Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Bunga Luka |
Lima
detik lalu. Kamu berdiri tepat di hadapku. Satu jengkal arah jam dua belas.
Berdiri di seratus delapan puluh derajat. Berdiri di koordinat yang sama
denganku. Dadamu yang bidang tepat diwajahku. Menerpa rupa yang telah sayu
sedari tadi. Aku menunduk. Berkhayal mampu melingkarkan lenganku pada lehermu
yang jenjang. Menghujanimu dengan pelukan yang selama ini tertahan. Membiarkan
air mata tumpah di sana. Menyelamatkan rindu yang hampir kadaluarsa, membebaskan
rasa yang terhalang dinding status sebuah hubungan. Juga menghangatkan hati
yang sempat menggigil karena angkuhnya jarak bernama hubungan kakak-beradik.
Berharap kamu mengerti dengan apa yang aku rasakan. Berharap kamu mampu
menatapku sebagaimana aku menatapmu.
Lalu sedikit mengangkat wajah.
Memberanikan diri mencari sesuatu dibeningnya jendelah hatimu. Dan melupakan
rupa sayu yang tak layak tatap. Dan Tuhan, betapa aku mencintai sosok di
hadapku kini. Tuhan, aku jatuh cinta pada makhluk ciptaanmu ini. Tuhan aku
ingin agar ia pun demikian. Jatuh cinta bersamaku. Jatuh dalam kubang asmara
yang sama denganku.
Senyum itu. Mata itu. Raga itu. Nafas itu. Argghhh
kenapa bukan milikku? Senyum yang selalu mengaromakan kesejukan. Mata yang
selalu membuatku tersesat. Tenggelam dalam pesonanya. Raga yang senantiasa
menguatkan, menopang segala beban yang terbagi dalam arus kebersamaan. Juga
aroma pantai yang selalu menenangkan debur ombak rasa.
Enam detik lalu. Aku terhenyak.
Menyadari lima detik yang membius. Kenapa kamu
begitu memabukkan? Terbuat dari komposisi apa kamu?! Membuatku lupa akan
batasan itu. Batas yang tercipta dari lingkaran di jari manis kirimu. Lingkar
emas yang sengaja kamu sematkan untuk membuat batasan diri. Sebuah jerat yang
kau selipkan dari masa lalu untuk sebuah masa depan bersamanya. Sial !! Kenapa
masih mencintai kamu yang sudah termiliki? Kenapa masih mengharapkan kamu yang
sudah bermasa depan? Kenapa masih menatap pada dia yang telah terbutakan?
Mengapa?! Terlalu bodohkah aku? Terlalu butakah?
Dua detik setelah detik yang
melenakan. Aku beranjak. Enggan tenggelam terlalu dalam. Enggan kehabisan nafas
untuk sekedar berkata, “Permisi, aku mau melanjutkan hidup dulu!” pada cinta
yang tumbuh tak tau diri ini. Detik ke tujuh, aku mengambil empat puluh lima
derajat dari koordinatku. Melenggangkan raga, meninggalkan sosokmu di belakang.
Berhenti menatap spion masa lalu. Mencoba menyapa apa yang di namakan masa
depanku. Bukankah masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini? Dan
ketika semua insan berhak mengambil sikap tak terkecuali aku bukan?! Akupun
berhak mengambil sikap kan?!
Enam puluh detik kemudian.
Aku terisak dibalik helm SNI.
Mengabutkan pandangan dengan dinding bening. Lebih dari apapun, aku ingin
berteriak untukmu. Meneriakimu dengan rupa dan macam kenapa Bagaimana. Kenapa
kau berlaku demikian? Kenapa kau tidak konsisten dengan apa yang kamu tuturkan?
Kenapa kamu membuat nyata jika semua hanya dusta? Kenapa kamu begitu mudah
menggores luka pada hati yang mencinta sepenuh jiwa ini? Bagaimana kamu bisa
semudah itu melupakan semua hal yang terjadi ? Bagaimana kamu semudah itu
mengambil keputusan meski sebelumnya kamu banyak menturkan banyak
ketidakmungkinan!! Kemungkianan kembali padanya sebagai contoh. Kemungkinan
untuk bersamaku yang tiba tiba kandas oleh terabaikannya kemungkianan pertama.
Ternyata aku memang bodoh. Terlalu percaya pada dengan apa yang kamu ucap.
Terlalu berharap dengan apa yang kamu tanam. Dan terlalu tuli mendengar tutur sekitar
tentangmu. Juga terlalu buta melihat fakta yang terpampang di depan dahi.
Tiga ratus enam puluh detik
selanjutnya.
Kamu akan mendapati mata yang tak
lagi bening. Ia sukses berwarna merah muda. Sedikit luka yang nampak dari
ramainya perih yang menyapa. Kamu akan mendapati pipi yang dulu sering kamu
sebut bakpao itu telah becek. Namun kamu pun dapat menjadi saksi, ketika sayap
yang tinggal satu ini tetap dapat terbang sebagaimana mestinya. Saksikanlah aku
yang tetap hidup diatas semua bingkisan luka darimu. Saksikanlah aku yang tetap
melangkah diatas onak duri bernama kepalsuan janji darimu. Saksikanlah aku yang
tetap mencinta meski telah terlupa. Tetap mendoakan meski telah terabaikan.
Karena mencintai terkadang bukan
soal bersama, namun juga tentang bagaimana tetap mencintai meski tak bersama.
Ikhlas dan biarkan lepas. Karena saat kamu mulai belajar mencintai dia
(kembali), aku belajar (lebih) mencintai diriku sendiri.
wiist... mantap kk..
:D
"mencinntai terkadang bukan soal bersama, namun juga tentang bagaimana tetap mencintai meski tak bersama"
(y)
Ini Na? :") terima kasih untuk apresiasinya sayang :") Kamupun kian mempesona, kian lihai bertutur pena :") senang bisa membaca karyamu :)