Rss Feed
  1. Dan Kaktus Cemburu

    Sunday 22 September 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Senin, 23 September 2013
    Cemburu?

                Dengan mata berkaca – kaca, Ibu menangkupkan tangannya ke wajahku, “Semua baik baik saja Nduk, baik baik saja.”
                Dan setitik rasa hangat mucul, berbaur dengan dinginnya hujan, tapiku tahu hangat itu nyata. Menggunung di pelupuk mata lalu berlahan meleleh pelan di pipi.
                “Kenapa aku malah jatuh hati....pada dia yang enggan mengerti ?”
                “Kenapa hatiku harus tercuri bahkan sebelum Permadi melesatkan tatap panahnya pada Srikandi?”
                Teriring derai hujan di luar, saya menyusuri ruang memori beberapa waktu lalu. Saat dimana tanpa sadar ada perasaan tanpa tuan.
    ^O^
                Lebih dari sekedar akibat dari hukum kebiasaan, kami mulai berinteraksi, bisa dikatakan intens. Saling menanyakan kabar hari juga kabar fikir. Tak sebatas satu pihak, namun dua pihak. Tapi satu hal yang terlupa, ketika nyata ada ruang tersisa untuk masa lalunya. Yah, semua makhluk pasti memiliki masa lalu. Ayampun memiliki masa lalu sebagai telur. Dan dia memiliki masa lalu sebagai pecinta diam, seseorang yang menyadari hatinya tercuri namun tak pernah berani mengakui atau berusaha menangkap pencuri. Dia hanya berdiri di titik teraman menatap, menyatakan dan menyediakan diri sebagai sahabat.
                Dan perempuan menjadi makhluk paling pandai untuk berharap hanya karena kata dekat, dan parahnya harap itu dititipkan tak tahu diri kepada sesama manusia. Lupa atau enggan ingat bahwa berharap pada selalin Tuhan, sering berbuah duka. Dan saya masuk dalam kategori perempuan itu.
                Di antara harap harap yang dititipkan di sela rapalan usai sujud, berkali aku mengaminkan doa untuknya. Di antara kabar kabar yang tersebar, dia menuturkan kebenaran. Kebenaran masa lalunya. Bahwa ia dekat bahkan tak berjarak dengan pencuri hatinya, sementara tanpa tau diri ia mencuri hatiku.
                Dia menuturkan pertemuan pertama yang berbuah kagum. Pertemuan kesepuluh yang berbuah simpati. Pertemuan kedua puluh yang berbuah empati. Pertemuan kelima puluh yang berbuah rindu. Pertemuan keseratus yang menyusupkan cinta dengan halus. Lalu pertemuan keseribu, ketika cemburu hadir dengan memburu, membuatnya tetap membungkam rasa. Sebab kemungkinan menangkan pencuri hatinya telah tertangkap lebih dulu pada seorang sabahat.
                Saya tahu benar jenis perasaan itu.
                Saya tahu benar, betapa sebenarnya Pohon telah jatuh cinta pada daun sejak tatap pertama, sejak detak hadir pertama, sejak nafas sintesis pertama, sejak daun tumbuh pertama. Pohon telah jatuh cinta dalam rupa ‘ada’. Pohon dengan kebaikannya mengantarkan mineral air melalui akar untuk diberikan pada daun, koki terhebat yang pernah ia kenal. Pohon dengan kokohnya menyediakan tempat bersandar untuk segala keluh kesah daun. Pohon yang diam diam mencuri tatap disela ranting ranting untuk menyimpan senyum daun. Dan sayangnya, Pohon tak pernah menyatakan betapa dia mencinta sejak pertama hingga anginpun menyapa daun. Mengajaknya terbang. Bukan, bukan untuk meninggalkan Pohon, namun untuk sebuah masa depan. Dan daun, sama seperti yang lain. Ia hanya membutuhkan kepastian perasaan, pengakuan jalinan tak sekedar persahabatan.
                Dan tak perlu menyalahkan daun, angin, atau pohon.
                Sebab,
                Daun pergi dan Pohon tak pernah mencegahnya beranjak.
                Pohon diam menjaga hijabnya, menunggu waktu tepat menyatakan rasa, meski berakhir terlambat.
                Angin mendekat, dan menawarkan kesungguhan rasa untuk sebuah ikhtiar janji masa depan.
                Mereka hanya saling mencintai, panah garis sisi segitiga yang tak searah.
    ^O^
                Seusai kisahnya, saya merogoh hati. Hati saya! Dan ada sayatan halus disana. Luka tanpa darah yang lagi lagi begitu menyesakkan. Titik dua dan kurung tutup mewakili penguatan rasa. Bahwa ia pun sedanng membenahi luka, merapikan rasa, merawat rekening emosinya. Bahwa ia, seorang pemalu yang sedang jujur mengungkapkan luka. Dan ia tetap menjadi yang terhebat. Berani jujur.
                Lantas perasaan apa ini?! Khawatir? Takut? Pada apa?! Kenapa?! Aaaaaaaaaaarrrgghhh! Baiklah, mungkin ini hanya setitik rasa tidak nyaman, saat ia mengunjungi masa lalunya. Menuturkan detail rasa dalam ingatnya. Detail sajak yang ia rawat sejak dulu.
                “Bu, aku ingin menjadi pohon. Pohon kaktus yang mampu tumbuh meski tanpa daun.” Dekapku erat. Meredam rasa tanpa tuan yang nyata hadir.
                Kaktus, memang jatuh hati pada daun. Namun ia sangat sadar, daun bukanlah pasir yang mudah ia genggam dalam akarnya. Daun, makhluk merdeka. Bebas menyapa siapa saja, tak hanya angin, musafir dan rupa manusia ingin ia sapa. Dan kaktus, selalu menyediakan tempat untuk kembali. Diantara duri kaktus, ia menyisakan ruang tanpa duri untuk kembali daun.
    ^O^
                “Cinta, aku hanya ingin bersamamu, menatap jejak kita tanpa perlu sesaatpun khawatir hatimu pergi meninggalkanku.”
                Nyata Cinta, hadir dengan cemburu yang menyergap tiba tiba.
     

  2. 0 comments: