Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Senin,
23 September 2013
Cemburu? |
Dengan mata berkaca – kaca, Ibu menangkupkan tangannya ke
wajahku, “Semua baik baik saja Nduk, baik baik saja.”
Dan setitik rasa hangat mucul, berbaur dengan dinginnya
hujan, tapiku tahu hangat itu nyata. Menggunung di pelupuk mata lalu berlahan
meleleh pelan di pipi.
“Kenapa aku malah jatuh hati....pada dia yang enggan
mengerti ?”
“Kenapa hatiku harus tercuri bahkan sebelum Permadi
melesatkan tatap panahnya pada Srikandi?”
Teriring derai hujan di luar, saya menyusuri ruang memori
beberapa waktu lalu. Saat dimana tanpa sadar ada perasaan tanpa tuan.
^O^
Lebih dari sekedar akibat dari hukum
kebiasaan, kami mulai berinteraksi, bisa dikatakan intens. Saling menanyakan kabar
hari juga kabar fikir. Tak sebatas satu pihak, namun dua pihak. Tapi satu hal
yang terlupa, ketika nyata ada ruang tersisa untuk masa lalunya. Yah, semua
makhluk pasti memiliki masa lalu. Ayampun memiliki masa lalu sebagai telur. Dan
dia memiliki masa lalu sebagai pecinta diam, seseorang yang menyadari hatinya
tercuri namun tak pernah berani mengakui atau berusaha menangkap pencuri. Dia hanya
berdiri di titik teraman menatap, menyatakan dan menyediakan diri sebagai
sahabat.
Dan perempuan menjadi makhluk paling
pandai untuk berharap hanya karena kata dekat, dan parahnya harap itu
dititipkan tak tahu diri kepada sesama manusia. Lupa atau enggan ingat bahwa
berharap pada selalin Tuhan, sering berbuah duka. Dan saya masuk dalam kategori
perempuan itu.
Di antara harap harap yang
dititipkan di sela rapalan usai sujud, berkali aku mengaminkan doa untuknya. Di
antara kabar kabar yang tersebar, dia menuturkan kebenaran. Kebenaran masa
lalunya. Bahwa ia dekat bahkan tak berjarak dengan pencuri hatinya, sementara
tanpa tau diri ia mencuri hatiku.
Dia menuturkan pertemuan pertama
yang berbuah kagum. Pertemuan kesepuluh yang berbuah simpati. Pertemuan kedua
puluh yang berbuah empati. Pertemuan kelima puluh yang berbuah rindu. Pertemuan
keseratus yang menyusupkan cinta dengan halus. Lalu pertemuan keseribu, ketika
cemburu hadir dengan memburu, membuatnya tetap membungkam rasa. Sebab kemungkinan
menangkan pencuri hatinya telah tertangkap lebih dulu pada seorang sabahat.
Saya tahu benar jenis perasaan itu.
Saya tahu benar, betapa sebenarnya
Pohon telah jatuh cinta pada daun sejak tatap pertama, sejak detak hadir
pertama, sejak nafas sintesis pertama, sejak daun tumbuh pertama. Pohon telah
jatuh cinta dalam rupa ‘ada’. Pohon dengan kebaikannya mengantarkan mineral air
melalui akar untuk diberikan pada daun, koki terhebat yang pernah ia kenal. Pohon
dengan kokohnya menyediakan tempat bersandar untuk segala keluh kesah daun. Pohon
yang diam diam mencuri tatap disela ranting ranting untuk menyimpan senyum
daun. Dan sayangnya, Pohon tak pernah menyatakan betapa dia mencinta sejak
pertama hingga anginpun menyapa daun. Mengajaknya terbang. Bukan, bukan untuk
meninggalkan Pohon, namun untuk sebuah masa depan. Dan daun, sama seperti yang
lain. Ia hanya membutuhkan kepastian perasaan, pengakuan jalinan tak sekedar
persahabatan.
Dan tak perlu menyalahkan daun,
angin, atau pohon.
Sebab,
Daun pergi dan Pohon tak pernah
mencegahnya beranjak.
Pohon diam menjaga hijabnya,
menunggu waktu tepat menyatakan rasa, meski berakhir terlambat.
Angin mendekat, dan menawarkan
kesungguhan rasa untuk sebuah ikhtiar janji masa depan.
Mereka hanya saling mencintai, panah
garis sisi segitiga yang tak searah.
^O^
Seusai kisahnya, saya merogoh hati. Hati
saya! Dan ada sayatan halus disana. Luka tanpa darah yang lagi lagi begitu
menyesakkan. Titik dua dan kurung tutup mewakili penguatan rasa. Bahwa ia pun
sedanng membenahi luka, merapikan rasa, merawat rekening emosinya. Bahwa ia,
seorang pemalu yang sedang jujur mengungkapkan luka. Dan ia tetap menjadi yang
terhebat. Berani jujur.
Lantas perasaan apa ini?! Khawatir?
Takut? Pada apa?! Kenapa?! Aaaaaaaaaaarrrgghhh! Baiklah, mungkin ini hanya
setitik rasa tidak nyaman, saat ia mengunjungi masa lalunya. Menuturkan detail
rasa dalam ingatnya. Detail sajak yang ia rawat sejak dulu.
“Bu, aku ingin menjadi pohon. Pohon
kaktus yang mampu tumbuh meski tanpa daun.” Dekapku erat. Meredam rasa tanpa
tuan yang nyata hadir.
Kaktus, memang jatuh hati pada daun.
Namun ia sangat sadar, daun bukanlah pasir yang mudah ia genggam dalam akarnya.
Daun, makhluk merdeka. Bebas menyapa siapa saja, tak hanya angin, musafir dan
rupa manusia ingin ia sapa. Dan kaktus, selalu menyediakan tempat untuk
kembali. Diantara duri kaktus, ia menyisakan ruang tanpa duri untuk kembali daun.
^O^
“Cinta, aku hanya ingin bersamamu,
menatap jejak kita tanpa perlu sesaatpun khawatir hatimu pergi meninggalkanku.”
Nyata Cinta, hadir dengan cemburu
yang menyergap tiba tiba.
0 comments:
Post a Comment