Rss Feed
  1. Menjelang Seribu Hari Kepulanganmu

    Tuesday 24 February 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Edited by Setia Adi Firmansyah




                Seperti Jumat itu. Jumat, 19 April 2013. Berawal dari pesan singkat beberapa karakter, lalu dilanjutkan adegan panik sambil menelfon ke beberapa nomor. Isak dan jerit tiba tiba menyergap. Lantas guyuran panas di mata, menanti tangan menyapu duka. Pagi ini, Sabtu, 28 September 2013. Peristiwa itu kembali. Terulang. Terekayasa Tuhan.
                “Nduk, Romo Karyo meninggal.”
                Palu takdir yang mengetuk tanpa permisi. Menggebuk hati menjadikannya sesak. Tuhan, kenapa harus sekarang?! Batinku lirih. Bukan, bukan saya tak percaya bahwa kelak semua makhluk yang bernyawa akan berpisah dengan raga, namun mengapa sekarang?! Saat saya bahkan belum sempat mencium punggung tangannya meminta restu untuk pengembaraanku kelak. Saat jarak masih kejam memisahkan beberapa raga. Saat kata maaf saya belum terucap kembali. Saat cerita angkatan empat limanya belum terdengar telinga. Saat saya disini, bukan disana mendampinginya. :”( Ya Rabbi Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terima ia dan seluruh amal ibadahnya di sisi.Mu. Ya Rabbi yang Maha Pengampun, ampuni segala kehilafannya. Terangkan dan lapangkan kuburnya untuk mencapai ridha.Mu Ya Rabb :”) Serta pandangkanlah kami di sini pada hikmah yang senantiasa Engkau sematkan dibalik tiap musibah agar ikhlaslah jiwa raga kami menerima suratan.Mu. Aamiin
    ^O^
                Dengan hati yang lebam sebab duka yang menghantam, saya pulang. kepulangan pertama setelah lebaran suci kemarin. Meninggalkan dan memasrahkan beberapa amanah pada beberapa rekan. Mengangkat tangan kanan menghentikan bis di depan kampus. Dengan mata yang masih menggenang, kenangan kenangan itu bersliweran. Slide slide kenangan bersama lelaki senja itu. Lelaki penuh cinta yang mengisi enam tahun pertama saya. Sepasang senja yang setia meninabobokan saya sepanjang malam, menyelimuti penuh cinta.
    ^O^
                Lelaki senja yang tiap malam selalu berkeliling kompleks. Memastikan anak cucu lelap dalam aman. Memastikan tamu tamu tak diundang tak merampas bukan miliknya. Ya, seperti rumah di desa desa pada umumnya, satu deret kompleks ini masih memiliki hubungan darah, meski hanya setetes tapi sama sama dari keluarga Widodo. Jauh setelah itu ada nama Adam dan Hawa menjembatani darah persaudaraan kami. Dan lelaki itu, di tengah serangan kantuk, selalu menyediakan waktunya untuk sekedar berkeliling kompleks, seperti satpam yang siaga melakukan tindak preventif. Sesekali dalam sepertiga malam, saya melihatnya menyapanya lantas menawarkan teh hangat. Hmm pagi dini hari selalu menggigilkan raga. Dan saya enggan melihatnya menggigil.
    ^O^
                Juga diorama kunjungan saya setiap pulang menyambangi Kebumen beberapa bulan sekali. Kunjungan senja hari berbekal mangkuk mangkuk rindu yang tersaji dalam menu makan malam untuknya. Menu yang selalu menjadi pengantar bincang hangat hingga seusai isya. Lalu bincang yang mengantarkan banyak bingkai rasa. Rasa rindu pada sosok Biyung yang telah lebih dulu berpulang. Rasa kagum sebab usaha ketegaran Romo mengikhlaskannya. Rasa sayaaang yang berbuah ketaktegaan membiarkannya di rumah joglo itu seorang diri. lalu akan dibalas dengan pernyataan ‘tak apa apa’ sebab enggan merepotkan. Aahh Romo, kamu tak pernah merepotkan bagi kami. :”( . Bahkan saya yang memiliki pengalaman sangat merepotkanmu.
    ^O^
                Ingat enam tahun pertama yang kita habiskan bersama? Semenjak Ayah Bunda merantau ke negeri hujan, kamu beserta Biyung juga Nini-Kaki mengasuh saya. Menjinakkan tangis tengah malam saya. Meredam ngilu sebab gigi yang menggoa oleh kembang gula dari toko dengan menggendong saya di punggungmu. Belum tentang selimut yang selalu basah tengah malam saat saya lupa buang air kecil sebelum tidur. -,- Bahkan sampai Ayah Bunda pulang, saya malah merasa asing dengan keduanya. Memilih tidur bersama Romo Biyung dibanding dua orang itu. Bahkan sampai kelas kelas lima, kamu masih disibukkan mengambilkan rapot saya. Lantas meyakinkan saya bahwa bahwa saya tidak bodoh, bahwa posisi bayangan si pertama bukan berarti runner up. Sebab katamu, usaha dan pemahaman saya selalu yang lebih utama dibanding sebuah ranking -,-. Juga kayuhan sepeda yang memuat saya dibangku belakang sedel. Mengajak saya menonton layar tanjap hajatan tetangga atau sekedar berkeliling mengitari desa. Hal hal sederhana yang selalu istimewa sebab terlaksana bersama. Iya Romo, kerjasamamu dengan Biyung, Nini-Kaki berhasil menyelamatkan masa kecil saya dari ketidakmenyenangkan sulung ditinggal rantau. :3
    ^O^
                Lantas apa yang lebih menyesakkan selain ini? Di sapaan pagi akhir sepetember dengan berita perpisahan tak terencana manusia ini. Dimana seharusnya saya mendampinginya sebagaimana dia mendampingi saya semasa kecil. Seharusnya saya turut serta menyelamatkannya dengan ikrar syahadat diujung hembus nafas terakhir.
                Semoga kamu memaafkan saya Romo :”(
    ^O^
                Dan setelah ratusan hari kepergianmu, sesak itu masih ada. Masih mampu meledakkan banyak isak. Rinai maaf yang terbungkus banyak sesal. Rinai yang selanjutnya akan saya renda dalam rentanya malam, menghidupkan diorama diorama kita bersama sujud sujud sepertiga malam terakhir.
                Ya Rabb, sungguh sesak itu bukan tentang kebelumikhlasan saya. Bukan tentang ketidakrelaan saya. Sungguh saya sangat percaya bahwa Engkau lebih mampu menjaganya dengan segala cinta.Mu. Sayapun percaya, bahwa dia telah tersenyum bersama banyak malaikat.Mu. Sayapun tak ragu sedikitpun pada Kemahaampunan.Mu pada hamba yang bersimpuh penuh taubatan. Maka Ya, Rabb, ijinkan saya merawat kisah kami dengan rapalan rapalan saya untuk kelak Engkau pertemukan kami dalam naungan rahmat.Mu, di surga.Mu. Aamiiiiin :”)

     

  2. 0 comments: