Rss Feed
  1. Cinta Diam Untuk Ibu (Part Two)

    Thursday 26 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

                     

    “Satu satu aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ibu. Tiga tiga masih sayang Ibu. satu dua tiga sayang ibu slalu”
                       Tiga sajak sama milik AT. Mahmud menyisakan rapalan dibibir mungil bocah.

                                                                            ^O^


                      Suara tawa yang membahana menjadi tiket ibu memasuki ruang itu kembali.
                “Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu” begitu rapal si bocah dengan tangan masih lekat memeluk si boneka. Dengan tatapan kesembarang arah tanpa isi. Kosong. Sekosong kata yang terucap tanpa makna.
    “Ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...ibu...” sesekali tersela oleh tawa dan selingan tangan membenarkan letak boneka.
                Ibu sudah terlanjur bahagia mendengar malaikat kecilnya menyebut kata ibu.
                “Kamu memanggil Ibu nduk? Kamu memanggil Ibu?! Subhanallah J Tuhan inikah jawaban atas percakapan kita seusai sujudku??” Ibu sangat bersyukur atas apa yang ia dengar. Buah hati yang selama ini selalu menutup lisan. Yang dulu membisu dan menolak kata ibu. Kini entah bagaimana berhasil mengucap lafal IBU. Ibu tak menepis pertanyaan itu. Atau memang sengaja tak peduli pada siapa yang mengajar putri semata wayangnya itu. Tidak, sejatinya Ibu hanya terlalu bahagia atas terwujudnya mimpi yang sempat masuk kategori ‘mustahil’.
                “Iya nduk.. Ibu disini nduk. Itta mau apa Ibu ngapain? Pasti Ibu turutin. Itta mau dimasakin apa sama ibu? Atau Itta mau Ibu ngapain? Ibu pasti mau nduk.” Ada bahagia yang memburu. Cinta yang memburu. Dan harapan yang memburu. Tiba tiba. Kemustahilan menjadi sangat mungkin. “Iya nduk... iya. Ibu disini. Di deketmu Nduk. Ibu mau Nduk nemenin kamu main. Nemenin kamu ngobrol. Dengerin kamu cerita. Ibu sangat mau Nduk. Jeda. Ibu menarik nafas. Memikirkan kemungkinan kemungkinan lain yang diinginkan anaknya.
                “Nduk, ini ibu disini. Ibu sudah di depanmu nduk J. Nduk....nduk... nduk.. Ibu sudah disini.” Suara ibu memudar. Baterai kesabaran tergantikan keputusasaan. Menyadari bahwa mimpinya memang tetap sebuah kemustahilan.
                “Ternyata kamu hanya menyebut kata Ibu, kamu bukan memanggil Ibu.” senyum rasa cuka mewakili kekecewaan Ibu. “Ya sudahlah nduk, Ibu yang salah. Terlalu berharap kamu benar benar memanggil Ibu. Padahal Ibu akan sangat senang jika kamu memanggil Ibu. Ibu tak akan pernah keberatan dengan pangillanmu nduk. Kapanpun.” Ibu hendak beranjak. Menyampaikan pada hari, bahwa ia masih baik baik saja. Dan perasaan cinta seorang Ibu pada anaknya tak akan pernah berubah. Walau apapun terjadi.
    “Lanjutkanlah bermainmu nduk. Biar bagaimanapun, Ibu tetap menyayangimu nduk J.” Sebuah kecup sayang mendarat dirimbunnya mahkota sang putri. Jejak sayang seorang ibu sebelum beranjak dari sisi buah hati.
                “ Itta sayang Ibu. Kalau Itta sayang Ibu, Itta cium pipi kanan , cium pipi kiri Ibu. Kalau ibu mau pergi, Itta cium tangan Ibu.”
                Seolah mengerti bibir mungil bocah tergerak. Merapal yang terdengar. Mengucap yang terbisik. Melakukan yang tercontoh. Memeluk. Mencium pipi kanan pipi kiri sembari tertatih mengeja kata cinta.
    “Ibu...ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu.... ibu...ibu...ibu... Itta ayang ibu”
                Mata belum terisi makna meski bibir penuh kata. Pandang masih bersih tanpa ada, menyapu seluruh ruang dengan jemari menunjuk titik tak nyata. Melantun kata tanpa makna.
