Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Wajah yang tersapu make-up dengan
dominasi warna peach itu tersenyum. Kepala tertutup kain kerudung warna putih
menambah kecantikan wajah yang bahagia itu, senada dengan kebaya panjang
bertabur kemilau zwarovski berwarna sama. Cermin seakan bertambah memantulkan
semua yang tergambar di hati si pemilik wajah. Pemilik wajah itu aku.
Hari ini akulah ratu. Aku si
pemenang hati seorang ksatria muda yang gagah berani. Setelah satu tahun,
berjuang bersama saling menjajaki. Satu tahun menghadapi kebersamaan dalam suka
dan duka mencari ujung cinta kami. Satu tahun saling mengenalkan keluarga dan
belajar saling memahami. Akhirnya lelaki dengan senyum memikat itu telah
meminangku menjadi istri, ratu di hatinya. Permintaan yang sempat menjadi
pergolakan di batinku.
^O^
“Bun, Rayhan melamar Nunik,” kataku
pada Bunda, setelah lelah berpikir.
Bola mata Bunda langsung membesar.
Ia langsung berhenti menyiapkan makan malam dan duduk di sampingku, menatapku
penuh harap. “Terus Nunik terima?”
Kugelengkan kepalaku. “Belum, Bunda.
Nunik minta waktu menjawabnya. Menurut Bunda bagaimana?”
Bundaku tersenyum. Senyum yang
selalu berhasil membuatku tenang. “Nunik putriku sayang, Bunda gak bisa ikut
campur soal perasaan Nunik. Bunda tahu Nunik dan Rayhan sudah lama saling
berkenalan dan berhubungan dekat kalau kalian tidak mau itu disebut sebagai
pacaran. Dulu Nunik menerima persahabatan itu pasti ada pertimbangan sendiri.
Tapi sayang, kalau Nunik bertanya apakah Bunda setuju. Bunda sangat setuju
karena Rayhan anak yang baik dan ibadahnya juga bagus. Dan kalau Nunik masih
ingat, dulu Ayah pernah memberi kita tausiyah kan? Kalau ada orang yang kita
ridhoi agama dan akhlaqnya (untuk meminang), maka terimalah pinangannya. Jika
tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi. Mudah-mudahan Nunik
mengerti maksud Bunda ya, nak.”
Bunda mengingatkan, Ayah menyetujui,
sementara Ibu Rayhan memelukku meminta agar aku mau menerima pinangan putranya.
Ibu Rayhanlah pertimbangan terakhirku untuk menerima Rayhan. Aku tak ingin
menyia-nyiakan anugerah Allah yang berlipat ganda untukku. Seorang suami dan
seorang ibu lain selain ibu kandungku. Dan akupun menjawab dengan anggukan
malu-malu di hadapan kedua keluarga besar kami, saat Rayhan benar-benar datang
bersama keluarga besarnya melamarku secara resmi. Gaung zikir berkumandang saat
itu, ditingkahi keharuan luar biasa. Rayhan sendiri tak yakin aku menerimanya,
karena itulah dia tak bisa menyembunyikan kegembiraan.
^O^
Sebulan kemudian, disinilah aku.
Duduk menatap cermin, menatap wajahku yang sedang merona bahagia. Sapuan perona
pipi semakin memperjelas hatiku yang sedang berdenting penuh cinta.
“Kakak cantik sekali,” suara bisikan
adikku Namira membuatku menoleh. Mata Namira berkaca-kaca.
Aku juga ingin menangis. Tapi Namira
buru-buru memintaku menahan haru agar tak merusak riasan wajah hasil karyanya.
Ya Tuhan, siapakah yang mampu menahannya?
Namira, adik perempuanku
satu-satunya. Dialah sahabat sejatiku. Kami tidur satu tempat tidur sejak
kecil, berbagi cerita, berbagi tawa. Sesekali kami berdebat, tak jarang malahan
bertengkar. Tapi selalu saja, kami berbaikan dengan cepat. Namira menjadi
tempatku mengadu, tempatku mencurahkan isi hatiku saat sedang kesal atau sedih.
Semalam, kami berpelukan sambil
menangis. Namira memohon agar aku mau sekali-sekali tetap datang saat ia
membutuhkanku. Ia bersedia tetap menjadi adik sekaligus sahabat yang akan
selalu memelukku saat aku sedang susah. Namira benar-benar membuatku merasa
berat meninggalkan rumah ini, meskipun bukan terpisah karena kematian.
“Nangis gak ngajak-ngajak,” suara
adikku yang lain, Nirwan terdengar di ambang pintu. Ia tersenyum sedih melihat
aku menggenggam tangan Namira dengan mata berkaca-kaca. Ia melangkah masuk,
menatapku lalu kembali berbisik sama seperti Namira. “Kakak cantik sekali.”
Dan kali ini airmataku pun jatuh.
Nirwan itu memang adikku, tapi dialah penjagaku. Meski masih muda, Nirwan
selalu melindungiku. Sejak kecil, ia selalu dengan berani menantang orang-orang
yang berani menyakitiku. Ketika besar, dia selalu bersedia mengantarku ke
manapun aku pergi. Bahkan dari Rayhan aku tahu, adikku pernah mendatanginya,
meminta agar tidak mempermainkan kakaknya, karena kalau tidak maka Rayhan harus
bersiap menghadapinya.
Teringat itu, aku benar-benar jadi
cengeng. “Maafin kakak ya kalau selama ini sering marahin kalian. Kalau kakak
gak ada di sini, tolong jaga Ayah dan Bunda.”
“Kakak ini ngomong apa sih? Kakak
kan cuma menikah. Kakak hanya berpindah tempat tinggal, hanya beda propinsi
saja. Kita masih bisa saling ketemuan. Jangan ngomong begitu ah!” sela Nirwan.
Aku tak bisa bicara. Aku hanya bisa
mengangguk. Nirwan benar, aku hanya pindah tempat tinggal karena semua yang aku
miliki masih ada. Tanggung jawabku masih ada untuk keluargaku, sebagai seorang
anak dan sebagai seorang kakak. Saat ini, aku sedang mengambil tanggung jawab
lain sebagai seorang istri.
Bunda masuk. “Aduh, kalian ini.
Pasti buat kak Nunik sedih ya. Tuh kan, makeupnya jadi berantakan!” Bunda
langsung mengambil tisu, menyapu wajahku lagi dibantu Namira. Tak lama, Ayahpun
datang. Bertanya kesiapan kami. Semua pun menganggukkan kepala.
Dibantu Bunda dan Namira, aku mulai
berdiri. Kami mengatur posisi. Ayah dan Bunda di samping kiri dan kananku
sementara adik-adikku berada di belakangku. Ayah berbisik padaku. “Kamu sangat
cantik, putriku. Tak ada yang sesempurna dirimu hari ini.”
Aku berusaha keras menahan tangis,
tangan Ayah dan Bunda menggenggam erat kedua tanganku di masing-masing sisi.
Aku merasa lengkap, merasa memiliki segalanya. Restu orangtua dan dukungan
saudara saudariku adalah kekuatanku, memulai langkah baru.
Langkahku pelan, namun pasti
memandang ke depan mencari sosok Rayhan. Dia di sana, berdiri di dekat meja
ijab kabul, tersenyum padaku. Senyum yang memberiku kepercayaan. Kepercayaan
terhadap dirinya agar mampu memimpinku.
Saat duduk, Ayah meminta waktu untuk
sedikit berbicara pada Rayhan. Di tengah orang banyak, Ayah mulai berkata tanpa
teks pada calon suamiku. “Rayhan, anakku. Saya sebagai Ayah Nunik memintamu
agar menjadi pemimpin yang baik untuk istrimu. Lanjutkan tugas saya mendidik
putri saya agar selalu berada di jalan yang benar. Kasihilah dia seakan-akan
dia adalah bagian dari dirimu sendiri… ” Ayah terdiam. Bibirnya tampak bergetar
sebentar. Matanya menatapku, berkaca-kaca. Lalu ia kembali melanjutkan dengan
suara lebih pelan. “Izinkanlah silahturahmi antara kami dengan Nunik agar tetap
terjaga dan… saya mohon, bahagiakanlah putri saya.” Dan aku melihat airmata
mengalir di pipi Ayah.
Rayhan nampak tak bisa menahan haru.
Ia bangkit dari kursinya, tidak seperti protokoler acara yang dibuat oleh
Wedding Organizer kami sebelumnya. Ia langsung mengatakan sesuatu pada Ayah,
entah apa karena aku hanya melihat Ayah juga langsung memeluknya dengan
mengangguk-angguk. Tapi aku tahu pasti, Ayah dan Rayhan saling mengucapkan
janji yang hanya mereka berdua yang tahu.
Dan aku berdoa, berbekal ridho
seluruh keluarga, aku melangkah bersama Rayhan. Melangkah dalam bahtera
pernikahan, berharap kebahagiaan dunia dan akhirat.
0 comments:
Post a Comment