Rss Feed
  1. Cinta Diam Untuk Ibu (Part One)

    Wednesday 25 September 2013


    Selasa, 19 Maret 2013
    Prolog
                Nama: Ruang  X. Meski tadinya saya sempat memberinya nama Ruang Penyembuhan, namun ternyata memasuki ruangan itu tidak hanya mendapatkan kesembuhan, lebih dari kata sembuh. Saya merasa luar biasa sehat.
                Ukuran: Luas flexsibel. Terkadang saya hanya mendapati ukuran 3x4 meter, seukuran dengan kamar kos saya. Namun tak jarang ruangan ini berukuran hingga ratusan hektar tanpa tepi.
                Pintu masuk: Sebuah kayu mahoni yang sudah tua. Sangat tua, dengan bendel pintu seperti busur panah ke arah kanan. Dengan sebuah papan kecil diatasnya bertuliskan Ruang X. Dan pintu itu selalu menjelma dalam bentuk cermin. Tatap mata kosong, cukup menarik engsel pintu itu.
                Kunci masuk: Tidak ada. Sepertinya semua orang bebas masuk ke dalamnya. Satu satunya orang yang tidak dapat memasukinya hanyalah orang yang lupa kalau dia pernah memiliki kunci itu.
                Perlengkapan ruangan: Fleksibel. Sebuah cermin, meja dan kursi. Tertata seperti ruang rias. Itu perlengkapan favorit saya. Tapi seringkali sebuah sofa empuk dan perlengkapan perdamaian tubuh dengan lelah juga mengisi ruangan. J
                Pengunjung: mereka yang menyadari memiliki Ruang X.
                Alamat: Nomaden. Tidak tetap. Tak ada yang tau pasti alamat Ruang X . Yang pasti dia dapat berada dimana saja. Membaur seperti udara.
    ^O^

                Ruangan itu berwarna merah muda. Luasnya empat kali enam meter persegi. Tirai bersenandung dengan angin, sinar senja menyapa tanpa permisi. Tampaklah disana tumpukan tumpukan boneka, penghias sekaligus penambah manis ruangan itu. Seorang bocah perempuan tampak asik berbincang dengan boneka terbesar. Memainkannya sekehandak hati. Mengajaknya berbicara seolah sang boneka selalu merespon sesuai harapnya. Namun tak jarang bocah itu menggigit sang boneka seolah ia adalah makanan terlezat penggugah selera. Memukulnya seolah ia tersangka pidana layak bunuh. Dan mengelusnya dengan penuh cinta seperti adegan romatis sepasang induk-anak kucing di depan rumah.
                Seorang ibu memasuki ruang empat kali enam meter persegi itu. Dengan celemek masih menggantung manja di separuh tubuh bagian bawah. Nampaknya dia usai memasak. Ada beberapa bercak noda bahan makanan yang menghias celemeknya. Ia melangkah memasuki ruang, sangat sadar ada seorang bocah manis disana. Hidup damai dengan sebuah boneka. Ibu memandangi malaikat kecilnya beberapa saat. Mendekatinya. Mengelus.
                “Nduk sedang apa kamu? Sedang main ya sama bonekanya?? Main apa nduk?? Sepertinya asik sekali. Ibu boleh ikut main nduk? Ibu ingin main sama kamu nduk :") . Ibu ingin bisa diajak ngobrol sama kamu. Ibu juga ingin bisa dipeluk kaya boneka kamu itu. Hmmm tapi kapan ya nduk keinginan ibu bisa terwujud?”
                Ada jeda panjang. Spasi yang menyadarkan Ibu bahwa ia sejatinya berbicara sendiri. Keputusasaan mulai mengisi atmosfer kecil itu. Memudarkan secercah senyum yang nampak di wajah ibu. Namun bocah tetaplah bocah. Tersenyum dan tertawa dengan bonekanya. Ibu hanyalah ibu baginya. Manusia yang entah bagaimana selalu nyata, meski dia tak pernah merasa tentang makna sebuah ada. Ibu patah hati untuk kesejuta kalinya. Bertepuk sebelah tangan pada sang buah hati. Ibu jatuh cinta sendirian.
                “Setiap hari yang kamu ajak main cuma bonekamu. Kamu ngobrol sama bonekamu. Kamu senyum sama bonekamu.” Ibu ikut memeluk boneka yang lain. Kembali menatap rekan seruangannya itu. Seperi menemukan sesuatu. “Ah ya senyum kamu itu manis nduk. Manis sekali, gula aren saja kalah nduk. Tapi nduk, kapan kamu ngasih senyum itu ke ibu? Kapan nduk? Kapan? Ibu disini nungguin kamu nduk! Nunggu kamu senyum ke ibu. Tapi kapan kamu mau senyum ke ibu nduk?!!? Kapan nduk?!!!?” Setengah gemas bercampur marah tangan ibu mencoba memalingkan wajah bocah untuk melihat Ibu. “Ibu disini nduk? Didepanmu!! Ada setiap hari!! Dua puluh empat jam nduk buat kamu!! Nduk liat ibu nduk!!!”
                Ketidaknyamanan bocah terwujud dengan ayunan tangan. Lima jemari mendarat mulus di pipi Ibu. Menyisakan rona merah. Sejatinya Ibu sudah biasa, luka itu tak pernah lebih sakit dari luka batin yang ia rasa. Ibu sakit batinya. Menjerit lahir batin.
                Helaan nafas panjang Ibu mewakili percobaan menangkan diri. Mengharap kekuatan dari alam. Mencari energi dari kesabaran yang terpupuk. Iapun mulai beranjak. Melanjutkan aktivitas. Menyapa waktu yang terus berjalan.
    ^O^
                Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok
                Detak jarum jam satu satunya warna diruangan itu.
                “Hahahahahahaha,” suara nyaring terdengar. Mengontaminasi detak jam.
                “Hahahhahahahha,” si bocah membeo bersama suara tanpa rupa itu.
                Boneka yang terpeluk telah pindah tempat. Si bocah berhadapan dengan sang boneka. Tertawa bersama. Menari, berlari, bernyanyi,
                “Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. Satu dua tiga sayang ibu slalu”
    “Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
    “Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
                Tiga sajak sama milik AT. Mahmud menyisakan rapalan dibibir mungil bocah.
                                                                                   ^O^
                                                                                                        (Bersambung)

  2. 0 comments: