Selasa, 19 Maret 2013
Prolog
Nama: Ruang X. Meski tadinya saya sempat memberinya nama
Ruang Penyembuhan, namun ternyata memasuki ruangan itu tidak hanya mendapatkan
kesembuhan, lebih dari kata sembuh. Saya merasa luar biasa sehat.
Ukuran: Luas flexsibel. Terkadang
saya hanya mendapati ukuran 3x4 meter, seukuran dengan kamar kos saya. Namun
tak jarang ruangan ini berukuran hingga ratusan hektar tanpa tepi.
Pintu masuk: Sebuah kayu mahoni yang
sudah tua. Sangat tua, dengan bendel pintu seperti busur panah ke arah kanan. Dengan
sebuah papan kecil diatasnya bertuliskan Ruang X. Dan pintu itu selalu menjelma
dalam bentuk cermin. Tatap mata kosong, cukup menarik engsel pintu itu.
Kunci masuk: Tidak ada. Sepertinya
semua orang bebas masuk ke dalamnya. Satu satunya orang yang tidak dapat
memasukinya hanyalah orang yang lupa kalau dia pernah memiliki kunci itu.
Perlengkapan ruangan: Fleksibel.
Sebuah cermin, meja dan kursi. Tertata seperti ruang rias. Itu perlengkapan
favorit saya. Tapi seringkali sebuah sofa empuk dan perlengkapan perdamaian
tubuh dengan lelah juga mengisi ruangan. J
Pengunjung: mereka yang menyadari
memiliki Ruang X.
Alamat: Nomaden. Tidak tetap. Tak
ada yang tau pasti alamat Ruang X . Yang pasti dia dapat berada dimana saja.
Membaur seperti udara.
^O^
Ruangan itu
berwarna merah muda. Luasnya empat kali enam meter persegi. Tirai bersenandung
dengan angin, sinar senja menyapa tanpa permisi. Tampaklah disana tumpukan
tumpukan boneka, penghias sekaligus penambah manis ruangan itu. Seorang bocah
perempuan tampak asik berbincang dengan boneka terbesar. Memainkannya
sekehandak hati. Mengajaknya berbicara seolah sang boneka selalu merespon
sesuai harapnya. Namun tak jarang bocah itu menggigit sang boneka seolah ia adalah
makanan terlezat penggugah selera. Memukulnya seolah ia tersangka pidana layak
bunuh. Dan mengelusnya dengan penuh cinta seperti adegan romatis sepasang
induk-anak kucing di depan rumah.
Seorang ibu
memasuki ruang empat kali enam meter persegi itu. Dengan celemek masih menggantung
manja di separuh tubuh bagian bawah. Nampaknya dia usai memasak. Ada beberapa
bercak noda bahan makanan yang menghias celemeknya. Ia melangkah memasuki
ruang, sangat sadar ada seorang bocah manis disana. Hidup damai dengan sebuah
boneka. Ibu memandangi malaikat kecilnya beberapa saat. Mendekatinya. Mengelus.
“Nduk sedang apa
kamu? Sedang main ya sama bonekanya?? Main apa nduk?? Sepertinya asik sekali.
Ibu boleh ikut main nduk? Ibu ingin main sama kamu nduk :") . Ibu ingin bisa diajak ngobrol sama kamu. Ibu juga ingin bisa
dipeluk kaya boneka kamu itu. Hmmm tapi kapan ya nduk keinginan ibu bisa
terwujud?”
Ada jeda panjang.
Spasi yang menyadarkan Ibu bahwa ia sejatinya berbicara sendiri. Keputusasaan
mulai mengisi atmosfer kecil itu. Memudarkan secercah senyum yang nampak di
wajah ibu. Namun bocah tetaplah bocah. Tersenyum dan tertawa dengan bonekanya.
Ibu hanyalah ibu baginya. Manusia yang entah bagaimana selalu nyata, meski dia
tak pernah merasa tentang makna sebuah ada. Ibu patah hati untuk kesejuta
kalinya. Bertepuk sebelah tangan pada sang buah hati. Ibu jatuh cinta
sendirian.
“Setiap hari yang
kamu ajak main cuma bonekamu. Kamu ngobrol sama bonekamu. Kamu senyum sama
bonekamu.” Ibu ikut memeluk boneka yang lain. Kembali menatap rekan
seruangannya itu. Seperi menemukan sesuatu. “Ah ya senyum kamu itu manis nduk.
Manis sekali, gula aren saja kalah nduk. Tapi nduk, kapan kamu ngasih senyum
itu ke ibu? Kapan nduk? Kapan? Ibu disini nungguin kamu nduk! Nunggu kamu
senyum ke ibu. Tapi kapan kamu mau senyum ke ibu nduk?!!? Kapan nduk?!!!?” Setengah
gemas bercampur marah tangan ibu mencoba memalingkan wajah bocah untuk melihat
Ibu. “Ibu disini nduk? Didepanmu!! Ada setiap hari!! Dua puluh empat jam nduk buat
kamu!! Nduk liat ibu nduk!!!”
Ketidaknyamanan
bocah terwujud dengan ayunan tangan. Lima jemari mendarat mulus di pipi Ibu. Menyisakan
rona merah. Sejatinya Ibu sudah biasa, luka itu tak pernah lebih sakit dari
luka batin yang ia rasa. Ibu sakit batinya. Menjerit lahir batin.
Helaan nafas
panjang Ibu mewakili percobaan menangkan diri. Mengharap kekuatan dari alam.
Mencari energi dari kesabaran yang terpupuk. Iapun mulai beranjak. Melanjutkan
aktivitas. Menyapa waktu yang terus berjalan.
^O^
Tik. Tok. Tik.
Tok. Tik. Tok. Tik. Tok
Detak jarum jam
satu satunya warna diruangan itu.
“Hahahahahahaha,”
suara nyaring terdengar. Mengontaminasi detak jam.
“Hahahhahahahha,”
si bocah membeo bersama suara tanpa rupa itu.
Boneka yang
terpeluk telah pindah tempat. Si bocah berhadapan dengan sang boneka. Tertawa
bersama. Menari, berlari, bernyanyi,
“Satu satu aku
sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. Satu dua tiga
sayang ibu slalu”
“Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga
masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
“Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga
masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
Tiga sajak sama
milik AT. Mahmud menyisakan rapalan dibibir mungil bocah.
^O^
(Bersambung)
^O^
(Bersambung)
0 comments:
Post a Comment