Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Nyatanya Qonaah itu sudah ada jauh sebelum ia mengenal rupiah.

     “Alfa tadi suratnya sudah dikasihkan ke Bu Eva?” tanyaku sepulang sekolah sembari mengecheck isi tasnya.

    “Surat?” Wajahnya berupaya mengingat pesanku pagi tadi.

    “Laah, ini suratnya masih ada, tapi kok uangnya ndak ada. Uangnya kemana?”

    “Uangnya untuk beli jajan tadi.”

    “Semua?”

    “Iyaa, soalnya saya tidak menemukan uang. Hanya satu.”

    “Astagfirullah Alfaaaa….Kan tadi pagi sudah Bunda sampaikan. Uang yang disurat tolong dikasihkan ke Bu Eva, Alfa jajannya pakai uang yang satunya, yang ada angkanya dua. Tadi pagi kan Alfa jawabnya iyaa, sudah paham.” *Emaknya sedang berusaha menahan esmosi.

    “Iyaaa, Bunda. Maaf. Saya lupa.”

    “Besok lagi diinget inget dong kalau Bunda ngomong.”

    “Iyaa Bundaa … Maafin yaa…”

    “Hmmmmm *hela nafas* Iya Bunda Maafin, tapi Alfa bertanggung jawab yaa. Harus mengganti uang yang tadi digunakan dengan uangnya Alfa, soalnya itu uangnya kan untuk Infaq Ijtima besok. Jadi nanti Bunda ambil uang tabungannya Alfa sepuluh ribu, oke?”

    “Baik Bunda …”

    “Yaudah, ini tolong dikasihkan ke Bu Eva .”

     

    Saat emosi sudah membaik, karena yaa lupa itu manusiawi bukan? Ndak, papa meski agak sedikit gemesh. Dalam perjalanan menuju tempat kerja usai penjemputan, kutanyakan kembali perihal uang sepuluh ribu itu. Bagaimana bisa ia menghabiskannya dalam sehari?

     “Alfa, tadi Alfa jajan apa saja memangnya di sekolah?”

    “Tadi saya beli jagung susu Bunda.”

    “Enaaaak kah? Keknya sering beli jagung yaa Alfa?”

    “Enak Bunda, ada manis manisnya, ada kejunya juga tapi sedikit.”

    “Trus jajan apa lagi selain jagung?”

    “Tidak jajan apa apa lagi. Hanya satu.”

    “Laaah? Kan tadi Alfa menghabiskan uang sepuluh ribu sama uang dua ribu, berarti Alfa tadi menggunakan uang dua belas ribu. Itu banyak sekali, tapi kok jajannya hanya sekali?”

    “Iyaa, tadikan uangnya saya kasih ke teman-teman.”

    “Teman-teman? Semuanyaa?”

    “Iya Bunda…”

    “Ya Allah … *emaknya mulai berkaca-kaca* kan Alfa bawa dua uang, satu angkanya sepuluh satu lagi ada angkanya dua. Nah yang dipakai jajan Alfa yang mana?”

    “Hanya ada satu Bunda uangnya, tidak ada angka dua.”

    “Tapikan tadi pagi Bunda kasihnya dua lembar.”

    “Tapi tidak ada Bunda. Sudah Saya cari hanya ada satu.”

    “Oke baiklah, jadi Alfa jajan pakai uang yang angka sepuluh, jajan jagung satu kali, dan uang kembaliannya dikasih ke teman semua?” *konfirmasi kronologis hari itu

    “Iyaa Bundaa, soalnya kasihan, tidak dibawakan sangu.”

    “Eh masa? Mereka tidak bawakan uang maksudnya?”

    “Iya, tidak dikasih sangu uang, jadi tidak punya uang, tidak bisa jajan.”

    “Sik bentar, tadi Alfa kasih uangnya ke satu teman atau ke banyak teman memang?”

    “Banyak Bundaa, kan banyak yang tidak disangu.in.”

    “Okee..mungkin mereka dibawakannya bukan uang, tapi makanan Ndud. Sangu itu kan artinya bekal, dan bekal bisa macam-macam. Seperti Alfa kalau di Seroja juga bawanya sangu nasi, lauk, sayur, buah dan jajan.”

    “Tapi jadi tidak bisa jajan di Sekolah Bunda, kasihan.”

    “Iyaa gapapa, Alfa boleh kasihan sama teman. Dan ndak papa berbagi ke teman jika memang Alfa punya uang dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa. Tapi lain kali, tolong bilang ke Bunda dulu yaa. Dan tentu saja, pakai uang jajan Alfa sendiri, bukan uang yang harusnya untuk bayar urusan sekolah.”

    Meski agak mengejutkan, namun kejadian hari itu membuat rasa banggaku terhadap si Kakak bertambah setidaknya dua puluh centi meter. MaasyaAllah, bukankah sikapnya terhadap uang berlebih menunjukkan adanya bibit qonaah dalam dirinya? Perasaan cukupnya hanya jajan seribu meski ia memiliki uang sepuluh ribu. Terlepas, belum terlalu mahfhumnya ia pada nominal, toh sebenarnya dia sudah paham jika masih memiliki uang kembali artinya ia masih bisa memperbanyak jajan. Tapi, maasyaAllah dia tidak demikian. Ia beli secukupnya, seperlunya dan sisanya ia tunaikan pada jalur kasih pada teman-temannya.

    Dan Semoga perasaan cukup itu selalu ada hingga kapanpun. Tumbuh dan mengakar sebagai bibit perilaku tawadhu, zuhud, nan mudah bersyukur. Sehingga mampu untuk hidup sesuai kapasitas diri tanpa harus memaksa terlihat mulia di mata manusia :’)

     Bagimu cukup dengan apa yang dipunya usai upaya itu tertunai seutuh iman dan takwa. 

    MaasyaAllah Naaak, lagi-lagi Bunda belajar darimu :”)

     Btw Alfa uang jajan Alfa dua ribu, dan pernah dia habiskan meski lebih sering ia sisakan seribu untuk ditabung. Lalu misteri kemana perginya uang dua ribu yang saya berikan sebagai sangunya Alfa, masih belum terjawab.