Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
^O^
Dalam jeda asmara Ibu yang terjawab, saya hanya mampu tersenyum di ruang itu. Bahwa Ibu tak akan pernah tahu, guru vokal putri semata wayangnya itu .... :D
“Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga
masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
Tiga sajak sama
milik AT. Mahmud menyisakan rapalan dibibir mungil bocah.
^O^
Suara tawa yang membahana menjadi tiket ibu memasuki ruang itu
kembali.
“Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu”
begitu rapal si bocah dengan tangan masih lekat memeluk si boneka. Dengan
tatapan kesembarang arah tanpa isi. Kosong. Sekosong kata yang terucap tanpa
makna.
“Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...”
sesekali tersela oleh tawa dan selingan tangan membenarkan letak boneka.
Ibu sudah
terlanjur bahagia mendengar malaikat kecilnya menyebut kata ibu.
“Kamu memanggil
Ibu nduk? Kamu memanggil Ibu?! Subhanallah J Tuhan inikah jawaban atas percakapan kita seusai sujudku??” Ibu
sangat bersyukur atas apa yang ia dengar. Buah hati yang selama ini selalu
menutup lisan. Yang dulu membisu dan menolak kata ibu. Kini entah bagaimana
berhasil mengucap lafal IBU. Ibu tak menepis pertanyaan itu. Atau memang
sengaja tak peduli pada siapa yang mengajar putri semata wayangnya itu. Tidak,
sejatinya Ibu hanya terlalu bahagia atas terwujudnya mimpi yang sempat masuk
kategori ‘mustahil’.
“Iya nduk.. Ibu
disini nduk. Itta mau apa Ibu ngapain? Pasti Ibu turutin. Itta mau dimasakin
apa sama ibu? Atau Itta mau Ibu ngapain? Ibu pasti mau nduk.” Ada bahagia yang
memburu. Cinta yang memburu. Dan harapan yang memburu. Tiba tiba. Kemustahilan
menjadi sangat mungkin. “Iya nduk... iya. Ibu disini. Di deketmu Nduk. Ibu mau
Nduk nemenin kamu main. Nemenin kamu ngobrol. Dengerin kamu cerita. Ibu sangat
mau Nduk. Jeda. Ibu menarik nafas. Memikirkan kemungkinan kemungkinan lain yang
diinginkan anaknya.
“Nduk, ini ibu
disini. Ibu sudah di depanmu nduk J. Nduk....nduk... nduk.. Ibu sudah disini.” Suara ibu memudar.
Baterai kesabaran tergantikan keputusasaan. Menyadari bahwa mimpinya memang
tetap sebuah kemustahilan.
“Ternyata kamu
hanya menyebut kata Ibu, kamu bukan memanggil Ibu.” senyum rasa cuka mewakili
kekecewaan Ibu. “Ya sudahlah nduk, Ibu yang salah. Terlalu berharap kamu benar
benar memanggil Ibu. Padahal Ibu akan sangat senang jika kamu memanggil Ibu.
Ibu tak akan pernah keberatan dengan pangillanmu nduk. Kapanpun.” Ibu hendak
beranjak. Menyampaikan pada hari, bahwa ia masih baik baik saja. Dan perasaan
cinta seorang Ibu pada anaknya tak akan pernah berubah. Walau apapun terjadi.
“Lanjutkanlah bermainmu nduk. Biar bagaimanapun, Ibu tetap
menyayangimu nduk J.” Sebuah
kecup sayang mendarat dirimbunnya mahkota sang putri. Jejak sayang seorang ibu
sebelum beranjak dari sisi buah hati.
“ Itta sayang
Ibu. Kalau Itta sayang Ibu, Itta cium pipi kanan , cium pipi kiri Ibu. Kalau
ibu mau pergi, Itta cium tangan Ibu.”
Seolah mengerti
bibir mungil bocah tergerak. Merapal yang terdengar. Mengucap yang terbisik.
Melakukan yang tercontoh. Memeluk. Mencium pipi kanan pipi kiri sembari
tertatih mengeja kata cinta.
“Ibu...ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu....
ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu... Itta ayang ibu”
Mata belum terisi
makna meski bibir penuh kata. Pandang masih bersih tanpa ada, menyapu seluruh
ruang dengan jemari menunjuk titik tak nyata. Melantun kata tanpa makna.
Ibu untuk
kesekian kali hadir. Dengan segenap harap dan sisa tenaga di hari yang beranjak
gelap Ibu memenuhi rapalan si Bocah. Menanggapi penuh harap dan sabar.
“Iya Nduk. Ibu
sudah disini. Ibu sudah di depan mu Nduk. Itta mau apa? Hmmm? Itta mau ngajak
Ibu main? Atau Itta mau minta Ibu ngapain? Ibu pasti nurut Nduk. Nduk ... Ibu
sudah disini.....”
Suara Ibu hanyut
dalam isak. Harappun menguap kesekian kali. Itta terus merapal. Mengabaikan
sosok di dekatnya.
“Ah ya.. Maafkan
Ibu Nduk. Ibu sudah tua. Sudah pikun. Ibu lupa kalau Itta sedang belajar
mengucapkan kata ibu.” Ibu mencoba bangun dari jatuh oleh kecewa. “Ibu .. Ibu..
barangkali Ibu terlalu berharap. Berharap kalau Itta benar benar akan memanggil
Ibu. Maafkan Ibu ya Nduk. Ibu tak akan memaksa kamu Nduk. Ibu sudah sangat
bersyukur dengan hadirmu Nduk. Tak apa Nduk. Tak apa. Ibu legowo*ikhlas Nduk.
Ibu sudah merasa cukup dengan keceriaanmu setiap hari disini. Ibu cukup dengan
rapalan kata ibu darimu Nduk. Ya sudah ya nduk, kamu lanjutken saja bermainmu.
Ibu keluar dulu ya ...”
Ibu mengumpulkan
kepingan hati yang sempat berserak. Menyatukannya kembali laksana puzzle. Yah
puzzle baru bernama harapan. Impian Ibu yang mungkin mustahil terbangun kembali
oleh sebuah harapan. Masih ada kesempatan, setidaknya ada titik cerah. Dalam
hati Ibu berdoa “semoga kelak rapalan Itta benar benar untuk memanggilku”.
Amin. Tuturnya lirih.
Dua langkahnya
terhenti. Ada gravitasi tak disangka dari arah belakang. Sepenggal lengan
berjemari lentik enggan melepas keberanjakkan Ibu. Itta menahan kepergian Ibu.
Entah untuk apa. Entah bagaimana. Tangan itu menyatu, menghubungkan induk-anak.
Ibu pasrah,
hanyut dalam gravitasi tak dinyana. Ibu menunduk. Mendekat. Merapat di sisi
Itta. Jarak mereka kini hanya sebatas jengkalan tangan.
Kebahagiaan
terkadang begitu sederhana. Kebahagiaan Ibu cukup dengan sentuhan dari sang
buah hati. Ibu bahagia dalam diam. Dia nikmati sendiri. Percaya atau tidak, Ibu
tetap percaya, Itta mulai mengerti arti sebuah ada. Berharap terlalu tinggi?
Mustahil? Biarlah.. Ibupun berhak memiliki harap bukan?!!?
“Itta ayang Ibu.. .. Ium pipi anan....Ium pipi ili. Elukk..”
“alo.. Ibu..elgi..ium angan...”
Ada teriak
bahagia dalam diam. Ada senang tak terperi dalam wajah Ibu. Tentu ada sanubari
yang menari dikerajaan hati Ibu yang luas.
“Iya nduk.. Iyaa.. Ibu tau. Ibu juga sangaaat sayang sama Itta.
Ibu percaya Itta juga sayang ke Ibu.. Nduk, terima kasih Nduk. Maturnuwun.
Nduk, terima kasih.. Ibu bahagia Nduk.”
Sejatinya dalam
benak Ibu ada sebersit tanya. Siapa gerangan ‘guru’ buah hatinya itu. Siapa
pahlawan dibalik berkembangnya kemampuan yang dimiliki Itta ? Seperti kaki yang
tetap menginjak rumput meski ada tulisan “area bebas kaki” sama seperti tidak
pedulinya Ibu pada setitik tanya itu. Ibu hanya ingin bahagia detik itu,
sebelum angin beranak pinak dengan alam hingga menciptakan badai. Ibu hanya
ingin memeluk raga mungil miliknya itu. Tidak pernah lebih. Sesungguhnya.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana mengetahui sejatinya kita tak pernah jatuh
cinta sendirian.
(Tamat)Dalam jeda asmara Ibu yang terjawab, saya hanya mampu tersenyum di ruang itu. Bahwa Ibu tak akan pernah tahu, guru vokal putri semata wayangnya itu .... :D
0 comments:
Post a Comment