Rss Feed
  1. Perempuan Penjudi

    Wednesday 16 December 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Hahaha saya penjudi yang buruk.

    Tunggu! Ini bukan perkara taruhan materi yang dipertaruhkan atas dasar ekonomis. Bukan perkara mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan harta sebanyak mungkin. Keluarga Cemara kami tak memiliki harta melimpah sedemikian luas untuk sekedar ditaruhkan di meja judi. Kesehatan, Waktu, dan Iman, adalah tiga yang kami miliki, dan bisa dengan mudah diambil oleh Tuhan sebab Ialah pemilik sejati semua itu. Perkara judi ini tentang perlegoan yang aku cicil satu per satu melalui suratan Tuhan.

    Perjudianku dengan Tuhan.
    Bapak. Meski dia juga bukan penjudi yang baik, tapi nyata dia mengenalkanku dengan perjudian di awal jejak akademis itu dia tawarkan. Pengambilan raport adalah momentnya.
    “Kalau kamu bisa ranking, Bapak akan ajak jalan jalan ke Rita.”
    Kesederhanaan Kota Beriman kami tak mengijinkan kehadiran Mall sekelas Paragon atau semacam Solo Grand Mall. Cukup dua pasar raya di sana, Rita dan Jadi Baru. Sudah dan semoga cukup. Kala itu baru ada Rita. Jalan jalan ke sana untuk ukuran gadis desa macam saya itu cukup menyenangkan. :”)
    Tiga kali setahun tiket itu saya pegang, dua tahun di kelas lima dan enam sebab system berganti dari catur wulan ke semester. Di kalikan saja berapa kali seharusnya saya berjalan jalan di pasar raya itu. :”)
    Nyatanya hanya beberapa kali.
    Bapak kalah taruhan dengan Tuhan rupanya. Tapi, tidak apa. Bapak jujur perkara itu. Dan kejujuran selalu lebih baik dari apapun. Aku mencintaimu Lelakiku :*
    Bersama Vespa Biru, kami menghirup atmosfer malam Kebumen. Menatap kerlip lampu jalanan. Menghirup dalam dalam jajaran sate khas Ambal yang berceceran sepanjang jalan Ambal dan Kutowinangun, pun kuliner kuliner berasap lainnya. Jika bapak punya cukup uang, dan aku berani mengatakan betapa kala itu saya menginginkan kuliner itu. Belum tentu syukurku hadir sebab ada sempat bepergian dengan Bapak.
    Tidak ada pasar raya pasca pengambilan raport meski tiga buku dan tiga bolpoint resmi menjadi saksi juara kelas itu tergenggam. Hanya ada kunjungan kunjungan ke tempat sahabat – sahabat bapak. ^^ Tempat tempat ramah bin menyenangkan yang kini hanya beberapa yang teringat.
    Daerah Panjer pernah menjadi saksi perjuangan bapak dan saya bermesraan dengan malam, dengan asap bensin campuran dari knalpot vespa bapak. Pun saksi atas maha karya bapak menunaikan pesanan pagar pagar rumah pelindung dari ketidakamanan koordinat pinggir jalan besar. :”) Mereka adalah desain yang ditawarkan bapak. ^^

    Sekarang saya paham, genetika siapa yang mewarisi tangan ‘utak atik’ ini.
    Perjalanan lintas ukhuwah itu nyata memberi ruang hangat tersendiri. Meski bapak bukan siapa siapa di desa, beliau adalah insan yang tak segan menyapa sesiapapun. Benih dasar memanusiakan manusia, meski bapak tak teranggap di desa, tapi beliau syukur lebih dari sekedar perkara ‘terpandang’. Hati risa kecilpun, semoga kelak memiliki sempat untuk merawat ukhuwah dengan sesiapapun pula. :”)
    Perjudian masa Sekolah Dasar kembali hadir. Kali ini bapak sebagai pelaku utama. Kelas lima sekolah dasar. Sumatra menjadi tujuan perlegoannya. Meninggalkan saya dan dua ksatria juga perempuan paruh baya. Kami menanti, bukan kiriman dana hidup, bukan kiriman harta benda. Kami menanti kabar berita keberadaannya. Lelakiku, apa kabarmu di tanah rantau? Ku lego semua percayaku. Menotalkan kepercayaan itu. Percaya bahwa Tuhan Maha Baik. Menjaga lelaki kami yang sedang berikhtiar di tanah seberang. Di tengah bisikan nyinyir tetangga bahwa bapak telah beristri dua, bahwa bapak lupa jalan pulang, bahwa bapak tak akan kembali, saya sangat percaya Lelaki kami berhak dipererat peluknya lewat doa. Biarlah Tuhan yang menyumpal lisan lisan itu. Pelajaran sosiologi pertama yang Mamak ajarkan. Begitulah Nduk ketika kita hidup bermasyarakat. Saringanmu harus jeli. Membedakan yang layak di dengar dan yang layak di tinggalkan.
    Tepat setahun.
    Masih jelas.
    Seminggu awal di bulan desember 2003. Akhir tahun yang ditutup suka oleh kabar kepulangan Bapak, malam minggu lalu. Setiap hari adalah moment menghitung waktu. Menyilangi masa yang sudah terlewati. Dan hadir lebih awal dari perkiraan tanpa membuat arti premature, dua kali klakson sepeda motor itu menyumbang di ruang dengar beranda.
    Masih ingat. Jelas. Rindu itu menyeruak saru. Membuatku lari menubruknya, dengan sapu ditangan dan serakan sampah yang ku tinggalkan. Lengan kecilku memeluk pinggul Bapak. Saya belum tumbuh tinggi, rupanya.
    “Bapak, jangan pergi lagi.” Ujarku dalam peluk tangis. Dan dia tertawa. Anak Perempuannya takut ditinggalkan.
    Tak ada kata. Hanya tawa dan sepasang tangan yang membopongku sampai pintu rumah. Elusan lembut di kepala. Dan Mamak tersenyum mahfum. Saya rindu betulan dengan Bapak.
    Tindak sepasang tangan itu telah cukup mewakili banyak kata lelaki tak banyak cakap itu.
    “Perjudian bapak belum selesai Nduk. Tunggulah dalam percayamu di rumah. Bapak akan selalu pulang, dan mengupayakan untuk kalian. Jaga Mamak dan Adik adikmu. Kamu sulung. Kamu Perempuan. Kuatlah.”
    Akhir 2004. Tahun ajaran sekolah dasar lunas sudah. Semua rekan sibuk mendaftar sekolah menengah pertama favorit. Ksatria Ketiga lahir. Rumah seperti kapal pecah setiap saat. Ksatria Pertama masuk TK, Ksatria Kedua sedang hobi jalan – jalan ke banyak ruangan dan butuh pengawasan, Ksatria Ketiga masih menjadi manusia tanpa daya. Ku legokan kesempatan melanjutkan sekolah.
    Hafalan PR semasa kelas dua itu lunas menjadi amalan.
    “Apa yang kamu kerjakan saat di rumah? Membantu Ibu memasak, mencuci piring, dan mengasuh adik.”
    Setahun dengan proses yang tak mudah. Ksatria Pertama yang harus lelarian sambil nangis sebelum mandi dan berangkat sekolah. (Belum kenal Ayah Edy kala itu, tak bisa setenang sekarang menghadapi tangis bocah). Ksatria Kedua yang sering jadi bahan carian kala waktu pulang tiba. Ksatria Ketiga yang masih hobi nangis dan gantiin popok di larut malam.
    Di tahun yang sama pula, kehilangan itu nyaris menyapa. Ksatria Kedua di dorong rekan sepermainannya hingga jatuh ke sungai. Bocah kecil itu, dengan paru paru yang pernah dipelihara hingga rumah sakit, yang mandi masih harus pakai air hangat, yang hanya seperti batok kelapa jika jatuh ke sungai. Ya Rabb, bahkan hanya nyaris saja sudah sangat menyesakkan. Ksatria Kedua terselamatkan oleh Malaikat Pengemudi Dokar, kencana  yang semoga mampu membawa beliau lebih dekat dengan surga. Aamiiin. Pelajaran sosiologi kedua: Bahwa manusia tetaplah manusia, kebaikan dan keburukan ada padanya. Focus pada orang yang berbuat baik yang lantas membekali cara membaiki orang itu lebih utama. Pelajaran parenting pertama: Bahwa menutup kesalahan anak adalah bentuk pengabaian yang sungguh menyesakkan, kepedulian yang nyata membiarkan anak memelihara kesalahan tanpa proses pemetikan pelajaran. Nyata, keluarga teman sepermainan Ksatria Kedua tak percaya anaknya mampu berbuat sedemikian keji.
    2006.
    Perlegoan itu hadir setiap hari selama tiga tahun pelajaran. SMP PGRI 1 Kutowinangun, markas perjudian terbesar kedua (setelah Universitas Sebelas Maret). Beasiswa Retrival itu mengantarkanku ke gerbang lego. Sebab berhenti sekolah setahun, intansi tersebut berbaik hati memfasilitasiku sekolah gratis berbonus seragam dan alat tulis juga fasilitator yang penuh kesabaran. Langkah efektif mencerdaskan anak bangsa untuk mereka yang nyaris putus sekolah sebab perkara dana. Bukan semata isapan jempol atas nama bangsa padahal demi menjaga nama saja.
    Meskipun bergelar Kota Beriman, faktanya tidak semua orang beriman sebagaimana mestinya. Ada banyak preman dalam aku iman. SMP PGRI Kutowinangun kala itu masih terkenal sebagai sarang preman. Sangkar siswa siswa badung buangan pendaftaran negeri. List mines sepuluh jika ingin direkomendasikan sebagai arena pendidikan. Pelajaran sosiologi ketiga: Jangan pernah percaya kata orang sebelum mengalaminya, percaya saja pada Tuhan dengan kesungguhan.
    Benar. Teman temanku ada yang badung. Yang merokok, baju dikeluarkan, rambut di cat, bertato yang gerilya dari Pak Eko (Kepala Sekolah jaman saya sekolah di sana). Tapi, kembali pada pelajaran sosiologi kedua. Perlegoanku masih perkara percaya pada Tuhan. Selalu ada kebaikan. Percaya saja. Dan dipertemukanlah saya dengan malaikat malaikat itu. Dewi, Poppi, Apri, Yuli, Ijah, rekan rekan seperjuangan yang mengajariku bagaimana cara menjaga kehormatan dan kebaikan di selokan sekalipun.
    Jika di rumah selalu di kelilingi Laki – Laki yang membantuku menjaga kehormatan, sekolah adalah tempatku menguji pertahanan penjagaanku. Tak ada jalan lain selain menjadi seperti mereka. Anggap saja ini proses adaptasi bunglon. Risa versi laki laki hadir. Amunisi trining, rok jauh di bawah lutut, kaos sebelum seragam, juga secantol peniti di ujung lengan baju yang terlipat. Jarum yang masih terjaga di ujung jilbab hingga kini. Kecil namun bermata tajam. Cukup untuk membutakan seseorang dengan itu. Cukup untuk mengejutkannya melalui tusuk dalam lantas membuka kesempatan untuk lari.
    Dua mata pisau itu selalu nyata. Sekalipun terkenal sebagai sarang preman, di sanalah  pendidikan itu ada. Pendidikan karakter yang ditegaskan oleh kesabaran para fasilitatornya, jauh sebelum bangsa menyerukannya. Fasilitator Pasukan Pak Eko :”) Terima kasih atas tiga tahun masa pendidikan yang mengesankan :”) Semoga kesabaran kalian kepada kami mampu memberatkan amal baik di yaumul hizab kelak. Aaaamiiiiin. Almarhum Pak Ngindoho, Penjaga Sekolah terbaik kedua setelah Pak Midun (Penjaga Sekolah kala SD), kesamaan kalian adalah selalu mengajakku menghabiskan snack seusai rapat guru, juga segelas air putih kala saya haus dan tidak punya cukup uang untuk membeli es. Pak Ngin, semoga kita dipertemukan di surga. :”) Terima kasiiih :”) semoga amalmu mampu membawamu lebih dekat dengan surga kini. :”)
    2008.
    Biaya pendidikan masih tinggi sekalipun katanya sudah bersubsidi. Banyak Yayasan berdiri, barangkali Pendidikan sudah menjadi bisnis yang jauh dari rugi. Ah ya, mungkin. Dan syarat ‘harus sekolah di negeri’ itu berlaku untuk anak petani macam saya. Well, sekalipun bangsa ini masuk kategori negeri agraris, belum ada apresiasi manis untuk para petani. Para insinyur pertanian masih sibuk menghitung uang dibank sebab masa perkuliahan hanya menjadi ajang pencarian gelar strata satu.
    SMA Negeri Kutowinangun. Perlegoanku tidak terlalu kentara disini. Arus itu hadir begitu saja. Tapi bukan tanpa makna. Pendidikan semakin membuatku mengerti. Ilmu adalah teori. Ada beberapa guru yang sungguh sampai sekarang saya tidak mengerti, jika pernah terdengar tugas guru adalah mencerdaskan muridnya. Beberapa malah menuntut kami untuk belajar dirumah dan kembali ke sekolah harus sudah pintar. -,- dan selama itulah Kimia, Fisika, Matematika, belum ku temukan implementasinya di kehidupan kecuali jika kau ilmuwan dan pedagang. Logaritma, persamanaan linear, rumus fisika yang bahkan ketika orang bertanya seberapa jauh rumahmu dari sekolah dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai sekolah masih dengan mengira ngira tanpa peduli pada kecepatan yang menentukan keduanya. Pun dengan table itu, table misterius yang kefiksiannya seolah nyata untuk duniaku.  -,-
    Orplas (Organisasi Pecinta Alam) dan Rohis Al Irsyad. Rectoverso yang memberi nuansa baru. Keberbedaan yang saling melengkapi. Memang Orplas dengan pembaurannya yang sangat kentara dan Al Irsyad yang sangat terjaga, tapi jauh sebelum itu semua. Iman itu harus seimbang, kata Mamak. Vertikal dan Horisontal.
    Orplas. Membekaliku cara menjaga keluarga juga semesta. Tiga prinsip (dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar, dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak, dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu) yang mengarahkan ingat pada visi  Tuhan menciptakan Nabi Adam as.  Menjadi Khalifah Bumi. Penjaga Bumi. Tuhan melegokan percaya.Nya pada manusia dihadapan malaikat. Sebab takdir ada pada genggaman.Nya. Lantas masihkah kau tidak mempercayai.Nya? Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
    Lantas Al Irsyad membuat pengambilan gambar itu masih perlu etika, jejak itu perlu diberi polesan ilmu, waktu itu perlu dibunuh dengan bijak.
    Pelajaran Agama Pertama: Beragama itu bukan perkara apa agamamu, tapi mencintai Tuhan dalam keseimbangan vertical dan horizontal. Al Quran menyeimbangan jalan mencintai.Nya. Dan itu ada di Islam.
    Dua ruang berbeda warna yang merawat pemikiran iseng: Melakukan perjalanan pendakian bersama dia yang menawarkan kebersamaan dalam ruang halal. ( rahasia yang dimiliki para bolang untuk membaca karakter para pendaki.)
    Exzeme Gebo (X5), Gethukers (XI IS 4), Cobister (XII 3),terima kasih kalian telah memberikan warna penuh makna untuk masa SMA seorang Risa. Semoga dimanapun kalian, senantiasa terjaga. :”) Bu Limit dan Pak Eka, selama masa pendidikanku, kalianlah dua guru Matematika yang membuatku tak takut mencoba matematika yang kadang serupa neraka. Kelembutan dan kesabaran kalianlah yang membuat saya terus mencoba hingga dekat dengan bisa.
    2011
    Gerbang Perjudian itu terbuka lebar. Banyak hal yang ingin aku sampaikan. Tapi tunggu nanti. Ya semoga masih ada nanti untuk saya dan kamu bebragi cerita ini. Tunggu ya sampai saya selesai dengan yang satu ‘itu’.

  2. (Hanya) Fasilitator PAUD

    Friday 11 September 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    “Mbak, kok enggak ambil grade yang lebih tinggi sih? Kenapa PG-PAUD?”
    “Owalah sekolah jauh jauh Cuma mau ngajar PAUD, padahal ibu ibu PKK juga bisa ngajar PAUD.”
    Fasilitator PAUD memang bukan profesi keren semacam dokter, insinyur, teknisi, dosen atau profesi kece lainnya. Iya, karena memang hanya fasilitator PAUD.
    Tapi, di sanalah saya menemukan kebahagiaan setiap hari. Ketika banyak orang mencari bahagia hingga ke pelosok Eropa, saya menemukan itu pada mata anak – anak di taman bermain. ^^ Setiap senin sampai jumat, lima kali dalam seminggu. Alhamdulillah ^^
    ^O^
                Memang hanya seorang fasilitator Pendidikan Anak Usia Dini. Fasilitator di jenjang pendidikan dasar anak mengenal semesta. Kelompok Bermain, Taman Kanak – Kanak, juga Sekolah Dasar. Semua jenjang yang dikenal anak guna membekalinya menjadi pribadi dengan kualitas manusia sejati.
                         Memang hanya Fasilitator PAUD yang belum tentu diingat oleh setiap peserta didiknya, sebab memang hanya Fasilitator PAUD.

    Tapi, ialah yang akan selalu ingat. Prosesmu mengenal mengeja huruf, frasa, kata, juga kalimat. Membersamaimu dalam ranah bermain guna mendekatkanmu mengenal jendela semesta.
    Tapi, ialah yang akan selalu ingat. Prosesmu memberanikan diri pergi ke kamar kecil seorang diri. Menunaikan hak dari organ pencernaan. Membersamaimu mengenal cara membersihkan diri penuh mandiri.
    Memang hanya Fasilitator PAUD yang belum tentu lulusan Strata Satu, meski pihak atas sudah menghendaki tapi tak jarang Fasilitator PAUD yang hanya Sekolah Menengah Atas atau hasil pelatihan kepaudan.  Sebab memang hanya Fasilitator PAUD.
    Tapi, ialah yang dengan sederhananya menyampaikan pesan semesta padamu. Dari luasnya ilmu yang ia punya, banyaknya istilah yang ia simpan, ialah yang akan dengan tenang penuh ceria menyampaikan wawasan itu untukmu. Dalam paket kesederhanaan agar kamu dengan mudah mencernanya.
    Menggambarkan proses metamorphosis kupu – kupu dengan ekspresi lucu dan kamu tertawa bersama ilmu.
    Syakira and Vina 'KB B' in the morning 
    Menceritakan kewajiban manusia kepada Tuhannya dengan khidmad yang mengundang rasa ingin tahumu. Kamu berdzikir dengan mulai berfikir, dan nyata ada ‘jadi kita harus…’ yang kamu simpulkan dalam senyum manis.
    Menuturkan bekal social dalam interaksi keseharian kepada sesama teman. Membebaskanmu mengungkapkan sayang kepada teman melalui berbagi mainan, mengantri menunggu giliran, juga saling memaafkan kesalahan.
    Memang hanya fasilitator PAUD yang sudah jelas tidak secantik dan sewangi Ibu di rumah. Ia hanya berbekal hijab penutup aurat tanpa gemerlap payet mutiara. Bedak dan minyak wangi segera menguap ketika membersamai aksi kinestetikmu. Sebab memang itulah guru PAUD.
    Tapi, dialah yang tidak pernah keberatan dengan proses adaptasimu di taman bermain ini meski selalu ada tangis dan ingus di sana. Dialah yang pertama kali boleh kamu peluk ketika jauh dari Ibu di rumah. Dialah yang tidak pernah mengeluhkan tangan kotormu seusai bermain atau bau acem setelah bermain. Selama kamu tidak pernah lupa mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, setidaknya dialah orang luar pertama yang berusaha menjaga kesehatanmu. Selama kamu tidak menolak mandi dua kali sehari dalam menjaga kebersihan diri. Sebab kebersihan adalah sebagian dari iman, bukan? ^^
    Memang hanya Fasilitator PAUD yang masakannya belum tentu sesuai lidahmu mengecap rasa masakan Mama. Ia hanya mengenal sehat, bersih, dan halal untuk membekali ragamu dengan asupan gizi. Ya, memang begitula, hanya fasilitator PAUD.
    Tapi, dialah yang paham benar jenis makanan yang mampu mendukung pertumbuhan fisikmu yang akan segera menjulang tinggi itu. Meski kamu terkadang akan dengan sangat enggan melahap yang berbau sayur mayur, dialah yang dengan penuh cinta mengingatkan kebutuhanmu akan satu itu. Bahwa Insya Allah tubuh yang cukup mengonsumsi buah dan sayur akan terjaga dari sakit. Ia hanya tidak ingin kamu di dera oleh sakit hingga waktu aktivitasmu yang penuh energik hanya terisi baringan di rumah. Hmm kamu selalu mengeluh bosan di rumah, bukan?
    Ayesha 'KB A'  at Balok Class 
    Memang hanya Fasilitator PAUD yang gajinya tidak sebesar Fasilitator Entertaint televisi terkenal itu. Ya, memang begitulah Fasilitator PAUD.
    Tapi, ialah orang pertama setelah Ibumu yang berusaha menjagamu dari pencemaran akhlak. Menanamkan pondasi iman dan takwa sebagai bekalmu menyaring atmosfer perubahan semesta. Baginya, terjaganya akhlakmu adalah investasi terbaik yang ia miliki. Melaluimu, ia belajar berbisnis dengan Tuhan. Bisnis dengan Tuhan tidak pernah rugi, bukan? Cukuplah senyum sehat ceriamu setiap hari, cukuplah peluk hangat pagimu, cukuplah renyah tawamu, cukuplah ketaatan dan bakti kepada agama, cukuplah semua itu menjadi gajinya.
    Memang hanya Fasilitator PAUD tidak sebaik Ibumu yang selalu mengiyakan maumu, ada saat kamu merasa tidak suka dengan satu hal pada prosesmu di Taman Bermain. Harus diam untuk saat saat tertentu. Harus tenang di kala tertentu. Ya, memang terkadang begitulah Fasilitator PAUD.
    Tapi, semoga kamu tidak lupa. Dialah yang akan dengan setia mendengar cerita yang kamu tuturkan di saat yang tepat, dan berbicara di saat ada yang berbicara itu tidak pernah baik Nak. Terkadang penting bagi kita untuk belajar mendengar. Kita belajar mendengar secara bergantian, kan? ^^ Pun, dialah yang akan mengambilkanmu minum saat kamu tersedak makanan sebab berbicara sambil makan meski ia sudah berkali – kali untuk tidak melakukan hal itu. Sabarnya seolah tanpa batas untukmu Nak.
    Tenang adalah hal pertama yang harus dilakukan saat kita hendak berdoa. Ia hanya ingin doa kita segera sampai langit Nak. ^^
    Home Visit: Jenguk Najmi
    Iya, mungkin kamu akan kecewa, sedih, jengkel, atau marah atas tegurannya. Tapi, percayalah itu hanya sedikit latihan untuk mengurangi keegoisan kita sebagai manusia. Sudah menjadi fitrah manusia bahwa harus ada toleransi untuk interaksi keberagaman kita.
    Semoga ingat, bahwa teguran lembutnya selalu ada cinta. Sebab cinta ialah yang mampu menemukan kebaikan bahkan dari hal yang kurang menyenangkan sekalipun. Ia mengajakmu menemukan itu, bukan?
    Dan Nak, Ia memang hanya Fasilitator PAUD.
    Tapi, dialah yang tak pernah masuk dan keluar kelas hanya untuk memberimu tugas. Dialah yang dengan sabar dan sadar membersamaimu menyelsaikan kewajiban. Dialah yang tak lelah menjawab tanyamu perkara yang membuatmu ingin tahu. Memelihara keinginanmu belajar tanpa merasa dihajar. Memotivasi tanpa harus mengintimidasi penuh ultimatum. Setidaknya, dia paham cara memanusiakan manusia tanpa alasan usia. ^^

