Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Seperti Jumat itu. Jumat, 19 April
2013. Berawal dari pesan singkat beberapa karakter, lalu dilanjutkan adegan
panik sambil menelfon ke beberapa nomor. Isak dan jerit tiba tiba menyergap.
Lantas guyuran panas di mata, menanti tangan menyapu duka. Pagi ini, Sabtu, 28
September 2013. Peristiwa itu kembali. Terulang. Terekayasa Tuhan.
“Nduk, Romo Karyo meninggal.”
Palu takdir yang mengetuk tanpa
permisi. Menggebuk hati menjadikannya sesak. Tuhan, kenapa harus sekarang?!
Batinku lirih. Bukan, bukan saya tak percaya bahwa kelak semua makhluk yang
bernyawa akan berpisah dengan raga, namun mengapa sekarang?! Saat saya bahkan
belum sempat mencium punggung tangannya meminta restu untuk pengembaraanku
kelak. Saat jarak masih kejam memisahkan beberapa raga. Saat kata maaf saya
belum terucap kembali. Saat cerita angkatan empat limanya belum terdengar
telinga. Saat saya disini, bukan disana mendampinginya. :”( Ya Rabbi Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang terima ia dan seluruh amal ibadahnya di sisi.Mu.
Ya Rabbi yang Maha Pengampun, ampuni segala kehilafannya. Terangkan dan
lapangkan kuburnya untuk mencapai ridha.Mu Ya Rabb :”) Serta pandangkanlah kami
di sini pada hikmah yang senantiasa Engkau sematkan dibalik tiap musibah agar
ikhlaslah jiwa raga kami menerima suratan.Mu. Aamiin
^O^
Dengan hati yang lebam sebab duka
yang menghantam, saya pulang. kepulangan pertama setelah lebaran suci kemarin.
Meninggalkan dan memasrahkan beberapa amanah pada beberapa rekan. Mengangkat
tangan kanan menghentikan bis di depan kampus. Dengan mata yang masih
menggenang, kenangan kenangan itu bersliweran. Slide slide kenangan bersama
lelaki senja itu. Lelaki penuh cinta yang mengisi enam tahun pertama saya.
Sepasang senja yang setia meninabobokan saya sepanjang malam, menyelimuti penuh
cinta.
^O^
Lelaki senja yang tiap malam selalu
berkeliling kompleks. Memastikan anak cucu lelap dalam aman. Memastikan tamu
tamu tak diundang tak merampas bukan miliknya. Ya, seperti rumah di desa desa
pada umumnya, satu deret kompleks ini masih memiliki hubungan darah, meski
hanya setetes tapi sama sama dari keluarga Widodo. Jauh setelah itu ada nama
Adam dan Hawa menjembatani darah persaudaraan kami. Dan lelaki itu, di tengah
serangan kantuk, selalu menyediakan waktunya untuk sekedar berkeliling
kompleks, seperti satpam yang siaga melakukan tindak preventif. Sesekali dalam
sepertiga malam, saya melihatnya menyapanya lantas menawarkan teh hangat. Hmm
pagi dini hari selalu menggigilkan raga. Dan saya enggan melihatnya menggigil.
^O^
Juga diorama kunjungan saya setiap
pulang menyambangi Kebumen beberapa bulan sekali. Kunjungan senja hari berbekal
mangkuk mangkuk rindu yang tersaji dalam menu makan malam untuknya. Menu yang
selalu menjadi pengantar bincang hangat hingga seusai isya. Lalu bincang yang
mengantarkan banyak bingkai rasa. Rasa rindu pada sosok Biyung yang telah lebih
dulu berpulang. Rasa kagum sebab usaha ketegaran Romo mengikhlaskannya. Rasa
sayaaang yang berbuah ketaktegaan membiarkannya di rumah joglo itu seorang
diri. lalu akan dibalas dengan pernyataan ‘tak apa apa’ sebab enggan
merepotkan. Aahh Romo, kamu tak pernah merepotkan bagi kami. :”( . Bahkan saya
yang memiliki pengalaman sangat merepotkanmu.
^O^
Ingat enam tahun pertama yang kita
habiskan bersama? Semenjak Ayah Bunda merantau ke negeri hujan, kamu beserta
Biyung juga Nini-Kaki mengasuh saya. Menjinakkan tangis tengah malam saya.
Meredam ngilu sebab gigi yang menggoa oleh kembang gula dari toko dengan
menggendong saya di punggungmu. Belum tentang selimut yang selalu basah tengah
malam saat saya lupa buang air kecil sebelum tidur. -,- Bahkan sampai Ayah
Bunda pulang, saya malah merasa asing dengan keduanya. Memilih tidur bersama
Romo Biyung dibanding dua orang itu. Bahkan sampai kelas kelas lima, kamu masih
disibukkan mengambilkan rapot saya. Lantas meyakinkan saya bahwa bahwa saya
tidak bodoh, bahwa posisi bayangan si pertama bukan berarti runner up. Sebab
katamu, usaha dan pemahaman saya selalu yang lebih utama dibanding sebuah
ranking -,-. Juga kayuhan sepeda yang memuat saya dibangku belakang sedel.
Mengajak saya menonton layar tanjap hajatan tetangga atau sekedar berkeliling
mengitari desa. Hal hal sederhana yang selalu istimewa sebab terlaksana
bersama. Iya Romo, kerjasamamu dengan Biyung, Nini-Kaki berhasil menyelamatkan
masa kecil saya dari ketidakmenyenangkan sulung ditinggal rantau. :3
^O^
Lantas apa yang lebih menyesakkan
selain ini? Di sapaan pagi akhir sepetember dengan berita perpisahan tak
terencana manusia ini. Dimana seharusnya saya mendampinginya sebagaimana dia
mendampingi saya semasa kecil. Seharusnya saya turut serta menyelamatkannya
dengan ikrar syahadat diujung hembus nafas terakhir.
Semoga kamu memaafkan saya Romo :”(
^O^
Dan setelah ratusan hari
kepergianmu, sesak itu masih ada. Masih mampu meledakkan banyak isak. Rinai
maaf yang terbungkus banyak sesal. Rinai yang selanjutnya akan saya renda dalam
rentanya malam, menghidupkan diorama diorama kita bersama sujud sujud sepertiga
malam terakhir.
Ya Rabb, sungguh sesak itu bukan
tentang kebelumikhlasan saya. Bukan tentang ketidakrelaan saya. Sungguh saya
sangat percaya bahwa Engkau lebih mampu menjaganya dengan segala cinta.Mu.
Sayapun percaya, bahwa dia telah tersenyum bersama banyak malaikat.Mu. Sayapun
tak ragu sedikitpun pada Kemahaampunan.Mu pada hamba yang bersimpuh penuh
taubatan. Maka Ya, Rabb, ijinkan saya merawat kisah kami dengan rapalan rapalan
saya untuk kelak Engkau pertemukan kami dalam naungan rahmat.Mu, di surga.Mu.
Aamiiiiin :”)
0 comments:
Post a Comment