Rss Feed
  1. (Bukan) Orang Sibuk!

    Tuesday 24 February 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                “Bisa minta tolong buat bantuin ........” sebuah pesan meluncur ke banyak nomer. Mengabarkan kebutuhan uluran tangan guna sebuah keberjalanan proses bersama.
                “Duh yang lain dulu ya, sibuk nih.” Jawab salah satu nomor.
                “Aku lagi ada agenda dan diluar kota.” Yang lain merespon nyaris sama. Sisanya? Mengisi kekosongan pesan masuk dengan banyak tanya, kemana? :D ah sudahlah, hipotesis itu nyata telah berlaku. Bahwa berurusan dengan orang-orang sibuk itu selalu meminum peluh sendiri. Asin nan getir menapak di jalan sepi.
                Kata “sibuk” kerap menjadi latar belakang kealpaan hadir seorang dalam forum koordinasi. Sibuk adalah ‘nihil’ yang selalu hadir. Sibuk itu yang seperti apa? Hh saya saja tidak terlalu paham. Lantas jika sibuk dikaitkan dengan managemen waktu? Selaraskah? Bukankah pasti bahwa setiap insan memiliki ragam amanah, peran-peran double cast yang harus tetap dilakoni. Penulis yang tak hanya harus menyusun paragraf namun juga meracik bumbu untuk keluarga, blogger yang tepat menutup deadline disamping melunasi bakti pada ayah-bunda, pelajar yang tetap harus belajar dan membahagiakan orangtua. Hmm bukankah peran dan amanah adalah saudara yang saling terhubung satu sama lain? Lalu adakah manusia yang hanya mempunyai satu amanah?
                Maka sibuk adalah ketimpangan antara managemen waktu dan agenda yang harus dijalani. Yups, sibuk itu tentang managemen waktu. Kebijakan mengatur waktu itu murni urusan setiap pribadi. Beberapa insan berikhtiar bijak waktu dengan nyemplung pada kesibukan sebanyak-banyaknya hingga ia merasa kewalahan membagi waktu lantas menemukan cara efektif nan bijak membagi waktu dengan seambreg kegiatan akademis maupun non akademisnya. Beberapa insan berikhitiar bijak namun terjebak oleh kesibukan itu sendiri. Ada yang nyata sibuk sekali namun terlihat sangat tenang. Ada pula yang enggak ngapa-ngapain tapi nampak sangaaaat sibuk. Ada yang namanya tercantum dibanyak instansi sebagai pengurus maupun anggota namun nol kontribusi dan sibuk wira-wiri tanpa arti. Ada yang namanya hanya tercantum disatu instansi sebagai pengurus maupun anggota namun banyak kontribusi dan berlari kesana kemari meski jalannya sepi.     
                Dalam beberapa proses tentu pernah dihadapkan untuk berkoordinasi dengan mereka yang terkenal sibuk, namanya terpampang di mana-mana sebagai seorang aktivis kancah nasional hingga internasional. Sebagai orang lokal, jelas ada kebahagiaan. Bertemu dengan ruang belajar yang luas itu adalah emas. ^_^
                Nyatanya melalui sebuah pesan berikut:
                “Kak kita di sponsorship hlo, ayok kapan mulai beraksi?”
                Kalau dibalas jawaban tidak jauh dari “Nanti dulu ya Dik, ini masih sibuk diagenda lain” kalau enggak dibalas ya nyata sibuk sekali sampai tidak menyempatkan diri membalas pesan konfirmasi. :D
                Akan muncul hipotesa sebagai berikut:
    1.      Urusan dengan orang sibuk itu makan ati dan minum peluh sendiri.
    2.      Selalu ada pihak yang terkorbankan untuk berkoordinasi dengan orang sibuk, pihak yang total menghandle rekan sibuknya diamanah yang sama. Semisal si Aktivis banyak organisasi dengan si Biasa Satu Organisasi, sama-sama mendapat amanah di Center. Si B akan berusaha menotalkan diri untuk merangkap kerja si A sebab kondisi si A yang SIBUK versi A.
    3.      Sibuk itu kegiatan atau alasan, kembali pada siapa yang memerankan. :D
                Dan mengenai kesibukan, jelas! Saya bukanlah seorang yang sibuk. Ya mengingat kegiatan saya hanya berkutat pada hal-hal itu saja, hal hal biasa saja. Kuliah (jelas), kadang ikut kajian, kadang, Cuma mendengarkan cerita adik-adik, kadang Cuma bermain dengan anak-anak, kadang Cuma nganter-jemput adik disekolah, kadang Cuma nulis sesuai mood, kadang Cuma ikut rapat dan ngoceh di forum, kadang Cuma nemenin prosesnya adik-adik, kadang Cuma mendengar wejangan dari ibu-ibu di chatting :v. Ya, semua aktivitas itu Cuma kadang-kadang yang malah jadi pembiasaan dan berkembang menjadi kebutuhan. :v kemudian dengan kegiatan terkadang itu saya berjanji untuk tidak menjadi orang sibuk, namun tetap mencari kesibukan. :D
                Hei, bukankah orang yang mencari kesibukan pada akhirnya menjadi orang yang sibuk? :D tentu tidak. Kembali kepada siapa yang menjalani dan bagaimana itu berimbas pada lingkungannya.
                Kalau diajak proses, jawaban mereka adalah:
    A.    Orang sibuk                                   : Sama yang lain dulu ya, sibuk nih :D
    Orang yang mencari kesibukan: Ayo, mau kapan? (Menyatakan waktu dengan kemungkinan banyak bisanya) insya Allah longgar dan bisa.

