Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
=> Kacamata Risa Part I
Senin,
28 Oktober 2013
=> Kacamata Risa Part I
sudutpandanggilang.blogspot.com |
“Yes! Finish! Saatnya membenarkan
letak kacamata!” seruku girang. Menutup buku sampul biru itu, membuka laptop
label Toshiba keluaran lama.
^O^
Novel
fiksi yang benar benar fiksi. Kak Tere terlampau pandai mengaburkan fakta dari
makna yang ia titipkan. Hingga tanda titik dihalaman terakhir, bab klimaks juga
solusi dari cerita, saya hanya mengenal beberapa sosok dengan nama lengkap. Dam
si Tokoh Utama, Taani istri Dam juga rekan sekelasnya semasa SMP, Jarjit,
Johan. Lalu Zas dan Qon, dua monster kecil buah hati Dam-Taani. Hingga bab
habis, Ayah tak pernah saya tahu nama aslinya, begitupun Ibu, si Raja Tidur, Si
Kapten, juga si Nomor Sepuluh. Selain penokohan yang sangat fiksi begitupun
dengan tempat tempat destinasi petualangan Ayah sewaktu muda. Suku Penguasa
Angin, Lembah Bukhara, Danau Para Sufi. Juga tempat tempat dalam keseharian
para tokoh. Club renang mana yang sebenarnya di sambangi Dam untuk belajar? Dan
dimana pula Akademi Gajah itu? Meski saya nyaris menjuruskan pandang pada
Perguruan Tinggi yang mengandung kata ‘Gajah’, sayangnya Kak Tere tidak
menyebutkan hingga kalimat berakhir. Kemudian dimana Ayah bertemu si Raja tidur
dalam rangka menimba ilmu di negeri seberang?! Lalu yang paling mendasar ialah
kota mana yang menjadi setting tempat dalam kehidupan tokoh? Semua dengan
sukses menjadi misteri.
Dan ada satu hal kontras yang
tersirat disana. Ketika sang Ayah terkenal sebagai manusia penuh kebijakan
hidup. Menikah dengan kesederhanaan juga bercumbu dengan kesahajaan, namun
disisi lain ia otoriter dalam mendidik Dam. Dimana letak otoriternya ketika
Ayah bahkan hanya bertutur kata penuh makna dalam bingkai cerita, lagi pula Dam
Kecil pun dengan senang hati mendengarkan juga menerima?! Baiklah, itu benar,
namun sayangnya dalam sebuah percakapan, saat Dam Kecil mulai tak mampu
membendung rasa ingin tahunya? Mempertanyakan kebenaran atas apa yang
disampaikan Ayahnya, sang Ayah tak menjelaskan kebenaran ceritanya. Beliau
seolah meminta Dam Kecil menelan mentah mentah kebenaran atas cerita Ayah,
tanpa bantuan fakta penjelasan dari Ayah. Barangkali dari hal itulah Kak Tere
mulai menyemai konflik, ya masalah yang pada akhirnya mewarnai alur cerita.
Membuat Dam mengira Ayahnya pembohong.
Dibeberapa bagianpun saya sempat
dibuat sangat gemas oleh sikap Ayah. Sikap Ayah untuk menyatakan cintanya pada
keluarga, pada Ibu misalnya. Ayah seakan lemah dan mudah menyerah (karakter
yang berbeda dengan karakter di cerita Ayah) saat mengetahui tak ada obat untuk
penyakit Ibu, kecuali kebahagiaan. Ibu dapat bertahan lebih lama dari waktu
yang di prediksikan untuknya semata oleh kata bahagia. Sikap yang berbuah
tindak untuk tidak berusaha mencari pengobatan lain untuk Ibu. Sekalipun
seorang Dokter Super Hebat, Dokter Cerdas Nomor Satu di dunia yang mengatakan
demikian, seharusnya Ayah tetap berusaha mengobati Ibu. Hmm saya resmi dibuat
gregetan disana. Sikap Ayah yang dengan mudahnya menyerah hanya karena sebuah
kesimpulan dari dokter hebat. (lihat halaman 232-235).
“Bukankah Tuhan meminta manusia
untuk berusaha? Tuhan tidak pernah menuntut manusia untuk berhasil, bukan?”
kesalku saat tiba dibab itu. Haha Kamu berhasil Kak!
Untuk
alur yang digunakan dalam novel ini, jelas alur campuran. Maju mundur (seperti
Bidadari – Bidadari Surga). Berawal dari kisah Dam yang menjadi saksi kerukunan
Kakek –Cucu antara Ayahnya dan dua buah hatinya dalam bingkai bercerita, lalu
dilanjutkan dengan munculnya cerita cerita itu muncul satu persatu. Cerita
cerita yang disampaikan pada Dam kecil.
Lain dari novel Kak Tere yang
sebelumnya saya baca (Bidadari - Bidadari Surga), dalam novel ini tak beroma
agama. Mungkin sejatinya ada, hanya saja (lagi lagi) Kak Tere mengaburkannya.
Efek nyatanya, beberapa tokoh menjadi benar benar mengawang untuk keyakinannya.
Seperti pada Bab 12 Tur Sepak Bola, saat Dam mendesak orang tuanya untuk segera
berangkat,
“..
Ibu akhirnya keluar, merapikan kain tutup kepala.” Hlm103
Juga kalimat “doa pagi di pukul 4”.
Dua kalimat yang dipikir pikir belum tentu artinya jilbab atau shalat shubuh.
Padahal ritual ibadah juga bagian dari identitas karakter, yang sangat lumrah
dilakukan. Jika dikaburkan demikian, sepertinya lebih baik tidak usah sama
sekali. Sebab dua kalimat itupun tidak terlalu berefek pada cerita. –V
Di bab terakhir, bab dengan judul
sama dengan novelnya. Ayahku (Bukan) Pembohong. Penuturan Kak Tere terkesan
dipaksakan. Solusi dan anti – klimaks yang terpaksa. Seolah kepercayaan yang
harus ditelan mentah mentah, bahwa Ayah benar. Titik. Dan sudah. Semua
pernyataan dan cerita mengarah pada Ayah yang tidak berbohong, bahkan sejak Dam
menemukan buku cerita bersampul coklat di rak Perpustakaan Akademi Gajah, buku
cerita dengan isi sama persis dengan cerita Ayah. Saya masih bertanya tanya
tentang itu. Haha dari mana asal kisah buku buku yang ditemukan Dam?! Adakah
Ayah Dam memiliki hubungan dengan si Penjaga Perputakaan dengan wajah tidak
ramah itu? :- / *melirik Kak Tere, berharap mendapat jawaban* haha
Intervensi (konflik antar tokoh)
dalam novel ini amm menurut saya agak berlebihan. Meski baru membaca beberapa
karya Kak Tere, namun khusus buku ini saya merasa tidak alami, tidak seperti
yang lainnya.
“Mereka
memenangkan pertempuran melawan diri mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar,
menundukkan marah dan kekerasan hati.” Hlm. 161
“Cerita
ini bukan tentang betapa dinginnya si Raja Tidur memimpin sidang, Dam. Cerita
ini sesungguhnya tentang pengorbanan, keteguhan hati. Kisah ketika kau tetap
mendayung sampan sendirian di tengah sungai, yang dipenuhi beban kesedihan,
tangis, dan darah bercecer di mana-mana, ketika kau terus maju mendayung bukan
karena tidak bisa kembali, tapi meyakini itu akan membawa janji masa depan yang
lebih baik untuk generasi berikutnya apa pun harganya.” Hlm. 183
“Dan
kau tahu, Dam, hukum itu sejatinya adalah akal sehat, bukan debat kusir, bukan
mulut pintar bicara.” Hlm. 185
Pembaca dihadapkan pada kesimpulan
cerita, pesan pesan moral yang disampaikan penulis dalam novelnya, seolah tak
memberi ruang pada pembaca untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Alangkah
lebih indahnya jika pembaca mencarinya sendiri, menilai sendiri.
Satu poin penting yang perlu saya
garis bawahi. Bahwa sosok Ayah, dekat dengan karakter Guru.
“Ibu
meletakkan kertas itu diatas meja, sesegukan, menyentuh jemari Ayah, menatapnya
dengan sejuta tatapan cinta. “Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda
sekali....Sungguh dia akan tumbuh dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala
yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”Hlm
59.
Dari seluruh ulasan saya, satu yang
pasti. Setiap inci dalam novel Kak Tere ini, sarat makna dan pesan moral. Berikut
beberapa kalimat yang menyumbang ruang cerah untuk saya. :”) Terima kasih kak
Tere
“Suku (Penguasa Angin) itu paham,
terkadang cara membalas terbaik justru dengan tidak membalas.” Hlm. 24
“Dam, tidakkah cerita-cerita ayah kau membuat kau
mengerti bahwa hidup ini harus bisa mengendalikan diri?” Hlm. 37
“Ah,
yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah
sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka
sendiri dengan menghina orang lain.” Hlm. 38
“Tidak
ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus
berjuang mengubah nasib, maka alam semesta akan mengirimkan bantuan, terlihat
ataupun tidak terlihat.” Hlm. 138
“Alim
Khan menjelaskan pemahaman hidup yang sederhana, kerja keras, selalu pandai
bersyukur, saling membantu.” Hlm. 140
“Mereka
bukan suku pengecut, Dam. Mereka tidak takut mati demi membela kehormatan,
tetapi buat apa? Suku Penguasa Angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan
dengan kekerasan. Membalas penghinaan dengan penghinaan. Apa bedanya kau dengan
penjajah, jika sama-sama saling menzalimi, saling merendahkan? Leluhur Tutekong
memutuskan akan menjaga kebijakan hidup mereka selama mungkin. Mendidik
anak-anak mereka untuk mencintai alam, hidup bersahaja, dan membenci
ladang-ladang tembakau itu. Rasa benci yang tidak harus berubah menjadi
perlawanan. Rasa benci yang justru menjadi penyemangat, menjadi keyakinan bahwa
mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan keserakahan penjajah. Kau ingat
itu, Dam, keyakinan bahwa suku mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan
rasa tamak dan bengis.” Hlm. 157
“Dam,
kesombongan dan keserakahan berusia dua ratus tahun itu musnah dalam sekejap.
Kepala suku benar, tidak perlu sebutir peluru, juga tidak perlu meneteskan
darah anggota klannya untuk memenangkan perang. Yang dibutuhkan hanya kesabaran
dan keteguhan hati yang panjang.” Hlm. 161
“Mereka
memenangkan pertempuran melawan diri mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar,
menundukkan marah dan kekerasan hati.” Hlm. 161
“Ketika
kita tidak tahu, bukan berarti kita buru-buru menyimpulkan tidak mungkin. Kita
saja yang tidak tahu.” Hlm. 168
“Cerita-cerita
Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki
pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan
terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana apa adanya.” Hlm
192-193
“Apa
kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan
atau seberapa membahagiakan, biar waktu yang menjadi obat.” Hlm. 242
“Itulah
hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari kau sendiri.
Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih,
bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih
bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan
yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan,
harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang
dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan.
Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga
berasal dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau
seketika keruh berkepanjangan.” Hlm 291-292
“Berbeda
halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu
konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak
terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau
bisa ikut senang dengan kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang
dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih,
bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri dan
gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.” Hlm. 292
“Itulah
hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam
dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus
terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus
bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau
berlatih.” Hlm. 292
“Kebahagiaan
itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran,
apalagi kekuasaan. Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak
peduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau
memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening
kembali.” Hlm. 293
“…hakikat itu berasal dari hati kau
sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun
berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan
lebih bersih. Kita tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan sejati dari
kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik,
keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak
hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula
kebahagiaan. Sebaliknya, rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu
semua datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau
seketika keruh berkepanjangan.” (hlm. 292)
0 comments:
Post a Comment