Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Judul : TOKOH (Pemenang Antologi Lomba Bertema “TOKOH”)
Pengarang : ECA LOVERS
Ukuran : 14 x 20 cm
Tebal : vi + 105 hlm
Harga : 32.000
Ketik: TOKOH# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
Kirim ke : 082333535560
Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.
Sinopsis:
Sosok tokoh atau seseorang terkadang mampu membuat diri kita merenung dan menunduk lebih dalam. Mungkin kita jauh lebih beruntung darinya yang harus menghadapi cerita pahit dan susah dalam hidup. Atau sebaliknya kita ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bermakna dengan mengikuti jejaknya dalam hidup yang membahagiakan atau mengambil secuil semangat dari kisahnya.
Buku ini berisi antologi kisah nyata tentang tokoh yang dikagumi, idola kebanggaan, atau seseorang yang disayangi sehingga menjadi motivator atau inspirator bagi para penulis. Sebuah buku sederhana yang membuka mata kita tentang berartinya sosok tertentu di hidup kita.
Kita selalu bisa mendapatkan pelajaran dari setiap orang, apakah ia orang baik atau jahat. Kita dapat memetik pelajaran dari orang yang kita temui. Yang baik dari dia menjadi contoh untuk ditiru dan yang tidak baik menjadi contoh untuk tidak diteladani.
Lewat cerita-cerita penuh hikmah ini, kita akan lebih bisa mengelola hati agar menjadi manusia yang lebih arif dalam memahami makna kehidupan.
Kontributor:
Adinda Zetya Salsabila, Annisa Yumna Ulfah, Ayuke Mentari, Desih Sukaesih, Dhya Rahmani, Dini Nurdianti, Dyah Istiani, Eny Lupita Sari, Lela Rahmat, Maftuhatus Sa’diyah, Mitri Komalasari, Nenny Makmun, N. Kirana, Nur Aini, Nuri Fadlilatin, Oktaviani, Putri Ayu Maryam, Putri Larasati Wulandari, Rabiatul Adawiyah, Reni Agustini, Rere Zivago, Risa Rii Leon, Ruhaini, Singgih Prayogi Hidayat, Ulil Latifah, Witri Prasetyo Aji, Yuan Yunita, Yulita Rohman, You Nie Iyyun, Zarratul Ziand Zainia.
Dan ini adalah coretan tinta -Risa- :")
Judul : TOKOH (Pemenang Antologi Lomba Bertema “TOKOH”)
Pengarang : ECA LOVERS
Ukuran : 14 x 20 cm
Tebal : vi + 105 hlm
Harga : 32.000
Ketik: TOKOH# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
Kirim ke : 082333535560
Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.
Sinopsis:
Sosok tokoh atau seseorang terkadang mampu membuat diri kita merenung dan menunduk lebih dalam. Mungkin kita jauh lebih beruntung darinya yang harus menghadapi cerita pahit dan susah dalam hidup. Atau sebaliknya kita ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bermakna dengan mengikuti jejaknya dalam hidup yang membahagiakan atau mengambil secuil semangat dari kisahnya.
Buku ini berisi antologi kisah nyata tentang tokoh yang dikagumi, idola kebanggaan, atau seseorang yang disayangi sehingga menjadi motivator atau inspirator bagi para penulis. Sebuah buku sederhana yang membuka mata kita tentang berartinya sosok tertentu di hidup kita.
Kita selalu bisa mendapatkan pelajaran dari setiap orang, apakah ia orang baik atau jahat. Kita dapat memetik pelajaran dari orang yang kita temui. Yang baik dari dia menjadi contoh untuk ditiru dan yang tidak baik menjadi contoh untuk tidak diteladani.
Lewat cerita-cerita penuh hikmah ini, kita akan lebih bisa mengelola hati agar menjadi manusia yang lebih arif dalam memahami makna kehidupan.
Kontributor:
Adinda Zetya Salsabila, Annisa Yumna Ulfah, Ayuke Mentari, Desih Sukaesih, Dhya Rahmani, Dini Nurdianti, Dyah Istiani, Eny Lupita Sari, Lela Rahmat, Maftuhatus Sa’diyah, Mitri Komalasari, Nenny Makmun, N. Kirana, Nur Aini, Nuri Fadlilatin, Oktaviani, Putri Ayu Maryam, Putri Larasati Wulandari, Rabiatul Adawiyah, Reni Agustini, Rere Zivago, Risa Rii Leon, Ruhaini, Singgih Prayogi Hidayat, Ulil Latifah, Witri Prasetyo Aji, Yuan Yunita, Yulita Rohman, You Nie Iyyun, Zarratul Ziand Zainia.
Dan ini adalah coretan tinta -Risa- :")
^O^
Kesederhanaan adalah atmosfer yang
dikenalkan orang tuaku sejak lahir. Sapaan aroma tanah dan embun dari pucuk
pohon adalah sarapanku setiap hari. Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan
yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning
dengan punggung menghadap ke langit. Mengairi sawah dengan tetesan keringat
cinta. Malam demi malam mereka rangkai dalam benang benang rajutan mesin jahit.
Dan aku mempunyai seorang kakak, tiga tahun lebih tua dariku.
Dia perempuan, namun untuk
ketegarannya seperti laki-laki.
Menjadi pertama tidak selalu
menyenangkan, terlebih untuk sebuah tongkat estafet regenerasi manusia. Ada
amanah indah terpasung dipundak. Lebih dari sekedar kata pertama, namun ada
sebuah keutamaan atas peran perdana itu. Ing ngarso sung tuladha. Di depan
memberikan contoh. Pertamapun demikian. Menjadi teladan bagi adik adiknya.
Terdepan mengabarkan. Pertamapun selalu demikian. Menjaga adik adiknya dengan
kedisplinan dalam lembutnya akhlak. Dia menjadi contoh terindah untuk refresnsi
bertindak. Dia menjadi pembicara dan pendengar terhebat saat dunia tak sempat
melirik atau menyediakan telinga bagiku. Bukan menasehati, hanya menemani dan
mengerti. Tak pernah menyalahkan ataupun membenarkan, namun mengarahkan kemana
harus berjalan atas apa yang terjadi. Saat itu aku lima tahun dan dia delapan
tahun.
^O^
Dia masih perempuan, namun lihatlah
apa yang dia lakukan pada rambutnya. Cepak, pendek. Memangkas ciri perempuan
pada umumnya. Membiarkan tengkuknya terbakar surya karena mengayuh sepeda
sepanjang tiga kilo meter setiap senja. Membantu Bunda mengepulkan asap dapur
dengan ojek sepeda. Dan lihat pula apa yang dia kenakan. Celana trining siap pensiun
di dapur Bunda. Dan apa pula yang dia kerjakan? Dia memanjat genting rumah. Gerakan
preventif menyambut musim hujan. Melupakan bahaya gravitasi bumi. Semua hanya
demi perlindungan pada penghuni rumah. Mensponsori kenyamanan dalam gubuk
sederhana itu. Saat itu aku delapan tahun, dan dia sebelas tahun.
^O^
Dia tetap seorang perempuan, namun
lihatlah! Dia begitu sederhana ditengah berkilaunya gadis remaja dalam
pubertasnya. Rambutnya mulai sebahu. Kadang tergerai, tak jarang pula terikat
oleh karet gelang. Bukan tergerai penuh
kilau hasil rawatan salon. Dia telah cukup indah dengan tetesan air endapan
kulit padi. Tidak juga terhias pita pita indah penghias mahkota. Bukan
konsumsinya, ucapnya. Dia seperti mawar. Cantik dalam kesederhanaan. Indah
dalam ke-apaada-annya. Hanya butuh kelopak dan tangkai tanpa perhiasan bunga
lain, dan ia masih tetap mampu menjaga dirinya sebagai seorang perempuan. Menjaga
kodratnya untuk mengayomi dengan kelembutan dan kehangatan adab tindak. Menjaga
kewajibannya untuk tetap merangkul adik adiknya penuh amanah. Saat itu aku tiga
belas tahun, dan dia enam belas tahun.
^O^
Dia bukan wanita,
melainkan perempuan dewasa. Kata wanita yang mengandung unsur pengabdian dan
mendampingi serta menyenangkan pria. Muatan makna aktif, menuntut hak tak termuat
dalam kata wanita. Sehingga wanita harus mengabdi setia pada tugas tugas pria.
Suka atau tidak suka, itulah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita.
Namun tidak untuknya, perempuan adalah penjaga keselamatan, pencegah kelenaan
pada gravitasi hidup yang sering menjatuhkan.
Kata ‘sederhana’
memberinya kekayaan hati yang tak terperi. Sekalipun dia terjatuh itu hanya
untuk bangkit kembali dengan kekuatan lebih. Bukankah semakin besar tekanan,
maka semakin besar pula kekuatan yang dibangun? “Jikapun kau pernah terluka dan
hampir mati olehnya, bukankah itu malah akan menguatkanmu?” bisiknya selalu
sembari menbelai rambutku.
Dia menangis tersedu
disamping Bunda, aku mengintipnya di balik tirai kamarnya. Menjaga jarak, dan
menyembunyikan cinta juga kekhawatiran atas tangisnya dengan rapi. Dia
tersakiti oleh jarak yang akan dia jemput dalam rangka mencari ilmu di tanah
seberang. Menuruni tanah gunung yang hijau, dan memasuki daerah metro. Lebih
dari sekedar urbanisasi, namun menjurus pada proses menyatukan mozaik mimpi
mimpi besar dalam raga seratus lima puluh sembilan sentimeter itu. Aku sudah
merindu sebelum dia beranjak. Saat itu aku empat belas tahun, dan dia tujuh
belas tahun.
^O^
Dia telah menjadi kupu kupu yang
bermetamorfosa dari kepompong. Dari seorang gadis lugu, menjadi perempuan
dewasa yang berilmu. Perempuan pertama yang mampu memberi contoh adik-adiknya.
Perempuan pertama dalam garis keturunan keluarga bernama cemara. Sederhana dan
apa adanya. Perempuan yang tanpa lelah berfalseto guna mengajak displin adik
adiknya meski sang adik mulai lelah dalam prosesnya. Perempuan yang selalu
terbangun pukul dua dini hari. Mengukir sujud di tengah kolaborasi derik
serangga malam dan deru mesin jahit. Merapalkan ayat ayat cinta untuk mereka
yang terlelap dalam atap rimba sederhana ini. Merangkai selimut keselamatan dan
kemudahan dalam langkah langkah di depan mata. Menyusun mimpi-mimpi guna
membangunkan mereka yang masih enggan membuka mata. Saat itu aku tujuh belas
tahun, dan dia dua puluh tahun.
^O^
Untuk seorang perempuan di depan
laptop yang selalu menyiapkan senyum termanis saat menjumpai orang lain.
Membuat mereka yang menatap enggan berpaling.
Untuk seorang perempuan di depan
laptop yang sedang menuliskan syair syair hidupnya dalam guratan kata sederhana
penggugah jiwa yang lena.
Untuk seorang perempuan yang tetap
menari meski ombak hidup berkali kali menjatuhkannya.
Untuk seorang perempuan yang Tuhan takdirkan untuk
menjadi panutanku. Perempuan pertama dalam garis keturunan keluargaku.
Perempuan pertama yang aku panggil “kakak”. Terima kasih kakakku yang manis dan
cerdas J. Cerdas lahir maupun
batin. J Semoga rapalan doa kita
akan tetap terus saling menghangatkan. Lengan doa yang mampu mengalahkan angkuhnya
jarak.
0 comments:
Post a Comment