Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Senin,
21 Oktober 2013
Kamis, 17 Oktober 2013 pukul
setengah dua siang. Diantara teriknya raja siang, seorang dengan motor matchic
keluaran HONDA, dengan helm putih berlabel SNI menempel di kepala. Juga sebingkai
kacamata minus bertengger diwajahnya, ia
menatap sekitar. Sesekali menatap layar handphone dan menyapu pandang
pada area sekitar gerbang kampus IV FKIP UNS, mencari sosok bersepeda ungu yang
ia hubungi beberapa menit lalu. Seseorang yang sejatinya juga terburu sejak
semenit lalu. Pertemuan dua orang itu hari kamis lalu sungguh tak akan terjadi
jika mereka malu malu.
^O^
“Dik, kamu suka baca novel?” tera
pesan singkat layar nokiaku.
“Iya mas, pripun?” balasku dalam
ketikan beberapa karakter.
“Kamu sudah pernah baca novel Ayahku
(Bukan) Pembohong?”
“Belum mas. Kenapa memangnya?”
“Ini temennku mau minta tolong kamu
buat baca novel itu, untuk kebutuhan skripsinya.”
“Oh gitu mas, nggih insya Allah
saged bantu mas.”
Berawal dari percakapan via pesan
singkat itu, saya mengenal sosok perempuan yang menunggu saya didepan gerbang
kampus. :D Dan setelah berhari hari tersisih oleh agenda ini itu, baru semalam
saya memberanikan diri membuka halaman pertama novel bidanan Kak Tere – Liye (sekedar
informasi, saya penggemar nomor tiga kak Tere :D ) *mengingat karya pertama kak
Tere yang saya baca – Bidadari Bidadari Surga*. Kenapa butuh keberanian untuk
membaca sebuah novel?! Jelas, dengan mulai membaca, mulai membuka halaman cover
sebuah buku, melintasi alinea alinea juga melenggang melewati kata penghantar
atau sekapur sirih, sama hal nya dengan memulai pertualangan baru. Menjejakkan kaki
dialam imajinasi si penulis. Dan seperti petualangan petualangan lainnya,
membutuhkan keberanian melangkah disana. Berani tersesat, berani lupa makan,
berani dikatakan ‘aneh’ sebab tiba tiba menangis dihadapan buku, tertawa
diantara lembaran kertas, memukul tembok sebab paragraf penuh titik titik atau
sebatas terhias tanda seru. Harus berani, lupa jadwal kuliah, harus rela
dipangkas jam istirahatnya, harus rela terbungkus penasaran sepanjan pejaman
mata sebab mata lelah menatap juga malam yang kian renta. Harus berani. Titik!
Dan semenjak semalam tadi, diantara
penantian selesainya lagu download-an sebagai tugas media tugas kuliah yang
berjalan dengan kecepatan siput saya membuka buku bersampul biru. Ayahku (Bukan
Pembohong). Novel ketiga kak Tere yang menjamah ruang imaji saya. Novel yang
menyita perhatian saya bahkan saat presentasi teman teman mengenai pembelajaran
Micro Teaching tadi. Hmm kebiasaan
burukku selalu membawa buku selingan (selain pendamping mata kuliah) saat ada
mata kuliah pengundang lelap. Saya resmi tidak memperhatikan. Mengisi tiga sks
saya dengan jalur fikir kak Tere. Arrghh harus ada harga yang ku bayar setelah
ini. Membaca ulang materi dari rekan yang presentasi nanti malam, juga akan
mengganggu beberapa kakak tingkat untuk pertanyaan pertanyaan yang seharusnya
tersampaikan tadi dikelas. :D Baiklah, penyesalan yang indah setidaknya. Ada banyak
hikmah bertaburan di tiap halaman cerita Kak Tere ini.
Segera saya hubungi, si kakak yang
memberi novel ini. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Setidaknya beri tahu
saya, apa yang harus saya tuliskan tentang karya Kak Tere ini? Sesuatu yang
harus saya analisis, begitukah ia menyebutnya? :D
0 comments:
Post a Comment