Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis,
12 September 2013
Cengkrama kita |
Ini tentang empat anak manusia yang
berteman sebab keadaan yang meminta mereka, bukan paksaan namun berusaha saling
mengikhlaskan, saling menerima.
Empat bangku terbelakang di kelas
sepanjang semester hingga tahun kedua masa perkuliahan telah setia menemani
kebersamaan mereka. Saksi resmi atas sebuah keakraban mahasiswi pemilik bagan
interaksi terminim. Bagan interaksi yang berkutat itu itu saja. Berputar
sempurna empat manusia itu saja, tak pernah lebih ataupun berkurang. Berbagai
tugas kelompok dihampir semua mata kuliah terjamah bersama. Hampir aneka
kuliner ternikmati berjamaah.
Empat hari dalam seminggu dengan
sukses merekatkan mereka. Tertawa bahagia dalam keterasingan kelas. Menangis
miris dalam balutan nyaris tersingkir. Dan layaknya kebersamaan kebersamaan
lainnya, kebersamaan yang membutakan. Menutup mata pada kelompok ektern. Bahwa
ternyata, mereka tak murni terasing. Bahwa mereka tak murni tersiakan. Bahwa
mereka tak selalu tak diinginkan. Terkadang hanya kurang saling menatap luar,
terkadang hanya kurang membuka diri terhadap hal baru. Terkadang hanya kurang
menjalin interaksi dengan yang lainnya. Hmm lena dalam sebuah kelompok hingga
lupa bahwa dunia tak selebar kelompok itu. Tak sebatas daun kelor yang sekali
langkah sudah. Tak seluas daun jati yang setapak saja cukup.
Dan ketika salah satu dari mereka
menyadari kebutaannya lantas mencoba membaur dengan yang lain, tawaran
konsekuensi itu datang. Tetap bersama kelompoknya, atau membaur dengan yang
lain? Menjadi sahabat atau penghianat?
Kemudian, palu pun terketuk. Membaur
dengan yang lain, memberi tiket mereka yang ditinggal untuk mencari tiket jalan
masing masing. Empat anak manusia itupun menaiki keretanya masing masing.
Beberapa teriring benci dan kesal sebab terkhianati sahabat juga takdir. Seolah
alam berkonspirasi membuatnya kembali terasing dan mengharuskannya mencari
kelompok yang menerimanya. Beberapa melenggang dalam senyum yang dipaksakan,
menyadari bahwa setiap insan berhak mengambil sikap. Bahwa membutuhkan
keikhlasan untuk membalut luka tanpa darah. Dan dia yang meninggalkan, yang
memilih membaur dengan yang lainnya, tetap diam ditempat. Menyaksikan seluruh
rekannya menapak jejak baru. Membasahi pipinya dengan mata air perpisahan.
Aarrrggggh, bahkan dalam perpisahan mereka, mereka masih menatap langit yang
sama! Lantas mengapa harus mengalir sederas ini, mengapa harus menyesakkan
begini, mengapa harus ada perasaan dibenci dan diasingkan dari rekan
seperjuangan?! :”)
Dan bangku belakang itu tetap diam
dalam pertengkaran batin masing masing insan disana. Tetap diam meski nyonya
penghuninya terkapar dalam kebimbangan. Baiklah, mungkin agak berlebihan.
Mereka tetap bertemu, bertatap, bercengkrama, juga berbincang namun kini dengan
kacamata yang berbeda. Rasa yang tak lagi serupa dulu.
Forgive me :") |
“ Itulah hidup nak, :”) Sering kali
niat baik yang mengalir tak terapresiasi dengan hal sepadan. Sering kali niat
baik malah berbuah luka. Dan pada akhirnya kamu hanya mampu mendoakan ketika
niat baik itu terlalu dipandang buruk. :”) mendoakan agar mereka mampu menatap
dengan kacamata yang sama. :”)”
“Maafin ya ..” lirih salah satu dari
mereka.
Tak ada jawaban. Hanya tatap sendu
juga tepukan pundak, mewakili kata “tak apa” yang tanpa suara.
Maaf. Bukan karena merasa bersalah
sebab tindak yang terlaksana, namun maaf sebab luka telah tergores.
me and Rida |
Ekspresi kita |
0 comments:
Post a Comment