Rss Feed
  1. Gadis Beranda

    Saturday, 7 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Gadis Beranda


                 Tanganku bergetar membuka engsel pintu rumah. Bukan karena terlalu lemah membuka pintu, bukan pula tak mampu menarik lengan pintu. Hanya hatiku yang belum siap dengan rumah yang tak lagi sama sejak setahun yang lalu. Iya sayang, rumah ini berbeda tanpamu. Dan kamu tahu sayang? Sejatinya, satu satunya tersangka utama dalam fenomena ini, satu satunya penjahat dalam hubungan kita, adalah jarak. Jarak dengan tangkasnya menggrebek rindu dan memenjarakannya di lorong gelap tanpa jumpa. Namun sayangnya, ia penjahat tak terjamah hukum. Dia terlalu leluasa menggariskan koordinat terjauh dari kita. Dia dengan leluasa memainkan agenda hingga memupus harap akan jumpa. Ya, jarak memang kejam! Membuatmu lupa pulang hingga kini. Membiarkan pintu rumah tanpa kunci. Membiarkanku menanti meski mentari terus berganti.
                Aku berjalan mengendap di rumahku sendiri. Mengendap seperti pencuri yang takut ketahuan. Memasuki ruang tamu. Tempat dimana kita pernah saling bertemu oleh rindu. Tempat kita saling menyapa seusai menempuh perjalanan. Di meja kecil dekat sofa, di sana ada foto perjalanan kita yang pertama. Perjalanan kita yang masih ranum namun, sungguh! Kamu manis sekali saat itu. Lalu disamping kanan dinding, ada sketsaku. Sketsa berbingkai kayu jati. Sketsa yang kamu hadiahkan sebagai pertemuan kelima ratus kita. Di meja kecil itu pula, secangkir teh manis pagi hari selalu tersuguhkan untukmu. Ditemani beberapa potong resep percobaanku dari chef website. :D
                Berjalan ke kanan beberapa langkah, menuju ruang itu. Tempat si kotak penuh warna pembias semesta. Televisi. Dengan alas empuk yang setia menemanimu menonton berita mancanegara. Juga sepersegipanjang meja makan, dengan menu menu sederhana yang ku hadirkan. Saksi nyata luasnya pengertianmu terhadap kekurangpiawaianku mengolah makanan. :D Saksi nyata betapa sering kacamataku melorot saat membaca koran sebab hidungku yang terlalu tumpul. :D
                Di ruang sebelah, istana untuk para piring, sendok, juga bahan bahan mentah siap olah tempatku meracik bumbu, tempat dimana kamu pernah memecahkan satu piring lalu berkata, “Kan gravitasi sayaang!” menyalahkan igauan Isaac Newton atas keteledoranmu meletakkan piring. :D alasan cerdas.
                Tidakkah kamu dengar itu sayang? Keluhan atap rumah. Betapa ia merindukan pertengkaran pertengkaran kecil kita. Gurauan serta canda kita. Ingat? Betapa aku selalu tak suka saat kamu memasang wajah serius. Menautkan dua alis tebalmu, serupa bang Togar penjaga pos satpam komplek rumah! :D Lalu menipiskan bibir, seolah berfikir keras akan suatu hal. Tanda bahwa jiwamu telah mengembara, memasuki duniamu tanpa aku.
                Dan kamu ingat? Ruang tiga kali empat yang kita sediakan untuk beberapa koleksi buku kita. Ruang tiga kali empat yang menghadap gerombolan krisan dan sekolam ikan juga tirai yang selalu berkibar, tempat kita menghabiskan akhir pekan dalam kursi berlengan. :’) Perpustakaan sederhana tempat kita menitipkan mimpi dalam aksara. Disanalah, di rak dekat pintu masuk, baris ketiga. Ada sampul berjudul kita, buku kita yang pertama. Bias bias bahagia saat kali pertama kita berikrar janji. Cuci cetak dari kamera analog milik Ayah. :D Juga buku buku yang lain, yang selalu menjadi rebutan dan kompetisi jari ‘batu, gunting, kertas’. Siapa yang akan membaca lebih dulu :D. Beberapa buku sepertinya belum sempat kita baca, sayang :’)
                Belaian bayu menyibakkan tirai jendela, mengarahkan pandang pada gazebo belakang rumah. :’) Si pondok bambu saksi tiap sujud kebersamaan kita. Tempat kita mencita citakan sebagai pendamping hingga surga.Nya. tempat kita saling merapalkan doa demi kebaikan bersama. Mengeluskan doa pada buah hati yang masih menunggu masanya tiba di masa depan. :’). Kini pondok itu berdebu. Beberapa bagian bambu nampak kropos. Namun benda itu masih tergelar disana. Menanti tuan-nyonyanya mengukir sujud kembali. Sepasanga sajadah mahar pinanganmu. Dulu.
                Langkah – langkah kecil yang pada akhirnya membawamu pulang dalam ingatan kita. Mengusung memori kita yang kadang malu malu muncul dipermukaan rasa :’) Namun, rumah ini sungguh menantimu pulang. Jiwa raga. Di luar khayalku. :’) Hari ini aku mencarimu diantara tumpukan kardus kenangan. Kardus bekas yang telah aku tutup dengan lakban putih. Akupun mengunjungi beranda untuk kesekian kalinya, berharap kamu tak lupa untuk pulang. Berharap kamu telah siaga disana.
    ^O^
                Pulanglah, aku menunggumu di beranda rumah.
                Sekalipun aku pergi, itu hanya untuk sesaat. Sesungguhnya, aku masih di koordinat yang sama saat kamu berpamitan menjemput mimpi, setahun yang lalu. Disaksikan mekarnya bunga krisan senja itu, aku berikrar akan menanti kepulanganmu. Kapanpun. Jika kamu ingin pulang, kunci rumah aku letakkan dibawah pot bunga krisan. Bunga yang kita tanam saat musim semi melanda hati.
                Apakah kamu lupa jalan pulang? atau masih terlena oleh rayuan deadline? Jangan jangan kamu tersesat di labirin agenda? Atau atau atau .......................
    ^O^
                Rumah kita sepi tanpamu, tanpa kita. Tanpamu rumah hanya nampak seonggok bangunan tua yang dindingnya mulai mengelupas termakan ngengat jaman. Kaca kaca telah bermuram durja tak sudi membiaskan kenangan kita. Dan lihat sayaang, rumput tumput taman tak lagi sedap dipandang mata. Gulma gulma berkembangbiak dengan binalnya. Merusak tatanan krisan, merusak barisan sansiviera, juga mendominasi gelombang cinta.
                Kemudian aku tetap menolak menyerah dalam menantimu. Merelakan diri salju malam menyapaku di beranda rumah. Iya sayang, musim telah berganti. Atmosfer bumi kian menggigilkan raga, serupa kita yang juga menjadi dingin oleh angkuhnya jarak. Angkuhnya agenda. Banyak kenapa dan bagaimana yang aku tabung dalam penantian ini, namun sungguh jika detik ini kamu muncul tak akan mampu ku luncurkan. Yang ada hanya hamburan peluk sebab terlalu lama jarak jumpa. Karena terkadang mencintaimu sama dengan berdamai dengan jarak. Merelakan diri memeluk bayangmu dalam angan sebab jarak terlalu angkuh mengangkang.
                Dan segunung khawatir tetap menyerang begitu saja. Menerobos logika membangun prasangka. Mungkinkah kamu jenuh dalam kenyamanan rumah kita? Mungkinkah kamu lena dalam sejuknya beringin tepi jalan? Mungkinkah kamu benar benar lupa argghh tepatnya melupakan jalan pulang? Sayang, cepatlah pulang. :’) pintu rumah tak pernah aku kunci, sebab aku percaya kamu akan pulang. Berjaga jaga jika kamu pulang sewaktu waktu, enggan membuatmu menungguku membukakan pintu. :’)
     

  2. 0 comments: