Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Masjid Kauman Kebumen, 15/07/2015
    Sengaja, selepas subuh saya melenggang. Keluar dari rumah suci. Mentadaburi semesta yang masih gelap tanpa surya. Tentu, tidak sepenuhnya gelap. Ada lampu – lampu Alfa yang benderang, juga CWC di empat titik alun – alun kota.
    Naungi ketulusan embun yang masih segar, membuka mata pada kehidupan yang hadir lebih awal dari biasa. Entah kurang terbiasanya saya di sini atau memang pada dasarnya manusia sedang tidak terbiasa berlaku. Kata seorang teman, this is VIM (Very Important Month), kita harus melakukan banyak perbaikan iman, menyeimbangkan langkah vertical dan horizontal. Sebab semua amal sedang dilipatgandakan pahalanya.
    Dalam – dalam ku penuhi paru dengan O2. Sedikit nikmat, jelas. Jam segini memang masih rawan perebutan O2 antara manusia dengan klorofil. Tak apa, selama asap knalpot belum banyak saya masih cukup lega. Tidak terlalu sesak nafas, maksudnya.
    Saya memutuskan untuk melangkah. Menjejaki setiap kebasahan rumput yang masih dingin.
    Kamu pernah merasakan keterasingan dan keakraban sekaligus? Saya sudah. Sedang merasakan lebih tepatnya.
    Saya terasing dengan langkah leluasa ini menapak. Akrab dengan semesta yang sudah membawaku sejauh ini.
    Ada perbatasan rasa, ada noktah kecil yang sedari tadi menatap. Siap menerkam kala lengah. Manusia tidak pernah sungkan berbuat criminal kala gelap bukan? *gelaphati maksudnya.
    Gaduh gemerisik rumput dan lelarian tak beraturan, langkah penyelamatan diri. Alhamdulillah, sekumpulan bocah – bocah subuh menghentikan pelarian ini. Langkah saya melambat, membiarkan ramai itu menyingkirkan gelisah sepi. Meninggalkan ancaman itu, saya duduk. Menghayati pukul 05. 46 yang masih berkabut.
    Kembali mengilhami dua persimpangan rasa. Kebebasan ini serasa dihirup oleh individu merdeka, bukan lagi hamba sahaya dari sang atau si tokoh. (peran – peran dalam casting lakon hidup, yang menjauhkanmu dari kebebasan individu). Just to be R.I.S.A. ya, saya risa bukan si Sulung, sang Kakak, si Lalalala, sang tralalala, si sang tralalala lainnya.
    Menyenangkan. Sungguh. Kamu harus merasakannya. Sensasi macam ini selalu berhasil membuat rindu. Perjalanan bukan perkara seberapa banyak manusia yang kamu temui kan? Pun dengan seberapa banyak budaya yang kamu kenali. Atau seberapa jauh tempat yang kamu singgahi. Tapi sebuah langkah yang membuatmu kian menikmati dirimu sendiri. Perjalanan ke dalam yang semakin mendekatkanmu dengan pemiliki sejati diri. Semacam ritual untuk memanusiakan dirimu sendiri. Seolah mengakar pada semesta, melebur dengan sang Penguasa.
    Riuhan suara kehadiran menyapa. Ramai wajah menjabat tangan. SELAMAT!! Kamu resmi merdeka sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
    Bukan lagi sang Idola, si Sulung, si Anak, si Ibu, sang Bapak, sang Laki – laki, si Perempuan, sang Raja, sang Ratu, si Nyonya, si Tuan, juga sang si yang lainnya.
    Kamu boleh bertepuk tangan. Menyelamati dirimu penuh syukur.
    Kurang beruntung! Tak lama dari euphoria, ancaman itu mendekat. Tidak tahu diri. Saya acuhkan. Sosok dari lawan jenisku, kurang dari sedepa duduk, lekat memandangku. Saya tahu tanpa perlu mata beradu.
    Abaikan saja! Teruslah menulis!! Batinku berseru. Sementara jariku semakin kaku. Saya gagu. Takut membeku.
    Saya terus berusaha mengabaikan kehadirannya, berharap ia lekas benar – benar tak ada. Dia bergerak. Saya siaga satu.
    Saya tutup buku, siap mengambil benda bermata tajam dari saku. Ada. Selalu. Untuk penjagaan.
    Dia melangkah. Berpindah di depanku. Satu langkah itu, nyata ancaman.
    Saya berkemas, mengambil langkah cepat.
    Menuju kerapatan manusia (lagi).
    Langkahku nyaris lari.
    Andai aku lupa bahwa ini tangan penulis, bukan pembunuh. Sudah ku tiadakan ancaman itu sedari tadi.
    “Leeee…….!!” Teriakku pada rombongan bocah itu. Rombongan yang tanpa sadar berpindah tanpa permisi. Pemilik kepala itu banyak menoleh ke arahku, sementara saya menoleh kebelakang. Memastikan ancaman itu telah sirna. Terkurung lagi pada kepengecutannya. Selamat kembali pada Hotel Prodeomu, Pengecut!!
    Benar! Pengecut ialah tepat untuk manusia yang berharap terus bahagia tanpa upaya berdamai dengan nyata. Kufur atas nikmat tapi terus menuntut hidup nikmat. Kepengecutan yang kerap berujung pada hilang akal.
    Langkahku bergegas. Dalam kalut pencarian aman. Saya tahu tempat tujuan. Masjid. Titik mula perjalanan ini.
    Tuhan, tidak adakah tempat aman untuk perempuan yang sedang menikmati kesendirian?? Tidak adakah reward atas keberaniannya mengambil langkah perjalanan ini saat banyak perempuan berpesta manja dalam kebersamaan?!
    “Itulah mengapa ada larangan perempuan tidak bepergian jauh tanpa mahram!” tukas jujur hati yang lain.

    Dan lisanpun merapal, “Ayoo Le. Rio, Riki lekas bertumbuh. Biar bisa menemani proses mbolang yayumu ini. Biar enggak ngabur kemana – mana sendiri. Biar pas di Yogya ada yang moto.in. Biar pas di Semarang ada yang gandengin. Biar pas pulang ada yang boncengin. Biar nanti pas ‘Mas’ kalian datang, yayu masih pantas buat dia.”

  2. 0 comments: