Rss Feed
  1. Yoan Demes Kusumaningtyas.

    Monday 28 October 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Sabtu, 26 Oktober 2013

    yudhiardani.blogspot.com

                “Besok kalo aku punya anak, aku pengen ngasih nama Yoan!” seruku pada seseorang dan terbalas tawa renyah mewaliki ‘silahkan’. Arghh manusia ini, dia terlalu peka namun enggan acuh -_-. Selalu menggemaskan!
    ^O^
                “Risa!” Sapaku sembari mengulurkan tangan. Mengajukan proposal ta’aruf pada dia yang sedari tadi menatap saya dengan senyum manis dan malu malu.
                “Yoan!” balasnya. Menerima proposal saya.
                “Haha ternyata ada ya yang namanya Yoan. Nama lengkapnya sinten Nduk?” tanyaku berlanjut.
                “Yoan Demes Kusumaningtyas Mbak.” Jelasnya ramah dengan senyum yang masih mengembang, “Mba delegasi dari mana?”
                “Oh saya dari UKM hehe. Kamu prodinya apa?”
                “Bahasa Jawa mbak hehe.”
                Dan begitulah. Air perkenalan itu mengalir ringan. Dialog singkat pertukaran identitas. Menyapa arti namanya. Yoan ialah bukti cinta kedua orang tuanya, persatuan dua nama dalam bait buah hati pertama. Lalu Demes bahasa jawa penuh makna kebaikan. Kemudian mengekor Kusumaningtyas, bunga hati keluarga. Subhannallah, indah bukan?!
                Sempat terlintas nama Yoan menjurus pada nama nama kristiani. Yoanes misalnya, niat memberi nama buah hati dengan kata tersebutpun menguap seiring berjalannya logika. Sayangnya, perkenalan pagi ini membuat saya mengulas kembali nama itu. Haha melintaslah kalimat pujangga Eropa, Shakespheare, “Apalah arti sebuah nama jika mawar tetaplah harum wanginya!”
                Benar bukan? Namanya Yoan, namun menatapnya sungguh tak ada titis tak islami. Tatap teduh penuh penjagaan. Jilbab menjulur indah menutup aurat. Rok menambah keanggunan. “Subhanallah...!” batin saya menyeru kesucian.Nya.
                Lantas apa arti Narisa? Haryanti?
                Dua kata pemberian mendiang Biyung. Salah satu hal terindah yang beliau wariskan. Nama saya. Hmm tanpa maksud menidak-artikan nama pemberian beliau, hingga saat ini saya belum tau makna dibalik judul diri ini. Lagi lagi logika mulai bekerja, Narisa wakil atas serpihan nama dari Bunda, Nariyah. Haryanti? Bahwa saya perempuan. Haahha sesederhana mawar yang merah itu beranda rumah, sesederhana itu saya mengartikan judul diri.
                Hingga masanya saya paham. Bahwa disana, di kartu kartu identias, di baris pertama, yang jelas terpampang sebagai panggilan raga bernyawa hingg yang terpampang di papan lahat kelak, adalah percikan doa penuh cinta. Bahwa nama adalah titipan doa sepanjang masa usia. Bahwa nama selalu memiliki makna penyandangnya, entah tentang pembuktian cinta, penghidup harapan, penyemaian doa, atau sebatas pemancar keindahan. Selalu ada makna dibalik sebuah nama.
    ^O^
                “Kenapa namanya Risa Rii Leon, Ukh?” tanya seorang dalam suatu percakapan, “Leon, seperti nama laki laki.”
                Menghela nafas. Menyerap seluruh kosa kata terbaik diudara. Mentransfer makna pada ia yang disana.
                Risa Rii Leon ya?
                Jadi gini, siap mendengarkan? :D
                Risa itu bagian dari nama saya. panggilan sederhana dalam serpihan diri.
                Rii, suku kata kedua pada kata “sari”. Sa dari panggilan ringkas saya, juga dari suku kata sebelumnya. Sari, yang saya maknai sebagai inti. Pokok. Ya seperti sari pati yang mengandung banyak fungsi.
                Leon, baiklah benar memang itu beraroma gentle. Saya tidak memungkiri, jika mendengar nama itu menjurus pada kata ‘laki laki’. Leon yang terispirasi dari kartun singa. Ergghh, singa? Yups, si raja hutan yang bijak dengan tanggung jawabnya menjaga rimba. Berkeliling negeri, memastikan rakyatnya hidup dalam kesyukuran. Seperti sulung yang menjaga adik adiknya dengan keteladanan. Sulung yang menentramkan pandang orang tua. Ya, sulung yang diharap mampu menjadi panutan semua. Leon adalah doa yang melengkapi kata sari pati. Inti keberanian juga tanggung jawab seorang sulung, Risa. Doa yang kuselipkan dalam lirih pejuang pena. Tinta makna yang meninggalkan jejak dengan kata ‘ada’. Bukti eksistensi seorang anak manusia.
                Lantas, doa apa yang terselip dalam judul dirimu, kisanak?
     

  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Senin, 28 Oktober 2013

      => Kacamata Risa Part I   

    sudutpandanggilang.blogspot.com


                                    
                “Yes! Finish! Saatnya membenarkan letak kacamata!” seruku girang. Menutup buku sampul biru itu, membuka laptop label Toshiba keluaran lama.
    ^O^
              Novel fiksi yang benar benar fiksi. Kak Tere terlampau pandai mengaburkan fakta dari makna yang ia titipkan. Hingga tanda titik dihalaman terakhir, bab klimaks juga solusi dari cerita, saya hanya mengenal beberapa sosok dengan nama lengkap. Dam si Tokoh Utama, Taani istri Dam juga rekan sekelasnya semasa SMP, Jarjit, Johan. Lalu Zas dan Qon, dua monster kecil buah hati Dam-Taani. Hingga bab habis, Ayah tak pernah saya tahu nama aslinya, begitupun Ibu, si Raja Tidur, Si Kapten, juga si Nomor Sepuluh. Selain penokohan yang sangat fiksi begitupun dengan tempat tempat destinasi petualangan Ayah sewaktu muda. Suku Penguasa Angin, Lembah Bukhara, Danau Para Sufi. Juga tempat tempat dalam keseharian para tokoh. Club renang mana yang sebenarnya di sambangi Dam untuk belajar? Dan dimana pula Akademi Gajah itu? Meski saya nyaris menjuruskan pandang pada Perguruan Tinggi yang mengandung kata ‘Gajah’, sayangnya Kak Tere tidak menyebutkan hingga kalimat berakhir. Kemudian dimana Ayah bertemu si Raja tidur dalam rangka menimba ilmu di negeri seberang?! Lalu yang paling mendasar ialah kota mana yang menjadi setting tempat dalam kehidupan tokoh? Semua dengan sukses menjadi misteri.
                Dan ada satu hal kontras yang tersirat disana. Ketika sang Ayah terkenal sebagai manusia penuh kebijakan hidup. Menikah dengan kesederhanaan juga bercumbu dengan kesahajaan, namun disisi lain ia otoriter dalam mendidik Dam. Dimana letak otoriternya ketika Ayah bahkan hanya bertutur kata penuh makna dalam bingkai cerita, lagi pula Dam Kecil pun dengan senang hati mendengarkan juga menerima?! Baiklah, itu benar, namun sayangnya dalam sebuah percakapan, saat Dam Kecil mulai tak mampu membendung rasa ingin tahunya? Mempertanyakan kebenaran atas apa yang disampaikan Ayahnya, sang Ayah tak menjelaskan kebenaran ceritanya. Beliau seolah meminta Dam Kecil menelan mentah mentah kebenaran atas cerita Ayah, tanpa bantuan fakta penjelasan dari Ayah. Barangkali dari hal itulah Kak Tere mulai menyemai konflik, ya masalah yang pada akhirnya mewarnai alur cerita. Membuat Dam mengira Ayahnya pembohong.