    Semoga terjaga, anak – anakku ^^ Selamat Mengenal Semesta Fana ini. Semangat Bermanfaat!

  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    google search

                Selalu. Ada helaan panjang ketika membahas perkara ini. Bukan lega, tapi menimbun kekuatan semesta. Membersamai. Satu kata kerja yang menyalurkan banyak tindak guna melunasinya tanpa beban. Memfasilitasi lahir batin. Kasat mata kebutuhan fisik yang utama, dan kebutuhan batin terkadang bukan nomer dua. Dan mata sekitar adalah yang paling awas menatap kinerja itu. Mencoba tidak peduli, tapi jelas tetap terfikirkan.
                Bagaimana caranya memilih satu diantara dua pilihan?? Jika kamu bisa melakukannya, ajari saya.
                Tidak. Ini bukan perkara memilih cinta dan sahabat. Pilihan itu sudah lama tutup buku. Cerita picisan yang sudah ku petik hikmahnya. Ini perkara finansial dan kehadiran. Finansial sebagai bentuk pencukupan kebutuhan fisik sebagai manusia. Pendanaan untuk makan, minum, mobilitas, komunikasi, pendidikan, bahkan kenyamanan dalam bentuk ruang beratap. Kehadiran, seberapa hadirnya keberadaan kita untuk lingkungan terdekat, keluarga. Menciptakan quality time bersama. Menghidupkan komunikasi. Saling hadir untuk satu sama lain. Saling membekali dan membuka hati. Dan tentu, saling membenahi diri untuk Illahi.
                Jujur. Ketakutan itu ada. Selalu. Hantu tidak tahu diri yang datang tak hanya malam hari. Bahkan setiap berangkat sekolah pagi. Sering ku halau dengan nyanyian riang, tapi sayang dia terus membayang.
                Saya takut, Ksatria Kedua melangkah ke luar pagar. Saya takut saringan dan bentengnya tidak kuat dalam menjalin pergaulan. Saya takut mendzaliminya. Saya takut Bapak Ibu kecewa. Saya takut saya hanya menjadi Kakak Fiktif.
                Banyak hal yang seharusnya sudah saya berikan untuk Ksatria Kedua, setidaknya sedikit bekal untuk membuka gerbang balighnya. Tiga belas tahun sudah masuk usia waspada sebagai seorang laki – laki. Fase keduamu hampir terbuka Le.. :”) Yayu masih belum tahu bagaimana cara tepat efektif menyampaikan hal hal ‘itu’ untukmu.
                Andai Yayu laki – laki, pasti yayu dengan ringan mampu menyampaikan mimpi basah pertama kali. Bagaimana mengelola hasrat semacam itu dengan bijak. Bagaimana gejala tersebut datang dan pergi dalam kendali. (Mungkin)
                Andai Yayu laki laki, pasti yayu sudah dengan senang hati mengajakmu menonton ‘proses reproduksi’ sebagai kajian ilmiah proses darimananya kita.
                Andai Yayu laki laki, pasti sudah dengan berani berhenti kuliah dan mengambil pekerjaan dengan fee yang mencukupi fasilitasmu. Bukan menjadi Fasilitator PAUD. Setidaknya dengan menjadi laki – laki, Yayu tidak dengan mudah memiliki keterikatan rasa dengan anak – anak seusia mereka. :’( Bahkan terkadang memilih jalan ini masih mengajukan ego Yayu :’( astagfirullah..
                Andai Yayu laki – laki, pasti sudah ku pameri kamu perempuan – perempuan yang sempat disukai lantas mengajakmu untuk mengenal rasa kepada lawan jenis dan mengelolanya dengan bijak. Bahwa ketampanan bukanlah segalanya, bahwa Perempuan tetaplah mempertimbangkan akhlak.
                Andai Yayu laki – laki, pasti sudah ku kenalkan kamu pada harga diri dan tanggung jawab, bahwa harga diri laki – laki tidak terletak pada lantangnya suara, tapi keyakinan dan kepahamannya pada tindak. Bahwa kelembutan tindak bukan bukti ketidakjantanan. Bahwa meminta maaf duluan bukan hal yang memalukan.
                Andai Yayu laki – laki, pasti sudah ku turuti setiap puncak yang kamu daki, sungai yang kamu susuri, goa yang kamu masuki, pun pantai yang kamu singgahi tanpa perlu takut jatuh sakit (lagi). Setidaknya dengan fisik laki – laki, selalu ada energy melimpah di raga. Seperti kamu yang nampak tak punya lelah.
                Andai Yayu laki – laki, pasti sudah diikhtiarkan sejak dulu untuk menjadi teladanmu menumbuhkan pribadi yang baik. Memberikan contoh dan refrensi dalam tumbuh kembangmu menyapa kehidupan.
                Andai Yayu laki – laki, setidaknya dengan menjadi sama lelakinya, Yayu bisa membersamaimu dengan optimal. Tidak perlu sungkan membahas ini itu tentang kelelakian. Tidak ambil pusing dengan yang katamu terlalu rumit dijadikan pertimbangan.
                Andai Yayu laki – laki, ya andai saja.
                Andai yang segera terhenti pada fakta bahwa saya bukan laki – laki.
                Semoga kamu memaafkan Yayu Le, ketika masih marah – marah saat kamu merusak barang – barang Yayu. Mencoba menggunakan barang – barang yayu tapi belum bisa lantas kamu mencobanya sendiri hingga rusaklah barang itu. Seharusnya, jauh sebelum itu sudah Yayu ajari duluan. Andai kamu meminta ijin dulu sebelum memakai, pasti Yayu ajarin. Andai Yayu tidak mudah lelah. Pulang sekolah selalu membawa lelah, dan kamu hanya akan menjadi penghias hari yang terabaikan. :”(( Maafken.
                Semoga kamu memaafkan Yayu Le, ketika masih marah – marah saat kamu pulang main sementara Yayu sudah kelimpungan mencari kemana – mana tanpa hasil. Andai kamu berpamitan dulu sebelum pergi, pasti yayu tidak usah mencari – cari. Andai Yayu tahu kebiasaan bermainmu dimana dan siapa saja teman akrabmu. Pasti tidak Yayu tidak bingung mencari sedemikian pusing.
                Andai Yayu Laki laki le, kamu tidak perlu melihat air mata setiap kali perbincangan kita mulai. Kamu hanya perlu paham isi percakapan, dan kegagahan sikap mengambil keputusan, bukan kelemahan seorang perempuan yang menjadi cengeng ‘akhir-akhir’ ini. :’) Kamu tidak perlu bingung membedakan ekspresi marah dan sedihnya kakakmu ini.

