Rss Feed
  1. Cinta Angka 10

    Monday 28 October 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 27 Oktober 2013
     
    Love Ten
                   Pukul 02.23 WIB saat Pondok Sari I terbungkus derasnya hujan.
                Saya menggigil dibalik selimut lima centi itu. Barangkali bukan semata sebab dingin, namun ada segumpal rindu yang membeku sebab lama tak terjamah temu. Dan tangan menyusur ke balik bantal. Mencari benda berlabel Nokia. empat pesan diterima, begitu yang tertera.
                Satu pesan salah kirim. -_-
                Satu pesan tanpa nyonya. -_-
                Satu pesan sapaan malam. -_-
                Dan satu pesan pernyataan perpisahan, teriring emoticon air mata.
    ^O^
                “Kenapa Kak?”
                “Aku diputus Mas. Help me, Sa,,!”
                “Atas dasar apa?”
    ^O^
                Tepat tujuh hari yang lalu.
                “Ibunya dia baik, Sa!” bukamu memulai percakapan.
                “Ciee haha udah direstui ini ceritanya?” godaku mengundang rona merah dipipinya.
                “Haha belumlah, Ibunya belum tahu kalau aku beda. Kemarin aja diajaki shalat. Tapi aku bilang lagi halangan. Hehe.”
                “Haduh, haha terus pie? Wes seriusan kie? Sudah rumah, bukan persinggahan?”
             “Hehe dijalani dulu Sa, soalnya kalau aku bahas ‘itu’ ujungnya malah debat kusir gitu. Hmm Mas bilang aku sayang kamu, kamu sayang aku, kedepannya hadapi bersama.”
                “Aamiin. Ya wish you all the best Kak.” Doaku teriring mekarnya senyum.
                Ya mereka sepasang angka yang saya kagumi. Sepasang angka satu dan nol dalam cerita yang sama. Dan mereka mencoba membirukan senja dengan salib dan tasbih yang bersanding. Membirukannya agar merdeka bersama. Bertangga meski beda. “
                “Semoga bahagia dan tetap bersama.” Batin saya.
    ^O^
                “Dia curhat ke sahabatnya tentang perbedaan kita. Dan disarankan untuk putus saja sebelum terlalu dalam. Sa, help me!Please.” Jelasnya, masih dengan emoticon sama.
                Dan gigilan itu sirna. Dengan susupan hangat yang nyata, senyata pelupuk yang membasah, mendarat di bantal lalu menguap di udara. Sesak.
                “Sejak kapan kedalaman rasa terukur oleh lamanya masa pertemuan?! Lamanya jalinan bersama?! Meski kalian baru jadian, siapa yang menjamin rasa kalian tak lebih dari dangkalnya parit depan rumah? Siapa yang menjamin keputusan sepihak itu tak berbuah luka?” Cecarku kecewa penuh.
                “Katanya aku harus milih dia atau agama. Aku bingung sa. Bingung banget. Dan akupun belum siap kalau begini! Bantu aku Sa.”
                Hujan masih setia membungkus hari lebih dini. Mewarnai malam dengan rinainya.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Teringat sujud sepertiga malam yang tak bisa ku lakukan, saya memilih menegakkan badan. Menyeriusi permintaan rekan saya tersayang.
                “Iya Kak. Sini tak peluk *peluk jauh*”
                “Aku takut Sa. Belum siap!”
                “Iya, boleh aku bilang ke dia?”
                “Iya Sa, enggak papa. Bantu ya.”
                Dan saya menyambangi ruang komunikasi dengan si angka Nol itu. Mengunjungi logikanya tentang makna sebuah proses. Bahkan dia yang mengingatkan saya tentang sebuah proses. Hmm mungkin dia lupa, maka saya coba mengingatkan tanpa maksud memberi tekanan tentunya.
                Seperti yang pernah saya katakan,  saya menyanyangi pasangan ini. Sayang yang saya titipi harap. Harap untuk saling membahagiakan dalam kebaikan. Saling membimbing pada akhirnya.
                Berharap Si Angka Nol mampu menjadikan si Angka Satu menjadi ma’mumnya kelak, meski nyata tangan masih ditangkupkan untuk berdoa. Namun saya percaya, akan tiba masanya si gadis menjadi ma’mum paling manis dalam shaff keluarga mereka. Si kecil yang memompa semangat perbaikan, bisa jadi. :”D
                Sebab bahkan dalam celetukan celetukannya aroma syahadat hampir terucap. Pujian pujian atas nama Allah kerap meluncur ringan. Aromanya kian pekat saat ia mulai menjamah hijab, “Sa, ajari aku jilbaban hehe.” Pintanya suatu ketika.
                Dan betapa tertamparnya saya atas keputusan sepihak itu. Sebuah langkah satu kaki di jalur roda kisah mereka. Kepincangan bincang. Kebersamaan yang terjajah pesimis juga ragu.
                “Pilih Agama atau saya?!” katanya penuh gertakan. Dengan alis yang bertaut dan mata membesar serta bibir yang maju.
                Begitu bayang saya.
                Bahkan ketika pada akhirnya si Perempuan memilih dia sebab ultimatum itu. Sebab keadaan yang mendesak. Sebab hati yang telah sesak kasih. Lantas bagaimana dengan kelak? Bukankah hanya tentang waktu untuk menunggu sang Gadis menghianatinya. Meninggalkannya sebab bertemu seorang yang lebih baik. Bukankah hal mudah untuk meninggalkan sesama ketika Tuhan saja dengan mudah  dicampakkan. Bukankah soal waktu?!
                Ya, soal waktu saja.
                Dan tentang waktu pula untuk membuat si gadis berproses. Memberi ruang si gadis untuk meyakini keputusannya kelak. Keputusan yang terambil bukan semata sebab ancaman, desakan, keadaan, juga cinta yang berlebihan pada sesama insan. Keputusan yang terambil sebab pemahaman yang telah mendalam. Pemahaman tentang makan sebuah keyakinan akan Tuhan yang Esa.
                “Tuhan itu satu. Allah SWT. Sebab manusia menyembah dengan cara yang berbeda dalam bingkai agama, lantas berhak menyebut Tuhan A, Tuhan B, Tuhan C dan seterusnya?! Sebenarnya siapa yang menjamakkan Tuhan sedemikian lancangnya?! Ya Tuhan, ampuni hamba.Mu” (kalimat dalam percakapan kita tentang Tuhan dan Perbedaan)
                Seperti halnya Bunda yang sedang berproses mengislamkan diri. sedikit sedikit bertanya, dan banyak banyak saya jawab. Pelan tapi pasti, akan ada masanya Bunda mampu membawa Ayah dalam niat bersyahadat itu. Ya, saya percaya. Sepercaya saya pada si Angka Nol yang akan mampu membawa si Angka Satu pada jalur yang sama.
                Dan biarlah mereka berproses. Menikmati masa pencarian pemahamannya.
                Bukanlah tugas manusia untuk memberi wahyu pada manusia lain, itu perkara Tuhan saja (tidakkah kisah paman Rosul memberi gambaran tentang itu?) Tugas manusia ialah berusaha menjadi media, perantara datangnya wahyu pada seseorang. :”) Ya, perantara untuk menuju surga.Nya bersama sama.
                Kemudian harapan itu. Harapan untuk mendapatkan jodoh yang baik, bukankah itu kembali pada diri kita? Sebab jodoh adalah cerminan diri kita. Refleksi bagaimana diri kita sesungguhnya.
    ^O^
                Ya, Tuhan menegurmu dengan cukup sopan.
                Melalui pertemuan dua insan yang penuh perbedaan, bahkan tentang kepercayaan.
                Melalui kesadaran bahwa kelak selalu ada yang membutuhkan bimbingan,
                Jadi mari meneruskan perbaikan. :”)
    ^O^
                “Sebab cinta di pertemukan oleh banyaknya persamaan lantas yang dilengkapi dengan banyaknya perbedaan. :”) ”
               
               
               

     

  2. 0 comments: