Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis, 19
September 2013
“Mbak, aku mau tanya?” lirihnya
disela perjalanan semalam.
“Iya, Nduk, mau tanya apa?hmm?”
jawabku pasang telinga.
“Apa maksudnya mencintailah karena
Allah?” luncurnya masih dengan lirih.
Diantara klakson dan lampu jalan
gerbang belakang, diantara lalu lalang pejalan kaki yang lain, diantara kedua
perut yang mulai lapar, saya mencari jawaban atas pertanyaan adik saya ini.
Sesuatu yang saya yakini namun menghilang seketika, seolah tak ada
perbendaharaan kata yang tepat untuk memaparkannya. Terlampau agung atau
terlalu bingung, yang jelas saya harus menjawabnya. Gadis disamping saya sedang
menanti jawab, menuntut tepatnya. Matanya masih mencari cari jawaban,
memancarkan penantian pada bait kata yang bahkan belum saya susun.
“Mencintailah karena Allah ya? Ammm seperti
kita shalat saja ya Nduk. Shalatlah karena Allah. Mencintaipun demikian. Mencintai
sendiri kan juga merupakan perintahnya. Dan ketika kamu mencintai, cintailah
sesuatu itu yang mampu membawamu lebih dekat dengan Dia yang memintamu
mencinta. Dia, Allah Sang Pangkal dan Muara segenap rasa. :”)” jelasku
menerawang.
“Terus mba, salah enggak kalau kita
mencintai seseorang lalu berharap dia menjadi jodoh kita?” lanjutnya, namun
kali ini dengan nada terbata. Ada sesuatu yang ia redam rupanya. Entah apa.
“Hehe itu wajar sayang. Manusiawi
ketika kita mencintai lalu berharap ia menjadi jodoh kita. Berharap ia menjadi
imam kita. Pendamping sekaligus pemimpin kita. Sangat wajar. Hanya saja yang
membuatnya kadang tidak wajar adalah cara untuk membuat ia menjadi jodoh kita.
“Nah itu mba, kita sudah berharap
dia menjadi jodoh kita. Meminta dia menjadi jodoh kita.” Kali ini jelas matanya
telah basah. Bahunya mulai terguncang. Ada isak. Ya, dia menangis.
“Hmmm cup cup iya enggak apa apa.
Wajar dan tidak salah. Menaruh harapan agar ia menjadi jodoh kita itu hal yang
sangat manusiawi nduk. Sangat manusiawi!” tegasku dalam rangkulan. Merekatkan jarak
dengannya, memastikan ia tak merasa sendiri ataupun bersalah.
“Ketika kita berharap ia menjadi
jodoh kita, mudah saja. Jadilah seperti dia. Bukan dengan memintanya menjalin hubungan berlandas
komitmen tanpa iman, seperti kebanyakan remaja sekarang. Namun, menantilah. Tunggu
dia. Dan dalam penantianmu, menjadilah seperti dia. Memantaskan diri agar mampu
bersanding dengan dia. Memperbaiki diri, Nduk. :”) Sebab memperbaiki diri sama
dengan memperbaiki jodoh. Lantas menjaganya dalam rapalan rapalan seusai sujud.
Memeluknya dalam rapalan rapalan keselamatan dan kemudahan langkah untuknya.”
“Makasih mba...” ucapnya terhias
sisa isak, “Lalu mba, pas doa, salah nda kalau nyebut namanya dia? Jadikanlah si
A jodohku gitu mba.” Tanyanya lugu bercampur malu.
“Hehehe coba kalau kamu sedang butuh
mukena, terus dikasihnya mukena hijau. Terus kamu menolaknya sebab ternyata
kamu pengen mukenanya warna biru. Gimana?”
“Lah, mba ya enggak gitu. Fungsi
mukena kan sama. Untuk ibadah, warnanya kan enggak ngaruh sama ibadah kita.”
“Nah, sama to kaya jodoh. Kita butuh
dia untuk melengkapi separuh agama kita. Menyempurnakan amal ibadah. Tak peduli
seperti apapun. Selama ia mampu membawa kita menuju jannah.Nya. Insya Allah itu
anugerah Nduk.”
“Jadi?” alismu terpaut.
“Jadi, ketika kita berdoa tentang si
A untuk menjadi jodoh kita. Sama saja kita memaksakan doa kita. Niat mau
menyempurnakan separuh agama, terkontaminasi niat menjadi jodohnya semata.
Doanya lebih di buat umum saja Nduk, jodoh tanpa embel embel si A, si B, atau
si C. Kalau kamu mau mendoakan si A pun tidak apa apa, toh mendoakan sesama
saudara seiman tidak dilarang. Doakanlah untuk kebaikannya gitu Nduk.”
Dan langkahpun terhenti, di sebuah
warung makan dua puluh empat jam bersampul “Burjo”.
Dua piring magelangan, segelas es
nutrisari sayur dan segelas es teh, resmi menjadi teman ketiga kami dalam
melanjutkan perbincangan. Tentang Jodoh. :”)
0 comments:
Post a Comment