                Maafken Yayu Le, maafken belum mampu optimal membersamaimu. :”((

  4. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Masjid Kauman Kebumen, 15/07/2015
    Sengaja, selepas subuh saya melenggang. Keluar dari rumah suci. Mentadaburi semesta yang masih gelap tanpa surya. Tentu, tidak sepenuhnya gelap. Ada lampu – lampu Alfa yang benderang, juga CWC di empat titik alun – alun kota.
    Naungi ketulusan embun yang masih segar, membuka mata pada kehidupan yang hadir lebih awal dari biasa. Entah kurang terbiasanya saya di sini atau memang pada dasarnya manusia sedang tidak terbiasa berlaku. Kata seorang teman, this is VIM (Very Important Month), kita harus melakukan banyak perbaikan iman, menyeimbangkan langkah vertical dan horizontal. Sebab semua amal sedang dilipatgandakan pahalanya.
    Dalam – dalam ku penuhi paru dengan O2. Sedikit nikmat, jelas. Jam segini memang masih rawan perebutan O2 antara manusia dengan klorofil. Tak apa, selama asap knalpot belum banyak saya masih cukup lega. Tidak terlalu sesak nafas, maksudnya.
    Saya memutuskan untuk melangkah. Menjejaki setiap kebasahan rumput yang masih dingin.
    Kamu pernah merasakan keterasingan dan keakraban sekaligus? Saya sudah. Sedang merasakan lebih tepatnya.
    Saya terasing dengan langkah leluasa ini menapak. Akrab dengan semesta yang sudah membawaku sejauh ini.
    Ada perbatasan rasa, ada noktah kecil yang sedari tadi menatap. Siap menerkam kala lengah. Manusia tidak pernah sungkan berbuat criminal kala gelap bukan? *gelaphati maksudnya.
    Gaduh gemerisik rumput dan lelarian tak beraturan, langkah penyelamatan diri. Alhamdulillah, sekumpulan bocah – bocah subuh menghentikan pelarian ini. Langkah saya melambat, membiarkan ramai itu menyingkirkan gelisah sepi. Meninggalkan ancaman itu, saya duduk. Menghayati pukul 05. 46 yang masih berkabut.
    Kembali mengilhami dua persimpangan rasa. Kebebasan ini serasa dihirup oleh individu merdeka, bukan lagi hamba sahaya dari sang atau si tokoh. (peran – peran dalam casting lakon hidup, yang menjauhkanmu dari kebebasan individu). Just to be R.I.S.A. ya, saya risa bukan si Sulung, sang Kakak, si Lalalala, sang tralalala, si sang tralalala lainnya.
    Menyenangkan. Sungguh. Kamu harus merasakannya. Sensasi macam ini selalu berhasil membuat rindu. Perjalanan bukan perkara seberapa banyak manusia yang kamu temui kan? Pun dengan seberapa banyak budaya yang kamu kenali. Atau seberapa jauh tempat yang kamu singgahi. Tapi sebuah langkah yang membuatmu kian menikmati dirimu sendiri. Perjalanan ke dalam yang semakin mendekatkanmu dengan pemiliki sejati diri. Semacam ritual untuk memanusiakan dirimu sendiri. Seolah mengakar pada semesta, melebur dengan sang Penguasa.
    Riuhan suara kehadiran menyapa. Ramai wajah menjabat tangan. SELAMAT!! Kamu resmi merdeka sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
    Bukan lagi sang Idola, si Sulung, si Anak, si Ibu, sang Bapak, sang Laki – laki, si Perempuan, sang Raja, sang Ratu, si Nyonya, si Tuan, juga sang si yang lainnya.
    Kamu boleh bertepuk tangan. Menyelamati dirimu penuh syukur.
    Kurang beruntung! Tak lama dari euphoria, ancaman itu mendekat. Tidak tahu diri. Saya acuhkan. Sosok dari lawan jenisku, kurang dari sedepa duduk, lekat memandangku. Saya tahu tanpa perlu mata beradu.
    Abaikan saja! Teruslah menulis!! Batinku berseru. Sementara jariku semakin kaku. Saya gagu. Takut membeku.
    Saya terus berusaha mengabaikan kehadirannya, berharap ia lekas benar – benar tak ada. Dia bergerak. Saya siaga satu.
    Saya tutup buku, siap mengambil benda bermata tajam dari saku. Ada. Selalu. Untuk penjagaan.
    Dia melangkah. Berpindah di depanku. Satu langkah itu, nyata ancaman.
    Saya berkemas, mengambil langkah cepat.
    Menuju kerapatan manusia (lagi).
    Langkahku nyaris lari.
    Andai aku lupa bahwa ini tangan penulis, bukan pembunuh. Sudah ku tiadakan ancaman itu sedari tadi.
    “Leeee…….!!” Teriakku pada rombongan bocah itu. Rombongan yang tanpa sadar berpindah tanpa permisi. Pemilik kepala itu banyak menoleh ke arahku, sementara saya menoleh kebelakang. Memastikan ancaman itu telah sirna. Terkurung lagi pada kepengecutannya. Selamat kembali pada Hotel Prodeomu, Pengecut!!
    Benar! Pengecut ialah tepat untuk manusia yang berharap terus bahagia tanpa upaya berdamai dengan nyata. Kufur atas nikmat tapi terus menuntut hidup nikmat. Kepengecutan yang kerap berujung pada hilang akal.
    Langkahku bergegas. Dalam kalut pencarian aman. Saya tahu tempat tujuan. Masjid. Titik mula perjalanan ini.
    Tuhan, tidak adakah tempat aman untuk perempuan yang sedang menikmati kesendirian?? Tidak adakah reward atas keberaniannya mengambil langkah perjalanan ini saat banyak perempuan berpesta manja dalam kebersamaan?!
    “Itulah mengapa ada larangan perempuan tidak bepergian jauh tanpa mahram!” tukas jujur hati yang lain.

    Dan lisanpun merapal, “Ayoo Le. Rio, Riki lekas bertumbuh. Biar bisa menemani proses mbolang yayumu ini. Biar enggak ngabur kemana – mana sendiri. Biar pas di Yogya ada yang moto.in. Biar pas di Semarang ada yang gandengin. Biar pas pulang ada yang boncengin. Biar nanti pas ‘Mas’ kalian datang, yayu masih pantas buat dia.”

  5. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


                “Temen – temen nanti pentasnya yang bagus ya. Ada orang – orang penting soalnya.” Tutur seorang rekan lima belas menit menjelang pementasan.
                Nafas saya memberat. Ada beton tak kasat mata memampatkan rongga dada saya. Pandang saya mengabur, dinding bening itu nyata telah terbangun.
                “Pentas? Bagus? Orang penting?!” hati saya berseru. Siap mengamuk. “Jadi kamu kira pentas ini buat orang penting?!? Oke baiklah, kali ini cukup tau saja.” Redamku mencoba sabar, lima belas menit menuju detak panggung, tak sopan jika mencak – mencak terbakar lara meski setelah dipikir ulang ucapannya juga cukup tidak manusiawi. Dan saya menyebutnya Branding (Baca: Cari Wajah Orang Penting).
                Hmmm, saya menghela nafas. Memastikan bahwa amarah itu tidak muncul dipermukaan. Ya, saya marah. Murka tepatnya.
                “Kenapa?”
                Kamu masih bertanya?!
                Bagaimana saya tidak marah, jika niat mulus memanusiakan manusia itu terbakar hangus oleh aksi ‘untuk orang penting’ yang dilontarkan seorang rekan itu.


                Menulislah untuk memanusiakan manusia.
                Entah apapun yang kamu tulis, tapi menulislah untuk memanusiakan manusia. Bukan semata memenuhi tugas deadline hingga kamu penuh benci dalam mengerjakannya.
                Menulislah untuk memanusiakan manusia, bukan semata mencari perhatian pada mesin pencari hingga kamu lupa arti kehakikian berita.
                Menulislah untuk memanusiakan manusia, bukan semata pelengkap headline surat kabar hingga prasangka menjadi topik utama.
                Menulislah untuk memanusiakan manusia, bukan semata aksesoris negara tanpa pernah ditegakkan dengan semestinya hingga pungutan liar meraja lela, denda denda berserakan dimana – mana.
                Menulislah untuk memanusiakan manusia, bukan semata embel – embel agama, suku, bangsa, atau ras hingga saling tuding dalam aksara seolah halal – halal saja. Menulislah sebab itu memang untuk kebaikan bersama.
                Menulislah untuk memanusiakan manusia, bukan semata agar kamu ternama dikalangan semesta, tapi membuatnya cukup bangga dengan dirimu apa adanya, kejujuranmu pada diri sendiri. Sikap menerimamu pada suratan Allah Ta’ala.
                Ya, menulislah untuk itu. Memanusiakan manusia. :’)
    ^O^
               
                Terlepas ada ‘orang penting atau tidak’ biarlah performance tersebut berjalan apa adanya, biarlah ia berproses sesuai yang diikhtiarkan sebelumnya. Kita hanya cukup percaya atas upaya yang sudah dilancarkan. Ini proses kita, bukan mereka. Ini apresiasi, bukan tendensi.
                Memang penonton itu penting, sebab dari merekalah cermin apresiasi itu Nampak. Tapi penonton tetaplah penonton, sama. Jabatan, kedudukan, lencana, pekerjaan, status mereka bukanlah suatu yang harus disorotkan kehadirannya. Biarlah apresiasi itu datang dari kacamata mereka terhadap kita.
                Jujur, pada akhirnya saya sangat sedih atas lontaran tersebut. ‘Orang Penting’ arrrghhh! Penting untuk siapa sih? Bagi saya mereka itu tidak (terlalu) penting dan tidak pernah lebih dari sekelompok penonton. Saya tidak mengenal mereka, juga sebaliknya.
                Lantas, saya hanya ingin berhenti dari proses berkepentingan selain belajar. Saya sudah cukup memiliki satu muka, tidak perlu tambahan. Bahkan refleksi wajah wajah saya sudah lebih dari cukup, Si Kakak, Si Bu Guru, Si Mahasiswi, Si Muslimah, si Sulung, Si Lalala, si Tralalala, etc.
                Saya hanya ingin berproses tanpa pretensi ‘kepentingan’ apapun. Tidak, saya tidak sedang membicarakan ketulusan. Saya tidak pernah tulus dalam melakukan sesuatu, jelas! Selalu ‘apa manfaatnya untukku’ atas apapun tawaran takdir sebelum saya mengiyakan. Saya pamrih, Tuan. Sangat!
                Maka, ijinkan saya berhenti dari proses kita yang sudah tidak lagi semisi. Tenang, kita masih satu visi. Insya Allah. Tidak ada yang saya sesali. Sama sekali tidak ada. Saya percaya, semua memang sudah sebaiknya terjadi. Proses kita. Saya belajar banyak. Sungguh.

                Kemudian, tak perlu sungkan mengajak saya berproses (kembali) dalam aksi (yang katanya) memanusiakan manusia. ^^ yang semoga kelak benar – benar mendekati hal tersebut. Terima kasih untuk setiap tawaran kesempatannya. Semangat Berproses! Selamat Menikmati Pertumbuhan! Jangan sungkan merekonstruksi diri  ^^

  6. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


                Hhhhhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!
                Haha setelah menghela nafas cukup mendalam dan lama, saya hanya ingin menuliskan ini. Perkara ruang apresiasi untuk sebuah proses inklusi.
    Itu nafas lega, bangga, juga bahagia. Terima kasih banyak untuk semua yang telah terlibat secara lahir maupun batin. Terima kasih, telah membersamai penghidupan Republik Angkringan. Tanpa kalian, Republik Angkringan hanya benda mati, naskah yang mungkin tak terbaca.
    ^O^
                “Ris, bisa minta tolong buatkan naskah untuk pementasan?” tidak seperti itu sebenarnya. Itu hanya kalimat mudah yang coba saya tuliskan untuk menjembatani saya bertemu dengan ‘proses Republik Angkringan’. Mas Sutradara aka Mas Sandi hanya mengajak saya berbincang mengenai dunia inklusi, mengerucut jadi keadaan Inklusi di Indonesia hingga menyabet pada kebinekatunggalikaan, lalu menjurus pada kampus dan berakhir pada lingkungan diri. Proses inklusi yang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar dari kita.
                Saya tertarik? Jelas. Teringat setitik mimpi yang di buahi bersama Mba Asri dahulu kala (jauh sebelum Mbak Asri menikah, jauh sebelum saya bertemu Gapai, jauh sebelum ini semua.) Sebenarnya saya tidak cukup percaya diri untuk mengiyakan. Observasi adalah cara saya mengumpulkan kepercayaan diri yang tercecer dimana – mana.
                Cerita – cerita dari Mbak Sita di Gapai. Penuturannya perkara para rekan istimewa dalam menunjukkan kehadirannya. Kisah – kisah Wahyu, Dian, Fajar, Yanti, Nia, Susi, Wahid, juga beberapa rekan istimewa yang ditemui. Kesemuanya menyatakan keprihatinan pada nurani manusia yang ditiadakan.
                Jalur pustaka juga tak sungkan saya ketuk. Dari sekedar ke mesin pencari hingga ke perpustakaan negeri, saya singgahi. Hmmm proses pencarian kegelisahan naskah, memang terkadang harus demikian agar tak kegelisahan yang terlupa. Bismillah.
    ^O^
                “Aku itu sebel sama Mbak Narisa, setiap ditanya naskahnya sudah jadi belum mesti ada saja alasan yang menyatakan naskahnya belum jadi. Buat naskah susah banget to?” kira – kira begitu ungkapan seorang adik ketika menanyakan ‘Proses Republik Angkringan.’
                Bukan susah atau tidaknya. Tapi, ada atau tidaknya bahan yang ditulis. Bahannya sudah ada, tapi untuk sebuah cerita dia membutuhkan alur dan  karakter tokoh, juga nilai moral (teman – teman teater biasa menyebutnya dengan ‘kegelisahan’), setting tempat, waktu dan suasana, juga unsur instrinsik lainnya akan muncul sejalannya alur cerita.
                Mengambil judul “Republik Angkringan” itu bukan asal – asalan sebab sudah ada Republik Jancukers. Tidak. Republik Angkringan, pertama karena ini ada apresiasi inklusi pada sebuah Negara dengan system Republik yang artinya ada nama Presiden di sana. Angkringan, sebab dialah yang terdekat dengan kami, sederhana dan apa adanya, tak pernah menuntut neko – neko. Qonaah saja. Ya, tidak hanya Yogya yang terbuat dari Hik. Solo pun terbuat dari Angkringan, Budaya, dan Pulang.
                “Kamu kok suka makan di Angkringan to?!” lontar seorang rekan perempuan suatu hari.
                “Hla kenapa enggak suka? haha” timpalku ringan.
                “Kamu kan perempuan, berjilbab lagi. Masa makan ditongkrongannya cowok – cowok, udah gitu terbuka lagi, di pinggir jalan.”
                Ada hening panjang.
                Bagi saya, Angkringan itu ruang symposium terbuka untuk semua kalangan membahas apapun, mendengar apapun, juga makan apapun tanpa takut keracunan sebab disana hanya ada hidangan kampong yang jauh kimiawi, aditif dan adiktif (setidaknya jenis hidangan yang baru dimasak).
                “Berhijab itu bukan berarti menutup diri kan Ukh? Insya Allah saya kuat kok. Doakan saja agar tetap terjaga.”
                Keterbukaan Angkringan, tempat duduknya yang hanya kursi panjang tanpa lengan dan sandaran, juga beberapa tikar yang digelar, membuat siapapun nyaman untuk mulai membuat bincang. Tak sungkan sebab mungkin berbeda kalangan. Semua disana sama.
    ^O^
                Alur kasar yang di dukung oleh keberadaan setting sudah. Tinggal membuat detail alur dan penyesuaian karakter yang muncul. Saatnya observasi dengan para pemain. Casting dimulai.
                Hasil observasi tetap menjadi bahan setengah matang, karakter mereka pada akhirnya tetap dinikahkan dengan karakter saya dalam menuliskan dialog. Maka jadilah saya mengotak – otakkan karakter pada dirinya saya. Menikmati benar menjadi seorang DID, sayangnya saya sadar kehadiran setiap karakter itu. Alter – alter kepribadian yang memang sengaja dihadirkan.
                Republik Angkringan lahir (setelah revisi berkali – kali, sebenarnya hanya konsultasi bersama sutradara yang lantas saya sikapi dengan melengkapinya. Anak pertama, jadi harap mahfum :v. Sungkem kaliyan Mas Sandi :v) tepat sebulan sebelum pementasan (yak.e ding).
                Sayangnya, saya melewatkan moment melihat reaksi kala pertama kali membaca naskahnya. Huwaaaah saya rugi pemirsah :3 (*puk puk, enggak papa. Kan memang Ksatria Kedua lebih urgent. Menghibur diri.)
    ^O^
                Republik Angkringan dihidupkan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah tepat pada tanggal 23 Desember 2014 lalu. Ya, satu semester yang lalu. Terima Kasih untuk Mas Sandi dan rekan GAPAI atas ajakannya berproses. Rekan – rekan penghuni YKAB yang kece beud, asli kalian bikin aku merinding pas pentas. Haha aku fans tingkat sulung kalian deh pokoknya. ^^
                Nduk Susi, haha karakter mbok – mboknya dapet banget nduk. Salut nduk. Serius. (Saya jadi membayangkan, apakah seperti itu jika saya sudah berumah tangga kelak?:3 Pie ris? :v)
                Dian, Leee… Mbak kasih jempol dua deh ya buat aktingnya ya ba’nyus banget. Iya, bapak – bapak yang overdosis cuek tapi peduli .nya berhasil kamu bawakan dengan apik. ^^
                Wahyu, kekritisanmu manis le, tidak pesimis. Semangat!
                Wahid, kocaknya benar – benar menghibur, cadas Le!
                Fajar, lugasmu luas Le. Mbak suka caramu menyampaikan kejujuran.
                Yanti, kamu canggih mengelola grogi nduk. DIa hilang dalam prosesmu menuju Republik Angkringan. Semangat Sayaang ^^
                Nia, duhh Nduk maaf ya, dalam naskah dialog itu ada bagian kamu bermonolog panjang haha menjadi sasaran empuk saya menunjukkan sisi metafora. Tapi, selamat kamu berhasil membawakannya. Pernafasan dan penjedaan kamu keren nduk! ^^ I love you.
                Ican, sebagai Mahasisa aka Masmas, kamu memang sudah pas pada karakter itu. Songong tapi jujur. :3 Ngeselin sih jadinya. :v
                Dhylan, keberadaanmu di pucuk cerita meski hanya sekejap sudah mampu menunjukkan bahwa kamu hadir. ^^
                Mas Sandi, hiks hiks… saya bingung mau ngomongnya. Tapi serius mas, saya mau belajar nulis (lagi). Serius beud mas. Jangan sungkan mengajak proses lagi. ^^
                Backstage Crew, mas Bintang, Mbak Nuning, Mbak Caroline, Mbak Ayu, Bolo Usung, Nyan, Tri, Lighting Men, semuanyaaaa I love you  haha (diobral deh :3)
                Rekan GAPAI. Semoga kelak, kita benar – benar sama – sama berproses, mengamalkan kebinekatunggalikaan secara kaffah. Semoga… (aamiin..)
                Dan untuk kamu, terima kasih untuk mengagendakan membaca ^^
    ^O^
                Akhirnya, Republik Angkringan bukan jadi benda mati, pun bukan alat menghakimi. Ia hanya pengapresiasi atas cerminan tindak inklusi yang memang sebaiknya dijunjung tinggi, sebab kita adalah satu. Bhineka Tunggal Ika. Semangat Berproses Menuju Indonesia Inklusi! Salam Penyetaraan! Salam Budaya!
                Naskah Republik Angkringan bisa di download di sini. Paswordnya risaopen. Selamat Menikmati… 

  7. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



                Sendiri.
                Mari kita eja bersama.
                S.E.N.D.I.R.I.
                Apa yang kamu temukan? Sepi? Mandiri? Dewasa? Keren? Sunyi? Atau Mati?
                Saya menemukan kejernihan, diri sendiri, dan keramaian dalam satu paket sekaligus.
                Duduklah dulu, akan ku ceritakan bagaimana saya menemui mereka.

                Sangat mudah untuk menemukan kesendirian, bahkan ketika kamu berpasangan. Secara amal ibadah memang lebih berkah ketika dilakukan berjamaah, namun untuk amal satu ini kamu cukup hadir sendiri, sepenuhnya, dan insya Allah akan banyak hal mengiringinya. Pensucianmu di mulai.
                Beberapa rekan sempat mengumpat kesendirian ini, padahal semakin dekat dengan kesendirian semakin dekat pula ia dengan apa yang (sejatinya) ia cari. Tidak percaya? Alami saja. ^^
    .::::::::::::::::::::::.
                Saat hanya ada kamu, detak waktu, hembus udara, juga bisikan hati. Mulailah berjalan. Kemana? Ke dalam dirimu. Rasakan segala hal yang selama ini terabai. Dengarkan apa yang selama ini kamu bungkam dalam – dalam. Lihatlah apa yang selama ini kamu lewatkan. Senyamanmu saja, bisa dengan berdiri, duduk, terpejam, membuka mata, tiduran. Nikmati saja semua itu.
                Helaan nafas. Denyut nadi. Suara hati.
                Sudah bertemu?
                Iya kejernihan.
                Kesendirian kerap membawa pada kejernihan diri. Jujur pada diri mengenai apapun. Lara, suka, duka, bahagia, tawa, kecewa, bisa hadir bersamaan. Yang lantas menjadi syukur tak berbatas. Betapa mulai Tuhan berkehendak. Bagaimana takdir membawamu pada takdir kini.
                Air mata itu? Hei, biarkan ia kembali mengudara tanpa perlu ditutupi lagi. Biarkan ia menghirup kemerdekaannya. Tak perlu sungkan. Hanya Tuhan yang sedang bersamamu kini. Tuhan itu sangat dekat dengan kejujuran, Sayang. ^^
                Tiba – tiba ragamu gaduh oleh suara – suara nuranimu? Selamat, kamu bertemu keduanya. Selamat berbincang dengan diri.
    .::::::::::::::::::::::.
                Tidak mengapa jika sesekali kamu berpindah dari lingkup rutinitas. Keluar dari lingkungan yang sudah mengenal bagaimana kamu, yang mungkin tidak menyadari ada banyak rekonstruksi sudah kamu lalui.
                “Berjalanlah sendiri saat kamu akan menempuh jarak yang jauh” kata seorang teman.
                “Berjalanlah sendiri ketika tujuanmu adalah perjalanan itu sendiri. haha” timpalku.
                Sering, ada sebuah keentahan waktu kaki ini hanya ingin melangkah tanpa tujuan tempat yang pasti. Hanya ingin berjalan, berjalan, dan berjalan. Murni jalan – jalan tanpa tendensi destinasi.
                Yogya, Semarang, Purworejo, Temanggung, Karanganyar, Solo, Klaten, manapun deh. Bahkan ketika itu hanya gang sempit yang belum pernah diambah.
                Jalan – jalanlah selayaknya jalan – jalan. Menyapa, tersenyum, membingkai panorama, terlibatlah dengan atmosfer yang sedang dibauri. Akan ada banyak hal.
                Bahkan meski sama – sama sebagai tempat jual beli dengan omset banyak, Pasar Gedhe, Pasar Klewer, Pasar Bringharjo, Pasar Wonosobo, memiliki atmosfer niaga yang berbeda. Komunikasi dan interaksinya, hmmm hirup deh.
                System perparkirannya juga tidak jauh berbeda, tapi pernahkah dibincangkan bagaimana proses para penjaga itu rela menggadaikan waktu untuk menunggui kuda – kuda besi?
                Jalan setapaknya barangkali nyaris sama hiruknya, ragam orang lalu lalangnya, komoditi yang ditawarkan, tapi pernahkah sejenak berhenti dan menyelidik langkah mereka? Kecepatannya, melenggangnya, arahnya, suasana yang membersamainya, atau aksi – aksi menarik yang lain?
                Ragam bangunan dan fungsinya memang tidak jauh berbeda, tapi desain bangunan dan penataannya kerap kali menunjukkan identitas diri. Bagaimana denganmu? Sudah kamu tunjukkan desain dirimu yang sejati? Bukan semacam desain produk yang biasa harus dicitrakan agar laku, tapi desain diri yang bijak berlaku tanpa ada yang tahu. ^^
                Melalui perjalanan keluar ini, kamu berlahan akan mampu menemukan jalan pulang ke dalam dirimu sendiri. Tak apa jika dalam perjalanan itu kamu akan nampak tak punya tujuan, plin plan, atau penuh kegamangan. Selama kamu yakin dengan perjalananmu, paham dengan langkahmu, teruskanlah. Ini kamu, itu mereka. Tuhan itu Maha Kreatif, menciptakan takdir manusia dengan ragam jalan. ^^
                Nah, berhubung kamu sedang jalan – jalan sendiri. Kamu tidak perlu khawatir akan mendengar orang mengeluhkan tujuan yang nampak tidak jelas, peluh yang mendera, lapar yang terabai. Pada akhirnya kamu bebas mengolah perjalananmu. Mau istirahat lima menit sekalipun tak apa, mau terus berjalan juga tidak ada yang menahan, mau kemana juga tidak ada yang sibuk mengatur agenda kesana kemarimu. Mau ngapain juga, kamu hanya setitik dari keramaian yang ada. Kamu ada, tapi belum tentu hadir untuk lingkungan luas itu. Mau menyapa siapapun juga tidak ada yang melarang sebab berbincang dengan orang asing :D (orang asing selamanya akan jadi orang asing jika tidak dijabati perkenalan sebelumnya, saya dan kamu juga bemula dari orang asing, kan? Hati – hati perlu, tapi jangan sampai menutupi ^^)
    .::::::::::::::::::::::.
    “Dirimu yang sesungguhnya adalah dirimu ketika tidak ada orang lain yang melihatmu.” Kata Ali Bin Abu Thalib ra.
                Malam selalu punya misteri, sepertiga malam adalah yang paling jujur mengungkap rahasia diri. Menikmati sepertiga malam dalam kesendirian, benar – benar nikmat yang tak terlukiskan kata. Lakukanlah. Menjaga sepertiga malam dalam sujud panjang pengabdianmu pada Illah. Sssttt, itu rahasia. Sungguh. Keromantisan itu akan pudar jika kamu mengunggahnya pada social media. Ingat, sendiri adalah moment kamu bebas bermanja – manja dengan Tuhan, dan sepertiga malam adalah masa yang paaliiiiiing romantis. Nikmatilah berdua. Sesekali boleh kok mengajak pasangan untuk bersama mendirikannya. Toh memang begitulah pasangan, bersama melangkah dalam kebaikan ^^
                “Lantas bagaimana dengan ibadah jamaah itu? Saya juga ingin menikmati setiap sujud dalam sunyi, sendiri, hanya ada saya dan Tuhan.”
                Lakukanlah. Sugestikan dirimu, bahwa sekalipun ragamu dalam jamaah batinmu sunyi berdua dengan Tuhan. Ia ada di hadapanmu. Tak usah menggagas ada siapa atau dimana kamu. Yakini, bahwa dimanapun kamu dan kapanpun kamu terjaga Tuhan hanya mengawasimu, tak berpaling dari makhluk lain sehingga tak ada sedetikpun waktumu untuk berpaling dan terhindar dari pengawasannya. Jika makmum, hayati suara imam layaknya komando hati kita, jadi shalat berjamaahnya tetap berpahala jamaah namun kenikmatannya laksana berkasih-kasih berdua dengan Allah.
                “Bagaimana jika saya ingin memiliki teman beribadah? Setidaknya agar kelak di surga saya tidak sendiri?”
                Haha itu fitrah manusia sebagai makhluk social, tak apa ajaklah dengan cara yang tepat. Jika melalui social media, ajaklah dengan menunjukkan jalan mengamalkannya, ajaklah dengan menunjukkan kebermanfaatannya, ajaklah dengan kisah sahabat rosulallah saw menghidupkannya, informasikanlah tanpa memberitahu bahwa kamu sedang, akan, selalu, atau belum mengerjakannya. Kamu ingat kan? Terkadang riya’ begitu mudah menyusup pada amalan? Hmm bisa – bisa amalan hangus sebelum sampai tujuan hakiki. Semoga terjaga ya ^^
                Kesendirian itu pun meramaikan ukhuwahmu, tidak hanya horizontal namun juga vertical. ^^ Selamat menapaki kesendirian. ^^ Lekas pulang jika sudah selesai dengan perkaramu. ^^
                “Jika ingin berjalan lama, ajaklah teman.” Timpal temanku menutup bincang.