    B.     Orang sibuk                                   : Diajak ngobrol ngadepnya hape, diajak jalan ngadepnya hape, diajak duduk ngadepnya hape. Beda tipis sama powerbank. -_-
    Orang yang mencari kesibukan     : Ngadep hape seperlunya, liat kebutuhan sekitar yang nyata di depan mata.

    C.     Orang sibuk                                   : Banyak ngomong dan maunya di dengarkan, yang sama saja artinya maunya dipahamin.
    Orang yang mencari kesibukan     : Banyak sedia telinga, ngomong seperlunya tapi ngena.

    D.    Orang sibuk                                   : Kalau ditanya kapan bisa hadir jawabannya rundown acara lain yang sedang dijalani atau curhat kegiatan yang ada dijadwalnya dia. Kerap PHP kehadiran.
    Orang yang mencari kesibukan     : Kalau ditanya kapan bisa hadir jawabannya waktu, kalau ndak bisapun bilang enggak bisa. Anti PHP kehadiran.

                            Dan teruntuk kamu yang sibuk, sudahkah berterimakasih kepada ia yang sedia menyediakan banyak ikhlas atas sikapmu menduakan amanah tanpa keseimbangan managemen waktu? Bukan semacam terima kasih via sms atau ucapan ala kadarnya, namun sebuah SIKAP berterima kasih berlandas ketulusan. :”)
                Gitu sih, selamat menjalani hari Kamu yang SIBUK! :P       
     

  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Edited by Setia Adi Firmansyah




                Seperti Jumat itu. Jumat, 19 April 2013. Berawal dari pesan singkat beberapa karakter, lalu dilanjutkan adegan panik sambil menelfon ke beberapa nomor. Isak dan jerit tiba tiba menyergap. Lantas guyuran panas di mata, menanti tangan menyapu duka. Pagi ini, Sabtu, 28 September 2013. Peristiwa itu kembali. Terulang. Terekayasa Tuhan.
                “Nduk, Romo Karyo meninggal.”
                Palu takdir yang mengetuk tanpa permisi. Menggebuk hati menjadikannya sesak. Tuhan, kenapa harus sekarang?! Batinku lirih. Bukan, bukan saya tak percaya bahwa kelak semua makhluk yang bernyawa akan berpisah dengan raga, namun mengapa sekarang?! Saat saya bahkan belum sempat mencium punggung tangannya meminta restu untuk pengembaraanku kelak. Saat jarak masih kejam memisahkan beberapa raga. Saat kata maaf saya belum terucap kembali. Saat cerita angkatan empat limanya belum terdengar telinga. Saat saya disini, bukan disana mendampinginya. :”( Ya Rabbi Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terima ia dan seluruh amal ibadahnya di sisi.Mu. Ya Rabbi yang Maha Pengampun, ampuni segala kehilafannya. Terangkan dan lapangkan kuburnya untuk mencapai ridha.Mu Ya Rabb :”) Serta pandangkanlah kami di sini pada hikmah yang senantiasa Engkau sematkan dibalik tiap musibah agar ikhlaslah jiwa raga kami menerima suratan.Mu. Aamiin
    ^O^
                Dengan hati yang lebam sebab duka yang menghantam, saya pulang. kepulangan pertama setelah lebaran suci kemarin. Meninggalkan dan memasrahkan beberapa amanah pada beberapa rekan. Mengangkat tangan kanan menghentikan bis di depan kampus. Dengan mata yang masih menggenang, kenangan kenangan itu bersliweran. Slide slide kenangan bersama lelaki senja itu. Lelaki penuh cinta yang mengisi enam tahun pertama saya. Sepasang senja yang setia meninabobokan saya sepanjang malam, menyelimuti penuh cinta.
    ^O^
                Lelaki senja yang tiap malam selalu berkeliling kompleks. Memastikan anak cucu lelap dalam aman. Memastikan tamu tamu tak diundang tak merampas bukan miliknya. Ya, seperti rumah di desa desa pada umumnya, satu deret kompleks ini masih memiliki hubungan darah, meski hanya setetes tapi sama sama dari keluarga Widodo. Jauh setelah itu ada nama Adam dan Hawa menjembatani darah persaudaraan kami. Dan lelaki itu, di tengah serangan kantuk, selalu menyediakan waktunya untuk sekedar berkeliling kompleks, seperti satpam yang siaga melakukan tindak preventif. Sesekali dalam sepertiga malam, saya melihatnya menyapanya lantas menawarkan teh hangat. Hmm pagi dini hari selalu menggigilkan raga. Dan saya enggan melihatnya menggigil.
    ^O^
                Juga diorama kunjungan saya setiap pulang menyambangi Kebumen beberapa bulan sekali. Kunjungan senja hari berbekal mangkuk mangkuk rindu yang tersaji dalam menu makan malam untuknya. Menu yang selalu menjadi pengantar bincang hangat hingga seusai isya. Lalu bincang yang mengantarkan banyak bingkai rasa. Rasa rindu pada sosok Biyung yang telah lebih dulu berpulang. Rasa kagum sebab usaha ketegaran Romo mengikhlaskannya. Rasa sayaaang yang berbuah ketaktegaan membiarkannya di rumah joglo itu seorang diri. lalu akan dibalas dengan pernyataan ‘tak apa apa’ sebab enggan merepotkan. Aahh Romo, kamu tak pernah merepotkan bagi kami. :”( . Bahkan saya yang memiliki pengalaman sangat merepotkanmu.
    ^O^
                Ingat enam tahun pertama yang kita habiskan bersama? Semenjak Ayah Bunda merantau ke negeri hujan, kamu beserta Biyung juga Nini-Kaki mengasuh saya. Menjinakkan tangis tengah malam saya. Meredam ngilu sebab gigi yang menggoa oleh kembang gula dari toko dengan menggendong saya di punggungmu. Belum tentang selimut yang selalu basah tengah malam saat saya lupa buang air kecil sebelum tidur. -,- Bahkan sampai Ayah Bunda pulang, saya malah merasa asing dengan keduanya. Memilih tidur bersama Romo Biyung dibanding dua orang itu. Bahkan sampai kelas kelas lima, kamu masih disibukkan mengambilkan rapot saya. Lantas meyakinkan saya bahwa bahwa saya tidak bodoh, bahwa posisi bayangan si pertama bukan berarti runner up. Sebab katamu, usaha dan pemahaman saya selalu yang lebih utama dibanding sebuah ranking -,-. Juga kayuhan sepeda yang memuat saya dibangku belakang sedel. Mengajak saya menonton layar tanjap hajatan tetangga atau sekedar berkeliling mengitari desa. Hal hal sederhana yang selalu istimewa sebab terlaksana bersama. Iya Romo, kerjasamamu dengan Biyung, Nini-Kaki berhasil menyelamatkan masa kecil saya dari ketidakmenyenangkan sulung ditinggal rantau. :3
    ^O^
                Lantas apa yang lebih menyesakkan selain ini? Di sapaan pagi akhir sepetember dengan berita perpisahan tak terencana manusia ini. Dimana seharusnya saya mendampinginya sebagaimana dia mendampingi saya semasa kecil. Seharusnya saya turut serta menyelamatkannya dengan ikrar syahadat diujung hembus nafas terakhir.
                Semoga kamu memaafkan saya Romo :”(
    ^O^
                Dan setelah ratusan hari kepergianmu, sesak itu masih ada. Masih mampu meledakkan banyak isak. Rinai maaf yang terbungkus banyak sesal. Rinai yang selanjutnya akan saya renda dalam rentanya malam, menghidupkan diorama diorama kita bersama sujud sujud sepertiga malam terakhir.
                Ya Rabb, sungguh sesak itu bukan tentang kebelumikhlasan saya. Bukan tentang ketidakrelaan saya. Sungguh saya sangat percaya bahwa Engkau lebih mampu menjaganya dengan segala cinta.Mu. Sayapun percaya, bahwa dia telah tersenyum bersama banyak malaikat.Mu. Sayapun tak ragu sedikitpun pada Kemahaampunan.Mu pada hamba yang bersimpuh penuh taubatan. Maka Ya, Rabb, ijinkan saya merawat kisah kami dengan rapalan rapalan saya untuk kelak Engkau pertemukan kami dalam naungan rahmat.Mu, di surga.Mu. Aamiiiiin :”)

     

  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                Perasaan ‘Diterima’ adalah keniscayaan seorang untuk mampu memulai sebuah kisah pun dengan bertahan dalam sebuah kisah. Dan itu hal yang lupa saya ucapkan terima kasih untuk seorang Hammam. Hi Hammam, terima kasih untuk sejumput tanda terima diawal ramadhan perjumpaanmu dengan Ksatria Kedua. Membuka lebar pintu pertemanan diawal perjumpaan kalian. Berawal dari sana, Ksatria Kedua kian yakin akan putusannya belajar di sekolah alam. Terima Kasih Hammam, untuk suntikan keberaniannya. ^_^
    ^O^
                Membawa Ksatria Kedua ditanah rantau bersama saya diusianya yang masih belasan, tak banyak fikir selain pertimbangan memberinya kesempatan belajar (lagi). Konsentrasinya yang mudah teralihkan dan kekurangsukaannya dengan hal administratif (hla dia yang nulis pengalamannya ke gunung Ungaran itu? Itu lain soal -_-) membuatnya enggan meneruskan proses belajarnya di sekolah dasar dekat rumah.
                Dan inspirasi bonus motivasi itu datang dalam “Sejenak Hening” dari Sekolah Alam Bengawan Solo. Dibawaserta oleh Kak Oktina dan Kak Rini serta obrolan lewat tengah malam dengan Pak Yudi, niat itu muncul.
                “Ksatria Kedua harus saya ajak kesini!”  batinku berseru empat lima. Hal lain? Pikir nanti. :v
    ^O^
                Saya ingat benar. Pertemuan saya dengan seorang MasDi pun berlanjut kedua pada event tersebut. Dan efek samping itu muncul dengan gejala serupa pertemuan awal saya dengan Nduk Sesty (Pekan Seni Tidar dari Bengkel Seni UNTidar), MasDi resmi dibuat banyak tertawa oleh saya. Jadilah kesan dia sebagai perempuan Anggun di jumpa awal menguap seketika. Saya, MasDi, dan Ksatria Kedua bertiga menuju SABS dengan Revo Merah.
                Canggung dan penuh kesungkanan adalah hal pertama yang nampak diwajah Ksatria Kedua kala pertama bertemu cahbocah SABS. Saya tidak banyak mencampuri atau mengarahkan bagaimana ia bersosialisasi dengan temannya. Saya membiarkannya menemukan caranya sendiri, menatapnya dari jauh serta memastikan dia dan teman-temannya baik-baik saja, itu sudah cukup. And then? Voilaaa, meski beberapa kali di goda cah-bocah sebab logat bicaranya yang masih NGAPAK banget plus belum NYOLO atau berantakan bahasa Indonesianya, Ksatria Kedua nampak bahagia dan diterima.
                “Mas, aku sayaaang kamu!”Teriak Hammam dari balik jendela mobil yang kian menjauh, melaju menuju Wonogiri.
                Jujur, batin saya malah gerimis. Entah magnet apa yang dimiliki Ksatria Kedua sampai mendapat pengakuan sayang dihari pertamanya. Jujur, saya merasa rugi jutaan sebab tidak paham bagaimana proses interaksi mereka diawal. Hmm setidaknya kalau saya tahu itu bisa jadi bekal saya untuk kelak :v benar-benar rugi, pemirsa. -__- Tapi disamping itu saya memiliki banyak keuntungan, fakta Ksatria Kedua bisa diterima dan mampu membaur sudah menutup rugi jutaan saya itu :”) Hammam, terima kasih untuk kata sayang itu :”)
    ^O^
                Dan ucap terima kasih kian berlanjut pada sosok Abi :D Hi Abi ^_^
                Berangkat dari Solo pukul 06.00 WIB (jam 5 air wudhu harus sudah menempel dipelupuk mata, sejauh ini itu cara ampuh untuk membangunkannya subuhan lantas membisikan, sudah siang sebentar lagi mbak-mbak yang lain bangun, mandi, shalat subuh, sarapan dengan telur asin atau orek tempe) dengan tangan kanan menenteng bekal yang saya siapkan (bekal sederhana serupa biskuit atau jelly yang saya tata sebelum tidur). Bismillah, kami berangkat.
                “Bekalnya dimakan ndak tadi?” tanyaku dalam perjalanan pulang.
                “Aku enggak suka bekalnya, yang suka malah Abi.” Jelas Ksatria Kedua.
                “Hahaha jadi yang habisin Abi?”
                “Iya dihabisin Abi.”
                Bagi saya bekal tak hanya tentang tatanan jajan atau makanan yang dibawa anak ke sekolah, lebih dari sekedar makanan ada keajaiban yang dibawa serta. Melalui sebuah bekal, pertemanan dengan mudah dapat terjalin. Melalui sebuah bekal hati seorang pun meluluh hingga leleh. Pun dapat menjadi sebuah indikator sikap anak bersosialisasi.
                Dengan bekal sederhana yang sengaja saya porsikan banyak, pertanyaan menghabiskan dengan siapa adalah hal wajib yang ditanyakan sepulang sekolah. Deretan nama teman, baik sekelas maupun tidak sekelas akan mewarnai cerita Ksatria Kedua menghabiskan bekalnya. Ada haru yang helas hadir, setidaknya Ksatria Kedua telah belajar berbagi dan berinteraksi dengan lingkup barunya.
                “Makanan adalah obat ajaib untuk meluluhkan banyak hati.” Benar! Dengan Media bekal Ksatria Kedua mulai menjalin banyak pertemanan. Perasaan diterimanya kian banyak. Pun dengan dukungan untuk Ksatria Kedua mulai menabung. Membawa bekal berarti tidak jajan disekolah, jadi uang jajannya bisa ditabung untuk kegiatan night camp atau outingclass. Dan satu lagi,  ada kontrol terhadap apa yang dia makan. Meminimalisir zat zat aditif yang mungkin masuk ke pencernaannya. :D
                Terima Kasih Abi, untuk kehadiranmu yang tak kalah pagi dengan Ksatria Kedua, menemaninya yang kerap kesepian di pagi saya antar. Menjadi partner Petugas Perpustakaan di minggu pertama Ksatria Kedua masuk ^_^
    ^O^
                Terima Kasih untuk langit hangat Sekolah Alam Bengawan Solo.
                Bertemu dengan kalian dimasa akhir pendidikan saya, sungguh menggoda! Tergoda untuk belajar banyak dilangit yang sama dengan kalian, lantas mengesampingkan tiket kelulusan yang sudah berteriak minta dijemput segera (skripsi.red) :D
                Kenapa?
                Sulit menjawabnya. Tapi sangat mudah melihat semangat yang membawa dari setiap elemen kalian. Semangat kalian mempelajari karakter tiap anak didik. Semangat kalian menampung kritik dan saran orang tua anak didik. Semangat kalian membersamai proses anak yang terkadang beda tahap. Semangat kalian menyabarkan diri sembari terus berusaha memberikan yang terbaik. Semangat kalian memaafkan banyak kondisi yang kurang menyenangkan dari sekitar. Semangat kalian saling melangkah dalam perbaikan diri.
                Terima kasih untuk semua yang tak mampu saya tuliskan. Terima kasih untuk semua yang tak mudah saya tuturkan. Terima kasih untuk semua kesediaannya. *nyekaingus*