Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis,
24 Oktober 2013
Memanjakan air mata tak selalu
pertanda kelemahan kok, kadang dalam isak terdiam itulah kekuatan dibangun. :”)
Saya percaya itu.
Entah sebab apa akhir akhir ini air
mata begitu murah tergadaikan. Hmm kepekaan yang terlalu? Efek tanggal dua
puluh? Atau rindu pada sosok itu?! Ketiganya menjadi resep manjur
menganaksungaikan air mata (akhir akhir ini saja lo ya :”D )
Dan tak hanya genangan rindu
ternyata, bahkan sayang yang terkatakan dengan salahpun mengundak rintik itu.
Ketika niat hati berkata sayang dalam sebuah teguran, malah tertangkap sebagai
peringatan penuh tekanan. Sungguh niat saya bukan demikian sayang.
^O^
Kamis semester ini terisi dengan
satu mata kuliah berkesenian. Pakaian bebas berkaos juga bawahan tak harus rok.
Dua hal yang membuat kelas selalu nampak penuh warna ceria, tak lagi hitam
putih seperti film tahun lima puluhan. Sebab kebebasan yang diberikan ini,
terkadang lupa bahwa ada sopan dibalik bebas. :”D Kalau kata Ibu sih, “Bebas tapi sopan.”
Dan diantara warna warna ceria itu, diantara kain kain penutup raga itu, ada
yang menganggu tatap. Bukan sebab ia yang memakainya, namun lebih pada ‘cara’
ia menggunakannya.
Saya ingat benar, salah satu hak
saudari kita atas diri kita ialah mendapat peringatan atas khilaf yang mungkin
dilakukan. Kewajiban masing masing insan untuk senantiasa mengingatkan dalam
kebaikan.
Dan ketika peringatan itu berbuah
sayatan luka, menyinggung hati perempuan yang terlampauu halus. Maafkan saya
Ukh, sungguh bukan maksud hati saya demikian. Tak ada titis tak suka menatapmu.
Tak ada secuilpun. :”( Saya hanya mengajak, mengingatkan, bahwa perhiasanmu
terlalu berharga untuk dipandang yang bukan mahram.
^O^
Beberapa hari lalu.
“Ris, besok besok kalau ada
pengajian di masjid kampus aku diajak ya!” pintamu teriring tawa.
“Eh? Hehe insya Allah ya Ukh. Cieee!”
godaku trenyuh.
“Hhehe kan mau memperbaiki diri. Menebalkan
iman.” Ucapmu renyah teriring senyum dengan niat langkah perbaikan.
“Subhanallah.Saya mencintainya sebab
Engkau ya Rabb.” Lirihku seperdelapan detik kemudian. Hati saya basah seketika.
^O^
Bukan rayuan atau gombalan semata. Sungguh
saya mencintai kamu sebab Allah. Saudari saya yang terlalu istimewa untuk
diperlakukan biasa. Hmm iya, saya memang sering berkata demikian kepada
semuanya.
“Ukh, aku sayang kamu sebab Allah.” Teriring
pelukkan hangat tak peduli tempat.
“Ukh, aku rindu kamu sebab Allah.”
Teriring pelukkan hangat lupa tempat.
“Ukh... aku kangen.” Teriring pelukkan
hangat tanpa ingat tempat.
Juga ungkapan ungkapan cinta
lainnya. Dan ya seperti yang bisa ditebak. Jawabanpun beranek macam. Paling sering
mesti gini, “Biasa wae lo Ris!” dan dengan ringan saya menjawab, “Kamu itu
terlalu istimewa untuk diperlakukan biasa, sayaang!”
Namun sejatinya, sesering apapun
saya mengungkakan kaliamat sayang itu tak setetespun menguapkan sayang itu, mewakilipun
tidak. Sebab sayang itu terlalu besar, terlampau indah untuk sebatas
terwakilkan dalam kata ‘Anna sayang anti sebab Allah.” Lima kata itu, tak
pernah cukup menyampaikan betapa layaknya kamu, saudariku untuk disayangi.
Dengan saling mengingatkan untuk
kebaikan, dengan saling mengajak dalam langkah perbaikan, dengan saling menyapa
di jalannya, dengan saling ada meski padat agenda, dengan merapatkan penuh
kehangatan saudari, dengan saling memeluk dalam doa, juga saling saling fii
sabilillah lainnya. Dengan itu semua saya mencoba menyatakan cinta yang
sesungguhnya. Dan jika nyata itu semua menggoreskan luka, memercikkan rasa
tidak suka, afwan ukh, afwan jiddan.
Saudariku, saya mencintaimu.
Semoga engkau paham dengan maksudku.
^O^
Tanah basah, petrichor menguasai
atmosfer. Dan sesak itu memecahkan dinding bening dipelupuk mata. Dinding pertahanan
saya runtuh, sebab membayangkan betapa mungkin sebenarnya ada hati yang
terlukai, oleh saya, pagi menjelang tadi.
0 comments:
Post a Comment