                Ibu untuk kesekian kali hadir. Dengan segenap harap dan sisa tenaga di hari yang beranjak gelap Ibu memenuhi rapalan si Bocah. Menanggapi penuh harap dan sabar.
                “Iya Nduk. Ibu sudah disini. Ibu sudah di depan mu Nduk. Itta mau apa? Hmmm? Itta mau ngajak Ibu main? Atau Itta mau minta Ibu ngapain? Ibu pasti nurut Nduk. Nduk ... Ibu sudah disini.....”
                Suara Ibu hanyut dalam isak. Harappun menguap kesekian kali. Itta terus merapal. Mengabaikan sosok di dekatnya.
                “Ah ya.. Maafkan Ibu Nduk. Ibu sudah tua. Sudah pikun. Ibu lupa kalau Itta sedang belajar mengucapkan kata ibu.” Ibu mencoba bangun dari jatuh oleh kecewa. “Ibu .. Ibu.. barangkali Ibu terlalu berharap. Berharap kalau Itta benar benar akan memanggil Ibu. Maafkan Ibu ya Nduk. Ibu tak akan memaksa kamu Nduk. Ibu sudah sangat bersyukur dengan hadirmu Nduk. Tak apa Nduk. Tak apa. Ibu legowo*ikhlas Nduk. Ibu sudah merasa cukup dengan keceriaanmu setiap hari disini. Ibu cukup dengan rapalan kata ibu darimu Nduk. Ya sudah ya nduk, kamu lanjutken saja bermainmu. Ibu keluar dulu ya ...”
                Ibu mengumpulkan kepingan hati yang sempat berserak. Menyatukannya kembali laksana puzzle. Yah puzzle baru bernama harapan. Impian Ibu yang mungkin mustahil terbangun kembali oleh sebuah harapan. Masih ada kesempatan, setidaknya ada titik cerah. Dalam hati Ibu berdoa “semoga kelak rapalan Itta benar benar untuk memanggilku”. Amin. Tuturnya lirih.
                Dua langkahnya terhenti. Ada gravitasi tak disangka dari arah belakang. Sepenggal lengan berjemari lentik enggan melepas keberanjakkan Ibu. Itta menahan kepergian Ibu. Entah untuk apa. Entah bagaimana. Tangan itu menyatu, menghubungkan induk-anak.
                Ibu pasrah, hanyut dalam gravitasi tak dinyana. Ibu menunduk. Mendekat. Merapat di sisi Itta. Jarak mereka kini hanya sebatas jengkalan tangan.
                Kebahagiaan terkadang begitu sederhana. Kebahagiaan Ibu cukup dengan sentuhan dari sang buah hati. Ibu bahagia dalam diam. Dia nikmati sendiri. Percaya atau tidak, Ibu tetap percaya, Itta mulai mengerti arti sebuah ada. Berharap terlalu tinggi? Mustahil? Biarlah.. Ibupun berhak memiliki harap bukan?!!?
    “Itta ayang Ibu.. .. Ium pipi anan....Ium pipi ili. Elukk..”
    “alo.. Ibu..elgi..ium angan...”
                Ada teriak bahagia dalam diam. Ada senang tak terperi dalam wajah Ibu. Tentu ada sanubari yang menari dikerajaan hati Ibu yang luas.
    “Iya nduk.. Iyaa.. Ibu tau. Ibu juga sangaaat sayang sama Itta. Ibu percaya Itta juga sayang ke Ibu.. Nduk, terima kasih Nduk. Maturnuwun. Nduk, terima kasih.. Ibu bahagia Nduk.”
                Sejatinya dalam benak Ibu ada sebersit tanya. Siapa gerangan ‘guru’ buah hatinya itu. Siapa pahlawan dibalik berkembangnya kemampuan yang dimiliki Itta ? Seperti kaki yang tetap menginjak rumput meski ada tulisan “area bebas kaki” sama seperti tidak pedulinya Ibu pada setitik tanya itu. Ibu hanya ingin bahagia detik itu, sebelum angin beranak pinak dengan alam hingga menciptakan badai. Ibu hanya ingin memeluk raga mungil miliknya itu. Tidak pernah lebih. Sesungguhnya. Bahagia itu sederhana. Sesederhana mengetahui sejatinya kita tak pernah jatuh cinta sendirian.
                                                                                                                                (Tamat)


                           Dalam jeda asmara Ibu yang terjawab, saya hanya mampu tersenyum di ruang itu. Bahwa Ibu tak akan pernah tahu, guru vokal putri semata wayangnya itu .... :D

  2. 0 comments: