Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa,
17 September 2013
Dan apa yang lebih menyedihkan
ketika kehadiran kita tak teringinkan. Sebuah ada yang tak teranggap, serupa
ada namun ditiadakan. Pembunuhan karakter? Mungkin. Dan hari ini, lagi lagi
perbedaan persepsi resmi mengurai emosi.
Ingat kisah tentang arus interaksi
sebab kepentingan semata yang beberapa hari lalu saya posting? :”) tak jauh
beda dengan kisah tersebut. Dimana pembagian kelompok belajar telah resmi masuk
list momok yang mengerikan setelah Dosen Bermata Sebelah (Julukan untuk dosen
yang memberikan nilai bagus pada mereka yang cantik). Ya, masih membahas para
kaum pemilik garis interaksi terminim.
Seorang memberikan komando didepan,
menawarkan alternatife pembentukan kelompok belajar.
“ Di pilih sendiri atau diacak?”
tawarnya lantang.
“Pilih sendiri sajaa!” seru beberapa
kelompok.
“Yah, alamat gag bakal dapet
kelompok nih!” lirih seorang bocah di dekat saya.
“Eh nanti kalau kamu enggak ada
kelompok bareng aku yaa, aku juga bingung ini!” seloroh yang lain memelas.
Haha ijinkan saya tertawa dulu. :D
:D ini adegan lucu pemirsa. :D Dimana? Cari saja sendiri :”)
Saya sendiri bukan tipikal manusia
yang sangat mempermasalahkan siapa rekan saya, bagi saya untuk membaur tak
perlu pilih pilih (beda dengan membaur yang harus selektif memilah). Bagi saya,
siapapun rekan kelompok saya, poinnya satu. Bisa diajak kerjasama untuk
memudahkan koordinasi pembagian tugas kelompok. Selebihnya, itu bonus. :”) Tak
harus yang bergaya hidup mewah. Tak perlu yang berotak cerdas. Tak butuh yang
lincah berorasi. Hanya yang mampu untuk saling berkoordinasi. :”)
“Pertimbangannya, kalau kelompoknya
milih sendiri koordinasinya lebih gampang, kalau dipilih secara acak ya jadi
sama aja.” Jelas si empunya hajat di depan.
Hmmm mudah tidaknya untuk
mengkoordinasi saya kira bukan masalah anggota kelompoknya, namun lebih pada
keinginan untuk saling berinteraksi guna kelancaran koordinasi. Di pilih secara
acak, sebenarnya tak apa, setidaknya campur tangan sang Maha Tunggal jelas
terlihat.
Dan klimaksnya. Ketika beberapa
insan telah mendapatkan anggota kelompok sesuai yang dia inginkan, dan beberapa
manusia masih galau dengan nasib kelompoknya, disanalah ketidakadilan (seolah
olah) terjadi.
Yang sudah mendapatkan kelompok
sesuai keinginannya dengan mantap mulai membagi tugas. Percaya bahwa ini akan
sempurna. Satu kubu penuh insan pandai orasi, insan insan penegak pendapat
pribadi secara teori. Satu kubu penuh manusia satu misi, sepemahan juga
sepandangan. Sempurnalah untuk mempertahankan materi bersama.
Yang masih galau dengan kelompoknya.
Bocah bocah yang merasa kurang beruntung sebab IP nanggung. Menjadi kaum margin
di kelas sebab tak terlalu aktif. Mengecap diri manusia bodoh -_- (bahkan satu
satunya hal yang saya tahu, ya ketidaktahuan saya ini). merasa tersingkir dan
terabaikan sebab tak ada kaum penuh orasi meminta mereka jadi kelompoknya.
“Sebenernya ya, kayaknya enggak
perlu deh ngerasa enggak diinginkan atau ngerasa enggak punya kelompok. Toh yang
merasa demikian enggak Cuma seorang gitu lo, mbok ini yang merasa enggak
diinginkan dan enggak diharapkan mengelompok saja. Bareng bareng membunuh
persepsi salah mereka. Bahwa kalian juga bisa. Kan juga kalian malah bisa
belajar buat tidak bergantung pada mereka yang kalian anggap cerdas, kalian
juga jadi bisa melatih kemampuan speaking kalian to. Ayo lah, come on. Kita move
on. :”) “ rayu saya pada mereka.
“Ini bukan masalah itu Ris. Kita bukannya
enggak mau melatih bicara dan kelompokan sesama, tapi ini masalahnya buat
nilai. Ini buat nilai. Aku enggak mau nilainya njeblok, apalagi kita sudah
semester lima.”
#tepuk jidat. :”D Duh Gusti, rasanya
saya ingin memeluk mereka. Menangisi di pundak mereka. Sungguh, betapa mirisnya
persepsi tentang belajar. Tragis nian pemaknaan dalam proses pembelajaran. Lupakan
bagaimana Amir Khan menuturkan, betapa belajar tak soal ijazan ataupun nilai. Namun
bagaimana tetap bermanfaat untuk umat dengan ilmu yang didapat. Kelak, dalam
masyarakatpun. Mereka tak akan bertanya tentang IP, tentang nilai, mereka hanya
meminta aplikasi atas apa yang telah dipelajari. Mencicipi buah ilmu dari
mereka yang memanennya di bangku pendidikan formal.
Aaaaaaaaaaaaarrgggggh! Saya ingin
teriak. Sedahsyat inikah efek samping dari kalimat, “Keaktifan kalian dikelas,
kemampuan kelompok dalam mempresentasikan masalah, juga tugas tugas individu
yang dikumpul tepat waktu, akan menjadi pertimbangan dalam penilaian.”
Ya Rabbi, yang Maha Besar dalam
segala kuasa.Nya, bantu kami meluruskan niat. Bantu kami untuk tetap meniatkan
segalanya sebab Engkau semata. Niatkan kami agar tak mengharap balasan apapun
selain dari Engkau. :”)
Itulah, mengapa menjadi guru PAUD
itu menyenangkan. Setidaknya disana tidak akan ada kalimat perusak niat (baiklah,
niat memang perkara manusia dengan Tuhannya, namun bukankah tindak adalah
cerminan niat ya? ) seperti di atas. Pengontaminasi keikhlasan mencari ilmu
sehingga menjadi pencari nilai. -_- Kelak, dalam kelas saya. Tak ada penilaian
yang terutarakan sehingga tak menimbulkan tekanan, mereka hanya tersiratkan
sehingga nampak menyenangkan. Mereka tetap bermain dengan lincahnya, mereka
tetap kreatif dengan potensinya. Dan mereka tetap belajar dalam permainannya. Point
penting bahwa mereka bahagia menjalaninya. :”)
Lantas, bagaimana kabar mereka yang
memilih kelompoknya sendiri? Jelas hal itu nampak sangat positif. Ketika nyata
kesamaan persepsi menentukan prestasi presentasi :”) ketikanya nyata koordinasi
lebih terkondisikan. Namun, sadarkah? Jika terus menerus hal tersebut terjadi. Ketika
selalu dan selalu bersama mereka yang sepaham dan searah, bagaimanakah ketika
kelak bertemu mereka yang berbeda pandang bahkan melawan arus? Tak terkejutkah?
Tak tersengat fakta kah?
Bahwa di masyarakat yang luas nanti.
Akan ada banyak persepsi, akan ada banyak kacamata, akan ada banyak pandang
yang sering tak sepaham. Jika tidak dilatih untuk menerima perbedaan juga
menyelaraskan pandang tanpa perlu saling sikut pandang, ya penjajahan jadinya. Adu
domba. Pecah belah. Kembalilah masa penjajahan. -_-
Jujur, saya pribadi lebih suka di
pilih secara acak. Bisa dengan berhitung sesuai jumlah kelompok yang
diinginkan, di pilih dari absen, di kocok, juga cara cara acak lainnya. Bukan
semata sebab campur tangan Tuhan begitu kasat mata (Bahkan Tuhan tak pernah
absen membersamai hamba.Nya) namun dengan adanya insan insan yang berbeda
setiap kelompok, dengan adanya pergantian kelompok maka kita dapat saling
mengenal satu sama lain dengan berlahan. Rekan interaksinyapun tak hanya insan
insan itu saja. (seperti halnya proses pembauran di masyarakat dengan berbagai
latar belakang dan karakter individu). Dan bagi insan insan yang merasa margin,
ayolah kalian hanya perlu mulai berlatih :”) lebih dari biasanya :”)
Dan akhirnya, saya hendak bercerita tentang posisi menentukan prestasi....
0 comments:
Post a Comment