Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Minggu,
20 Oktober 2013
Perempuannya ramping dengan tinggi
semampai serupa angka satu. Sawo matang semanis senja dengan ronanya, si Kecil
yang manis. Laki lakinya tumbuh subur semacam angka sebelum satu. Si Besar yang
bersuara renyah. :D Mereka adalah pasangan baru yang saya sukai. Mereka
menyebut diri mereka “Si Ban Truk dan Pompanya”. Gadis sebagai pompa kecil
untuk lelakinya, memompa semangat si lelaki dalam ke’ada’annya. Dan si lelaki
sebagai Ban Truk yang super besar, siap membawa beban berat ketika si pompa
hendak berbagi. Bagi si lelaki bahunya telah didesain khusus sebagai sandaran
si Perempuan.
Dan mereka telah saling jatuh cinta.
Dan seperti banyak cinta yang lain,
cinta selalu mampu mengaburkan banyak perbedaan. Ya, cinta selalu dipertemukan
oleh banyaknya persamaan lantas dilengkapi dengan perbedaan. Mereka adalah si Besar
dan Si Kecil. Si Gemuk dan Si Kurus. Si Istiqlal dan Si Caterdal. Si Pecinta
Sujud dan Si Penikmat Tangkupan Tangan. Dan mereka sama sama tinggal dalam
sebuah rapalan cinta berbingkai doa.
Mungkin tidak ada adegan manis itu.
Adegan si Laki laki yang menjemput
si perempuannya di Gereja seusai shalat Jumat.
Adegan si Perempuan berlarian kecil
sepulang paduan suara gereja sebab menanti jemputan buka puasa bersama tiap
senin – kamis senja.
Adegan mereka diam diam merenda
cinta dalam sujud sujud panjang atau khidmat takupan tangan.
Tidak semanis itu mungkin,
Namun jika tanpa harus semanis itu
sudah mampu mengukir bahagia untuk mereka, sepertinya itu sudah cukup. Cukup untuk
saling melengkapi, satu dan nol yang menyempurnakan. :”) satu dan nol yang saling
ada dalam kepedulian. Satu dan nol yang melenggang bersama dalam tali
kebersamaan. Satu dan nol yang saya kagumi sejak cerita pertama itu. Satu dan
nol yang saya sayangi sejak malam itu.
^O^
Hampir Tengah Malam lima belas
Oktober,
“Keluar, aku didepan asrama. Di
depan Pos Satpam!” serunya di ujung telefon.
“Hah? Ngapain? Aku enggak apa apa
kok!” bohongku teriring sisa isak sepuluh menit lalu.
“Wes, rene wae. Aku enggak percaya
og karo kowe!”
“Haha yo sik!”
Di depan Pos satpam, dengan jarum
panjang di angka empat dan jarum pendek mendekati angka dua belas, kami saling
berbincang. Saya yang masih merebak sebab jengah menjadi tersangka. Dan mereka
yang menguatkan saya. Ya, sepasang angka itu datang berbekal peduli. Menjadi
angin pengering air mata, serupa betadine atas luka tanpa darah.
Mereka menyelamatkan air mata saya,
agar tak menguap percuma hanya sebab telinga yang salah mendengar. Betapa seharusnya
suara sumbang dibiarkan masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Betapa seharusnya
tetap tegar dan merapatkan barisan saat adanya banyak tekanan. :”D Ya, saya
terselamatkan mereka malam itu.
"Terima Kasih." bisikku lirih pada punggung mereka yang kian menjauh tepat saat hari berganti sepuluh menit kemdian.
^O^
0 comments:
Post a Comment