Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Foto by Ian Tri Hananto
Minggu,
02 Maret 2014
#PrayForIndonesia begitu rekan rekan
meramaikan jagad maya dalam rangka duka cita atas segala
bencana, dan minggu, 23 Februari 2014 lalu rekan rekan pekerja seni se Solo menggalang aksi peduli bencana. Teater Peron pun tak kalah start. Bersama Wardhana Sandhi (as Director), mereka menyita pandang penghuni car free day Solo melalui sebuah teatrikal bertema Move On. *CMIIW :v
bencana, dan minggu, 23 Februari 2014 lalu rekan rekan pekerja seni se Solo menggalang aksi peduli bencana. Teater Peron pun tak kalah start. Bersama Wardhana Sandhi (as Director), mereka menyita pandang penghuni car free day Solo melalui sebuah teatrikal bertema Move On. *CMIIW :v
Seperti melihat tatanan baju di
etalase toko, seperti itulah saya melihat mereka sekarang. Rekan rekan
mahasiswa pekerja teater yang nyaris tiga tahun membersamai proses adaptasi
saya. meski saya tak membersamai proses mereka kali ini, saya percaya mereka
telah brlatih cukup keras seperti proses produksi sebelum sebelumnya. Dan
melalui kacamata tak lengkap saya, sebab saya tak mengikuti proses mereka
sedari awal, saya mencoba menggambarkan apa yang saya lihat. Sekali lagi,
correct me if I wrong *nglirik pak Sutradara*
^O^
Ada beberapa titik tatap yang mereka
pilih sepanjang CFD Slamet Riyadi, pertama sekelompok manusia (M Tri Atmojo,
Ningsih, Lika, Openg, Fina, Putri) bermake up kucel
penuh derita sebagai para korban bencana alam tepat di bawah kegagahan patung
Jendral Slamet Riyadi. Kedua seorang berjas hitam dengan make up datar duduk tenang
penuh fikir di depan Gramedia Pustaka. Juga seorang pemuda melukis erupsi
sebuah gunung berapi di papan nonkanvas di depan Taman Sriwedari. Dari ketiga
titik itu, entah siapa yang bergerak lebih dulu, yang jelas pada akhirnya
mereka berjalan bersama. Orang orang itu, membawa kedukaan mendalam,
menghampiri sang Tuan Berjas Hitam yang telah bersama seorang petani, hingga
kini mereka menuju pemuda penuh semangat dengan ragam warna tinta. Ditangan
merakapun tak lagi hanya sekedar duka, nyata mereka masih memiliki semangkuk
tinta yang juga berwarna suka.
Sang pemuda yang telah selesai
dengan lukisan erupsi (lukisan pertama), kini melengkapi sisi lain dari papan
nonkanvasnya (lukisan kedua). Menggambarkan hal serupa, ya peristiwa duku yang
merengut banyak air mata. Mereka yang menghampirinya lantas menatap lukisannya
yang telah sempurna (lukisan pertama). Menatapnya bersama gelimangan kenang
tentang kehilangan sanak saudara, tetangga, harta, atau tanaman mereka yang
nyaris petik panen, semua kehilangan yang membuat hati terasa ngilu. Benarkah
alam marah pada mereka? Benarkah semesta sedang mengutuk mereka? Kenapaa?
Mungkin demikian teriak mereka dalam tatapnya.
Pemuda itu selesai dengan lukisan
kedua, meletakkan beberapa tinta warna, lantas membuka pintu (papan lukisannya
dibuat seperti pintu kemana saja.nya Doraemon). Terkaget melihat sosok sosok di
balik pintu. Mereka dengan mata mengandung duka, berdiri dalam kelumpuhan
harap. Tak lama dalam keterkejutannya, sang Pemuda lantas melukiskan sebuah
benda ajaib di atas lukisan erupsi gunung berapi (lukisan pertama). Enam buah
persegi yang simetris di kiri kanan membelah papan, kemudian bersama hangatnya
rengkuhan tangan mengajak mereka untuk turut menorehkan tinta di papan. Satu persatu
merekapun melangkah, menghampiri lukisan enam persegi. Melukis enam kotak
persegi penuh dan sebuah lubang untuk anak kunci. Dan ketika mereka usai, Pemuda
menegaskan ajakannya dalam dua kata tintanya ‘MOVE ON’. Teriring tepukan di
bahu setiap orang, ia meyakinkan mereka, bahwa mereka tak pernah sendiri, bahwa
selama mereka memiliki harap dan percaya, mereka akan mampu melewati segala
hadangan rintang. Pelan tapi pasti, bibir bibir datar itu kini tak lagi seratus
delapan puluh derajat. Ada sebuah garis lengkung yang melurukan banyak hal. Meluruskan
kebersamaan sebuah bangsa untuk saling menjaga, meluruskan segala duka menjadi
suka cita, meluruskan sebuah percaya akan janji.Nya menyertakan kemudahan
sesudah kesulitan. Dan tentu saja menumbuhkan sebuah harap untuk esok lebih
baik. Bersama langkah kebersamaan, kaki mereka melangkah pasti, menjejakkan
masa silam yang kelam sebagai tanah pembelajaran, sebagai masa peringatan sopan
dari.Nya, sebagai bukti Tuhan masih memberi kesempatan untuk sedikit
memperbaiki. Pemuda itu, dengan hati yang masih dipenuhi bara empat lima,
menuntun mereka. Mempersilahkan mereka ber’dada ria’ pada rupa bencana, menatap
bencana sebagai anugerah terselubung, menatap duka sebagai pengurangan dosa.
Ya, badai pasti berlalu :D
^O^
Teriring banyak tepuk, saya percaya
mereka berhasil menyajikan proses mereka selama car free day :”) Azarine (adik
les saya) terpesona dan membanjiri saya dengan ragam tanya tentang mereka (meski
lebih banyak keinginannya untuk berpartisipasi sebagai seorang yang duduk di
kursi roda :3). Dan minggu itu, atmosfer kepedulian terbingkai indah dalam
figura seni penuh ornamen tenggang rasa. Ada beberapa rekan Pekerja Seni yang
melakukan hal serupa, hanya saja dititik yang berbeda, ada pula yang membuat
arakan sejalan Slamet Riyadi, memilih satu spot dan stay disana, dan ragam aksi
lainnya.
Apapun aksi mereka, Slamet Riyadi
telah tergelar atmosfer seni. Dan berapapun dana yang terkumpul tak akan pernah
mewakili keikhlasan mereka untuk saling berbagi, kepedulian juga simpati yang
mengalir sepanjang denyutan nadi. :”) Lets move on together :”) make a better
future ^_^
Foto by Ian Tri Hananto
0 comments:
Post a Comment