Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis,
06 Februari 2014
“Nih, tadi enggak sengaja beliin ini
buat kamu!” ulurnya menyertakan sepotong Cadbury.
Dengan sedikit terperangah saya
menerima coklat itu, “Enggak sengaja?”
“Iya enggak sengaja gitu, soalnya
tadi saya kan beli biskuit gandum eh ada
kembalian gitu yaudah adanya coklat ini, kebeli deh.” Jelasnya dengan tampang innoncent.
“Hmmm! Makasih deh buat coklat
enggak sengajanya!” geramku.
“Haha itu bayar denda karena saya
telat juga.” Katanya, menunjukkan arah jarum pendek yang telah berpindah di
posisi angka empat.
Entah saya yang terlalu menikmati
proses kedatangan manusia satu itu atau buku yang saya pegang benar benar
menyedot saya ke imaji sang penulis, atau keduanya. Tak pedulilah yang jelas
konspirasi waktu dan buku kali ini benar benar menyelamatkan jemu saya menunggu
sosoknya satu setengah jam.
“Ok. Denda diterima!” seruku seolah
pimpinan sidang.
“Haha terima kasih paduka!” ucapnya
serupa punggawa buruk rupa, membungkuk tanda terima kasih. “Jadi mau kemana
kita kali ini?” lanjutnya dengan alis terangkat.
“Saya ingin melihat senja.”
iksamenajang.com |
“Hyah, kamu enggak bilang dari tadi.
Kamera masih di Wonogiri je.” Sesalnya tak tertutupi.
“Ih sayakan Cuma mau liat senja
bukan mau minta difotoin bareng senja!”
“Iya iyaa, tapi saya yang rugi kalau
ndak mengambil momen jingga gitu!”
“Hmm masa iya mau balik ke Wonogiri.”
“Haha yaudah ndak perlu nag gitu.”
Dan kami segera beranjak,
meninggalkan langit asrama yang kian menjingga. Berkeliling kota sebentar, berburu
serambi ternyaman untuk sekedar duduk manis di sana. Dan kayuhan kaki kami
berlahan meninggalkan jantung Solo di Slamet Riyadi, memasuki Solo Baru dengan
ragam bangunan penuh lantai.
“Ke HM?” alisku terpaut, heran.
“Iya, ahaha atau ke The Parknya aja?”
tawanya renyah, menawarkan.
“Ke The Parknya aja hehe viewnya mending sana, sekalian liat
lampion sama burung kertasnya.” Ajakku semangat.
Meninggalkan Vio (Yang belum tahu,
Vio nama sepeda gowes saya haha) di tempat parkir bersama sepedanya Nara di
parkiran luar mall. Dan ya kami melenggang penuh cengkrama, mencari beranda
manis menunggu jingga. Melewati ragam pandang para penjaja, kami terus mencari.
Dan mata kami segera beradu, meminta persetujuan satu sama lain. “Bagaimana
kalau disana?” begitu kira kira. Lalu dilanjutkan adegan saling mengangguk
mewakili kalimat “Oke. Lumayan strategis!”
Sebuah bangku taman yang diletakkan
diantara dua penyangga, coklat tanpa sandaran. Sayangnya dia tidak menghadap
senja, haha beranda manis itu telah dilabel oleh kedai ice cream, tak etis jika kami duduk disana tanpa memesan
secangkirpun. Mengingat pengalaman beberapa waktu lalu, kami kapok memberi ice cream di tempat gahoool seperti ini. :D
^O^
Beberapa hari lalu.
“Ke Mall yuk, jadi anak gahool gitu!”
ajaknya seusai hunting buku di
Sriwedari.
“Mall mana? GM?”
“Bukan, ke Paragon, denger denger
lagi ada Cosplay Contest gitu, kamu
kan suka sama anime anime gitu siapa tahu ketemu Tuan Kirito di sana!” ajaknya dengan
mata berkedip yang dibuat buat.
“Haha kamu enggak usah pasang wajah
susah gitu deh, bikin orang napsu nimpuk pake bata tau! Iya ayo kesana.”
Kamipun kesana, setia dengan sepeda
masing masing. Berkeliling, mencari sosok Kirito yang ternyata nihil, kelelahan,
terserang haus juga lapar. Duduklah kami di bangku tunggu, menyapu pandang,
memburu pemadam kelaparan.
“Ris, kamu disini dulu ya...Saya mau
kesana bentar!” ijinnya sembari menunjuk papan nama toilet.
Saya hanya mengangguk, melanjutkan
ritual sapu pandang ini, dan dia kembali setelah lima belas menit. Dengan tangan
yang tak lagi kosong namun wajah penuh kekosongan harap.
“Hahaha kenape Bang?”
“Tadi kan saya niatnya enggak
sengaja beli eskrim gitu buat kita, tapi saya lupa uang saya tadi sudah habis
buat beli buku, terus ini eskrimnya setara sama tiga magnum.” Jelasnya penuh
tampang menyedihkan.
“Hahaha puk puk Kakak Nara jangan
sedih yaa. Makasih banget hlo es krimnya. Yuk makan sebelum melting!” hiburku, menepuk bahu, dan
mengambil se.cup ice cream coklat di
tangan kirinya.
“Ah kamu! Malah menari nari di atas
derita saya!” jengkelnya penuh nelangsa.
“Hlo saya tidak menari nari hlo!
Saya hanya menikmati. Haha” bela saya.
Dia diam, terlihat sekali dia
menyesal, dan suara perutnya menandakan dia lapar akut.
“Yaudah, ice creamnya diabisin dulu, mayan buat meredam perut. Abis ini saya
traktir makan deh!” hibur saya teriring senyum enam centi.
Menikmati eskrim yang sudah setengah
meleleh, kamipun menuju tempat makan cepat saji. Membiarkan Oriental Bento dan
Mocca Float memadam kelaparan kami.
“Haha jadi kesimpulannya, jadi anak
gahool di moll itu mahal ya!” seruku sesuai santap siang.
“Iyaa haha!”
Dan begitulah petualang kami sebagai
anak mall sehari. Pulang dengan nota pembelian es krim empat puluh ribu satu
cup kecil, dan selembar nota lain berlabel KFC.
“Mending buat ke BuSri tadi! Hahaha”
curhatnya dalam perjalanan pulang.
^O^
Kembali pada hari ini, saya berkali
melirik jam di balik lengan. Menyelaraskan pandang di depan dengan berlahan
turunnya matahari dari kursi keangkuhan. Indah, serupa full moon namun jingga. Tanpa
kata kami riuh penuh kagum pada kuasa.Nya, betapa Maha Indah ciptaan.Nya ini.
Senja selalu mengajarkanku tentang
ini, tentang penantian akan luluhnya sebuah keangkuhan. Keangkuhan matahari
kala siang, akan takluk bersama masa yang beranjak sore. Ya Matahari berjanji
pada langit, dia akan selalu kembali dalam hangat bukan panas yang menyengat. Ketika
pagi dia seramah embun, sorepun ia seramah suam kuku. Seharusnya manusiapun
belajar dari sana, ketika kita lahir dalam keadaan baik kembalilah pada.Nya
dalam keadaan baik. Seharusnya manusia juga belajar untuk percaya pada kekuatan
semesta, pada kesabaran semesta menanti segala janji janji.Nya untuk mereka
yang berikhtiar. Sebab Tuhan tidak pernah tidur, segala mimpi dan doa kita
sedang dipeluknya, manusia hanya diminta untuk terus sabar penuh ikhtiar
teriring doa. Hmmm.
“Satu lagi Ris.” Celetuknya tiba
tiba, seolah tahu apa yang sedang saya batin.
“Apa?” kagetku tak rapi.
“Satu lagi kalau Tuhan itu Maha
Mengejutkan!”
“Apaan?”
“Lihat aja, ini kejutan dari Tuhan
untuk kita. Senja, jingga, sebingkai kaca, dan kita! Haha”
“Nara, sejak kapan kamu jadi melow
gini?”
“Oh iya, saya lupa kalau saya
makhluk realistis haha bukan kamu yang khayalis!”
*Note:
khayalis adalah sebutan Nara untuk manusia yang suka mengkhayal dan berjiwa
puitis level akut seperti saya. :3
“Tapi seriusan, kejutan apa yang
kamu maksud?”
“Momen kita sekarang ini.”
Hmm barangkali Nara sedang berfikir
tentang proses menuju titik sekarang. Bagaimana semua hanya berawal dari
pembelian buku di Bu Sri. Membeli dua buku berbeda judul namun satu seri pada
penjual yang sama, menawar dua buku bersama manusia yang belum saling tahu,
uluran tangan dan takupan telapak tangan, berbincang panjang lebar tentang Dee,
bersepeda untuk kembali ke toko buku yang sama dilain waktu, juga cerita cerita
yang sering meluncur hingga kami saling tahu bahwa kami saling menemukan ketika
kami telah lelah berharap untuk saling bertemu.
Bukan semacam pertemuan tentang
jodoh atau masa depan, bukan pula untuk menjadi sepasang suami atau istri
dimasa mendatang, namun pertemuan tentang pemikiran. Kami terlalu mencintai Tuhan kami masing masing. Dan kami pun sempat lelah berharap
akan ada manusia lain yang sekubu, setidaknya dia paham dengan apa yang menari
nari di benak kita.
“Iya, manusia itu kadang lupa sama
keberagaman kalau udah ngomongin perbedaan!” Begitulah kami saling menemukan. Ditengah
keputusasaan kami diijinkan menjalin persahabatan sebab rekayasa Tuhan.
“Subhanallah ya Ra!” pujiku masih
dengan fokus pada Senja.
“Puji Tuhan yang merekayasa semua
ini!” sahut dari ujung bangku.
Lengsernya matahari pada kaki langit
adalah klimaks atas kuasanya pada hari, sebuah wujud kepasrahan dan ketawakalan
pada suratan Illahi, pada apa yang memang telah dituliskan seusai ia berusaha. Hmm
barangkali serupa itu pula wujud kepasrahan manusia menanti sebuah hasil. Berserah
diri, mengikuti gravitasi.Nya. Yaa, terus menanti hingga kita tak lagi hanya
bermimpi, namun juga memaknai prosesi.
Senja dengan bingkai kaca ini
meleburkan ragam syukur atas segala nikmat dari.Nya, memupuk kecintaan seorang
hamba pada penciptanya. Ya Rabb, kembalikan aku hanya pada.Mu, jaga hamba dari
segala hal yang menjauhkan hamba dari rahmat.Mu. Aamiiin.
Bundaran orange itu telah menghilang
di kaki Sindoro Sumbing setelah sempat sembunyi di antara Fave Hotel dan
bangunan lainnya, dan berlahan dia kembali dipeluk langit. Menyapa pagi
dibelahan bumi lain.
0 comments:
Post a Comment