Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Minggu,
27 Oktober 2013
Pukul 02.23 WIB saat Pondok Sari I
terbungkus derasnya hujan.
Saya menggigil dibalik selimut lima
centi itu. Barangkali bukan semata sebab dingin, namun ada segumpal rindu yang
membeku sebab lama tak terjamah temu. Dan tangan menyusur ke balik bantal.
Mencari benda berlabel Nokia. empat pesan diterima, begitu yang tertera.
Satu pesan salah kirim. -_-
Satu pesan tanpa nyonya. -_-
Satu pesan sapaan malam. -_-
Dan satu pesan pernyataan
perpisahan, teriring emoticon air mata.
^O^
“Kenapa Kak?”
“Aku diputus Mas. Help me, Sa,,!”
“Atas dasar apa?”
^O^
Tepat tujuh hari yang lalu.
“Ibunya dia baik, Sa!” bukamu
memulai percakapan.
“Ciee haha udah direstui ini
ceritanya?” godaku mengundang rona merah dipipinya.
“Haha belumlah, Ibunya belum tahu
kalau aku beda. Kemarin aja diajaki shalat. Tapi aku bilang lagi halangan. Hehe.”
“Haduh, haha terus pie? Wes seriusan
kie? Sudah rumah, bukan persinggahan?”
“Hehe dijalani dulu Sa, soalnya
kalau aku bahas ‘itu’ ujungnya malah debat kusir gitu. Hmm Mas bilang aku
sayang kamu, kamu sayang aku, kedepannya hadapi bersama.”
“Aamiin. Ya wish you all the best
Kak.” Doaku teriring mekarnya senyum.
Ya mereka sepasang angka yang saya
kagumi. Sepasang angka satu dan nol dalam cerita yang sama. Dan mereka mencoba
membirukan senja dengan salib dan tasbih yang bersanding. Membirukannya agar merdeka
bersama. Bertangga meski beda. “
“Semoga bahagia dan tetap bersama.”
Batin saya.
^O^
“Dia curhat ke sahabatnya tentang
perbedaan kita. Dan disarankan untuk putus saja sebelum terlalu dalam. Sa, help
me!Please.” Jelasnya, masih dengan emoticon sama.
Dan gigilan itu sirna. Dengan
susupan hangat yang nyata, senyata pelupuk yang membasah, mendarat di bantal
lalu menguap di udara. Sesak.
“Sejak kapan kedalaman rasa terukur
oleh lamanya masa pertemuan?! Lamanya jalinan bersama?! Meski kalian baru jadian,
siapa yang menjamin rasa kalian tak lebih dari dangkalnya parit depan rumah?
Siapa yang menjamin keputusan sepihak itu tak berbuah luka?” Cecarku kecewa
penuh.
“Katanya aku harus milih dia atau
agama. Aku bingung sa. Bingung banget. Dan akupun belum siap kalau begini!
Bantu aku Sa.”
Hujan masih setia membungkus hari
lebih dini. Mewarnai malam dengan rinainya.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga.
Teringat sujud sepertiga malam yang tak bisa ku lakukan, saya memilih
menegakkan badan. Menyeriusi permintaan rekan saya tersayang.
“Iya Kak. Sini tak peluk *peluk
jauh*”
“Aku takut Sa. Belum siap!”
“Iya, boleh aku bilang ke dia?”
“Iya Sa, enggak papa. Bantu ya.”
Dan saya menyambangi ruang
komunikasi dengan si angka Nol itu. Mengunjungi logikanya tentang makna sebuah
proses. Bahkan dia yang mengingatkan saya tentang sebuah proses. Hmm mungkin
dia lupa, maka saya coba mengingatkan tanpa maksud memberi tekanan tentunya.
Seperti yang pernah saya
katakan, saya menyanyangi pasangan ini.
Sayang yang saya titipi harap. Harap untuk saling membahagiakan dalam kebaikan.
Saling membimbing pada akhirnya.
Berharap Si Angka Nol mampu
menjadikan si Angka Satu menjadi ma’mumnya kelak, meski nyata tangan masih
ditangkupkan untuk berdoa. Namun saya percaya, akan tiba masanya si gadis
menjadi ma’mum paling manis dalam shaff keluarga mereka. Si kecil yang memompa
semangat perbaikan, bisa jadi. :”D
Sebab bahkan dalam celetukan
celetukannya aroma syahadat hampir terucap. Pujian pujian atas nama Allah kerap
meluncur ringan. Aromanya kian pekat saat ia mulai menjamah hijab, “Sa, ajari
aku jilbaban hehe.” Pintanya suatu ketika.
Dan betapa tertamparnya saya atas
keputusan sepihak itu. Sebuah langkah satu kaki di jalur roda kisah mereka.
Kepincangan bincang. Kebersamaan yang terjajah pesimis juga ragu.
“Pilih Agama atau saya?!” katanya
penuh gertakan. Dengan alis yang bertaut dan mata membesar serta bibir yang
maju.
Begitu bayang saya.
Bahkan ketika pada akhirnya si
Perempuan memilih dia sebab ultimatum itu. Sebab keadaan yang mendesak. Sebab
hati yang telah sesak kasih. Lantas bagaimana dengan kelak? Bukankah hanya
tentang waktu untuk menunggu sang Gadis menghianatinya. Meninggalkannya sebab
bertemu seorang yang lebih baik. Bukankah hal mudah untuk meninggalkan sesama
ketika Tuhan saja dengan mudah dicampakkan.
Bukankah soal waktu?!
Ya, soal waktu saja.
Dan tentang waktu pula untuk membuat
si gadis berproses. Memberi ruang si gadis untuk meyakini keputusannya kelak.
Keputusan yang terambil bukan semata sebab ancaman, desakan, keadaan, juga
cinta yang berlebihan pada sesama insan. Keputusan yang terambil sebab
pemahaman yang telah mendalam. Pemahaman tentang makan sebuah keyakinan akan
Tuhan yang Esa.
“Tuhan itu satu. Allah SWT. Sebab
manusia menyembah dengan cara yang berbeda dalam bingkai agama, lantas berhak
menyebut Tuhan A, Tuhan B, Tuhan C dan seterusnya?! Sebenarnya siapa yang
menjamakkan Tuhan sedemikian lancangnya?! Ya Tuhan, ampuni hamba.Mu” (kalimat
dalam percakapan kita tentang Tuhan dan Perbedaan)
Seperti halnya Bunda yang sedang
berproses mengislamkan diri. sedikit sedikit bertanya, dan banyak banyak saya
jawab. Pelan tapi pasti, akan ada masanya Bunda mampu membawa Ayah dalam niat
bersyahadat itu. Ya, saya percaya. Sepercaya saya pada si Angka Nol yang akan
mampu membawa si Angka Satu pada jalur yang sama.
Dan biarlah mereka berproses.
Menikmati masa pencarian pemahamannya.
Bukanlah tugas manusia untuk memberi
wahyu pada manusia lain, itu perkara Tuhan saja (tidakkah kisah paman Rosul
memberi gambaran tentang itu?) Tugas manusia ialah berusaha menjadi media,
perantara datangnya wahyu pada seseorang. :”) Ya, perantara untuk menuju
surga.Nya bersama sama.
Kemudian harapan itu. Harapan untuk
mendapatkan jodoh yang baik, bukankah itu kembali pada diri kita? Sebab jodoh
adalah cerminan diri kita. Refleksi bagaimana diri kita sesungguhnya.
^O^
Ya, Tuhan menegurmu dengan cukup
sopan.
Melalui pertemuan dua insan yang
penuh perbedaan, bahkan tentang kepercayaan.
Melalui kesadaran bahwa kelak selalu
ada yang membutuhkan bimbingan,
Jadi mari meneruskan perbaikan. :”)
^O^
“Sebab cinta di pertemukan oleh
banyaknya persamaan lantas yang dilengkapi dengan banyaknya perbedaan. :”) ”
0 comments:
Post a Comment