                Dibeberapa bagianpun saya sempat dibuat sangat gemas oleh sikap Ayah. Sikap Ayah untuk menyatakan cintanya pada keluarga, pada Ibu misalnya. Ayah seakan lemah dan mudah menyerah (karakter yang berbeda dengan karakter di cerita Ayah) saat mengetahui tak ada obat untuk penyakit Ibu, kecuali kebahagiaan. Ibu dapat bertahan lebih lama dari waktu yang di prediksikan untuknya semata oleh kata bahagia. Sikap yang berbuah tindak untuk tidak berusaha mencari pengobatan lain untuk Ibu. Sekalipun seorang Dokter Super Hebat, Dokter Cerdas Nomor Satu di dunia yang mengatakan demikian, seharusnya Ayah tetap berusaha mengobati Ibu. Hmm saya resmi dibuat gregetan disana. Sikap Ayah yang dengan mudahnya menyerah hanya karena sebuah kesimpulan dari dokter hebat. (lihat halaman 232-235).
                “Bukankah Tuhan meminta manusia untuk berusaha? Tuhan tidak pernah menuntut manusia untuk berhasil, bukan?” kesalku saat tiba dibab itu. Haha Kamu berhasil Kak!
                Untuk alur yang digunakan dalam novel ini, jelas alur campuran. Maju mundur (seperti Bidadari – Bidadari Surga). Berawal dari kisah Dam yang menjadi saksi kerukunan Kakek –Cucu antara Ayahnya dan dua buah hatinya dalam bingkai bercerita, lalu dilanjutkan dengan munculnya cerita cerita itu muncul satu persatu. Cerita cerita yang disampaikan pada Dam kecil.
                Lain dari novel Kak Tere yang sebelumnya saya baca (Bidadari - Bidadari Surga), dalam novel ini tak beroma agama. Mungkin sejatinya ada, hanya saja (lagi lagi) Kak Tere mengaburkannya. Efek nyatanya, beberapa tokoh menjadi benar benar mengawang untuk keyakinannya. Seperti pada Bab 12 Tur Sepak Bola, saat Dam mendesak orang tuanya untuk segera berangkat,
                “.. Ibu akhirnya keluar, merapikan kain tutup kepala.” Hlm103
                Juga kalimat “doa pagi di pukul 4”. Dua kalimat yang dipikir pikir belum tentu artinya jilbab atau shalat shubuh. Padahal ritual ibadah juga bagian dari identitas karakter, yang sangat lumrah dilakukan. Jika dikaburkan demikian, sepertinya lebih baik tidak usah sama sekali. Sebab dua kalimat itupun tidak terlalu berefek pada cerita. –V
                Di bab terakhir, bab dengan judul sama dengan novelnya. Ayahku (Bukan) Pembohong. Penuturan Kak Tere terkesan dipaksakan. Solusi dan anti – klimaks yang terpaksa. Seolah kepercayaan yang harus ditelan mentah mentah, bahwa Ayah benar. Titik. Dan sudah. Semua pernyataan dan cerita mengarah pada Ayah yang tidak berbohong, bahkan sejak Dam menemukan buku cerita bersampul coklat di rak Perpustakaan Akademi Gajah, buku cerita dengan isi sama persis dengan cerita Ayah. Saya masih bertanya tanya tentang itu. Haha dari mana asal kisah buku buku yang ditemukan Dam?! Adakah Ayah Dam memiliki hubungan dengan si Penjaga Perputakaan dengan wajah tidak ramah itu? :- / *melirik Kak Tere, berharap mendapat jawaban* haha
                Intervensi (konflik antar tokoh) dalam novel ini amm menurut saya agak berlebihan. Meski baru membaca beberapa karya Kak Tere, namun khusus buku ini saya merasa tidak alami, tidak seperti yang lainnya.
                “Mereka memenangkan pertempuran melawan diri mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar, menundukkan marah dan kekerasan hati.” Hlm. 161
                “Cerita ini bukan tentang betapa dinginnya si Raja Tidur memimpin sidang, Dam. Cerita ini sesungguhnya tentang pengorbanan, keteguhan hati. Kisah ketika kau tetap mendayung sampan sendirian di tengah sungai, yang dipenuhi beban kesedihan, tangis, dan darah bercecer di mana-mana, ketika kau terus maju mendayung bukan karena tidak bisa kembali, tapi meyakini itu akan membawa janji masa depan yang lebih baik untuk generasi berikutnya apa pun harganya.” Hlm. 183
                “Dan kau tahu, Dam, hukum itu sejatinya adalah akal sehat, bukan debat kusir, bukan mulut pintar bicara.” Hlm. 185
                Pembaca dihadapkan pada kesimpulan cerita, pesan pesan moral yang disampaikan penulis dalam novelnya, seolah tak memberi ruang pada pembaca untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Alangkah lebih indahnya jika pembaca mencarinya sendiri, menilai sendiri.
                Satu poin penting yang perlu saya garis bawahi. Bahwa sosok Ayah, dekat dengan karakter Guru.
                “Ibu meletakkan kertas itu diatas meja, sesegukan, menyentuh jemari Ayah, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali....Sungguh dia akan tumbuh dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”Hlm 59.
                Dari seluruh ulasan saya, satu yang pasti. Setiap inci dalam novel Kak Tere ini, sarat makna dan pesan moral. Berikut beberapa kalimat yang menyumbang ruang cerah untuk saya. :”) Terima kasih kak Tere
                “Suku (Penguasa Angin) itu paham, terkadang cara membalas terbaik justru dengan tidak membalas.” Hlm. 24
                “Dam, tidakkah cerita-cerita ayah kau membuat kau mengerti bahwa hidup ini harus bisa mengendalikan diri?” Hlm. 37
                “Ah, yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain.” Hlm. 38
                “Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus berjuang mengubah nasib, maka alam semesta akan mengirimkan bantuan, terlihat ataupun tidak terlihat.” Hlm. 138
                “Alim Khan menjelaskan pemahaman hidup yang sederhana, kerja keras, selalu pandai bersyukur, saling membantu.” Hlm. 140
                “Mereka bukan suku pengecut, Dam. Mereka tidak takut mati demi membela kehormatan, tetapi buat apa? Suku Penguasa Angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan dengan kekerasan. Membalas penghinaan dengan penghinaan. Apa bedanya kau dengan penjajah, jika sama-sama saling menzalimi, saling merendahkan? Leluhur Tutekong memutuskan akan menjaga kebijakan hidup mereka selama mungkin. Mendidik anak-anak mereka untuk mencintai alam, hidup bersahaja, dan membenci ladang-ladang tembakau itu. Rasa benci yang tidak harus berubah menjadi perlawanan. Rasa benci yang justru menjadi penyemangat, menjadi keyakinan bahwa mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan keserakahan penjajah. Kau ingat itu, Dam, keyakinan bahwa suku mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan rasa tamak dan bengis.” Hlm. 157
                “Dam, kesombongan dan keserakahan berusia dua ratus tahun itu musnah dalam sekejap. Kepala suku benar, tidak perlu sebutir peluru, juga tidak perlu meneteskan darah anggota klannya untuk memenangkan perang. Yang dibutuhkan hanya kesabaran dan keteguhan hati yang panjang.” Hlm. 161
                “Mereka memenangkan pertempuran melawan diri mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar, menundukkan marah dan kekerasan hati.” Hlm. 161
                “Ketika kita tidak tahu, bukan berarti kita buru-buru menyimpulkan tidak mungkin. Kita saja yang tidak tahu.” Hlm. 168
                “Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana apa adanya.” Hlm 192-193
                “Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biar waktu yang menjadi obat.” Hlm. 242
                “Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga berasal dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” Hlm 291-292
                “Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang dengan kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.” Hlm. 292
                “Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.” Hlm. 292
                “Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan. Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak peduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali.” Hlm. 293
                “…hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya, rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” (hlm. 292)
     



  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 27 Oktober 2013
     
    Love Ten
                   Pukul 02.23 WIB saat Pondok Sari I terbungkus derasnya hujan.
                Saya menggigil dibalik selimut lima centi itu. Barangkali bukan semata sebab dingin, namun ada segumpal rindu yang membeku sebab lama tak terjamah temu. Dan tangan menyusur ke balik bantal. Mencari benda berlabel Nokia. empat pesan diterima, begitu yang tertera.
                Satu pesan salah kirim. -_-
                Satu pesan tanpa nyonya. -_-
                Satu pesan sapaan malam. -_-
                Dan satu pesan pernyataan perpisahan, teriring emoticon air mata.
    ^O^
                “Kenapa Kak?”
                “Aku diputus Mas. Help me, Sa,,!”
                “Atas dasar apa?”
    ^O^
                Tepat tujuh hari yang lalu.
                “Ibunya dia baik, Sa!” bukamu memulai percakapan.
                “Ciee haha udah direstui ini ceritanya?” godaku mengundang rona merah dipipinya.
                “Haha belumlah, Ibunya belum tahu kalau aku beda. Kemarin aja diajaki shalat. Tapi aku bilang lagi halangan. Hehe.”
                “Haduh, haha terus pie? Wes seriusan kie? Sudah rumah, bukan persinggahan?”
             “Hehe dijalani dulu Sa, soalnya kalau aku bahas ‘itu’ ujungnya malah debat kusir gitu. Hmm Mas bilang aku sayang kamu, kamu sayang aku, kedepannya hadapi bersama.”
                “Aamiin. Ya wish you all the best Kak.” Doaku teriring mekarnya senyum.
                Ya mereka sepasang angka yang saya kagumi. Sepasang angka satu dan nol dalam cerita yang sama. Dan mereka mencoba membirukan senja dengan salib dan tasbih yang bersanding. Membirukannya agar merdeka bersama. Bertangga meski beda. “
                “Semoga bahagia dan tetap bersama.” Batin saya.
    ^O^
                “Dia curhat ke sahabatnya tentang perbedaan kita. Dan disarankan untuk putus saja sebelum terlalu dalam. Sa, help me!Please.” Jelasnya, masih dengan emoticon sama.
                Dan gigilan itu sirna. Dengan susupan hangat yang nyata, senyata pelupuk yang membasah, mendarat di bantal lalu menguap di udara. Sesak.
                “Sejak kapan kedalaman rasa terukur oleh lamanya masa pertemuan?! Lamanya jalinan bersama?! Meski kalian baru jadian, siapa yang menjamin rasa kalian tak lebih dari dangkalnya parit depan rumah? Siapa yang menjamin keputusan sepihak itu tak berbuah luka?” Cecarku kecewa penuh.
                “Katanya aku harus milih dia atau agama. Aku bingung sa. Bingung banget. Dan akupun belum siap kalau begini! Bantu aku Sa.”
                Hujan masih setia membungkus hari lebih dini. Mewarnai malam dengan rinainya.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Teringat sujud sepertiga malam yang tak bisa ku lakukan, saya memilih menegakkan badan. Menyeriusi permintaan rekan saya tersayang.
                “Iya Kak. Sini tak peluk *peluk jauh*”
                “Aku takut Sa. Belum siap!”
                “Iya, boleh aku bilang ke dia?”
                “Iya Sa, enggak papa. Bantu ya.”
                Dan saya menyambangi ruang komunikasi dengan si angka Nol itu. Mengunjungi logikanya tentang makna sebuah proses. Bahkan dia yang mengingatkan saya tentang sebuah proses. Hmm mungkin dia lupa, maka saya coba mengingatkan tanpa maksud memberi tekanan tentunya.
                Seperti yang pernah saya katakan,  saya menyanyangi pasangan ini. Sayang yang saya titipi harap. Harap untuk saling membahagiakan dalam kebaikan. Saling membimbing pada akhirnya.
                Berharap Si Angka Nol mampu menjadikan si Angka Satu menjadi ma’mumnya kelak, meski nyata tangan masih ditangkupkan untuk berdoa. Namun saya percaya, akan tiba masanya si gadis menjadi ma’mum paling manis dalam shaff keluarga mereka. Si kecil yang memompa semangat perbaikan, bisa jadi. :”D
                Sebab bahkan dalam celetukan celetukannya aroma syahadat hampir terucap. Pujian pujian atas nama Allah kerap meluncur ringan. Aromanya kian pekat saat ia mulai menjamah hijab, “Sa, ajari aku jilbaban hehe.” Pintanya suatu ketika.
                Dan betapa tertamparnya saya atas keputusan sepihak itu. Sebuah langkah satu kaki di jalur roda kisah mereka. Kepincangan bincang. Kebersamaan yang terjajah pesimis juga ragu.
                “Pilih Agama atau saya?!” katanya penuh gertakan. Dengan alis yang bertaut dan mata membesar serta bibir yang maju.
                Begitu bayang saya.
                Bahkan ketika pada akhirnya si Perempuan memilih dia sebab ultimatum itu. Sebab keadaan yang mendesak. Sebab hati yang telah sesak kasih. Lantas bagaimana dengan kelak? Bukankah hanya tentang waktu untuk menunggu sang Gadis menghianatinya. Meninggalkannya sebab bertemu seorang yang lebih baik. Bukankah hal mudah untuk meninggalkan sesama ketika Tuhan saja dengan mudah  dicampakkan. Bukankah soal waktu?!
                Ya, soal waktu saja.
                Dan tentang waktu pula untuk membuat si gadis berproses. Memberi ruang si gadis untuk meyakini keputusannya kelak. Keputusan yang terambil bukan semata sebab ancaman, desakan, keadaan, juga cinta yang berlebihan pada sesama insan. Keputusan yang terambil sebab pemahaman yang telah mendalam. Pemahaman tentang makan sebuah keyakinan akan Tuhan yang Esa.
                “Tuhan itu satu. Allah SWT. Sebab manusia menyembah dengan cara yang berbeda dalam bingkai agama, lantas berhak menyebut Tuhan A, Tuhan B, Tuhan C dan seterusnya?! Sebenarnya siapa yang menjamakkan Tuhan sedemikian lancangnya?! Ya Tuhan, ampuni hamba.Mu” (kalimat dalam percakapan kita tentang Tuhan dan Perbedaan)
                Seperti halnya Bunda yang sedang berproses mengislamkan diri. sedikit sedikit bertanya, dan banyak banyak saya jawab. Pelan tapi pasti, akan ada masanya Bunda mampu membawa Ayah dalam niat bersyahadat itu. Ya, saya percaya. Sepercaya saya pada si Angka Nol yang akan mampu membawa si Angka Satu pada jalur yang sama.
                Dan biarlah mereka berproses. Menikmati masa pencarian pemahamannya.
                Bukanlah tugas manusia untuk memberi wahyu pada manusia lain, itu perkara Tuhan saja (tidakkah kisah paman Rosul memberi gambaran tentang itu?) Tugas manusia ialah berusaha menjadi media, perantara datangnya wahyu pada seseorang. :”) Ya, perantara untuk menuju surga.Nya bersama sama.
                Kemudian harapan itu. Harapan untuk mendapatkan jodoh yang baik, bukankah itu kembali pada diri kita? Sebab jodoh adalah cerminan diri kita. Refleksi bagaimana diri kita sesungguhnya.
    ^O^
                Ya, Tuhan menegurmu dengan cukup sopan.
                Melalui pertemuan dua insan yang penuh perbedaan, bahkan tentang kepercayaan.
                Melalui kesadaran bahwa kelak selalu ada yang membutuhkan bimbingan,
                Jadi mari meneruskan perbaikan. :”)
    ^O^
                “Sebab cinta di pertemukan oleh banyaknya persamaan lantas yang dilengkapi dengan banyaknya perbedaan. :”) ”