Rss Feed
  1. Fatah ^^

    Saturday, 7 December 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 08 Desember 2013


                Tertanggal 13 Desember 2013. Nyaris setahun yang lalu. Saya mengunjungi ruang kenangan itu. Menemukan sesosok raga yang mencuri perhatian dan kasih sayang beberapa bulan lamanya. :”) Hai Fatah Sayang :”)
                Namanya Fatah. Sulung dari tiga bersaudara. Dinda dan Najwa dua adik perempuan yang tak jauh beda dalam hal usia. Mereka selalu saja mengundang bahagia tiga  hari dalam seminggu. Senin, Rabu, Jumat, atau Selasa, Kamis, Jumat. Tiga hari dalam seminggu selepas dzuhur. Melalui seorang rekan saya diperkenankan menemani Fatah mengeja huruf.
                Dengan Ibu yang masih muda dan cukup paham pergaulan masa kini, bertuturlah sang Ibu tentang kondisi Fatah pada saya. Dengan harap saya memiliki tindakan bjiak untuk sang buah hati juga agar saya lekas beradaptasi.
                Fatah baru masuk beberapa bulan disekolah dasarnya yang dekat rumah. Mengikuti segala pelajaran sesuai irama. Sayangnya irama yang didendangkan Fatah berbeda dengan irama yang dinyanyikan rekan rekannya. Fatah yang tidak bisa diam, Fatah yang tak bisa fokus dalam jangka waktu lama, fatah yang ini fatah yang itu, ini itu yang pada akhirnya membuat rekan rekannya merasa terganggu. Ini itu yang pada akhirnya membuat gurunya meneriakinya ‘sakit’. Ini itu yang membuat lingkungan memperlakukannya dengan tatap ‘ihh!’ tatap ‘enggan mendekat.’ Tatap ‘awas berbahaya’. Dan dari tatap tatap itulah Fatah kian mengecil, menyublimlah semangat Fatah untuk belajar, yang ada hanya tekanan, tuntutan, juga ketiadaan teman. Fatah ingin punya teman, fatah ingin diperhatikan seperti yang lain, fatah ingin belajar. Dinding ingin yang jebol hingga membuahkan tantrum, dan Fatah pulang dalam kondisi terpasung!
                “Astagfirullah!” pekik saya tertahan membayangkan anak seusia Fatah terpasung hanya sebab kata orang dewasa ‘nakal’? Hei, siapa yang berlebihan disini? -_-
                Ibu Fatah menerima kepulangan fatah kerumah dengan linangan air mata, tak tega melihat buah hatinya didera sedemikian rupa. Dari sekian banyak guru di sekolahnya kenapa tidak ada yang mampu mengontrol Fatah sehingga memilih memasung Fatah kecil.
                Ya Rabbi, sepertinya mereka lupa pada fungsi hati yang mendamaikan itu. :”(.
                Ibu Fatah seperti yang saya bilang tadi. Ibu muda dengan tiga anak kecil kecil (Fatah kelas 1, Dinda TK, dan Najwa baru merangkak *pentingnya memikirkan jeda memiliki anak :3) bukan menutup mata pada keistimewaan Fatah itu. Beliau memang tidak tahu tentang gejala yang mengindikasikan bahwa Fatah mengalami ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorder / Hiperaktif, kondisi dimana anak memiliki kelebihan tenaga sehingga membuatnya nampak tidak pernah lelah), beliau bari tahu setelah kejadian yang dialami Fatah disekolah. Beliau menyekolahkan Fatah di sekolah dasar dekat rumah berharap akan lebih mampu mengontrol pergaulan dan kondisi Fatah, mengingat ada dua makhluk cantik dirumah yang juga masih sangat butuh perhatian. sayangnya harap tak sesuai nyata. :3 Pihak sekolah malah menyalahkan keputusan sang Ibu sebab menyekolahkan Fatah di sekolah umum :3.
                Mendengar fakta adanya sikap guru yang demikian, sunggu mengiris hati :3. Karakter guru yang mengayomi menguap bersama bubuk detergen dipakaian mereka saat dijemur. Membuat hati mereka gersang tandus tanpa kesejukan . :3 Bahkan sudah menjadi tugas guru untuk dapat membantu siswanya dalam belajar. Membuat yang bodoh menjadi pintar, pintar menjadi cerdas, cerdas menjadi super cerdas. Dan dalam kasus Fatah, sudah seharusnya guru mampu membantu Fatah untuk lebih dapat fokus, dapat diterima teman temannya, bukan malah ikut membedakan. :3 Mengganti model pembelajaran menjadi lebih kreatif sehingga tidak menyisakan siswa untuk berpaling dari materi misalnya, membuat proses belajar semenarik dan seinteraktif mungkin. Bukankah ketika siswa tidak bisa fokus dan tertarik pada obyek lain adalah tanda ada yang perlu diperbaiki dari cara kita menyampaikan materi? Bahwa itu terguran tersirat bahwa kita masih perlu berbenah? Bukan lantas menyalahkan siswanya dan menjudge mereka tak bisa menyesuaikan! Tugas guru kan juga membuat semua potensi dan prestasi terstimulus dipermukaan tindak. Merangkum semua kemampuan agar terekplore secara optimal, bukan semata membandingkan satu sama lain dalam peringkat kelas dan nilai rapor :3. Jika ada satu yang berbeda ya berarti harus memiliki cara untuk tetap merangkulnya agar mampu setara dan membaur bersama rekannya.
                Dan ya saya akan berusaha menjadi teman belajar Fatah yang baik. :”)
                Sangat paham pada banyak kemungkinan. Bahwa barangkali Fatah akan cepat bosan, susah fokus, selalu bergerak, minta ini itu dll. Benar benar harus kreatif. Memikirkan permainan edukatif, menyisipkan pembelajaran dalam permainan kami. Saling lempar soal pertambahan pengurangan saat tos tosa, bermain abcd untuk kemampuan berbahasanya, tebak gambar meski saya tak pandai menggambar, juga permainan sederhana lainnya.
                Pernah saat Fatah barangkali sedang terlalu lelah sebab kurang istirahat (ADHD sering lalai untuk istirahat sebab kapasitas tenaga mereka membuatnya selalu ingin bergerak) Sebuah kata ganti –nya menyulut tantrumnya. Melempari saya dengan alat belajar terdekat *seusai saya menjauhkan gunting dan cutter pengasah pensil. Buku, pensil, penghapus, penggaris, semua melayang, mengarah pada saya. hati saya banjir. Takut dan sedih. Takut jika Fatah patah semangat untuk belajar. Sedih sebab saya belum mampu benar benar mengoptimalkan fungsi diri untuk menemaninya belajar. Tapi, diantara takut dan sedih itu ada seutas rasa tertantang untuk mampu mengontrol Fatah yang undercontrol.
                Saya merapikan alat alat tulis, buku buku saya masukan ke dalam tas serta memasang wajah datar seolah lelah dan menyerah.
                “Ibu ngapain beres beres!” bentaknya menghentikan aksi melempari saya.
                “Mau pulang Fatah. Kan Fatah udah enggak mau belajar sama Ibu, terus ngapain dong Ibu disini? Fatah istirahat aja, enggak usah belajar lagi sama Ibu, ya?” tawarku tanpa dosa. Enggan mempedulikan tantrumnya.
                “Tapi itu belum selesai nulisnya!” Yes! Dia terpancing.
                “Laa kan Fatah enggak mau nurut sama Ibu. Kan kalau Fatah lagi belajar harus nurut sama Ibu, bukan Ibu yang nurut sama Fatah.” Belaku teriring senyum.
                “Fatah enggak suka sama orang tua! Sukanya ngatur ngatur!”
                “Ngatur gimana? Kan orang tua Cuma ingin Fatah itu nurut buat belajar. Katanya Fatah ingin jadi Dokter biar bisa ngobatin Najwa kalau Najwanya sakit (Fatah tidak terlalu suka dengan Dinda, haha mungkin salah satu indikasi sibling rivalry), terus bisa beli mobil buat jalan jalan sama ibu (hari pertama saya bertanya cita citanya Fatah, dan dia cerita hal itu haha) Nah buat jadi dokter itu harus cerdas Fatah, buat jadi cerdas ya harus rajin belajar.” Jelasku pelan namun disertai intonasi penekanan halus.
                “Tapi Fatah enggak mau nulis –nya!”
                “Yaudah kalau gitu, Ibu pamitan pulang ya Fatah.” Kataku sembari beranjak.
                “Ck! Huh! Ini nulisnya diselsein dulu Bu!” teriaknya menahan saya pergi.
                “Fatah masih mau belajar sama Ibu?”
                “Mau.” Lirihnya. Merapikan alat tulis dan buku yang tadi melayang ke banyak arah.
                Dan ya Fatahpun meneruskan kalimatnya hingga mencapai titik. Menatapnya yang sudah tidak seperti dua puluh satu lima puluh lima detik lalu, sungguh membuat hati basah. Ya Rabb, anak sekecil ini :”) betapa pemurah.Nya Engkau menitipkan hikmah.
                “Fatah, kalau kita jahat sama orang dan membuat orang itu sakit kita harus?” Pancingku seusai proses belajarnya.
                “Minta maaf kan Bu?” teriring senyum semula.
                “Iya Fatah.”
                “Ibu, kelingking Ibu mana?”
                “Ini?”
                “Fatah minta maaf ya Bu tadi nakal sama Ibu.”
                Dan dua kelingking satu besar satu kecil itupun bertaut bersama dua empunya senyum dan detak jam pukul lima sore. Saya hanya mengacak ngacak poninya, berpamitan bersama Vio diparkiran depan, memastikan untuk pertemuan selanjutnya dia sudah tidur siang.
                “Ibu Hati hati di jalan ya Bu.” Selorohnya sembari mencium punggung tangan saya.
                “Iya sayaaang. Fatah dikerjain PR nya yaa...” kedipku mengingatkan.
                Sore itu tanpa gerimis yang mengundang, hati saya berdendang lega dan bangga. Lega untuk senyum Fatah yang kembali, bangga pada semangat belajar Fatah. :”) Ya Rabb, terima kasih. :*
                Dimana Fatah sekarang?
                Fatah masih diterapi untuk penanganan ADHD yang lebih profesional. Saya pernah membincangkan Fatah dengan kakak perempuan tersayang saya, menceritakan banyak hal mengenai saya dan Fatah. Dan sepertinya jika strategi yang saya terapkan untuk Fatah terus berlanjut maka bukan kemandirian yang timbul pada diri Fatah, melainkan kelekatan pada saya. Hmmm efek ketidakmampuan saya marah dengan Fatah (juga anak orang lainnya :3). Dalam benakk saya kala itu, yang penting Fatah masih ada minat untuk belajar, untuk kemandirian biarlah berjalan dalam proses belajar kami. Membiarkan sebuah kedekatan itu nyata untuk kemudian berlahan mengajaknya untuk lebih mandiri. Ya itu cita cita jangka panjang saya pada proses kami. Dan Allah berkehendak lain. :”) Fatah diharuskan dibimbing oleh ahlinya. :”)
                Sesekali Fatah sms saya, :D menanyakan kapan saya akan bermain ke rumahnya, menanyakan anak saya (Saya pernah membawakan buku mewarnai untuk Fatah, dan ternyata ada satu halaman yang sudah diwarnai adik saya. Nah Fatah tanya, ini yang mewarnai anak ibu ya? Saya sih hanya tersenyum meng.iya.kan :D) :”D
     

  2. 0 comments: