Rss Feed
  1. Bukan Wanita, Tapi Perempuan Dewasa!

    Thursday, 27 February 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Judul : TOKOH (Pemenang Antologi Lomba Bertema “TOKOH”)
    Pengarang : ECA LOVERS
    Ukuran : 14 x 20 cm
    Tebal : vi + 105 hlm
    Harga : 32.000
    Ketik: TOKOH# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
    Kirim ke : 082333535560
    Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.
    Sinopsis:
    Sosok tokoh atau seseorang terkadang mampu membuat diri kita merenung dan menunduk lebih dalam. Mungkin kita jauh lebih beruntung darinya yang harus menghadapi cerita pahit dan susah dalam hidup. Atau sebaliknya kita ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bermakna dengan mengikuti jejaknya dalam hidup yang membahagiakan atau mengambil secuil semangat dari kisahnya.

    Buku ini berisi antologi kisah nyata tentang tokoh yang dikagumi, idola kebanggaan, atau seseorang yang disayangi sehingga menjadi motivator atau inspirator bagi para penulis. Sebuah buku sederhana yang membuka mata kita tentang berartinya sosok tertentu di hidup kita.

    Kita selalu bisa mendapatkan pelajaran dari setiap orang, apakah ia orang baik atau jahat. Kita dapat memetik pelajaran dari orang yang kita temui. Yang baik dari dia menjadi contoh untuk ditiru dan yang tidak baik menjadi contoh untuk tidak diteladani.

    Lewat cerita-cerita penuh hikmah ini, kita akan lebih bisa mengelola hati agar menjadi manusia yang lebih arif dalam memahami makna kehidupan.

    Kontributor:
    Adinda Zetya Salsabila, Annisa Yumna Ulfah, Ayuke Mentari, Desih Sukaesih, Dhya Rahmani, Dini Nurdianti, Dyah Istiani, Eny Lupita Sari, Lela Rahmat, Maftuhatus Sa’diyah, Mitri Komalasari, Nenny Makmun, N. Kirana, Nur Aini, Nuri Fadlilatin, Oktaviani, Putri Ayu Maryam, Putri Larasati Wulandari, Rabiatul Adawiyah, Reni Agustini, Rere Zivago, Risa Rii Leon, Ruhaini, Singgih Prayogi Hidayat, Ulil Latifah, Witri Prasetyo Aji, Yuan Yunita, Yulita Rohman, You Nie Iyyun, Zarratul Ziand Zainia
    .

    Dan ini adalah coretan tinta -Risa- :")


    ^O^
                Kesederhanaan adalah atmosfer yang dikenalkan orang tuaku sejak lahir. Sapaan aroma tanah dan embun dari pucuk pohon adalah sarapanku setiap hari. Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dengan punggung menghadap ke langit. Mengairi sawah dengan tetesan keringat cinta. Malam demi malam mereka rangkai dalam benang benang rajutan mesin jahit. Dan aku mempunyai seorang kakak, tiga tahun lebih tua dariku.
                Dia perempuan, namun untuk ketegarannya seperti laki-laki.
                Menjadi pertama tidak selalu menyenangkan, terlebih untuk sebuah tongkat estafet regenerasi manusia. Ada amanah indah terpasung dipundak. Lebih dari sekedar kata pertama, namun ada sebuah keutamaan atas peran perdana itu. Ing ngarso sung tuladha. Di depan memberikan contoh. Pertamapun demikian. Menjadi teladan bagi adik adiknya. Terdepan mengabarkan. Pertamapun selalu demikian. Menjaga adik adiknya dengan kedisplinan dalam lembutnya akhlak. Dia menjadi contoh terindah untuk refresnsi bertindak. Dia menjadi pembicara dan pendengar terhebat saat dunia tak sempat melirik atau menyediakan telinga bagiku. Bukan menasehati, hanya menemani dan mengerti. Tak pernah menyalahkan ataupun membenarkan, namun mengarahkan kemana harus berjalan atas apa yang terjadi. Saat itu aku lima tahun dan dia delapan tahun.
    ^O^
                Dia masih perempuan, namun lihatlah apa yang dia lakukan pada rambutnya. Cepak, pendek. Memangkas ciri perempuan pada umumnya. Membiarkan tengkuknya terbakar surya karena mengayuh sepeda sepanjang tiga kilo meter setiap senja. Membantu Bunda mengepulkan asap dapur dengan ojek sepeda. Dan lihat pula apa yang dia kenakan. Celana trining siap pensiun di dapur Bunda. Dan apa pula yang dia kerjakan? Dia memanjat genting rumah. Gerakan preventif menyambut musim hujan. Melupakan bahaya gravitasi bumi. Semua hanya demi perlindungan pada penghuni rumah. Mensponsori kenyamanan dalam gubuk sederhana itu. Saat itu aku delapan tahun, dan dia sebelas tahun.
    ^O^
                Dia tetap seorang perempuan, namun lihatlah! Dia begitu sederhana ditengah berkilaunya gadis remaja dalam pubertasnya. Rambutnya mulai sebahu. Kadang tergerai, tak jarang pula terikat oleh karet gelang.  Bukan tergerai penuh kilau hasil rawatan salon. Dia telah cukup indah dengan tetesan air endapan kulit padi. Tidak juga terhias pita pita indah penghias mahkota. Bukan konsumsinya, ucapnya. Dia seperti mawar. Cantik dalam kesederhanaan. Indah dalam ke-apaada-annya. Hanya butuh kelopak dan tangkai tanpa perhiasan bunga lain, dan ia masih tetap mampu menjaga dirinya sebagai seorang perempuan. Menjaga kodratnya untuk mengayomi dengan kelembutan dan kehangatan adab tindak. Menjaga kewajibannya untuk tetap merangkul adik adiknya penuh amanah. Saat itu aku tiga belas tahun, dan dia enam belas tahun.
    ^O^
    Dia bukan wanita, melainkan perempuan dewasa. Kata wanita yang mengandung unsur pengabdian dan mendampingi serta menyenangkan pria. Muatan makna aktif, menuntut hak tak termuat dalam kata wanita. Sehingga wanita harus mengabdi setia pada tugas tugas pria. Suka atau tidak suka, itulah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Namun tidak untuknya, perempuan adalah penjaga keselamatan, pencegah kelenaan pada gravitasi hidup yang sering menjatuhkan.
    Kata ‘sederhana’ memberinya kekayaan hati yang tak terperi. Sekalipun dia terjatuh itu hanya untuk bangkit kembali dengan kekuatan lebih. Bukankah semakin besar tekanan, maka semakin besar pula kekuatan yang dibangun? “Jikapun kau pernah terluka dan hampir mati olehnya, bukankah itu malah akan menguatkanmu?” bisiknya selalu sembari menbelai rambutku.
    Dia menangis tersedu disamping Bunda, aku mengintipnya di balik tirai kamarnya. Menjaga jarak, dan menyembunyikan cinta juga kekhawatiran atas tangisnya dengan rapi. Dia tersakiti oleh jarak yang akan dia jemput dalam rangka mencari ilmu di tanah seberang. Menuruni tanah gunung yang hijau, dan memasuki daerah metro. Lebih dari sekedar urbanisasi, namun menjurus pada proses menyatukan mozaik mimpi mimpi besar dalam raga seratus lima puluh sembilan sentimeter itu. Aku sudah merindu sebelum dia beranjak. Saat itu aku empat belas tahun, dan dia tujuh belas tahun.
    ^O^
                Dia telah menjadi kupu kupu yang bermetamorfosa dari kepompong. Dari seorang gadis lugu, menjadi perempuan dewasa yang berilmu. Perempuan pertama yang mampu memberi contoh adik-adiknya. Perempuan pertama dalam garis keturunan keluarga bernama cemara. Sederhana dan apa adanya. Perempuan yang tanpa lelah berfalseto guna mengajak displin adik adiknya meski sang adik mulai lelah dalam prosesnya. Perempuan yang selalu terbangun pukul dua dini hari. Mengukir sujud di tengah kolaborasi derik serangga malam dan deru mesin jahit. Merapalkan ayat ayat cinta untuk mereka yang terlelap dalam atap rimba sederhana ini. Merangkai selimut keselamatan dan kemudahan dalam langkah langkah di depan mata. Menyusun mimpi-mimpi guna membangunkan mereka yang masih enggan membuka mata. Saat itu aku tujuh belas tahun, dan dia dua puluh tahun.        
    ^O^
                Untuk seorang perempuan di depan laptop yang selalu menyiapkan senyum termanis saat menjumpai orang lain. Membuat mereka yang menatap enggan berpaling.
                Untuk seorang perempuan di depan laptop yang sedang menuliskan syair syair hidupnya dalam guratan kata sederhana penggugah jiwa yang lena.
                Untuk seorang perempuan yang tetap menari meski ombak hidup berkali kali menjatuhkannya.
                Untuk seorang perempuan yang Tuhan takdirkan untuk menjadi panutanku. Perempuan pertama dalam garis keturunan keluargaku. Perempuan pertama yang aku panggil “kakak”. Terima kasih kakakku yang manis dan cerdas J. Cerdas lahir maupun batin. J Semoga rapalan doa kita akan tetap terus saling menghangatkan. Lengan doa yang mampu mengalahkan angkuhnya jarak.         

  2. 0 comments: