Rss Feed
  1. Bunga Luka (Jilid 2)

    Saturday 7 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Bunga Luka




               Lima detik lalu. Kamu berdiri tepat di hadapku. Satu jengkal arah jam dua belas. Berdiri di seratus delapan puluh derajat. Berdiri di koordinat yang sama denganku. Dadamu yang bidang tepat diwajahku. Menerpa rupa yang telah sayu sedari tadi. Aku menunduk. Berkhayal mampu melingkarkan lenganku pada lehermu yang jenjang. Menghujanimu dengan pelukan yang selama ini tertahan. Membiarkan air mata tumpah di sana. Menyelamatkan rindu yang hampir kadaluarsa, membebaskan rasa yang terhalang dinding status sebuah hubungan. Juga menghangatkan hati yang sempat menggigil karena angkuhnya jarak bernama hubungan kakak-beradik. Berharap kamu mengerti dengan apa yang aku rasakan. Berharap kamu mampu menatapku sebagaimana aku menatapmu.
                Lalu sedikit mengangkat wajah. Memberanikan diri mencari sesuatu dibeningnya jendelah hatimu. Dan melupakan rupa sayu yang tak layak tatap. Dan Tuhan, betapa aku mencintai sosok di hadapku kini. Tuhan, aku jatuh cinta pada makhluk ciptaanmu ini. Tuhan aku ingin agar ia pun demikian. Jatuh cinta bersamaku. Jatuh dalam kubang asmara yang sama denganku.
                 Senyum itu. Mata itu. Raga itu. Nafas itu. Argghhh kenapa bukan milikku? Senyum yang selalu mengaromakan kesejukan. Mata yang selalu membuatku tersesat. Tenggelam dalam pesonanya. Raga yang senantiasa menguatkan, menopang segala beban yang terbagi dalam arus kebersamaan. Juga aroma pantai yang selalu menenangkan debur ombak rasa.
                Enam detik lalu. Aku terhenyak. Menyadari lima detik yang membius. Kenapa kamu  begitu memabukkan? Terbuat dari komposisi apa kamu?! Membuatku lupa akan batasan itu. Batas yang tercipta dari lingkaran di jari manis kirimu. Lingkar emas yang sengaja kamu sematkan untuk membuat batasan diri. Sebuah jerat yang kau selipkan dari masa lalu untuk sebuah masa depan bersamanya. Sial !! Kenapa masih mencintai kamu yang sudah termiliki? Kenapa masih mengharapkan kamu yang sudah bermasa depan? Kenapa masih menatap pada dia yang telah terbutakan? Mengapa?! Terlalu bodohkah aku? Terlalu butakah?
                Dua detik setelah detik yang melenakan. Aku beranjak. Enggan tenggelam terlalu dalam. Enggan kehabisan nafas untuk sekedar berkata, “Permisi, aku mau melanjutkan hidup dulu!” pada cinta yang tumbuh tak tau diri ini. Detik ke tujuh, aku mengambil empat puluh lima derajat dari koordinatku. Melenggangkan raga, meninggalkan sosokmu di belakang. Berhenti menatap spion masa lalu. Mencoba menyapa apa yang di namakan masa depanku. Bukankah masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini? Dan ketika semua insan berhak mengambil sikap tak terkecuali aku bukan?! Akupun berhak mengambil sikap kan?!
                Enam puluh detik kemudian.
                Aku terisak dibalik helm SNI. Mengabutkan pandangan dengan dinding bening. Lebih dari apapun, aku ingin berteriak untukmu. Meneriakimu dengan rupa dan macam kenapa Bagaimana. Kenapa kau berlaku demikian? Kenapa kau tidak konsisten dengan apa yang kamu tuturkan? Kenapa kamu membuat nyata jika semua hanya dusta? Kenapa kamu begitu mudah menggores luka pada hati yang mencinta sepenuh jiwa ini? Bagaimana kamu bisa semudah itu melupakan semua hal yang terjadi ? Bagaimana kamu semudah itu mengambil keputusan meski sebelumnya kamu banyak menturkan banyak ketidakmungkinan!! Kemungkianan kembali padanya sebagai contoh. Kemungkinan untuk bersamaku yang tiba tiba kandas oleh terabaikannya kemungkianan pertama. Ternyata aku memang bodoh. Terlalu percaya pada dengan apa yang kamu ucap. Terlalu berharap dengan apa yang kamu tanam. Dan terlalu tuli mendengar tutur sekitar tentangmu. Juga terlalu buta melihat fakta yang terpampang di depan dahi.
                Tiga ratus enam puluh detik selanjutnya.
                Kamu akan mendapati mata yang tak lagi bening. Ia sukses berwarna merah muda. Sedikit luka yang nampak dari ramainya perih yang menyapa. Kamu akan mendapati pipi yang dulu sering kamu sebut bakpao itu telah becek. Namun kamu pun dapat menjadi saksi, ketika sayap yang tinggal satu ini tetap dapat terbang sebagaimana mestinya. Saksikanlah aku yang tetap hidup diatas semua bingkisan luka darimu. Saksikanlah aku yang tetap melangkah diatas onak duri bernama kepalsuan janji darimu. Saksikanlah aku yang tetap mencinta meski telah terlupa. Tetap mendoakan meski telah terabaikan.
                Karena mencintai terkadang bukan soal bersama, namun juga tentang bagaimana tetap mencintai meski tak bersama. Ikhlas dan biarkan lepas. Karena saat kamu mulai belajar mencintai dia (kembali), aku belajar (lebih) mencintai diriku sendiri.
     

  2. 2 comments:

    1. Unknown said...

      wiist... mantap kk..
      :D

      "mencinntai terkadang bukan soal bersama, namun juga tentang bagaimana tetap mencintai meski tak bersama"
      (y)

    2. RisaRiiLeon said...

      Ini Na? :") terima kasih untuk apresiasinya sayang :") Kamupun kian mempesona, kian lihai bertutur pena :") senang bisa membaca karyamu :)