Rss Feed
  1. Klaten Bersinar, si Negeri Cahaya

    Saturday 8 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



                Jumat, 10 Januari 2014
                Selamat Datang di Negeri Cahaya :D sebuah kota yang memanjang dari arah Solo hingga Yogya, dengan ribuan lampu jalan terpampang menjadi penerang kala malam, jadilah ku sematkan nama negeri cahaya padanya. Dan empat hari kedepan saya berkesempatan menikmati sebagian atmosfer disana. Berbekal kePDan tingkat akut, juga kebaikhatian sebuah keluarga menampung ke-curious-an saya, masa liburan dibuka dengan sangat manis.
                “Kak tahu ga kenapa Klaten itu Bersinar?” godaku pada seorang rekan kelahiran Klaten.
                “Enggak tau Ris, bukan pengamat sejarah Klaten aku!” sahutnya dengan masih fokus pada layar andronya.
                “Ihh tebak dong Kak!” paksaku gemas.
                “Ngko teko wae neng Ibukku nag wes tekan omah!”
                “Hlaa emoh og, aku teko.e neng kowe og!”
                “Aku enggak mudheng Risaaa!”
                “Klaten bersinar itu karena ada kamu, coba kalo kamu di Solo pasti Solo jadi Berseri! Hahaha” selorohku tanpa dosa.
                “Haiissh kowe ig!”
                “Hehhe rumahmu ini masih jauh kak? Aku lupa sih dulu :D hla wong blasuk sik ndek mben ki.”
                “Cedhak kok, bentar lagi juga sampe!”
                Disambut adzan magrib waktu setempat kami sampai di rumah rekan saya yang kece ini, :D Hallo Kak Rida :*
    Ini kunjungan kedua saya, setelah pertama hanya menghabiskan sesiang kini akan ada empat kali saya siang di sini. Rumah dengan halaman penuh pepohonan (dari Mangga, alpukat, hingga semak belukar juga nanas dan pohon pisang) berpenghuni lima orang. Ada kak Rida (rekan seangkatan dan sekelas saya di masa kuliah ini), Mas Ada (Sulung, dan terpaut satu tahun diatas saya), juga Dek Adi (Bungsu yang masih duduk di kelas enam SD), dan sejoli yang masih saja sering bermesraan (Ibu Bapaknya mereka yang sering masak bersama), empat hari kedepan ditambah saya deh ehehe.
                Setelah bersalaman dan ngobrol ngobrol ria, saya sempat dibully juga ahaha alasan tak logis saya untuk menginap. :D berdasarkan pengalaman lalu, dimana saya sangat terbantu oleh kecerdasan orang tua kak Rida dalam hal masak memasak, saya jadi ingin belajar dari mereka. Sayangnya mengingat mereka yang masak hanya sesekali saja, kecil kemungkinan saya sempat belajar masak pada mereka. Kesibukan mereka menjadi guru benar benar menyita waktu untuk sekedar membuat sarapan atau makan siang, berangkat pagi lalu siang pulang dan kembali untuk mengajar bimbel sampai sore, kemudian sore istirahat sebentar dilanjutkan ke sawah. Baru malam kami bercengkrama lagi. Begitu kira kira siklus harian disana.
                Malam pertama disana saya tidak kemana mana, meneruskan membuat surat motifasi guna pengajuan beasiswa (doakan semoga lolos yaa, aamiiin ^_^) sembari mengakrabkan dengan yang lain. Melalui moment itu saya tahu, Bapaknya kak Rida cukup humoris dan Ibunya cukup manis, duuuh sweet deh pokoknya :D
                Sayangnya ada satu yang mengganjal dihati saya sedari tadi -,- ini sinyal provider saya pada kemana? -,- Ada satu pesan yang harus saya kirim, tapi sinyal tak kunjung menghampiri. Hmm
                “Barrakallah fi umrik Bolang, semoga kamu senantiasa diberikan yang terbaik dimanapun kamu sekarang. Aamiin.” Lirihku sebelum tidur.
                Sabtu, 11 Januari 2014
                Semangat Pagi :D
                Seusai menyapu halaman, mandi, dan sarapan (haha berasa udah dirumah sendiri aja), Kak Rida mengajak saya berkunjung ke tempat nenek-kakeknya di desa seberang. Selain minta diajarin masak, saya juga memaksa kak Rida agar mengajak saya ke sawah haha duh sok kota banget -,- (bukan sok kota sih, hidup di Solo yang kian terisi gedung gedung tinggi rasanya mata saya kurang asri, lagian sawah selalu mengingatkan saya pada rumah, hmm)
                Dengan bersepeda motor lima belas menit kami sampai di rumah nenek-kakek, langsung menuju alas (semacam hutan yang telah dibuka untuk ladang para petani). Menurut informasi yang kami peroleh dari Nenek, ini sedang musim panen jadi Kakek sedang di alas memetik hasil keringatnya selama ini. Dan tiba tiba saya memiliki sayap malaikat, sebuah kalimat penawaran meluncur dari bibir saya.
                “Bantuin metik panenan yuk Kak!” seruku dengan alis naik turun, penuh semangat.
                “Hayahhh ayo deh!” sahut kak Rida pasrah.
                Taraaaa!
    membantu kakek memancen cabai
                Disambut jajaran jagung dan terong di kiri kanan jalan, kami berkali kali menunduk teriring senyum (Oh Indonesia saya mencintai keramahanmu). Lima belas menit kami berjalan kaki, berbelok, juga menanjak tiba juga di alas kakeknya kak Rida. Matahari pukul sembilan, sudah mulai terik, kedatangan kami tepat saat Kakek dan para partner panennya (sebagian petani yang tidak memiliki lahan menyewakan tenaga untuk membantu memanen petani lain yang berlahan luas). Setelah berbincang ngalor ngidul dengan Kakek (tiba tiba rindu sangat sama Kaki :”( ) kami dipersilahkan untuk membantu memetik panenan (ada terong, cabai, juga kacang panjang). Sebab tanaman kacang  panjang yang hanya sepetak, kami mengawali memetik kacang panjang yang siap panen, setelah itu merambah ke cecabaian yang sudah merah merona melambai minta dipetik haha. Dua jam memanen saya sudah banjir keringat, dan sepertinya ada kulit yang kian legam haha kamipun beristirahat seirama adzan dzuhur dan dua ember penuh cabai hasil petikan kami.

    Partner Panennya Kakek
    Gubuk Peneduh di tengah alas
    Memetik kacang panjang
                Dinaungi sebuah gubuk kecil, kami beristirahat. Lanjut berbincang, kali ini saya bertanya tentang pemasaran juga pengolahan lahan disana. Umur kakek kak Rida dengan Kaki mungkin tak jauh berbeda, yang membuatnya jadi berbeda hanya tingkat kegesitan mereka. Saya ingat benar dulu, sewaktu masih sekolah dasar, setiap pukul lima sore selalu siap menunggu nini pulang dari pasar, diajak kaki ke sawah dan pulang dengan celana penuh lumpur. Oh my nice childhood. Abaikan! Kembali pada pemasaran dan pengolahan lahan. Untuk pemasarannya, para petani ini (yang notabene sudah sepuh) sudah dibantu oleh seorang pembeli borongan dari Kartasura, dengan istilah ditebas pembeli borongan itu membawa hasil hasil panen warga desa setempat ke pasar pasar putaran Solo dan sekitarnya. Untuk system bagi hasilnya saya tidak bertanya (sensi mbak bro), tapi saya percaya ada keberkahan tersendiri disana. Sebagian dari petani ada sih yang menjualnya sendiri ke pasar pasar, kebanyakan dari mereka itu para petani yang tergolong muda (usia 45 - 55). Dengan tujuan memperoleh untung lebih banyak dan berkeliling kota juga (dulu Kakeknya Kak Rida juga gitu, gowes sampai Karanganyar buat menjual hasil panennya tapi berhubung raga kian renta dan minim tenaga jadilah dia percayakan pada pembeli borongan itu saja, lagian kata beliau jalan jalan sudah makin ramai, banyak mobil dan motor, kalau bersepeda sudah tidak seaman dulu)
    cabai siap petik
                Bersama kisah Kakeknya Kak Rida yang terus meluncur, imaji saya membangun kenangan Kaki tempo dulu. Saat kaki masih setia bersama gerobak sapinya. Pagi pagi mengantar banyak petani ke pasar pasar tradisional, tidak selalu dibayar dengan uang. Sering malah berupa hasil panennya (dari sayuran hingga beras) juga hasil ternak, jikapun mendapat uang biasanya sekali dibayar hanya cukup membeli gethuk (singkong dihaluskan) dua porsi. Berdasarkan cerita Ibu dan dipertegas pengakuan Kaki, ojek gerobak itu sangat terkenal di masanya, mungkin melebihi terkenalnya Damri atau Efisiensi sekarang :v untuk wilayah operasinyapun belum banyak batasan. Kaki bisa mengantar penumpang sampai ke Purworejo, Magelang, juga Cilacap waktu itu, tentu dengan catatan Sapi Gerobaknya dalam keadaan fit dan Kaki juga sehat. Hmm subhanallah perjuangan manusia tempo dulu. :”)

               
    kakek dan hasil panen pagi itu
    Pengolahan tanahpun bisa dikatakan cukup bijak, untuk menjaga unsur hara tanah tetap terjaga, dan kesuburan juga merata para petani ini juga memiliki siklus jenis tanaman. Jika saat ini lahan masih dipenuhi cabai, terong, dan kacang panjang, musim tanam berikutnya mereka menanam kacang hijau, jagung atau yang lainnya. Setidaknya sistem rotasi tanaman telah membuat para petani disana tidak kehilangan kesuburan tanah mereka, mendukung asap asap dapur mereka untuk tetap mengepul.
    terong
    kacang panjang
                Selepas adzan dzuhur kami berpamitan pulang dari alas,ke rumah Kakek dulu sekalian mendorong sepeda Kakek dengan keranjang penuh cabai dan terong. Sesampainya di rumah, Nenek ternyata sedang asik memilih dan memilah cabai kualitas bagus dan sedang hingga jelek. (kalau yang bagus untuk dijual, yang sedang biasanya untuk konsumsi pribadi atau diberikan pada sanak saudara, nah yang jelek biasanya dikeringkan lalu dibuat bibit. Tapi tidak semua bibit cabai diambil dari cabai yang jelek juga sebenarnya, kata Nini*nini saya penjual cabai soalnya hehe* dan ditegaskan Nenek Kak Rida).
                Kamipun resmi berpamitan setelah sebuah karung kecil berisi cabai, terong, dan kacang panjang nangkring di bagian depan motor kami. Setibanya di rumah kak Rida, isi karung dibagikan pada beberapa terdekat.


                Berhubung Ibu kak Rida ndak masak, maka saya diajak makan Sate Kupang. Sempat bertanyatanya itu sate apaan -,- ternyata Kupang itu nama tempat Jeng -,-. Sepuluh menit dari rumah, kami disambut oleh asap asap pekat dan aroma daging dibakar. Dan ini kejutan, untuk sebuah warung sate di pelosok kompleks perumahan kenapa yang antri beli banyak nian? -,- nyaris dua jam kami menunggu dilayani. Hmm untuk sebuah sate kambing, ini terlalu ramai menurut saya -,- *kalau sate ayam saya paham haha modus aja saya enggak suka sate kambing*

    Proses Pembakaran Sate
                Di tempat saya juga ada sate, sebab saya tidak minat dengan sate kambing saya lebih respect dengan sate ayam ditempat saya. Kalau berkunjung ke Kebumen, belum afdol kalau belum nyoba sate Ambal. Haha seperti Sate Kupang, Ambal juga nama sebuah kecamatan di pesisir selatan bagian timur Kebumen. Ada satu warung sate terkenal yang sudah masuk list favorit saya, Warung Sate Ayam Pak Kasman. Entah sudah generasi keberapa yang mengelola warung sate tersebut, tapi soal rasa jangan nanya! Masih sama soalnya haha. Kan kalau inget gini jadi ngiler -,-
                Kembali ke Klaten.
                Menjelang magrib saya diajak ke pabrik seprai, selimut, dan sarung bantal dekat rumahnya kak Rida. Bersama Ayah dan Ibunya Kak Rida, kami berangkat dengan dua motor. Perjalanan lima belas menit mengantar saya pada sebuah rumah biasa dengan bagian samping dipenuhi ragam corak kain. Menumpuklan ragam kain katun disana.
                “Ris, kalau mau beli seprai atau selimut disini saja, nanti titip sama Cenul (panggilan Kak Rida kalau di rumah) enggak papa,” tawar Ibunya kak Rida pada saya.
                “Hehe enggeh Bu, kapan kapan insya Allah. Eh bu, ini bagus yaa, kalem gitu” Jawabku sembari memilihkan seprai.
                Dan nyaris satu jam kami memilih. Saya mulai bosan. Kak Rida yang bingung dengan motif angry bird atau hello kitty, Ibunya Kak Rida yang masih sibuk mencari bahan katun dan corak sesuai selera. Saya menghela nafas, mencari penghilang bosan, dan ternyata ada yang lebih parah. Haha Ayahnya kak Rida sampai menekuk wajah hahaha
                “Perempuan itu ribet ya Pak!” celetukku seolah menjadi laki laki.
                “Iya rempong haha kamu ndak ikut milih Ris?”
                “Ikut nuw tadi, membantu Ibu dan Kakak memilih. Haha”
                Kami pulang bersama redanya hujan, dan sekresek kain seprai dan segulung karpet beralfabet.
                Malam harinya kami isi dengan penyusunan rencana untuk hari minggunya, lalu dilanjutkan menonton k movie hahaha *duh* dan tidur tepat pada pukul sebelas, serasa hidup normal. :v
                Minggu, 12 Januari 2014
                Pagi sampai siang nothing spesial. :D biasa nyapu halaman, mandi, sarapan, cuci baju, terus hang out ke sawah bentar dilanjutkan ke Solo Baru buat cuci mata sore baru pulang. Dan penantian sayapun tiba, saat dimana saya diajak masak sama Ayahnya kak Rida.
                Saya sedang menyapu halaman (pagi dan sore jatah halaman harus disapu, soalnya Pohon Mangganya pada enggak sopan, ngejatuhin daun kering disaat sudah bersih :3 ),
                dan tiba tiba Ayah Kak Rida berkata, “Ris, nanti malem bantuin bapak masak yaa.”
                Ulallaa, gue bahagia men! Haha “Sip Pak!” seruku girang
                “Mau masak apa Pak?” selidikku.
                “Bening Kelor, belum pernah to mesti.”
                “Bening Kelor? Daun Kelor di sayur bening gitukah?”
                “Enggeh cah ayuu.”
                “O,,,” saya ber.oh ria sambil membayangkan daun kelor.
                Selepas adzan magrib dan menggugurkan kewajiban shalat, saya sudah disibukkan di dapur. Kami (saya dan Ayahnya Kak Rida) membagi tugas, tugas awal saya hanya melucuti daun daun kelor yang super imut itu dari rantingnya, lalu mencucinya. Untuk bumbu sayur beningnya sudah dipegang koki utama. Selanjutnya lauk, kami hanya menggoreng telur, lalu membuatkan sambal krosak ala Klaten, bawang merah, bawang putih, cabai digoreng hingga layu. Lalu ditumbuk bersama garam dan dibubuhi gula pasir secukupnya. Hmm kalau di Kebumen (dirumah saya, maksudnya), sambal krosak itu peleburan antara cabai, bawang putih tanpa dimasak dan garam, udah. Iya udah gitu aja.
                “Dan jreeeng jreeeng! Makanan malam siap ....” seruku membawa semangkuk sambel ulekan saya ke ruang depan. Menggelar karpet tadi sore, melingkar, duduk bersama. Hhwaah makan malam super hangat, Ayah, Ibu, Kak Rida, Dek Adi semua tampak lahap makannya, mas Ada? Mas Ada makan dikamar :3 tau ah, dia memang seperti itu, kata Kak Rida haha
                So, itu malam terakhir saya menginap disana.
                Senin siang saya pulang ke Solo, bersiap mudik ke Kebumen Beriman :*
                Terima kasih buat Keluarganya Kak Rida atas kesediaannya menampung gadis manis ini. Peluk jauhh ^^ Semoga ukhuwahnya full barokah aamiiin :”)

    Foto: Dokumen Pribadi
     

  2. 0 comments: