Rss Feed
  1. Hukum Newton Ketiga

    Thursday, 5 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                Dia lelaki super cuek yang pernah saya kenal. Lelaki super tak acuh dengan suara sumbang di sekitar, baginya mereka adalah fans yang meminta perhatian lebih. Baginya mereka adalah penyeimbang J Fans dan Haters selalu hadir sepaket bukan? Lelaki super keren yang rendah hati dan tidak pernah memanfaatkan kekerenannya untuk menebar benih pesona di tiap gadis. Apapun yang ia lakukan tak peduli pada lingkungan yang dengan seksama ingin menelanjanginya melalui tatap ‘siapa dia?’. Dari langkahnya dia menjawab ‘gue Nugroho!’. Aku biasa memanggilnya dengan En tanpa d.
                Awalnya aku menjadi pelaku yang menatapnya itu. Menatapnya diam diam dibalik kacamata minus tiga seperempat. Menatapnya diam diam dari balkon kelas lantai dua. Melihatnya diam diam dan tersipu sendirian saat keringat dengan mesra meluncur disetiap inci bajunya. Dan membawa namanya dalam doa, dengan diam diam pula. Hanya saja dewi Fortuna sedang berpihak padaku, kali ini.
    ^O^
                Bulan maret masih menyisakan sedikit gerimis untuk bisa kunikmati dalam kesendirian. Taman belakang kompleks rumah adalah tempat favoritku menikmatinya.  Sendiri di antara rinai gerimis yang cantik. Bau basah tanah, hembusan segar aroma dedaunan, dan air. Berkolaborasi apik memberi tiket ketenangan, meninggalkan  Jakarta yang pengap.
                “ Heii..kenapa tidak berteduh!! Kamu bisa sakit, Teman!”  sorak sebuah suara tanpa rupa. Berasal dari balik punggungku. Aku cukup kaget mengingat tak ada pengunjung lain beberapa menit yang lalu. Berlahan ku buka mata, terbangun dari meditasi gerimisku.
                “Kenapa kamu tidak berteduh!! Kamu bisa sakit nanti !!” Kamu mengulang kalimatmu. Melihatku tak beranjak dari posisi. Menghampiri dan memayungiku dengan jaketmu yang seperempat basah. Aku tersenyum.
                “Kau merusak rutinitasku, kisanak!!” bentakku kaget.
                “Rutinitas?” Alismu terangkat satu. “Rutinitas mandi di tengah ujan supaya hemat air gitu?Haaah.” Lalu dua duanya terangkat disertai mulut yang sedikit menganga dan mata membesar menuntut jawaban.
                “Hahhaha yah anggap saja demikian!!” Jawabku santai. Biarlah dia puas dengan argumen asalnya. “Bagaimana kau bisa sampai kemari? Dalam rangka apa?” tuntutku balik.
                “Okeh okeh santai nyonya!! Aku lagi iseng jalan jalan aja, bete di rumah. Eh tiba tiba bbbrrrrr ujan. Trus aku ngliat ada taman ya udah mampir  eh malah ada biji cebong di taman. Semedi menanti wangsit bocoran snmptn hahaha jadi hamba sampai di sini dalam rangka berlindung dari ancaman air hujan pembawa virus influensa!!” ucapnya semangat. Merasa bangga telah memberiku gelar ‘biji cebong taman’.
    ^O^
                Gerimis yang mengawali sebuah pertemuan. Gerimis yang memfasilitasi sebuah persahabatan. Gerimis pula yang menjebatani dua insan untuk membuat kisah bersama. Semakin intens dan dekat. Melupakan batas orang asing. Melupakan batas idola dan fansnya. Dan melupakan fakta bahwa hubungan seorang gadis dan lelaki tak akan pernah semurni persahabatan burung jalak dan kerbau. Selalu ada cinta yang hadir tanpa disadari. “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino”. Hadir karena terbiasa. Meski cinta tidak pernah salah, namun sayangnya cinta sering datang terlambat. Nyata kita mencoba saling ada, untuk bercerita atau sekedar menghabiskan waktu bersama. Apa saja dan dimana saja. Teman sekelas, dosen, mata kuliah, pacar, keluarga, organisasi,mengenang masa lalu bahkan perasaan diri. Di caffe, kantin, kelas, padang ilalang, tempat tambal ban, warung makan Mbok Yem, mall, trotoar jalan utama, semua tempat pernah terukir kenangan bersama.
                Sayangnya dia yang lebih mendominasi percakapan. Dia sangat cerewet untuk ukuran seorang lelaki. Dan aku yang selalu menyediakan telinga. Biarlah tak apa. Selama masih bersama. Selama ada keyakinan aku dan dia, kelak akan menjadi kita.
    ^O^
                “ Cha, gimana menurut kamu misal aku besok sebelum pendakian bilang perasaanku ke Mawar trus pas pulangnya ngebawain edelweis buat Mawar.” Aku agak terkejut mendengarmu menyatakan hal demikian. Meski, sejatinya aku sudah tahu dia lambat laun pasti akan bicara seperti ini.
                 Tiga bulan yang lalu ia bercerita tentang Mawar. Gadis anggun yang cerdas dalam balutan kesederhanaan. Gadis manis yang menggariskan jarak beberapa centimeter antara aku dan kamu. Gadis jelita yang senantiasa kamu sanjung. Gadis yang kerap kamu keluhkan menghiasi mimpimu. Dan gadis yang sama yang hadir dalam mimpi burukku, karena berlahan kamu termiliki olehnya.
                “Wooii, aku serius nih tanyanya, malah di tinggal ngelamun!!” protesmu mengagetkanku. Memasang wajah kesal dan memajukan bibir beberapa centi.
                “Hahhaha santai, bos!!” Tawa hambar. Dia beneran ngambek rupanya. “Kalo menurutku sih mending kamu bilangnya sepulang pendakian aja , jangan lupa edelweisnya buat mas kawin. Ya ceritanya biar cinta and hubungan kalian juga awet kaya edelweis gitu, En” Saranku setengah hati. Entahlah, ada perasaan halus menyelinap. Sakit. Betapa menyesakkan itu sederhana. Ketika dia di depan mata tapi tak bisa benar benar bersama.
                “Alesannya apa, mesti nunggu pulang pendakian?” tanyamu segera sebelum aku memasuki dunia lamunan tempat aku dan kamu ada tanpa Mawar.
                “ Ya gini ya, misal kamu nembaknya sebelum pendakian berarti kamu meninggalkan seorang pacar pas mendaki. Pacar kamu mesti bakal ha dua ce menanti kamu, Odong!!”
                Hening. Wajahmu tampak serius mencerna kalimatku.
                Aku menunggu responmu.
                “O iya yahh, kok kamu ngerti banget si soal cewe?!” alisnya terangkat disertai senyum jail.
                “Aasssli, aku masih masuk kategori cewe, tauk!!” timpalku geregetan.
                Terhitung satu setengah tahun hubungannya dengan si Mawar sejak sore itu. Tiga setengah tahun persahabatanku dengan En. Posisi yang sejak lama ingin ku tinggalkan namun alam berkata lain. Dan edelweis tetap di meja belajarnya Mawar bersanding dengan figura berisikan foto ceria di bawah Partinah Bosch. Aku lah yang mengambil foto itu, mengabadikan momen mesra mereka dalam kertas ukuran 3 R dan softfile 524 KB. Dan aku pula yang berharap edelweis itu di atas meja belajarku, bersanding dengan foto urakan kelulusan masa sma. Aku dengan En, baju penuh tanda tangan, dan wajah melukiskan kepuasaan. Masa sebelum aku dan dia seakrab sekarang. Masa aku telah menjadi pengagumnya sejak gebukan drum pertama yang ia lihatkan dalam HUT sekolah. Ketukan bas drum yang mengiringi degupan jantungku.
                “Cha?” tanyamu mengagetkanku.
                “Iya En, ada apa?” Jawabku setengah tersentak.
                “Kenapa kamu panggil aku En. Namaku kan Nugroho!!” alismu terangkat dengan bibir rada manyun.
                “Hahha sejak kapan kamu peduli pada panggilan namamu?”
                “Kagak. Penasaran aja aku. Jangan jangan kamu tuh cedal yah? Gag bisa ngomong errr tapi el.” Lagi lagi hipotesa ngasal. “Manggil aku jadi nugloho bukan nogroho”
                “Hahhaha sumpah garing ma ngasal banget. Ya bukanlah ya!!”
                “Terus kenapa coba??”
                Sedikit menyesal kenapa aku tidak menjawab ‘ya’ seperti biasanya. ‘ya’ dan selesai. Kau senang aku tenang.
                “Ammmm...” mencoba mencari arsip jawaban dalam otakku. “begini, kamu tau kan si Edi?”
                “ Iya tau. Tapi apa urusaanya sama Edi Maho itu”
                “ Haha sotoy lu!! Dia kagak maho kali. Belum laku laku aja dia mah.”
                “ Terserah deh. Lanjut ke alasanmu manggil aku En”
                Misi mengalihkan pertanyaan gagal.
                “Nama panjangnya si Edi kan Edi Nugraha. Nama kamu Nugroho aji. Bedanya itu Cuma huruf A dan O di nama kalian. Tapi dari sanalah orang orang membuat kesalahan tanpa resiko. Kadang ada yang manggil sama sama Nugraha, trus lebih seringnya Nugroho. Padahal kan jelas jelas beda banged. O yang bulet dan A yang segitiga sama kaki. Iyaaa kan??” jawabku ngasal juga sebenarnya.
                “Jadi manggil aku En, biar kamu gag ikutan salah kaya orang kebanyakan gitu?”
                “Iyahh anggap saja demikian”
                “Fiiiuuhhtt, selamet selamet.” Batinku. Sebenarnya dengan memberinya panggilan spesial, aku hanya ingin selalu diingat sama dia. Bukankah itu salah satu fungsi panggilan sayang?
                Aku ingin berhenti di langkah awal mengenalnya. Aku takut akan kecewa pada langkah akhir. Yang nyatanya sekarang aku memang kecewa. Hanya memanggilnya ‘En’ lah yang bisa ku pertahankan. En tanpa d. Huruf d yang mengakhiri kisah.
    ^O^
                Edelweis itu masih di sana. Diatas meja belajarnya Mawar. Di samping figura dengan foto mesra Mawar dan En di bawah keanggunan seorang Partinag Bosch penghuni taman kota USrakarta. Aku yang mengambil foto itu. Membaluri perasaanku untuk En dengan formalin bernama persahabatan. Aku mencintai En. En mencintai Mawar dan Mawar juga mencintai En. Ada satu sisi kosong yang harus terisi jika ingin di katakan sebagai cinta segitiga. Misalnya ternyata Mawar itu mencintaiku?? Hahha dia dan aku sama sama normal. Mungkin aku hanya seorang yang jatuh cinta sendirian diantara dua hati yang telah saling jatuh cinta. Mungkin ini hanya hukum aksi-reaksi yang tak teraplikasikan dengan baik. Ya, hukum Newton ketiga tidak berlaku disini. Karena sejatinya, tidak mudah membuat seseorang merasakan hal yang sama. Meski keinginanku begitu sederhana. Lihatlah aku, seperti aku melihatmu.
                Aku ingin bisa membenci En, menjauhinya. Menyelamatkan hatiku yang tercerai berai. Apakah membenci menjaminmu dapat melupakan cinta yang agung? Apakah membenci dapat menjahit luka yang menganga indah? Tidak!! Membenci hanya akan membuatmu terus mengingatnya. Menjebakmu dalam kenangan kenangan ilusi saling memiliki penghias benak. Aku membalut luka tanpa jahitan di sini. Di organ vital manusia yang tak berwujud. Hati. Menghindari kata benci. Merawat kata cinta. Dan tentu, belajar mencintai diri. Tetap mencintai tanpa pernah membenci. Tetap mendoakan meski mungkin terabaikan. :')

    Risa Rii Leon ^^ Selasa, 31 Januari 2012
     

  2. 0 comments: