Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Minggu,
09 Juni 2013
Keraton Solo |
Dalam peta atlas Indonesia kota ini
bukanlah daerah istimewa, karena memang bukan Yogyakarta ataupun Aceh. Seperti
vatikan yang mungil, diapun demikian. Sebuah kota ditengah desa. Karesidenan
Surakarta resmi mengandungnya, menamainya dengan kemandirian. Solo. Kota lembah
lautan hikmah untuk para penjelajah.
^O^
H – tujuh. Masih ada seminggu untuk
menambah bekal pertempuran nasional. Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri. Jalur jujur untuk mereka yang mujur. Salah satu universitas negeri pun
sudah aku niatkan untuk berguru. Berjarak tiga ratusan kilometer dari hangatnya
rumah. Solo, kota beruntung yang menjadi rantauanku kelak. Ku kukuhkan hati
untuk meyakinkah Tuhan agar mengabulkan rapalan usai sujudku itu. Menjanjikan
pada.Nya, bahwa kelak akan ada banyak hal Indah yang ku perbuat disana. Lebih
dari sekedar jatuh cinta pada sesama manusia, barangkali menjadi lebih
bermanfaat itu lebih bermakna. Akan ku buat malaikat kananku sibuk, dan biarlah
malaikat kiri berkipas kipas santai. Janji antara seorang hamba dan Tuhannya.
Terpatri, dan langit tak mungkin teringkari.
^O^
Saya pernah melihatnya disepotong
masa lalu. Dia hanya tergeletak di memori cadangan, yang tak sengaja tersimpan.
Sebuah pajangan tak berkesan mendalam namun tetap setia ditempatnya. Mungkin
berkali ia melihat tingkah saya, mengamatinya dari sisi tergelap sebuah ruang.
Hendak beranjak namun enggan terkena sinar bernama kesan. Begitu dia hingga
Tuhan mengutak atik takdirnya untuk kembali menyapaku dan memasuki ruang memori
terkini. Bukan sekedar masa lalu yang meminta diletakkan dimasa depan. Bukan,
karena dia bukan sampah yang minta diperhatikan. Dia adalah masa lalu yang
sebenarnya selalu terbawa dalam masa kini, dan baru terlihat sekarang. Itu
saja.
^O^
Memilih kota rantau berjarak ratusan
kilometer bukan tanpa resiko yang tak terfikirkan. Banyak pertimbangan Ayah
Bunda yang merestui pijakan mimpi ini. Satu yang mendapat garis bawah.
KEMANDIRIAN. Menciptakan jarak adalah salah satu cara meminimalisirkan tingkat
ketergantungan seseorang pada pihak
pihak terdekat. Keluarga dan kerabat. Solo masih asing bagi saya, dan sesuatu
yang asing akan selalu menjadi asing jika tidak pernah diakrabkan. Dua hari
sebelum kompetisi nasional tersebut, saya telah melangkah ke persinggahan mimpi
ini. Menuju kota Solo dengan kereta api kantong mahasiswa ‘Prameks’ dari
stasiun kota sebelah. Maklum saja, kebumen bukan kota yang besar meski
sejatinya berpenduduk dengan hati besar. J Dengan
kepercayaan diri tingkat regional, saya mulai menyapu pandang dalam gerbong.
Pandangpun berganti pada selembar kertas kecil merah jambu yang disebut karcis.
Ada keterangan asal dan tujuan, pemberangkatan dan tiba, juga keterangan tempat
duduk. Dan sangat jelas disana, dibawah tulisan 05.36 – 07.56 berderet kata
“TIDAK ADA TEMPAT DUDUK” sangat wajar jika semua kursi sudah terisi bahkan
jalan untuk lalu lalangpun tak ada.
“Baru ujian pertama.” Batinku
menguatkan. Perebutan kursi kereta api adalah sapaan hangat tentang sebuah
persaingan. Tentang sebuah hukum “siapa cepat dia dapat, kalau terlambat ya tak
dapat!” Namun, perang nasional yang akan saya hadapi adalah tentang sebuah
perjuangan meyakinkan Tuhan agar mau menyelaraskan antara usaha dan doa.
Tentang bagaimana kita meyakinkan Tuhan bahwa niatnya itu mulia, meski pada
akhirnya jika Tuhan belum menghendaki padahal usaha sudah tak pernah jera
sesungguhnya itulah tanda Tuhan jatuh cinta pada kita. Menginginkan kita agar
menerima cinta.Nya dengan sebuah kata ikhlas.
Dan harian yang Bunda selipkan tadi
pagi, kini berguna sebagai permadani. Makin cerdas saja bokong saya, dihadapkan
pada sebuah permadani ilmu yang terkini. Sial ! padahal mata saya yang haus
berita.
“Aww...!” seruku sambil mengelus
kepala, memastikannya tak ada luka disana. Memar nyatanya.
“Maaf mbak, maaf. Saya tidak
sengaja.” Ucap sebuah suara tanpa identitas dari arah kanan atas saya. Pemuda
dengan ransel tentara. Hijau lumut yang menyakiti kepala saya. “Maaf mbak, saya
tidak sengaja.” Katanya sambil menunduk memastikan saya tidak terluka,
menyadari barang bawaannya menyenggol tengkorak saya.
Memar yang cukup memsusingkan.
Bundaaa, saya butuh usapanmu. Dan entah malaikat mana yang membawakan tangan
bunda untuk mengelus memar itu. Mengempiskannya agar tak sepenuhnya bengkak.
Tunggu!! Saya menjalankan logika. Tidak mungkin bunda disini. Tidak mungkin,
dalam sekejap mata Tuhan mendatangkann Bunda. Ini bukan sinetron yang dengan
sengaja seorang Bunda yang khawatir pada putri kecilnya lantas mengikuti
kemanapun si putri kecil melangkah. Bersiap menjadi malaikat yang sedia setiap
saat. Bukan. Ini nyata. Lagipula, pintu kemana sajapun hanya milik Doraemon.
Akupun bukan Nobita yang selalu mendapat bantuan Doraemon tepat waktu. Tangan
siapa yang mengelusku?
0 comments:
Post a Comment