Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Dia lelaki super cuek yang pernah
saya kenal. Lelaki super tak acuh dengan suara sumbang di sekitar, baginya
mereka adalah fans yang meminta perhatian lebih. Baginya mereka adalah
penyeimbang J
Fans dan Haters selalu hadir sepaket bukan? Lelaki super keren yang rendah hati
dan tidak pernah memanfaatkan kekerenannya untuk menebar benih pesona di tiap
gadis. Apapun yang ia lakukan tak peduli pada lingkungan yang dengan seksama
ingin menelanjanginya melalui tatap ‘siapa dia?’. Dari langkahnya dia menjawab
‘gue Nugroho!’. Aku biasa memanggilnya dengan En tanpa d.
Awalnya aku menjadi pelaku yang
menatapnya itu. Menatapnya diam diam dibalik kacamata minus tiga seperempat. Menatapnya
diam diam dari balkon kelas lantai dua. Melihatnya diam diam dan tersipu sendirian
saat keringat dengan mesra meluncur disetiap inci bajunya. Dan membawa namanya
dalam doa, dengan diam diam pula. Hanya saja dewi Fortuna sedang berpihak
padaku, kali ini.
^O^
Bulan maret masih menyisakan sedikit
gerimis untuk bisa kunikmati dalam kesendirian. Taman belakang kompleks rumah
adalah tempat favoritku menikmatinya.
Sendiri di antara rinai gerimis yang cantik. Bau basah tanah, hembusan
segar aroma dedaunan, dan air. Berkolaborasi apik memberi tiket ketenangan,
meninggalkan Jakarta yang pengap.
“ Heii..kenapa tidak berteduh!! Kamu
bisa sakit, Teman!” sorak sebuah suara
tanpa rupa. Berasal dari balik punggungku. Aku cukup kaget mengingat tak ada
pengunjung lain beberapa menit yang lalu. Berlahan ku buka mata, terbangun dari
meditasi gerimisku.
“Kenapa kamu tidak berteduh!! Kamu
bisa sakit nanti !!” Kamu mengulang kalimatmu. Melihatku tak beranjak dari
posisi. Menghampiri dan memayungiku dengan jaketmu yang seperempat basah. Aku
tersenyum.
“Kau merusak rutinitasku, kisanak!!”
bentakku kaget.
“Rutinitas?” Alismu terangkat satu.
“Rutinitas mandi di tengah ujan supaya hemat air gitu?Haaah.” Lalu dua duanya
terangkat disertai mulut yang sedikit menganga dan mata membesar menuntut
jawaban.
“Hahhaha yah anggap saja demikian!!”
Jawabku santai. Biarlah dia puas dengan argumen asalnya. “Bagaimana kau bisa
sampai kemari? Dalam rangka apa?” tuntutku balik.
“Okeh okeh santai nyonya!! Aku lagi
iseng jalan jalan aja, bete di rumah. Eh tiba tiba bbbrrrrr ujan. Trus aku
ngliat ada taman ya udah mampir eh malah
ada biji cebong di taman. Semedi menanti wangsit bocoran snmptn hahaha jadi
hamba sampai di sini dalam rangka berlindung dari ancaman air hujan pembawa
virus influensa!!” ucapnya semangat. Merasa bangga telah memberiku gelar ‘biji cebong
taman’.
^O^
Gerimis yang mengawali sebuah
pertemuan. Gerimis yang memfasilitasi sebuah persahabatan. Gerimis pula yang
menjebatani dua insan untuk membuat kisah bersama. Semakin intens dan dekat.
Melupakan batas orang asing. Melupakan batas idola dan fansnya. Dan melupakan
fakta bahwa hubungan seorang gadis dan lelaki tak akan pernah semurni
persahabatan burung jalak dan kerbau. Selalu ada cinta yang hadir tanpa
disadari. “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”. Hadir karena terbiasa. Meski
cinta tidak pernah salah, namun sayangnya cinta sering datang terlambat. Nyata
kita mencoba saling ada, untuk bercerita atau sekedar menghabiskan waktu
bersama. Apa saja dan dimana saja. Teman sekelas, dosen, mata kuliah, pacar,
keluarga, organisasi,mengenang masa lalu bahkan perasaan diri. Di caffe,
kantin, kelas, padang ilalang, tempat tambal ban, warung makan Mbok Yem, mall,
trotoar jalan utama, semua tempat pernah terukir kenangan bersama.
Sayangnya dia yang lebih mendominasi
percakapan. Dia sangat cerewet untuk ukuran seorang lelaki. Dan aku yang selalu
menyediakan telinga. Biarlah tak apa. Selama masih bersama. Selama ada
keyakinan aku dan dia, kelak akan menjadi kita.
^O^
“ Cha, gimana menurut kamu misal aku
besok sebelum pendakian bilang perasaanku ke Mawar trus pas pulangnya ngebawain
edelweis buat Mawar.” Aku agak terkejut mendengarmu menyatakan hal demikian.
Meski, sejatinya aku sudah tahu dia lambat laun pasti akan bicara seperti ini.
Tiga bulan yang lalu ia bercerita tentang Mawar.
Gadis anggun yang cerdas dalam balutan kesederhanaan. Gadis manis yang
menggariskan jarak beberapa centimeter antara aku dan kamu. Gadis jelita yang
senantiasa kamu sanjung. Gadis yang kerap kamu keluhkan menghiasi mimpimu. Dan
gadis yang sama yang hadir dalam mimpi burukku, karena berlahan kamu termiliki
olehnya.
“Wooii, aku serius nih tanyanya,
malah di tinggal ngelamun!!” protesmu mengagetkanku. Memasang wajah kesal dan
memajukan bibir beberapa centi.
“Hahhaha santai, bos!!” Tawa hambar.
Dia beneran ngambek rupanya. “Kalo menurutku sih mending kamu bilangnya sepulang
pendakian aja , jangan lupa edelweisnya buat mas kawin. Ya ceritanya biar cinta
and hubungan kalian juga awet kaya edelweis gitu, En” Saranku setengah hati.
Entahlah, ada perasaan halus menyelinap. Sakit. Betapa menyesakkan itu
sederhana. Ketika dia di depan mata tapi tak bisa benar benar bersama.
“Alesannya apa, mesti nunggu pulang
pendakian?” tanyamu segera sebelum aku memasuki dunia lamunan tempat aku dan
kamu ada tanpa Mawar.
“ Ya gini ya, misal kamu nembaknya
sebelum pendakian berarti kamu meninggalkan seorang pacar pas mendaki. Pacar
kamu mesti bakal ha dua ce menanti kamu, Odong!!”
Hening. Wajahmu tampak serius
mencerna kalimatku.
Aku menunggu responmu.
“O iya yahh, kok kamu ngerti banget
si soal cewe?!” alisnya terangkat disertai senyum jail.
“Aasssli, aku masih masuk kategori
cewe, tauk!!” timpalku geregetan.
Terhitung satu setengah tahun
hubungannya dengan si Mawar sejak sore itu. Tiga setengah tahun persahabatanku
dengan En. Posisi yang sejak lama ingin ku tinggalkan namun alam berkata lain.
Dan edelweis tetap di meja belajarnya Mawar bersanding dengan figura berisikan
foto ceria di bawah Partinah Bosch. Aku lah yang mengambil foto itu,
mengabadikan momen mesra mereka dalam kertas ukuran 3 R dan softfile 524 KB.
Dan aku pula yang berharap edelweis itu di atas meja belajarku, bersanding
dengan foto urakan kelulusan masa sma. Aku dengan En, baju penuh tanda tangan,
dan wajah melukiskan kepuasaan. Masa sebelum aku dan dia seakrab sekarang. Masa
aku telah menjadi pengagumnya sejak gebukan drum pertama yang ia lihatkan dalam
HUT sekolah. Ketukan bas drum yang mengiringi degupan jantungku.
“Cha?” tanyamu mengagetkanku.
“Iya En, ada apa?” Jawabku setengah
tersentak.
“Kenapa kamu panggil aku En. Namaku
kan Nugroho!!” alismu terangkat dengan bibir rada manyun.
“Hahha sejak kapan kamu peduli pada
panggilan namamu?”
“Kagak. Penasaran aja aku. Jangan
jangan kamu tuh cedal yah? Gag bisa ngomong errr tapi el.” Lagi lagi hipotesa
ngasal. “Manggil aku jadi nugloho bukan nogroho”
“Hahhaha sumpah garing ma ngasal
banget. Ya bukanlah ya!!”
“Terus kenapa coba??”
Sedikit menyesal kenapa aku tidak
menjawab ‘ya’ seperti biasanya. ‘ya’ dan selesai. Kau senang aku tenang.
“Ammmm...” mencoba mencari arsip
jawaban dalam otakku. “begini, kamu tau kan si Edi?”
“ Iya tau. Tapi apa urusaanya sama
Edi Maho itu”
“ Haha sotoy lu!! Dia kagak maho
kali. Belum laku laku aja dia mah.”
“ Terserah deh. Lanjut ke alasanmu
manggil aku En”
Misi mengalihkan pertanyaan gagal.
“Nama panjangnya si Edi kan Edi
Nugraha. Nama kamu Nugroho aji. Bedanya itu Cuma huruf A dan O di nama kalian.
Tapi dari sanalah orang orang membuat kesalahan tanpa resiko. Kadang ada yang
manggil sama sama Nugraha, trus lebih seringnya Nugroho. Padahal kan jelas
jelas beda banged. O yang bulet dan A yang segitiga sama kaki. Iyaaa kan??”
jawabku ngasal juga sebenarnya.
“Jadi manggil aku En, biar kamu gag
ikutan salah kaya orang kebanyakan gitu?”
“Iyahh anggap saja demikian”
“Fiiiuuhhtt, selamet selamet.” Batinku.
Sebenarnya dengan memberinya panggilan spesial, aku hanya ingin selalu diingat
sama dia. Bukankah itu salah satu fungsi panggilan sayang?
Aku ingin berhenti di langkah awal
mengenalnya. Aku takut akan kecewa pada langkah akhir. Yang nyatanya sekarang
aku memang kecewa. Hanya memanggilnya ‘En’ lah yang bisa ku pertahankan. En
tanpa d. Huruf d yang mengakhiri kisah.
^O^
Edelweis itu masih di sana. Diatas
meja belajarnya Mawar. Di samping figura dengan foto mesra Mawar dan En di
bawah keanggunan seorang Partinag Bosch penghuni taman kota USrakarta. Aku yang
mengambil foto itu. Membaluri perasaanku untuk En dengan formalin bernama
persahabatan. Aku mencintai En. En mencintai Mawar dan Mawar juga mencintai En.
Ada satu sisi kosong yang harus terisi jika ingin di katakan sebagai cinta
segitiga. Misalnya ternyata Mawar itu mencintaiku?? Hahha dia dan aku sama sama
normal. Mungkin aku hanya seorang yang jatuh cinta sendirian diantara dua hati
yang telah saling jatuh cinta. Mungkin ini hanya hukum aksi-reaksi yang tak
teraplikasikan dengan baik. Ya, hukum Newton ketiga tidak berlaku disini.
Karena sejatinya, tidak mudah membuat seseorang merasakan hal yang sama. Meski
keinginanku begitu sederhana. Lihatlah aku, seperti aku melihatmu.
Aku ingin bisa membenci En,
menjauhinya. Menyelamatkan hatiku yang tercerai berai. Apakah membenci
menjaminmu dapat melupakan cinta yang agung? Apakah membenci dapat menjahit luka
yang menganga indah? Tidak!! Membenci hanya akan membuatmu terus mengingatnya.
Menjebakmu dalam kenangan kenangan ilusi saling memiliki penghias benak. Aku
membalut luka tanpa jahitan di sini. Di organ vital manusia yang tak berwujud.
Hati. Menghindari kata benci. Merawat kata cinta. Dan tentu, belajar mencintai
diri. Tetap mencintai tanpa pernah membenci. Tetap mendoakan meski mungkin
terabaikan. :')
Risa
Rii Leon ^^ Selasa, 31 Januari 2012
0 comments:
Post a Comment