Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                *hmmmmm* Menghela nafas sebentar. Bukan sebab menuliskan ini akan memerlukan banyak tenaga, bukan pula sebab berfikir banyak, namun menuliskan ini berarti menyatukan kepingan – kepingan cerita yang sempat masuk kerajaan kenangan.
                Masa Ksatria Kedua berkenalan, beradaptasi, hingga mampu berinteraksi sampai kini. Tanpa jelas siapa yang menjadi guru, semua menikmati masa pembelajaran tersebut. Dan selalu, adalah “Mengapa dan Kenapa” yang hadir ketika saya ditanya alamat.
                Dan ketika harus memberikan testimoni, fikir saya melayang jauh kemana – mana. Harus mulai darimana? Hmmm saya bingung.
    ^O^
                Menggaris bawahi program “Jagongan Orang Tua CahBocah” sebagai daya tarik dari Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) di mata saya. Sejenis forum bincang hangat yang tercipta setiap akhir tema pembelajaran sebagai wadah komunikasi proses di sekolah dan di rumah. Di hadiri oleh orang tua/wali dari CahBocah, seperangkat Mas/Mbak SABS, Pak Yudi, dan terkadang Mbah Gondrong atau beberapa rekan mahasiswa/i dengan KEPO tingkat univ. Mengambil waktu ba’da isya dengan harapan kehadiran penuh dari segenap orangtua/wali CahBocah.
                Terhitung empat atau lima kali saya mengikuti Jagongan tersebut, tiga kali menerima raport sisanya sebagai seorang mahasiswi KEPO :v. Raport pertama mengabarkan proses adaptasi Ksatria Kedua dengan lingkungan barunya, teman – teman dan proses belajarnya.
                “Gimana, mau sekolah di Solo atau di Kebumen aja?” tanyaku retoris dalam perjalanan pulang.
                “Di Solo aja Yu.” Jawab Ksatria Kedua spontan.
                “Hla kenapa? Yayu capek ig jemputin kamu terus haha ” candaku polos.
                “Hla disini enggak pernah nyatet kok!”
                Ketahuan kan kalau Ksatria Kedua itu menjauhi hal – hal administratif :D
                Pertemuan sebagai wali dari Ksatria Kedua nyata berbuah fikir tentang Undang-Undang Nomor 20          Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sebab tidak ada bangsa yang mampu mencapai kemajuan tanpa meletakkan pendidikan sebagai dasar utama pembangunannya, maka melalui undang undang tersebut pemerintah menghadirkan tiga pilar pendidikan, yakni Pendidikan Formal, Pendidikan Informal, dan Pendidikan Non Formal.            
             Lantas mengapa tidak semua sekolah mengadakan Jagongan semacam ini? Amm setidaknya dengan mengadakan bincang hangat pendidik di rumah dan di sekolah akan mendukung penanganan tepat terhadap perkembangan perilaku anak, tidak hanya perilaku. Bisa apapun sebenarnya, mengingat semua hal tentang perkembangan anak bisa dimasukan dalam bahan bincang Jagongan tersebut. Intinya untuk melunasi UU Nomor 20 Tahun 2003 itu harus ada tindak sinergi dari tiga pilar pendidikan. Sekolah selaku pemegang ranah pendidikan formal, Rumah selaku pemilik ranah informal, serta masyarakat sebagai kendali pendidikan non formal.
                Nyatanya, banyak orangtua yang seolah menyerahkan penuh perkara pendidikan anak tersebut pada pihak sekolah. Ketika anak bermasalah dalam hal kognitif maupun afektif, kerap sekolahlah sasaran empuk dikambing hitamkan.
                Nyatanya, banyak sekolah yang menuding rumahlah sumber masalah anak bermasalah. Penanaman nilai dari moral dari keluarga yang kurang kuat sebagai pondasi anak melangkah keluar gerbang sosial, tak ayal menjadi pintu masuknya pencermaran akhlak anak.
                Nyatanya, rumah dan sekolah pun masih bisa menyalahkan lingkungan yang tidak mendukung perkembangan sosial anak. Lingkungan yang kotor, kasar, antipati, cuek, cerewet, pun dengan lingkungan yang rawan tindak kriminal, semua sukses menggiring anak menjadi pribadi yang kurang menyenangkan.
                Jika mengkambinghitamkan sudah cukup untuk menyelsaikan perkara pendidikan anak, sudah sedari dulu saya lakukan. -_-. Sayangnya, menunjuk pelaku belum tentu menunjukkan jalan keluar.


    ^O^
                My SABS edisi idhul adha yang memuat “Kurikulum Orang Tua” torehan pena Rhenald Kasali serta secarik frasa yang betul – betul saya garis bawahi sekaligus kepegang erat perkara pendidikan anak ini. Laporan perkembangan Ksatria Kedua di sekolah dari Mas dan Mbaknya tentang live in Tlogowatu hingga Lapak Rebo Legi, diakhir laporan menyatakan ada “PR Bersama” yang menyemangati saya untuk lebih membersamai Ksatria Kedua ini.
                “PR Bersama”
                Pas. Bukan hanya tentang bagaimana atau dimana peringkat prestasi anak disekolah, bukan hanya tentang bagaimana atau menjadi apa anak di rumah. Bukan hanya tentang bagaimana dan seperti apa anak dimasyarakat. Namun bagaimana dan seperti apa anak disekolah, rumah, dan masyarakat. Tiga pilar yang memang harus disatukan. Tiga keping puzzle yang memang harus di gabungkan untuk menjadikan obyek itu utuh.
                Rumah dengan penanaman pembiasaan yang memperkuat pondasi anak berakhlak mulia hingga mampu mengajak insan lainnya, beriringan dengan perluasan wawasan ilmu dari sekolah, lantas bersinergi dengan masyarakat yang paham cara mendukung perkembangan anak.
                Misal,
                Di rumah anak diajak menjadi insan taat beribadah, santun kepada orang lain, peka terhadap kebutuhan, di sekolah anak diajak menjadi insan yang mampu melihat dunia dari banyak sisi, membuka banyak jendela semesta lantas masyarakatnya mendukung dengan kesadaran bersama tentang jam belajar (tidak bisa kan, kalau jam belajar hanya berlaku pada satu rumah,sementara rumah yang lain riuh oleh aneka hiburan audio visual. Fokus anak mesti terhias iri :3 )
    ^O^
    Sekalipun tidak ada tujuan pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan secara tersurat, tetapi secara tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik.
    Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan formal, non formal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi tidak bisa pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya output pendidikan berupa sumber daya manusia sangat tergantung kepada hubungan ketiga sub system tersebut. Terlebih lagi pendidikan informal sebagai suatu fase pendidikan yang berada di samping dan di dalam pendidikan pendidikan formal dan non formal sehingga sangat menunjang keduanya, karena sebagian besar waktu peserta didik adalah justru berada di dalam ruang lingkup yang sifatnya informal yaitu lingkup keluarga.
    Berbagai penelitian yang dilakukan di banyak negara menunjukkan bahwa kesinambungan dari keselarasan layanan di sekolah (pendidikan formal) dengan pengasuhan di keluarga memberi dampak positif bagi keberhasilan anak di sekolah dalam jangka waktu panjang. Karena itu program Kelas Orang Tua yang terwujud dalam Jagongan Orantua/ Wali cahbocah SABS sebagai wujud pendidikan berbasis keluarga sebagai ikhtiar agar mampu menguatkan peran keluarga sebagai media pendidikan informal dan peran lembaga sebagai media pendidikan formal dalam memberikan layanan pendidikan anak yang komprehensif (Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Kemendiknas: 2011).
    ^O^
    Proses pengasuhan anak yang terangkum dalam istilah pola asuh orang tua merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi kepada anaknya. Pengasuhan orang tua diharapkan mampu memberikan kedisiplinan terhadap anak, memberikan tanggapan yang sebenarnya agar anak merasa orang tuanya selalu memberikan perhatian yang positif terhadapnya. Pola asuh orang tua sebagai suatu bimbingan terhadap anak untuk membentuk kepribadian yang nantinya dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan pola asuh orang tua merupakan penjagaan, perawatan dan mendidik anak untuk belajar dewasa dan mandiri. Sehingga dengan demikian adanya Jagongan Orangtua/Wali cahbicah SABS adalah tindak sinergi antara pihak sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dan pihak keluarga sebagai lembaga pendidikan informal mewujudkan pembangunan kepribadian anak. Memberikan tanggapan yang sebenarnya agar anak merasa orangtuanya senantiasa mendukung aktivitas mereka. Juga menjadi salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan hubungan orangtua dengan pihak sekolah, menjadikan orangtua tidak hanya disibukan saat proses pendaftaran dan penerimaan hasil belajar saja. Lantas sebagai anggota dari masyarakat kita mampu memposisikan diri seberapa besar porsi kita pada lingkungan, mampu membedakan ranah pribadi dan yang boleh dicampuri.
    Maka,
    Mari bersinergi membangun negeri ^_^

    Jika kata Ayah Edy Indonesia Strong From Home, kata Risa Indonesia Strong From Triangle. Tiga pilar yang harus diselaraskan keberjalanannya. PR Bersama kok! Makannya Ayoo :D