Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis, 29 Agustus 2013
Cengkrama Kaki, si Manusia Senja Penuh Wibawa dan Riki, Ksatria Tampanku :D |
Kaki - Rio - Riki ^_^ |
“Maaf
ini bukan soal uang, saya harus pulang. Mau merawat ibu saya yang sudah tua.”
Ucap lirih penuh ketegasan seorang gadis ketika majikannya menawarkan gaji dua
kali lipat dengan syarat tidak pulang kampung untuk menjaga ibu si majikan
dalam layar penuh warna itu. Sebuah iklan ramadhan lalu yang resmi membuat hati
saya basah seketika.
Gerimis
kecil yang selalu melanda hati di tiap pekan perantauan ini. Memenjarakan rindu
yang sejatinya sudah ingin merdeka, hampir sepuluh pekan saya menunda
kepulangan saya. Meredam rindu yang enggan berlalu, mengalihkannya pada puluhan
deadline tugas dan tanggung jawab aktivis kampus.
“Nduk
kapan pulang?” Tak ada kata rindu dalam kalimat tanya itu, namun sejatinya di
sana ada pesan rindu seorang Kaki untuk cucunya. Kaki yang selalu malu malu
menyatakan rindunya, membungkus rindunya dengan apik dalam kalimat tanya itu.
Dan lagi lagi harapan bertemu itu pupus begitu saja, ada agenda pekan ini.
^O^
Pulang adalah moment untuk
mendengarkan. Menjadi pendengar yang baik dalam sebuah penyimakan penuh
khidmat. Sebagai seorang mahasiswi yang enggan melewatkan masa kuliah tanpa
berorganisasi, pulang adalah moment untuk liburan dari segala deadline yang
menyengat, pulang adalah tiket mendengar radio ‘Kaki’ tentang perjuangan
mengusir tentara Deandles juga tentang boyok yang semakin rewel meminta
diperhatikan lebih. Pulang juga tentang sebuah kesyukuran masih memiliki
sepasang manusia senja penuh cinta untuk Indonesia bernama Kaki-Nini. Itulah
mengapa saya tak pernah mampu menolak bertemu ketika Kaki sudah berbisik rindu.
Deadline? Biarlah sedikit berbagi tanggung jawab sebagaimana seharusnya.
Dengan tiket kereta api Prameks
seharga dua puluh ribu rupiah ku beri nama perjalanan Solo – Kebumen ini dengan
pulang. Mudik untuk istilah kerennya. Menjemput rindu untukku. Dalam gerbong
kereta tak hentinya saya mengulumkan senyum, lebih karena saya akan bertemu
insan insan tersayang, namun juga beberapa hal yang akan saya tunjukkan pada
mereka. Beberapa sertifikat kepiawaian mengemas cerita, beberapa buku yang
bertuliskan nama saya sebagai penulisnya, ahh saya berjanji akan membacakan
untuk mereka. Menyelimuti mereka penuh cinta dalam dongeng malam karangan saya.
^O^
Pekarangan itu masih sama, dengan
bunga desember yang dalam proses pemekaran, dengan dua pohon pisang yang siap
panen, lalu dua pohon kelapa dengan degan yang segar menggoda. Dan lelaki itu
selalu duduk disana, di bangku ruang utama, menghadap keluar dari arah jendela,
lantas mengulumkan senyum termanisnya ketika melihat kedatanganku. Segera saya
masuk, meraih tangannya penuh takzim restu, memeluknya penuh cinta dari si
cucu. :’) Ahh Kaki, Risa rindu sekali.
Seusai melepas tanya bertukar kabar.
Kamipun tenggelam dalam dialog Kakek-Cucu. Kaki dengan tatap menerawang yang
membawa saya pada zaman penjajahan. Menggambarkan kegamblangan perjuangan para
pahlawan. Melukiskan persatuan kala mengusir Belanda, juga tentang memeluk
perbedaan.
“Nduk, Indonesia bisa merdeka bukan
karena Indonesia sama rata. Indonesia dalam ragam budayanya, murni berbeda
hingga pernah diadu domba. Yang memerdekakan Indonesia ialah kesamaannya
menatap kata beda. Dan sekarang Nduk, nyata kamu telah memilih jalanmu. Memilih
keyakinan yang akan kamu dalami. Nyata pula keluarga ini tak lagi sama dalam
keyakinannya, namun Nduk besar harapan Kaki untuk kamu tetap mau menjenguk Kaki
renta ini. Tetap mau berkunjung meski hijabmu kini telah berbeda.” Tutur Kaki
pelan dalam isak yang tertahan.
Ada hening menyela dalam ruangan
itu. Ada mata yang membendung duka ketika menyadari kata beda itu. Namun,
ketika palu telah diketuk dan saya telah melenggang dalam keyakinan ini,
menjunjung hijab sebagai seorang perempuan, menjaga martabat sebagai seorang
muslimah. :’)
“Kaki seperti apapun dunia memandang
perbedaan kita. Serendah apapun mereka menghakimi kita. Hijabku bukan untuk
menghalangi bakti cucu kepada kakeknya. Hijab ini adalah identitas agar Rabbku
mengenaliku. Dan meski keyakinan itu nyata membentangkan jarak shaff, namun
darahmu yang mengalir dalam nadiku lah yang merekatkan kita.” Bisik saya
membatin dalam hening.
Ada banyak hal yang tak mampu
terungkapkan dalam kata maupun kalimat. Ada banyak hal yang lebih efektif
disampaikan dalam tindak. :’) Tubuh renta yang tak lagi gagah itu ku rengkuh, menenggelamkan
diri dalam peluk kakek.
“Katanya kamu mau cerita sama Kaki,
cerita apa Nduk?” selorohnya mengalihkan keharuan.
Dan semuanya meluncur begitu saja.
Buku buku yang mencantumkan saya sebagai kontributor. Piagam yang masih tertata
di rak asrama. Juga beberapa insan yang terkadang mengaku penggemar karya saya.
Diantara kicauan itu, Kaki sesekali tersenyum lalu tertawa jika ada kalimat
saya yang lucu.
“Nduk, kamu tahu prestasi terbaik
seorang manusia?” tanya Kaki tiba tiba
“Eh? Terbaik Ki? Bermanfaat ya Ki?”
“Iya Nduk. Bermanfat bukan hanya
untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain. Untuk lingkungannya. Bukankah
sebaik baiknya manusia ialah mereka yang bermanfaat untuk sesamanya.”
“Iya Ki, Risa juga berharap bisa
lebih berguna Ki. Memberi sesuatu yang mampu menetap di hati orang orang. Bukan
sesuatu yang luar biasa atau sangat istimewa. Bukan hal yang dapat didekap.
Tapi, meski hanya untuk sekejab Risa ingin menyentuh hati mereka Ki.” Bisikku
lirih. Seperti mengingat janji awal saya menggeluti dunia kepenulisan ini.
Sebersit ingin yang bertumbuh
menjadi cita. Sebuah cita tentang harapan pada kata ada. Ya, saya ingin
keberadaan saya di alam persinggahan ini meninggalkan jejak untuk seluruh
manusia, menyatakan bahwa saya pernah ada. Melalui jejak jejak kecil dalam
alinea ini, saya ingin meninggalkan sesuatu untuk mereka. Bukan sesuatu yang
luar biasa atau bahkan istimewa. Bukan hal yang dapat dijamah atau didekap.
Namun, untuk sekejap, saya ingin menyentuh hati mereka. Sedikit menginspirasi
atas ragam jalan yang dilalui. Seperti bias bintang di gelapnya pandang langit.
“Nduk, piala piala itu. Yang kamu
bawa pulang itu.” Kata Kaki sepertiga berbisik.
“Iya Ki, kenapa dengan mereka?”
“Dalam waktu beberapa tahun saja,
pasti akan jadi rongsokan. Rapuh, berkarat dan siap masuk tong sampah.
Begitupun buku buku yang kamu tulis itu. Beberapa mungkin akan melebur dalam
tanah. Kehujanan tanpa pernah tersapa pembaca. Berdebu di bawah tempat tidur.
Mengendap di gudang rumah. Namun, ada satu hal yang mungkin akan tetap mereka bawa
ketika kamu usai menulis, ketika pembaca selesai mengeja. Satu hal yang tetap
utuh meski si pemberi telah punah. Satu hal yang tak lekang oleh ngengat
jaman.”
“Apa itu Ki?” tanyaku penasaran.
“Harapan Nduk!” tegas Kaki.
“Harapan?” sangsiku ragu.
“Iya Nduk. Piala, piagam dan benda
benda berkilau yang mencantumkanmu dalam kejuaraan kelak hanya akan menjadi
rongsokan namun harapan yang kamu titipkan dalam dalam penamulah yang
membuatnya awet tanpa formalin.” Batuk senja Kaki menyela kalimatnya, “ Dan
untuk seorang yang telah menebar harapan untuk sekitarnya, ia akan belajar
mengenai proses. Konsistensi terhadap pesan yang akan disampaikan, bukan semata
berorientasi pada hasil.” Nasihat Kaki penuh makna.
Ketika angin masih sibuk menggoda
dedaunan untuk bergerak. Ketika suara radio tua itu masih belum jelas. Ketika
bunga desember mencuri curi kesempatan untuk mekar. Ketika hijabku makin
terbentang. Terbayanglah saat saat buntu sebelum bertemu tanda titik.
Terbayanglah beberapa insan yang menatap polemik dalam bingkai optimis. Dan
seketika ada ikrar jelas bersuara, membatin disanubari. Ikrar untuk tetap hadir
di hadapan manusia senja ini, mungkin empat pekan sekali. :’) Ikrar untuk tetap
berbakti berlandas cinta Illahi. :’) birull walidain :’)
(Untuk Kaki Yang Penuh Inspirasi)
Dari Cucu yang Mencintai : Risa ^_^
0 comments:
Post a Comment