Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
minangkabaunews.com |
rintihanbisu.blogspot.com |
www.kaskus.co.id |
“Koran mas ,,, koran mbaa,,,
koran,,,koran. Koran pak. Koran Bu. Kompas Jokowi terancam mengundurkan diri.
Kompas 2 ribu mas, harga mahasiswa. Koran koran” suara stereo pita manusia
tengah lautan terompet mesin beroda dua hingga beroda empat.
“Koran koran...tiga TKI pulang penuh
luka. Koran koran. Seorang anak tujuh tahun mati kelaparan di pangkuan Ibu
Kota. Koran koraan..”
Bersaing dengan gaduhnya suara knalpot
kendaraan bermotor, dan teriknya siang, seorang gadis berjilbab putih berteriak
menawarkan dagangannya. Koran. Jilbab putih yang berganti warna menjadi abu abu
sebagai tanda ia telah lama berkutat di sana. Berteriak, berjalan, dan
menawarkan dagangan. Menyambung hidup dengan permadani ilmu. Menyambung hidup
di ramainya kesumbangan suara lalu lalang kehidupan. Wujud semangat yang masih
berkobar. Berjuang tanpa keluh dan iri pada nyonya cantik di tepi jalan. Nyonya
yang berteduh di kursi taman yang sejuk, dengan sesekali mengelus mata intan di
jari manisnya, sesekali melirik jam tangan indah di pergelangan tangannya, dan
berbicara pada sebuah benda kecil yang orang sering menyebutnya dengan
handphone BB. Apa pula itu, bukan menu dalam hidupnya. Cukup koran hiasan
hidupnya.
Dengan langkah terseok. Menahan luka
yang masih belum kering akibat tabrak lari sepekan yang lalu di lampu merah
seberang jalan. Ya sepekan yang lalu, namun bukannya semakin kering dan sembuh,
luka itu makin membusuk menghalangi gerak tangkasnya. Tak mampu lagi ia duduk
bersiul sembari menyemir sepatu tuan tuan berdasi yang baik hati di terminal.
Berbekal tongkat penyangga tubuh, ia melangkah terseok berburu tangan dari
manusia berhati malaikat. Insan yang rela berbagi dengannya. Meski rasa rendah
diri semakin berakar kuat, namun hanya itu yang baru terfikir olehnya untuk
menyambung hidup. Meletakan tangan dibawah, membungkus malu rapat rapat demi
ketidakpunahan diri. Berharap ada titis belas kasih di hati seorang nyonya di
bangku taman itu, gadis itu terseok kearah nya. Menyadongkan tangan dan berkata
lirih mencari sisi kemanusiaan.
“Manusia sampah. Busuk dan tak
berguna. Mengemis, dan meminta!! Manusia tanpa fungsi benalu masyarakat.
Hih..tak bisakah kalian bekerja bukan dengan mengemis.”ucapnya penuh amarah. “Saya
seperti sekarang adalah hasil kerja keras, kerja banting tulang. Saya tidak
malas malasan seperti kalian para pengemis. Bekerjalah!! jangan bermalas
malasan dan mengandalkan orang lain untuk hidup kalian!! Jijik saya....MENJAUHLAH
DARI SAYA!!” hardik sang Nonya dengan angkuh total.
Korannya tak lagi jadi prioritas.
Seorang di sana membutuhkan lengannya untuk bangun. Menyadari bahwa nyonya itu
miskin sekali. Nyonya di seberang jalan yang ia lihat tadi itu adalah nyonya
yang sama, yang duduk di bangku taman dan menidakmanusiakan manusia seperti
rekannya. Rekannya yang jadi korban tabrak lari sepekan yang lalu hingga harus
mengemis untuk bertahan hidup. Membiarkan luka di kakinya membusuk bersama
banyaknya lalat mengerubunginya. Nyonya itu sangat miskin. Miskin nurani
tepatnya!!
“Kami bukan kaum pemalas seperti
kata nyonya itu. Kami bekerja sebisa kami. Kamilah korban atas kebinalan para
penghuni kursi terhormat mengumbar janji. Menciptakan aturan yang begitu indah
untuk di baca. Begitu adil tertuliskan. Namun nol besar praktek penerapan dalam
tiap aturan yang dibuat. Melupakan janjimu untuk melindungi kami dan menjaga
kami. Lupakah kamu? Begitu madunya Kalian mengucap janji meminta suara kami
dalam pesta yang katanya untuk rakyat itu?!” bela gadis koran sengit.
BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 34
1.
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara.
2.
Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3.
Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.
4.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Seperti ternak sapi perah yang
terpelihara, seperti itu barangkali ‘mereka’ memelihara. Membiarkannya ada agar
pasal tetap terpelihara tanpa mengindahkan mereka juga manusia.
*Kisah
ini pernah dipentaskan oleh Anggota Baru Kelompok Peron Surakarta Mahasiswa
Pekerja Teater FKIP UNS dalam Perform Art Penerimaan Anggota Baru 2012 di depan
Gedung E FKIP UNS
0 comments:
Post a Comment