Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa,
17 Desember 2013
“Nak, lihatlah ke langit.” Bisik Ayah
di suatu malam saat duduk merapat diteras rumah. Seraya membaringkan punggung
didipan kecil beranda, mengajakku melihat apa yang ia tatap.
“Banyak bintangnya ya Yah.” Seruku antusias.
“Iya, sekarang coba kamu pilih salah
satu yang paling kamu sukai.”
“Itu yah itu!” tunjukku pada satu
bintang paling terang diantara semuanya. Bintang yang lalu ku beri nama kamu
hingga kini.
“Kenapa milih bintang yang itu?”
tanya Ayah ingin tahu.
“Karena suka, kan kata Ayah yang aku
suka.” Jelasku masih dengan bahagia.
“Hebat. Nah, nak, diantara banyaknya
pilihan cita cita yang ada. Pilihlah satu cita cita yang paling kamu sukai. Jadikan
itu bintangmu.”
Saya diam. Merenung. Menyeleksi banyak
hal yang saya sukai dalam waktu yang tak sebentar. Menanam bunga, menggambar
desain bangunan, menata ruang, menyulam, memanjat pohon, bermain air, membantu
ibu memasak, bersepeda, berlarian saat hujan, belajar bersama teman, berjualan
donat bersama Feri, menjajakan soup buah ala Nova Risa, menjahit baju boneka,
membuat origami, mendengarkan cerita, membaca buku, menulis surat, berjalan
dipematang sawah, menyabuti uban Biyung, menganyam bambu, juga hal hal yang
saya suka, semuanya resmi berlalu lalang meminta perhatian. Dan dari semua itu harus
ada satu yang terpilih untuk kemudian saya sebut cita cita.
“Entah apa pilihan cita citamu itu
Nak, buatlah agar cita citamu itu tak hanya berguna untukmu tapi juga
bermanfaat untuk sekitarmu.” Ucap Ayah menyudahi lamunanku.
“Risa suka kalau diajak cerita Ayah!
Mendengarkan Nini cerita, Ayah cerita, Kaki cerita, Bunda cerita, Mas Romi
cerita, Biyung cerita, Rama cerita, semua deh.”
“Kenapa Nak?” Alis Ayah terpaut. Membenarkan
duduk menatap mata saya.
“Soalnya dengan diajak bercerita,
Risa merasa dipercaya. Merasa keberadaan Risa dibutuhkan. Dan ya seneng aja
kalau mereka udah cerita beban mereka berkurang.hehhe” cengirku aroma stroberi
pasta gigi.
“Hahaha jika memang demikian
lakukanlah Nak. Buatlah orang orang sekitarmu nyaman dengan kehadiranmu. Buatlah
hal yang kamu cita citakan itu menjadi sebuah pekerjaan.”
“Pekerjaan Yah?”
“Iya, sebuah amalan yang membuatmu
merasakan liburan setiap melakukannya. Sebab kamu menyukainya. Meminatinya juga
meniatinya dengan kesenanghatian.”
“Jadi kalau bekerja itu harus yang
disenangi ya Yah?”
“Iya Nak!”
“Hmm tapi kok ada orang yang bekerja
malah strees. Malah pusing gitu Yah?”
“Sebab mereka tidak menikmatinya
Nak. Fokus mereka bukan kesenanghatian tadi, ada banyak hal lain yang akan kamu
temui nanti. Hal hal yang memaksamu menomorsekiankan kesenanghatian itu. Dari mulai
kebutuhan pribadi hingga kebutuhan bersama.”
“Hmmm tapi kan tetep Yah, kalau aku
enggak suka, masa sih aku mau melakukannya.”
“Iya secara teori memang akan
demikian Nak. Namun jika sudah bertemu dengan banyak faktor tak terduga,
terkadang kita diharuskan menjadi orang lain dulu untuk dapat menjadi diri
sendiri.”
“Jalan memutar itu ya Yah?”
“Iya, bahwa banyak jalan hidup yang
sering kali seperti obat nyamuk. Muter muter gitu. Misalnya saja, seorang
pelukis miskin yang ingin mulai melukis. Dia harus memiliki kuas, palet, juga
kanvas. Untuk membeli semua itu dibutuh uang. Lalu dia menjadi tukang becak
untuk membeli alat lukis itu. Berarti dia menjadi orang lain dulu kan? Dalam hal
menjalani hal yang bukan menjadi minatnya. Tapi sebab niatnya, iapun meminatkan
dulu pada bidang perbecakan untuk menjadi batu loncatan menuju dunia pelukisan.”
“Hmmm pusing Yah.” Garuk saya pada
kepala yang tak gatal, “Yah, kalau cita cita Risa setinggi bintang dilangit apa
Risa bisa dicapai?”
“Coba deh kamu arahkan tangan kamu
ke bintang kamu itu.” Ajak ayah.
“Udah Yah!” tanganku mempraktekan
hal serupa.
“Tangan kamu terus aja berusaha buat
menggapai bintang itu sampai suatu hari kamu bisa menggenggamnya!” kata Ayah semangat.
“Apa bisa Yah?” sangsiku.
“Selama kamu percaya dengan ikhtiar
dan doa. Pasti ada jalan untuk bisa.” Tatap Ayah meyakinkan Sulungnya, “Inget
Nak, tidak ada cita cita yang terlalu tinggi, yang ada usaha yang tidak
setinggi cita citanya!”
Saya termangu lama. Berfikir keras
tentang kalimat Ayah malam ini.
“Hahaha kamu masih kecil Nak!”
gemasnya sembari mengacak poniku. “Masuk yuk, sudah malam. Temani Dek Rio
dikamar!”
^O^
Mengunjungi percakapan sepuluh tahun
lalu. Di teras beranda yang bertabur bintang, lalu atmosfer rumah yang
beraromakan rempah bayi baru lahir. Yah, sekitaran mei 2003an. Saat adik kedua
saya lahir dan saya menungguinya penuh bahagia. Menemani Ayah diberanda dan
mulailah merenda cita kecil.
Cita cita adalah tujuan. Sebuah visi
hidup seseorang yang mengarahkannya untuk melunasi banyak misi. Dan terkahir
saya ingat cita cita saya bukanlah calon pekerjaan saya setelah lulus
pendidikan jenjang strata satu ini. Cita cita saya masih sama semenjak saya
membaca buku tentang ilmu kejiwaan manusia diperpustakaan kota.
“Untuk apa belajar psikologi?mau
ngurusi orang gila?” cemooh seorang rekan mendengar cita cita saya.
“Justru dengan belajar psikologi
kita bisa mencegah adanya orang gila baru. Psikolog tidak melulu mengurusi
orang gila!” belaku tak terima.
Meski demikian, nyata Allah menuntun
saya dijalan yang berseberangan dengan cita cita saya. -,- sebuah program
pendidikan. Jadilah saya mahasiswi fakultas pendidikan yang hidup dengan
beasiswa semenjak semester dua (tapi masih galau beasiswa untuk dua tiga
semester akhir ini ) -,-. Anggap saja saya bertemu batu loncatan :v bukan batu
sandungan hlo ya :v sebab saya pernah bertanya pada seorang dosen di Fakultas
Psikologi, kira kira apa masih bisa saya mengejar S2 dengan ambil psikolog
anak. Dan beliau menjawab bisa, hanya saja ya tak ada tittle psikolog untuk
saya. :D kyaaaa saya nyari ilmu sih pak, bukan tittle :P
Saya masih merawat cita cita itu. Meyakininya
untuk dapat saya perjuangkan. Mencari beasiswa untuk menyambung keingintahuan
saya, mengobati kebodohan saya yang makin bertambah -,-. Jadi kalau saya
ditanya cita cita sekarang, seorang Psikolog yang Hobby Nulis terus nyambi jadi
guru PAUD :v. Untuk maju kan dari belakang ke depan, makannya saya sedang
berjalan kedepan. Jadi Guru PAUD yang hobby nulis untuk kemudian memahami
Psikolog :D (masih dalam tahab berusaha, tentunya).
Dan seperti kata Ayah. Ketika bakat
dan minat sejalan, cita cita menjadi pekerjaan lakukanlah dengan kesenanghatian
terhias keikhlasan agar saat dijalani seperti liburan. :D Kalau kerjanya setiap
hari kan seneng :D liburannya juga setiap hari :D :D
0 comments:
Post a Comment