Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Pengolahan tanahpun bisa dikatakan
cukup bijak, untuk menjaga unsur hara tanah tetap terjaga, dan kesuburan juga
merata para petani ini juga memiliki siklus jenis tanaman. Jika saat ini lahan
masih dipenuhi cabai, terong, dan kacang panjang, musim tanam berikutnya mereka
menanam kacang hijau, jagung atau yang lainnya. Setidaknya sistem rotasi
tanaman telah membuat para petani disana tidak kehilangan kesuburan tanah
mereka, mendukung asap asap dapur mereka untuk tetap mengepul.
Jumat, 10 Januari 2014
Selamat Datang di Negeri Cahaya :D
sebuah kota yang memanjang dari arah Solo hingga Yogya, dengan ribuan lampu
jalan terpampang menjadi penerang kala malam, jadilah ku sematkan nama negeri
cahaya padanya. Dan empat hari kedepan saya berkesempatan menikmati sebagian
atmosfer disana. Berbekal kePDan tingkat akut, juga kebaikhatian sebuah
keluarga menampung ke-curious-an saya, masa liburan dibuka dengan sangat manis.
“Kak tahu ga kenapa Klaten itu
Bersinar?” godaku pada seorang rekan kelahiran Klaten.
“Enggak tau Ris, bukan pengamat
sejarah Klaten aku!” sahutnya dengan masih fokus pada layar andronya.
“Ihh tebak dong Kak!” paksaku gemas.
“Ngko teko wae neng Ibukku nag wes
tekan omah!”
“Hlaa emoh og, aku teko.e neng kowe
og!”
“Aku enggak mudheng Risaaa!”
“Klaten bersinar itu karena ada
kamu, coba kalo kamu di Solo pasti Solo jadi Berseri! Hahaha” selorohku tanpa
dosa.
“Haiissh kowe ig!”
“Hehhe rumahmu ini masih jauh kak?
Aku lupa sih dulu :D hla wong blasuk sik ndek mben ki.”
“Cedhak kok, bentar lagi juga
sampe!”
Disambut adzan magrib waktu setempat
kami sampai di rumah rekan saya yang kece ini, :D Hallo Kak Rida :*
Ini
kunjungan kedua saya, setelah pertama hanya menghabiskan sesiang kini akan ada
empat kali saya siang di sini. Rumah dengan halaman penuh pepohonan (dari
Mangga, alpukat, hingga semak belukar juga nanas dan pohon pisang) berpenghuni
lima orang. Ada kak Rida (rekan seangkatan dan sekelas saya di masa kuliah
ini), Mas Ada (Sulung, dan terpaut satu tahun diatas saya), juga Dek Adi
(Bungsu yang masih duduk di kelas enam SD), dan sejoli yang masih saja sering
bermesraan (Ibu Bapaknya mereka yang sering masak bersama), empat hari kedepan
ditambah saya deh ehehe.
Setelah bersalaman dan ngobrol
ngobrol ria, saya sempat dibully juga ahaha alasan tak logis saya untuk
menginap. :D berdasarkan pengalaman lalu, dimana saya sangat terbantu oleh
kecerdasan orang tua kak Rida dalam hal masak memasak, saya jadi ingin belajar
dari mereka. Sayangnya mengingat mereka yang masak hanya sesekali saja, kecil
kemungkinan saya sempat belajar masak pada mereka. Kesibukan mereka menjadi
guru benar benar menyita waktu untuk sekedar membuat sarapan atau makan siang,
berangkat pagi lalu siang pulang dan kembali untuk mengajar bimbel sampai sore,
kemudian sore istirahat sebentar dilanjutkan ke sawah. Baru malam kami
bercengkrama lagi. Begitu kira kira siklus harian disana.
Malam pertama disana saya tidak
kemana mana, meneruskan membuat surat motifasi guna pengajuan beasiswa (doakan
semoga lolos yaa, aamiiin ^_^) sembari mengakrabkan dengan yang lain. Melalui
moment itu saya tahu, Bapaknya kak Rida cukup humoris dan Ibunya cukup manis,
duuuh sweet deh pokoknya :D
Sayangnya ada satu yang mengganjal
dihati saya sedari tadi -,- ini sinyal provider saya pada kemana? -,- Ada satu
pesan yang harus saya kirim, tapi sinyal tak kunjung menghampiri. Hmm
“Barrakallah fi umrik Bolang, semoga
kamu senantiasa diberikan yang terbaik dimanapun kamu sekarang. Aamiin.”
Lirihku sebelum tidur.
Sabtu, 11 Januari 2014
Semangat Pagi :D
Seusai menyapu halaman, mandi, dan
sarapan (haha berasa udah dirumah sendiri aja), Kak Rida mengajak saya
berkunjung ke tempat nenek-kakeknya di desa seberang. Selain minta diajarin
masak, saya juga memaksa kak Rida agar mengajak saya ke sawah haha duh sok kota
banget -,- (bukan sok kota sih, hidup di Solo yang kian terisi gedung gedung
tinggi rasanya mata saya kurang asri, lagian sawah selalu mengingatkan saya
pada rumah, hmm)
Dengan bersepeda motor lima belas
menit kami sampai di rumah nenek-kakek, langsung menuju alas (semacam hutan yang telah dibuka untuk ladang para petani).
Menurut informasi yang kami peroleh dari Nenek, ini sedang musim panen jadi
Kakek sedang di alas memetik hasil keringatnya selama ini. Dan tiba tiba saya
memiliki sayap malaikat, sebuah kalimat penawaran meluncur dari bibir saya.
“Bantuin metik panenan yuk Kak!”
seruku dengan alis naik turun, penuh semangat.
“Hayahhh ayo deh!” sahut kak Rida
pasrah.
Taraaaa!
membantu kakek memancen cabai |
Disambut jajaran jagung dan terong
di kiri kanan jalan, kami berkali kali menunduk teriring senyum (Oh Indonesia
saya mencintai keramahanmu). Lima belas menit kami berjalan kaki, berbelok,
juga menanjak tiba juga di alas kakeknya kak Rida. Matahari pukul sembilan,
sudah mulai terik, kedatangan kami tepat saat Kakek dan para partner panennya (sebagian petani yang
tidak memiliki lahan menyewakan tenaga untuk membantu memanen petani lain yang
berlahan luas). Setelah berbincang ngalor ngidul dengan Kakek (tiba tiba rindu
sangat sama Kaki :”( ) kami dipersilahkan untuk membantu memetik panenan (ada
terong, cabai, juga kacang panjang). Sebab tanaman kacang panjang yang hanya sepetak, kami mengawali
memetik kacang panjang yang siap panen, setelah itu merambah ke cecabaian yang
sudah merah merona melambai minta dipetik haha. Dua jam memanen saya sudah
banjir keringat, dan sepertinya ada kulit yang kian legam haha kamipun
beristirahat seirama adzan dzuhur dan dua ember penuh cabai hasil petikan kami.
Partner Panennya Kakek |
Gubuk Peneduh di tengah alas |
Memetik kacang panjang |
Dinaungi sebuah gubuk kecil, kami
beristirahat. Lanjut berbincang, kali ini saya bertanya tentang pemasaran juga
pengolahan lahan disana. Umur kakek kak Rida dengan Kaki mungkin tak jauh
berbeda, yang membuatnya jadi berbeda hanya tingkat kegesitan mereka. Saya
ingat benar dulu, sewaktu masih sekolah dasar, setiap pukul lima sore selalu
siap menunggu nini pulang dari pasar, diajak kaki ke sawah dan pulang dengan
celana penuh lumpur. Oh my nice childhood. Abaikan! Kembali pada pemasaran dan
pengolahan lahan. Untuk pemasarannya, para petani ini (yang notabene sudah
sepuh) sudah dibantu oleh seorang pembeli borongan dari Kartasura, dengan
istilah ditebas pembeli borongan itu
membawa hasil hasil panen warga desa setempat ke pasar pasar putaran Solo dan
sekitarnya. Untuk system bagi
hasilnya saya tidak bertanya (sensi mbak bro), tapi saya percaya ada keberkahan
tersendiri disana. Sebagian dari petani ada sih yang menjualnya sendiri ke
pasar pasar, kebanyakan dari mereka itu para petani yang tergolong muda (usia
45 - 55). Dengan tujuan memperoleh untung lebih banyak dan berkeliling kota
juga (dulu Kakeknya Kak Rida juga gitu, gowes sampai Karanganyar buat menjual
hasil panennya tapi berhubung raga kian renta dan minim tenaga jadilah dia
percayakan pada pembeli borongan itu saja, lagian kata beliau jalan jalan sudah
makin ramai, banyak mobil dan motor, kalau bersepeda sudah tidak seaman dulu)
cabai siap petik |
Bersama kisah Kakeknya Kak Rida yang
terus meluncur, imaji saya membangun kenangan Kaki tempo dulu. Saat kaki masih
setia bersama gerobak sapinya. Pagi pagi mengantar banyak petani ke pasar pasar
tradisional, tidak selalu dibayar dengan uang. Sering malah berupa hasil
panennya (dari sayuran hingga beras) juga hasil ternak, jikapun mendapat uang
biasanya sekali dibayar hanya cukup membeli gethuk (singkong dihaluskan) dua
porsi. Berdasarkan cerita Ibu dan dipertegas pengakuan Kaki, ojek gerobak itu
sangat terkenal di masanya, mungkin melebihi terkenalnya Damri atau Efisiensi
sekarang :v untuk wilayah operasinyapun belum banyak batasan. Kaki bisa
mengantar penumpang sampai ke Purworejo, Magelang, juga Cilacap waktu itu,
tentu dengan catatan Sapi Gerobaknya dalam keadaan fit dan Kaki juga sehat. Hmm
subhanallah perjuangan manusia tempo dulu. :”)
kakek dan hasil panen pagi itu |
terong |
kacang panjang |
Selepas adzan dzuhur kami berpamitan
pulang dari alas,ke rumah Kakek dulu sekalian mendorong sepeda Kakek dengan
keranjang penuh cabai dan terong. Sesampainya di rumah, Nenek ternyata sedang
asik memilih dan memilah cabai kualitas bagus dan sedang hingga jelek. (kalau
yang bagus untuk dijual, yang sedang biasanya untuk konsumsi pribadi atau
diberikan pada sanak saudara, nah yang jelek biasanya dikeringkan lalu dibuat
bibit. Tapi tidak semua bibit cabai diambil dari cabai yang jelek juga
sebenarnya, kata Nini*nini saya penjual cabai soalnya hehe* dan ditegaskan
Nenek Kak Rida).
Kamipun resmi berpamitan setelah
sebuah karung kecil berisi cabai, terong, dan kacang panjang nangkring di
bagian depan motor kami. Setibanya di rumah kak Rida, isi karung dibagikan pada
beberapa terdekat.
Berhubung Ibu kak Rida ndak masak,
maka saya diajak makan Sate Kupang. Sempat bertanyatanya itu sate apaan -,-
ternyata Kupang itu nama tempat Jeng -,-. Sepuluh menit dari rumah, kami
disambut oleh asap asap pekat dan aroma daging dibakar. Dan ini kejutan, untuk
sebuah warung sate di pelosok kompleks perumahan kenapa yang antri beli banyak
nian? -,- nyaris dua jam kami menunggu dilayani. Hmm untuk sebuah sate kambing,
ini terlalu ramai menurut saya -,- *kalau sate ayam saya paham haha modus aja
saya enggak suka sate kambing*
Proses Pembakaran Sate |
Di tempat saya juga ada sate, sebab
saya tidak minat dengan sate kambing saya lebih respect dengan sate ayam
ditempat saya. Kalau berkunjung ke Kebumen, belum afdol kalau belum nyoba sate
Ambal. Haha seperti Sate Kupang, Ambal juga nama sebuah kecamatan di pesisir
selatan bagian timur Kebumen. Ada satu warung sate terkenal yang sudah masuk
list favorit saya, Warung Sate Ayam Pak Kasman. Entah sudah generasi keberapa
yang mengelola warung sate tersebut, tapi soal rasa jangan nanya! Masih sama
soalnya haha. Kan kalau inget gini jadi ngiler -,-
Kembali ke Klaten.
Menjelang magrib saya diajak ke
pabrik seprai, selimut, dan sarung bantal dekat rumahnya kak Rida. Bersama Ayah
dan Ibunya Kak Rida, kami berangkat dengan dua motor. Perjalanan lima belas
menit mengantar saya pada sebuah rumah biasa dengan bagian samping dipenuhi
ragam corak kain. Menumpuklan ragam kain katun disana.
“Ris, kalau mau beli seprai atau
selimut disini saja, nanti titip sama Cenul (panggilan Kak Rida kalau di rumah)
enggak papa,” tawar Ibunya kak Rida pada saya.
“Hehe enggeh Bu, kapan kapan insya
Allah. Eh bu, ini bagus yaa, kalem gitu” Jawabku sembari memilihkan seprai.
Dan nyaris satu jam kami memilih. Saya
mulai bosan. Kak Rida yang bingung dengan motif angry bird atau hello kitty,
Ibunya Kak Rida yang masih sibuk mencari bahan katun dan corak sesuai selera. Saya
menghela nafas, mencari penghilang bosan, dan ternyata ada yang lebih parah. Haha
Ayahnya kak Rida sampai menekuk wajah hahaha
“Perempuan itu ribet ya Pak!”
celetukku seolah menjadi laki laki.
“Iya rempong haha kamu ndak ikut
milih Ris?”
“Ikut nuw tadi, membantu Ibu dan
Kakak memilih. Haha”
Kami pulang bersama redanya hujan,
dan sekresek kain seprai dan segulung karpet beralfabet.
Malam harinya kami isi dengan
penyusunan rencana untuk hari minggunya, lalu dilanjutkan menonton k movie
hahaha *duh* dan tidur tepat pada pukul sebelas, serasa hidup normal. :v
Minggu, 12 Januari 2014
Pagi sampai siang nothing spesial.
:D biasa nyapu halaman, mandi, sarapan, cuci baju, terus hang out ke sawah
bentar dilanjutkan ke Solo Baru buat cuci mata sore baru pulang. Dan penantian
sayapun tiba, saat dimana saya diajak masak sama Ayahnya kak Rida.
Saya sedang menyapu halaman (pagi
dan sore jatah halaman harus disapu, soalnya Pohon Mangganya pada enggak sopan,
ngejatuhin daun kering disaat sudah bersih :3 ),
dan tiba tiba Ayah Kak Rida berkata,
“Ris, nanti malem bantuin bapak masak yaa.”
Ulallaa, gue bahagia men! Haha “Sip
Pak!” seruku girang
“Mau masak apa Pak?” selidikku.
“Bening Kelor, belum pernah to
mesti.”
“Bening Kelor? Daun Kelor di sayur
bening gitukah?”
“Enggeh cah ayuu.”
“O,,,” saya ber.oh ria sambil
membayangkan daun kelor.
Selepas adzan magrib dan
menggugurkan kewajiban shalat, saya sudah disibukkan di dapur. Kami (saya dan
Ayahnya Kak Rida) membagi tugas, tugas awal saya hanya melucuti daun daun kelor
yang super imut itu dari rantingnya, lalu mencucinya. Untuk bumbu sayur
beningnya sudah dipegang koki utama. Selanjutnya lauk, kami hanya menggoreng
telur, lalu membuatkan sambal krosak ala Klaten, bawang merah, bawang putih,
cabai digoreng hingga layu. Lalu ditumbuk bersama garam dan dibubuhi gula pasir
secukupnya. Hmm kalau di Kebumen (dirumah saya, maksudnya), sambal krosak itu
peleburan antara cabai, bawang putih tanpa dimasak dan garam, udah. Iya udah
gitu aja.
“Dan jreeeng jreeeng! Makanan malam
siap ....” seruku membawa semangkuk sambel ulekan saya ke ruang depan. Menggelar
karpet tadi sore, melingkar, duduk bersama. Hhwaah makan malam super hangat,
Ayah, Ibu, Kak Rida, Dek Adi semua tampak lahap makannya, mas Ada? Mas Ada
makan dikamar :3 tau ah, dia memang seperti itu, kata Kak Rida haha
So, itu malam terakhir saya menginap
disana.
Senin siang saya pulang ke Solo,
bersiap mudik ke Kebumen Beriman :*
Terima kasih buat Keluarganya Kak
Rida atas kesediaannya menampung gadis manis ini. Peluk jauhh ^^ Semoga
ukhuwahnya full barokah aamiiin :”)
Foto: Dokumen Pribadi
0 comments:
Post a Comment