan yang membuatmu merasakan liburan setiap melakukannya. Sebab kamu menyukainya. Meminatinya juga meniatinya dengan kesenanghatian.”
                “Jadi kalau bekerja itu harus yang disenangi ya Yah?”
                “Iya Nak!”
                “Hmm tapi kok ada orang yang bekerja malah strees. Malah pusing gitu Yah?”
                “Sebab mereka tidak menikmatinya Nak. Fokus mereka bukan kesenanghatian tadi, ada banyak hal lain yang akan kamu temui nanti. Hal hal yang memaksamu menomorsekiankan kesenanghatian itu. Dari mulai kebutuhan pribadi hingga kebutuhan bersama.”
                “Hmmm tapi kan tetep Yah, kalau aku enggak suka, masa sih aku mau melakukannya.”
                “Iya secara teori memang akan demikian Nak. Namun jika sudah bertemu dengan banyak faktor tak terduga, terkadang kita diharuskan menjadi orang lain dulu untuk dapat menjadi diri sendiri.”
                “Jalan memutar itu ya Yah?”
                “Iya, bahwa banyak jalan hidup yang sering kali seperti obat nyamuk. Muter muter gitu. Misalnya saja, seorang pelukis miskin yang ingin mulai melukis. Dia harus memiliki kuas, palet, juga kanvas. Untuk membeli semua itu dibutuh uang. Lalu dia menjadi tukang becak untuk membeli alat lukis itu. Berarti dia menjadi orang lain dulu kan? Dalam hal menjalani hal yang bukan menjadi minatnya. Tapi sebab niatnya, iapun meminatkan dulu pada bidang perbecakan untuk menjadi batu loncatan menuju dunia pelukisan.”
                “Hmmm pusing Yah.” Garuk saya pada kepala yang tak gatal, “Yah, kalau cita cita Risa setinggi bintang dilangit apa Risa bisa dicapai?”
                “Coba deh kamu arahkan tangan kamu ke bintang kamu itu.” Ajak ayah.
                “Udah Yah!” tanganku mempraktekan hal serupa.
                “Tangan kamu terus aja berusaha buat menggapai bintang itu sampai suatu hari kamu bisa menggenggamnya!” kata Ayah semangat.
                “Apa bisa Yah?” sangsiku.
                “Selama kamu percaya dengan ikhtiar dan doa. Pasti ada jalan untuk bisa.” Tatap Ayah meyakinkan Sulungnya, “Inget Nak, tidak ada cita cita yang terlalu tinggi, yang ada usaha yang tidak setinggi cita citanya!”
                Saya termangu lama. Berfikir keras tentang kalimat Ayah malam ini.
                “Hahaha kamu masih kecil Nak!” gemasnya sembari mengacak poniku. “Masuk yuk, sudah malam. Temani Dek Rio dikamar!”
    ^O^
                Mengunjungi percakapan sepuluh tahun lalu. Di teras beranda yang bertabur bintang, lalu atmosfer rumah yang beraromakan rempah bayi baru lahir. Yah, sekitaran mei 2003an. Saat adik kedua saya lahir dan saya menungguinya penuh bahagia. Menemani Ayah diberanda dan mulailah merenda cita kecil.
                Cita cita adalah tujuan. Sebuah visi hidup seseorang yang mengarahkannya untuk melunasi banyak misi. Dan terkahir saya ingat cita cita saya bukanlah calon pekerjaan saya setelah lulus pendidikan jenjang strata satu ini. Cita cita saya masih sama semenjak saya membaca buku tentang ilmu kejiwaan manusia diperpustakaan kota.
                “Untuk apa belajar psikologi?mau ngurusi orang gila?” cemooh seorang rekan mendengar cita cita saya.
                “Justru dengan belajar psikologi kita bisa mencegah adanya orang gila baru. Psikolog tidak melulu mengurusi orang gila!” belaku tak terima.
                Meski demikian, nyata Allah menuntun saya dijalan yang berseberangan dengan cita cita saya. -,- sebuah program pendidikan. Jadilah saya mahasiswi fakultas pendidikan yang hidup dengan beasiswa semenjak semester dua (tapi masih galau beasiswa untuk dua tiga semester akhir ini ) -,-. Anggap saja saya bertemu batu loncatan :v bukan batu sandungan hlo ya :v sebab saya pernah bertanya pada seorang dosen di Fakultas Psikologi, kira kira apa masih bisa saya mengejar S2 dengan ambil psikolog anak. Dan beliau menjawab bisa, hanya saja ya tak ada tittle psikolog untuk saya. :D kyaaaa saya nyari ilmu sih pak, bukan tittle :P
                Saya masih merawat cita cita itu. Meyakininya untuk dapat saya perjuangkan. Mencari beasiswa untuk menyambung keingintahuan saya, mengobati kebodohan saya yang makin bertambah -,-. Jadi kalau saya ditanya cita cita sekarang, seorang Psikolog yang Hobby Nulis terus nyambi jadi guru PAUD :v. Untuk maju kan dari belakang ke depan, makannya saya sedang berjalan kedepan. Jadi Guru PAUD yang hobby nulis untuk kemudian memahami Psikolog :D (masih dalam tahab berusaha, tentunya).
                Dan seperti kata Ayah. Ketika bakat dan minat sejalan, cita cita menjadi pekerjaan lakukanlah dengan kesenanghatian terhias keikhlasan agar saat dijalani seperti liburan. :D Kalau kerjanya setiap hari kan seneng :D liburannya juga setiap hari :D :D

     

  2. 0 comments: