Rss Feed
  1. Jejak Bakti Dalam Hijab Hati

    Sunday, 20 October 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Kamis, 29 Agustus 2013

    Cengkrama Kaki, si Manusia Senja Penuh Wibawa dan Riki, Ksatria Tampanku :D

    Kaki - Rio - Riki ^_^

                “Maaf ini bukan soal uang, saya harus pulang. Mau merawat ibu saya yang sudah tua.” Ucap lirih penuh ketegasan seorang gadis ketika majikannya menawarkan gaji dua kali lipat dengan syarat tidak pulang kampung untuk menjaga ibu si majikan dalam layar penuh warna itu. Sebuah iklan ramadhan lalu yang resmi membuat hati saya basah seketika.
                Gerimis kecil yang selalu melanda hati di tiap pekan perantauan ini. Memenjarakan rindu yang sejatinya sudah ingin merdeka, hampir sepuluh pekan saya menunda kepulangan saya. Meredam rindu yang enggan berlalu, mengalihkannya pada puluhan deadline tugas dan tanggung jawab aktivis kampus.
                “Nduk kapan pulang?” Tak ada kata rindu dalam kalimat tanya itu, namun sejatinya di sana ada pesan rindu seorang Kaki untuk cucunya. Kaki yang selalu malu malu menyatakan rindunya, membungkus rindunya dengan apik dalam kalimat tanya itu. Dan lagi lagi harapan bertemu itu pupus begitu saja, ada agenda pekan ini.
    ^O^
                Pulang adalah moment untuk mendengarkan. Menjadi pendengar yang baik dalam sebuah penyimakan penuh khidmat. Sebagai seorang mahasiswi yang enggan melewatkan masa kuliah tanpa berorganisasi, pulang adalah moment untuk liburan dari segala deadline yang menyengat, pulang adalah tiket mendengar radio ‘Kaki’ tentang perjuangan mengusir tentara Deandles juga tentang boyok yang semakin rewel meminta diperhatikan lebih. Pulang juga tentang sebuah kesyukuran masih memiliki sepasang manusia senja penuh cinta untuk Indonesia bernama Kaki-Nini. Itulah mengapa saya tak pernah mampu menolak bertemu ketika Kaki sudah berbisik rindu. Deadline? Biarlah sedikit berbagi tanggung jawab sebagaimana seharusnya.
                Dengan tiket kereta api Prameks seharga dua puluh ribu rupiah ku beri nama perjalanan Solo – Kebumen ini dengan pulang. Mudik untuk istilah kerennya. Menjemput rindu untukku. Dalam gerbong kereta tak hentinya saya mengulumkan senyum, lebih karena saya akan bertemu insan insan tersayang, namun juga beberapa hal yang akan saya tunjukkan pada mereka. Beberapa sertifikat kepiawaian mengemas cerita, beberapa buku yang bertuliskan nama saya sebagai penulisnya, ahh saya berjanji akan membacakan untuk mereka. Menyelimuti mereka penuh cinta dalam dongeng malam karangan saya.
    ^O^
                Pekarangan itu masih sama, dengan bunga desember yang dalam proses pemekaran, dengan dua pohon pisang yang siap panen, lalu dua pohon kelapa dengan degan yang segar menggoda. Dan lelaki itu selalu duduk disana, di bangku ruang utama, menghadap keluar dari arah jendela, lantas mengulumkan senyum termanisnya ketika melihat kedatanganku. Segera saya masuk, meraih tangannya penuh takzim restu, memeluknya penuh cinta dari si cucu. :’) Ahh Kaki, Risa rindu sekali.
                Seusai melepas tanya bertukar kabar. Kamipun tenggelam dalam dialog Kakek-Cucu. Kaki dengan tatap menerawang yang membawa saya pada zaman penjajahan. Menggambarkan kegamblangan perjuangan para pahlawan. Melukiskan persatuan kala mengusir Belanda, juga tentang memeluk perbedaan.
                “Nduk, Indonesia bisa merdeka bukan karena Indonesia sama rata. Indonesia dalam ragam budayanya, murni berbeda hingga pernah diadu domba. Yang memerdekakan Indonesia ialah kesamaannya menatap kata beda. Dan sekarang Nduk, nyata kamu telah memilih jalanmu. Memilih keyakinan yang akan kamu dalami. Nyata pula keluarga ini tak lagi sama dalam keyakinannya, namun Nduk besar harapan Kaki untuk kamu tetap mau menjenguk Kaki renta ini. Tetap mau berkunjung meski hijabmu kini telah berbeda.” Tutur Kaki pelan dalam isak yang tertahan.
                Ada hening menyela dalam ruangan itu. Ada mata yang membendung duka ketika menyadari kata beda itu. Namun, ketika palu telah diketuk dan saya telah melenggang dalam keyakinan ini, menjunjung hijab sebagai seorang perempuan, menjaga martabat sebagai seorang muslimah. :’)
                “Kaki seperti apapun dunia memandang perbedaan kita. Serendah apapun mereka menghakimi kita. Hijabku bukan untuk menghalangi bakti cucu kepada kakeknya. Hijab ini adalah identitas agar Rabbku mengenaliku. Dan meski keyakinan itu nyata membentangkan jarak shaff, namun darahmu yang mengalir dalam nadiku lah yang merekatkan kita.” Bisik saya membatin dalam hening.
                Ada banyak hal yang tak mampu terungkapkan dalam kata maupun kalimat. Ada banyak hal yang lebih efektif disampaikan dalam tindak. :’) Tubuh renta yang tak lagi gagah itu ku rengkuh, menenggelamkan diri dalam peluk kakek.
                “Katanya kamu mau cerita sama Kaki, cerita apa Nduk?” selorohnya mengalihkan keharuan.
                Dan semuanya meluncur begitu saja. Buku buku yang mencantumkan saya sebagai kontributor. Piagam yang masih tertata di rak asrama. Juga beberapa insan yang terkadang mengaku penggemar karya saya. Diantara kicauan itu, Kaki sesekali tersenyum lalu tertawa jika ada kalimat saya yang lucu.
                “Nduk, kamu tahu prestasi terbaik seorang manusia?” tanya Kaki tiba tiba
                “Eh? Terbaik Ki? Bermanfaat ya Ki?”
                “Iya Nduk. Bermanfat bukan hanya untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain. Untuk lingkungannya. Bukankah sebaik baiknya manusia ialah mereka yang bermanfaat untuk sesamanya.”
                “Iya Ki, Risa juga berharap bisa lebih berguna Ki. Memberi sesuatu yang mampu menetap di hati orang orang. Bukan sesuatu yang luar biasa atau sangat istimewa. Bukan hal yang dapat didekap. Tapi, meski hanya untuk sekejab Risa ingin menyentuh hati mereka Ki.” Bisikku lirih. Seperti mengingat janji awal saya menggeluti dunia kepenulisan ini.
                Sebersit ingin yang bertumbuh menjadi cita. Sebuah cita tentang harapan pada kata ada. Ya, saya ingin keberadaan saya di alam persinggahan ini meninggalkan jejak untuk seluruh manusia, menyatakan bahwa saya pernah ada. Melalui jejak jejak kecil dalam alinea ini, saya ingin meninggalkan sesuatu untuk mereka. Bukan sesuatu yang luar biasa atau bahkan istimewa. Bukan hal yang dapat dijamah atau didekap. Namun, untuk sekejap, saya ingin menyentuh hati mereka. Sedikit menginspirasi atas ragam jalan yang dilalui. Seperti bias bintang di gelapnya pandang langit.
                “Nduk, piala piala itu. Yang kamu bawa pulang itu.” Kata Kaki sepertiga berbisik.
                “Iya Ki, kenapa dengan  mereka?”
                “Dalam waktu beberapa tahun saja, pasti akan jadi rongsokan. Rapuh, berkarat dan siap masuk tong sampah. Begitupun buku buku yang kamu tulis itu. Beberapa mungkin akan melebur dalam tanah. Kehujanan tanpa pernah tersapa pembaca. Berdebu di bawah tempat tidur. Mengendap di gudang rumah. Namun, ada satu hal yang mungkin akan tetap mereka bawa ketika kamu usai menulis, ketika pembaca selesai mengeja. Satu hal yang tetap utuh meski si pemberi telah punah. Satu hal yang tak lekang oleh ngengat jaman.”
                “Apa itu Ki?” tanyaku penasaran.
                “Harapan Nduk!” tegas Kaki.
                “Harapan?” sangsiku ragu.
                “Iya Nduk. Piala, piagam dan benda benda berkilau yang mencantumkanmu dalam kejuaraan kelak hanya akan menjadi rongsokan namun harapan yang kamu titipkan dalam dalam penamulah yang membuatnya awet tanpa formalin.” Batuk senja Kaki menyela kalimatnya, “ Dan untuk seorang yang telah menebar harapan untuk sekitarnya, ia akan belajar mengenai proses. Konsistensi terhadap pesan yang akan disampaikan, bukan semata berorientasi pada hasil.” Nasihat Kaki penuh makna.
                Ketika angin masih sibuk menggoda dedaunan untuk bergerak. Ketika suara radio tua itu masih belum jelas. Ketika bunga desember mencuri curi kesempatan untuk mekar. Ketika hijabku makin terbentang. Terbayanglah saat saat buntu sebelum bertemu tanda titik. Terbayanglah beberapa insan yang menatap polemik dalam bingkai optimis. Dan seketika ada ikrar jelas bersuara, membatin disanubari. Ikrar untuk tetap hadir di hadapan manusia senja ini, mungkin empat pekan sekali. :’) Ikrar untuk tetap berbakti berlandas cinta Illahi. :’) birull walidain :’)

                                                                                                    (Untuk Kaki Yang Penuh Inspirasi)
    Dari Cucu yang Mencintai  : Risa ^_^ 
     

  2. 0 comments: