Rss Feed
  1. Figura Bolang

    Thursday 26 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Jumat, 27 September 2013
    Figura Bolang


                Dan saya merasa menjadi insan yang kreatif hari ini :D
                Memandang sebuah karya tangan, hasil tempelan beberapa benda yang sempat saya keramatkan dalam karung petualangan, jadilah sebuah maha karya sederhana beraroma petualangan :D
                Mata kuliah Pengembangan Alat Permainan Edukasi Berbasis Kewirausahaan, menjembatani saya menyusun tugas ini. Dengan tehnik menempel, membuat figura sekreatif mungkin. :D Sempat melintas beberapa ide. Dari konsep hutan yang mengambil banyak ranting untuk menutup yellow board (bahan dasar figura) hingga kain perca aneka jenis untuk melapisi yellow boardnya :D semua gugur seketika saat melihat seplastik pasir putih Indrayanti jejak bolang tahun lalu. :D
                Yeps, jadilah pasir itu menutup guratan guratan sketsa diatas yellow boardnya. Dengan bantuan lem kayu dan berbagai obyek lain, jadilah karya sederhana yang cukup membuat saya bahagia. :”D
                Memandang figura tersebut, cukup mengembangkan garis lengkung lima centimeter diwajah saya. Bahan bahan beraroma penjelajahan as bolang, foto yang terpajangpun full kenangan :”D Hmmm I love it :”)
     Berikut bahan bahan yang digunakan :
    Daun Mangga Kering

    batuan koral (replikaan :D )

    Bintang Kertas

    Pasir Putih Aroma Petualang

    Daun Suplir (beserta batang batangya)

    Lem Kayu

     

  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


               

                Wajah yang tersapu make-up dengan dominasi warna peach itu tersenyum. Kepala tertutup kain kerudung warna putih menambah kecantikan wajah yang bahagia itu, senada dengan kebaya panjang bertabur kemilau zwarovski berwarna sama. Cermin seakan bertambah memantulkan semua yang tergambar di hati si pemilik wajah. Pemilik wajah itu aku.
                Hari ini akulah ratu. Aku si pemenang hati seorang ksatria muda yang gagah berani. Setelah satu tahun, berjuang bersama saling menjajaki. Satu tahun menghadapi kebersamaan dalam suka dan duka mencari ujung cinta kami. Satu tahun saling mengenalkan keluarga dan belajar saling memahami. Akhirnya lelaki dengan senyum memikat itu telah meminangku menjadi istri, ratu di hatinya. Permintaan yang sempat menjadi pergolakan di batinku.
    ^O^
                “Bun, Rayhan melamar Nunik,” kataku pada Bunda, setelah lelah berpikir.
                Bola mata Bunda langsung membesar. Ia langsung berhenti menyiapkan makan malam dan duduk di sampingku, menatapku penuh harap. “Terus Nunik terima?”
                Kugelengkan kepalaku. “Belum, Bunda. Nunik minta waktu menjawabnya. Menurut Bunda bagaimana?”
                Bundaku tersenyum. Senyum yang selalu berhasil membuatku tenang. “Nunik putriku sayang, Bunda gak bisa ikut campur soal perasaan Nunik. Bunda tahu Nunik dan Rayhan sudah lama saling berkenalan dan berhubungan dekat kalau kalian tidak mau itu disebut sebagai pacaran. Dulu Nunik menerima persahabatan itu pasti ada pertimbangan sendiri. Tapi sayang, kalau Nunik bertanya apakah Bunda setuju. Bunda sangat setuju karena Rayhan anak yang baik dan ibadahnya juga bagus. Dan kalau Nunik masih ingat, dulu Ayah pernah memberi kita tausiyah kan? Kalau ada orang yang kita ridhoi agama dan akhlaqnya (untuk meminang), maka terimalah pinangannya. Jika tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi. Mudah-mudahan Nunik mengerti maksud Bunda ya, nak.”
                Bunda mengingatkan, Ayah menyetujui, sementara Ibu Rayhan memelukku meminta agar aku mau menerima pinangan putranya. Ibu Rayhanlah pertimbangan terakhirku untuk menerima Rayhan. Aku tak ingin menyia-nyiakan anugerah Allah yang berlipat ganda untukku. Seorang suami dan seorang ibu lain selain ibu kandungku. Dan akupun menjawab dengan anggukan malu-malu di hadapan kedua keluarga besar kami, saat Rayhan benar-benar datang bersama keluarga besarnya melamarku secara resmi. Gaung zikir berkumandang saat itu, ditingkahi keharuan luar biasa. Rayhan sendiri tak yakin aku menerimanya, karena itulah dia tak bisa menyembunyikan kegembiraan.
    ^O^
                Sebulan kemudian, disinilah aku. Duduk menatap cermin, menatap wajahku yang sedang merona bahagia. Sapuan perona pipi semakin memperjelas hatiku yang sedang berdenting penuh cinta.
                “Kakak cantik sekali,” suara bisikan adikku Namira membuatku menoleh. Mata Namira berkaca-kaca.
                Aku juga ingin menangis. Tapi Namira buru-buru memintaku menahan haru agar tak merusak riasan wajah hasil karyanya. Ya Tuhan, siapakah yang mampu menahannya?
                Namira, adik perempuanku satu-satunya. Dialah sahabat sejatiku. Kami tidur satu tempat tidur sejak kecil, berbagi cerita, berbagi tawa. Sesekali kami berdebat, tak jarang malahan bertengkar. Tapi selalu saja, kami berbaikan dengan cepat. Namira menjadi tempatku mengadu, tempatku mencurahkan isi hatiku saat sedang kesal atau sedih.
                Semalam, kami berpelukan sambil menangis. Namira memohon agar aku mau sekali-sekali tetap datang saat ia membutuhkanku. Ia bersedia tetap menjadi adik sekaligus sahabat yang akan selalu memelukku saat aku sedang susah. Namira benar-benar membuatku merasa berat meninggalkan rumah ini, meskipun bukan terpisah karena kematian.
                “Nangis gak ngajak-ngajak,” suara adikku yang lain, Nirwan terdengar di ambang pintu. Ia tersenyum sedih melihat aku menggenggam tangan Namira dengan mata berkaca-kaca. Ia melangkah masuk, menatapku lalu kembali berbisik sama seperti Namira. “Kakak cantik sekali.”
                Dan kali ini airmataku pun jatuh. Nirwan itu memang adikku, tapi dialah penjagaku. Meski masih muda, Nirwan selalu melindungiku. Sejak kecil, ia selalu dengan berani menantang orang-orang yang berani menyakitiku. Ketika besar, dia selalu bersedia mengantarku ke manapun aku pergi. Bahkan dari Rayhan aku tahu, adikku pernah mendatanginya, meminta agar tidak mempermainkan kakaknya, karena kalau tidak maka Rayhan harus bersiap menghadapinya.
                Teringat itu, aku benar-benar jadi cengeng. “Maafin kakak ya kalau selama ini sering marahin kalian. Kalau kakak gak ada di sini, tolong jaga Ayah dan Bunda.”
                “Kakak ini ngomong apa sih? Kakak kan cuma menikah. Kakak hanya berpindah tempat tinggal, hanya beda propinsi saja. Kita masih bisa saling ketemuan. Jangan ngomong begitu ah!” sela Nirwan.
                Aku tak bisa bicara. Aku hanya bisa mengangguk. Nirwan benar, aku hanya pindah tempat tinggal karena semua yang aku miliki masih ada. Tanggung jawabku masih ada untuk keluargaku, sebagai seorang anak dan sebagai seorang kakak. Saat ini, aku sedang mengambil tanggung jawab lain sebagai seorang istri.
                Bunda masuk. “Aduh, kalian ini. Pasti buat kak Nunik sedih ya. Tuh kan, makeupnya jadi berantakan!” Bunda langsung mengambil tisu, menyapu wajahku lagi dibantu Namira. Tak lama, Ayahpun datang. Bertanya kesiapan kami. Semua pun menganggukkan kepala.
                Dibantu Bunda dan Namira, aku mulai berdiri. Kami mengatur posisi. Ayah dan Bunda di samping kiri dan kananku sementara adik-adikku berada di belakangku. Ayah berbisik padaku. “Kamu sangat cantik, putriku. Tak ada yang sesempurna dirimu hari ini.”
                Aku berusaha keras menahan tangis, tangan Ayah dan Bunda menggenggam erat kedua tanganku di masing-masing sisi. Aku merasa lengkap, merasa memiliki segalanya. Restu orangtua dan dukungan saudara saudariku adalah kekuatanku, memulai langkah baru.
                Langkahku pelan, namun pasti memandang ke depan mencari sosok Rayhan. Dia di sana, berdiri di dekat meja ijab kabul, tersenyum padaku. Senyum yang memberiku kepercayaan. Kepercayaan terhadap dirinya agar mampu memimpinku.
                Saat duduk, Ayah meminta waktu untuk sedikit berbicara pada Rayhan. Di tengah orang banyak, Ayah mulai berkata tanpa teks pada calon suamiku. “Rayhan, anakku. Saya sebagai Ayah Nunik memintamu agar menjadi pemimpin yang baik untuk istrimu. Lanjutkan tugas saya mendidik putri saya agar selalu berada di jalan yang benar. Kasihilah dia seakan-akan dia adalah bagian dari dirimu sendiri… ” Ayah terdiam. Bibirnya tampak bergetar sebentar. Matanya menatapku, berkaca-kaca. Lalu ia kembali melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Izinkanlah silahturahmi antara kami dengan Nunik agar tetap terjaga dan… saya mohon, bahagiakanlah putri saya.” Dan aku melihat airmata mengalir di pipi Ayah.
                Rayhan nampak tak bisa menahan haru. Ia bangkit dari kursinya, tidak seperti protokoler acara yang dibuat oleh Wedding Organizer kami sebelumnya. Ia langsung mengatakan sesuatu pada Ayah, entah apa karena aku hanya melihat Ayah juga langsung memeluknya dengan mengangguk-angguk. Tapi aku tahu pasti, Ayah dan Rayhan saling mengucapkan janji yang hanya mereka berdua yang tahu.
                Dan aku berdoa, berbekal ridho seluruh keluarga, aku melangkah bersama Rayhan. Melangkah dalam bahtera pernikahan, berharap kebahagiaan dunia dan akhirat.
     

  3. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

                     

    “Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
                       Tiga sajak sama milik AT. Mahmud menyisakan rapalan dibibir mungil bocah.

                                                                            ^O^


                      Suara tawa yang membahana menjadi tiket ibu memasuki ruang itu kembali.
                “Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu” begitu rapal si bocah dengan tangan masih lekat memeluk si boneka. Dengan tatapan kesembarang arah tanpa isi. Kosong. Sekosong kata yang terucap tanpa makna.
    “Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...” sesekali tersela oleh tawa dan selingan tangan membenarkan letak boneka.
                Ibu sudah terlanjur bahagia mendengar malaikat kecilnya menyebut kata ibu.
                “Kamu memanggil Ibu nduk? Kamu memanggil Ibu?! Subhanallah J Tuhan inikah jawaban atas percakapan kita seusai sujudku??” Ibu sangat bersyukur atas apa yang ia dengar. Buah hati yang selama ini selalu menutup lisan. Yang dulu membisu dan menolak kata ibu. Kini entah bagaimana berhasil mengucap lafal IBU. Ibu tak menepis pertanyaan itu. Atau memang sengaja tak peduli pada siapa yang mengajar putri semata wayangnya itu. Tidak, sejatinya Ibu hanya terlalu bahagia atas terwujudnya mimpi yang sempat masuk kategori ‘mustahil’.
                “Iya nduk.. Ibu disini nduk. Itta mau apa Ibu ngapain? Pasti Ibu turutin. Itta mau dimasakin apa sama ibu? Atau Itta mau Ibu ngapain? Ibu pasti mau nduk.” Ada bahagia yang memburu. Cinta yang memburu. Dan harapan yang memburu. Tiba tiba. Kemustahilan menjadi sangat mungkin. “Iya nduk... iya. Ibu disini. Di deketmu Nduk. Ibu mau Nduk nemenin kamu main. Nemenin kamu ngobrol. Dengerin kamu cerita. Ibu sangat mau Nduk. Jeda. Ibu menarik nafas. Memikirkan kemungkinan kemungkinan lain yang diinginkan anaknya.
                “Nduk, ini ibu disini. Ibu sudah di depanmu nduk J. Nduk....nduk... nduk.. Ibu sudah disini.” Suara ibu memudar. Baterai kesabaran tergantikan keputusasaan. Menyadari bahwa mimpinya memang tetap sebuah kemustahilan.
                “Ternyata kamu hanya menyebut kata Ibu, kamu bukan memanggil Ibu.” senyum rasa cuka mewakili kekecewaan Ibu. “Ya sudahlah nduk, Ibu yang salah. Terlalu berharap kamu benar benar memanggil Ibu. Padahal Ibu akan sangat senang jika kamu memanggil Ibu. Ibu tak akan pernah keberatan dengan pangillanmu nduk. Kapanpun.” Ibu hendak beranjak. Menyampaikan pada hari, bahwa ia masih baik baik saja. Dan perasaan cinta seorang Ibu pada anaknya tak akan pernah berubah. Walau apapun terjadi.
    “Lanjutkanlah bermainmu nduk. Biar bagaimanapun, Ibu tetap menyayangimu nduk J.” Sebuah kecup sayang mendarat dirimbunnya mahkota sang putri. Jejak sayang seorang ibu sebelum beranjak dari sisi buah hati.
                “ Itta sayang Ibu. Kalau Itta sayang Ibu, Itta cium pipi kanan , cium pipi kiri Ibu. Kalau ibu mau pergi, Itta cium tangan Ibu.”
                Seolah mengerti bibir mungil bocah tergerak. Merapal yang terdengar. Mengucap yang terbisik. Melakukan yang tercontoh. Memeluk. Mencium pipi kanan pipi kiri sembari tertatih mengeja kata cinta.
    “Ibu...ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu... Itta ayang ibu”
                Mata belum terisi makna meski bibir penuh kata. Pandang masih bersih tanpa ada, menyapu seluruh ruang dengan jemari menunjuk titik tak nyata. Melantun kata tanpa makna.
                Ibu untuk kesekian kali hadir. Dengan segenap harap dan sisa tenaga di hari yang beranjak gelap Ibu memenuhi rapalan si Bocah. Menanggapi penuh harap dan sabar.
                “Iya Nduk. Ibu sudah disini. Ibu sudah di depan mu Nduk. Itta mau apa? Hmmm? Itta mau ngajak Ibu main? Atau Itta mau minta Ibu ngapain? Ibu pasti nurut Nduk. Nduk ... Ibu sudah disini.....”
                Suara Ibu hanyut dalam isak. Harappun menguap kesekian kali. Itta terus merapal. Mengabaikan sosok di dekatnya.
                “Ah ya.. Maafkan Ibu Nduk. Ibu sudah tua. Sudah pikun. Ibu lupa kalau Itta sedang belajar mengucapkan kata ibu.” Ibu mencoba bangun dari jatuh oleh kecewa. “Ibu .. Ibu.. barangkali Ibu terlalu berharap. Berharap kalau Itta benar benar akan memanggil Ibu. Maafkan Ibu ya Nduk. Ibu tak akan memaksa kamu Nduk. Ibu sudah sangat bersyukur dengan hadirmu Nduk. Tak apa Nduk. Tak apa. Ibu legowo*ikhlas Nduk. Ibu sudah merasa cukup dengan keceriaanmu setiap hari disini. Ibu cukup dengan rapalan kata ibu darimu Nduk. Ya sudah ya nduk, kamu lanjutken saja bermainmu. Ibu keluar dulu ya ...”
                Ibu mengumpulkan kepingan hati yang sempat berserak. Menyatukannya kembali laksana puzzle. Yah puzzle baru bernama harapan. Impian Ibu yang mungkin mustahil terbangun kembali oleh sebuah harapan. Masih ada kesempatan, setidaknya ada titik cerah. Dalam hati Ibu berdoa “semoga kelak rapalan Itta benar benar untuk memanggilku”. Amin. Tuturnya lirih.
                Dua langkahnya terhenti. Ada gravitasi tak disangka dari arah belakang. Sepenggal lengan berjemari lentik enggan melepas keberanjakkan Ibu. Itta menahan kepergian Ibu. Entah untuk apa. Entah bagaimana. Tangan itu menyatu, menghubungkan induk-anak.
                Ibu pasrah, hanyut dalam gravitasi tak dinyana. Ibu menunduk. Mendekat. Merapat di sisi Itta. Jarak mereka kini hanya sebatas jengkalan tangan.
                Kebahagiaan terkadang begitu sederhana. Kebahagiaan Ibu cukup dengan sentuhan dari sang buah hati. Ibu bahagia dalam diam. Dia nikmati sendiri. Percaya atau tidak, Ibu tetap percaya, Itta mulai mengerti arti sebuah ada. Berharap terlalu tinggi? Mustahil? Biarlah.. Ibupun berhak memiliki harap bukan?!!?
    “Itta ayang Ibu.. .. Ium pipi anan....Ium pipi ili. Elukk..”
    “alo.. Ibu..elgi..ium angan...”
                Ada teriak bahagia dalam diam. Ada senang tak terperi dalam wajah Ibu. Tentu ada sanubari yang menari dikerajaan hati Ibu yang luas.
    “Iya nduk.. Iyaa.. Ibu tau. Ibu juga sangaaat sayang sama Itta. Ibu percaya Itta juga sayang ke Ibu.. Nduk, terima kasih Nduk. Maturnuwun. Nduk, terima kasih.. Ibu bahagia Nduk.”
                Sejatinya dalam benak Ibu ada sebersit tanya. Siapa gerangan ‘guru’ buah hatinya itu. Siapa pahlawan dibalik berkembangnya kemampuan yang dimiliki Itta ? Seperti kaki yang tetap menginjak rumput meski ada tulisan “area bebas kaki” sama seperti tidak pedulinya Ibu pada setitik tanya itu. Ibu hanya ingin bahagia detik itu, sebelum angin beranak pinak dengan alam hingga menciptakan badai. Ibu hanya ingin memeluk raga mungil miliknya itu. Tidak pernah lebih. Sesungguhnya. Bahagia itu sederhana. Sesederhana mengetahui sejatinya kita tak pernah jatuh cinta sendirian.
                                                                                                                                (Tamat)


                           Dalam jeda asmara Ibu yang terjawab, saya hanya mampu tersenyum di ruang itu. Bahwa Ibu tak akan pernah tahu, guru vokal putri semata wayangnya itu .... :D