Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Alhamdulillah buku antologi cerpen saya selanjutnya :D sudah terbit. ^^

     
    Buku Antologi Cerpen dari Event Negeriku Berduka Negeriku Menangis

    Buku: Negeriku Berduka Negeriku Menangis
    Penulis: A. Raissa, Ifa Avianty, Rere Zivago, dkk
    Diterbitkan oleh: Pena Indis
    ISBN: 978-602-1334-04-1
    Pemerhati Aksara: Nitha Ayesha
    Tata Letak: Fandy Said
    Desain Cover: Fandy Said
    Ukuran buku: 14 X 20 cm
    Tebal Buku: 164 hlm
    Harga: Rp. 40.000,- (Di luar Ongkir)

    Masa Pre Order: 29 April s/d 10 Mei 2014

    (Khusus kontributor yang pesan dan transfer masa pre order diskon 15 %, di luar masa PO diskon normal 10 %)

    Cara Pemesanan:

    SMS/WA ke No. Hp 081327714422 (Ukh Nitha)
    Atau melalui pesan fb ke akun Pena Indis (https://facebook.com/pena.indhis)

    Dengan format : Judul Buku_Nama_Alamat Lengkap_No HP_Jumlah Pemesanan

    Atau via Toko Buku Pena Indis Online di www.indhisbook.com

    Sinopsis:

    “Tuhan, marahkah Kau pada kami? Hingga Kau luluh lantakkan negeri ini?”

    Kantung-kantung air mata mulai mengering. Lengkung senyuman langka, yang ada hanya tangisan, teriakan dan ronta ketakutan. Seolah-olah terbangun dari mimpi buruk. Perasaan hati yang berkecamuk. Sulit untuk menerima kenyataan, bahwa negeriku kini mengamuk. Media berkicau, Indonesia gawat darurat. Bencana alam, gempa, banjir, tsunami, tanah longsor menghantam beberapa kawasan Indonesia. Alam marah, bumi bergoyang, langit menangis, angin berhembus kencang, ombak menerjang, dan luapan air bah segala material, semua seolah rata dengan tanah.

    Indonesia terancam. Pada siapa hati mengadu? Tuhan, sentilanmu begitu dahsyat. Sedetik yang lalu memang tak bisa diulang, sedetik yang akan datang tak dapat dibayangkan. Kini, hanya dengan sekali kedipan mata. Senyuman berganti jadi tangisan. Kebersamaan bisa berganti jadi kesendirian. Suasana aman bisa jadi genting dan sangat menakutkan. Kini, semua itu benar-benar terjadi. Apakah ini ujian dari Tuhan untuk menilai kesabaran di antara hamba-Nya? Atau ini adalah teguran karena manusia yang merusak bumi secara perlahan? Alam sedang marah?

    (Dela Oktadiani)

    Semoga kisah-kisah yang terangkum dalam buku ini bisa menginspirasi kita untuk mencintai bumi yang Allah titipkan untuk kita jaga.

    Kontributor:
    A.Raissa, Ifa Avianty, Rere Zivago, Eclair Auclair, Medina Azzahra, Anggi Putri, Hermawan Satya Budi, Iwan Al Wa’di, Jayadi Oemar Bakrie, Mas Ipin, Masita Rauf, Ricky Ramadhan D, Mutiara Kurniati, Nazri Z Syah Nazar, Nisa Utami, Achmad Burhanuddin Faqih, Rifqah Husnul, Riyanti Binti Rachmad, Seruni Warakandi, Sonya Hero, V.n. Aini, Yunita Nurisfa Mayasari, Rahmi Mardatillah, Irsyadiyah, Yhulis, Wildan Fuady, Wika Mardiyah, Frandhy Rizal, Ummu Maila, Risa Rii Leon, Mahfudz Ahmad, Hulya Ashfie, Sofia HD, Hikari Kagawa, Elnina Zee, Chiizumi, Yulyana Safitri, Asty Hanani, Anis S. Shoclichah, Aidaku Niraya, Dela Oktadiani, dan Fajriatun.
     
                                                                                   ^O^



    Sepatu Kalpataru Untuk Emak

                Dia terus berlari, menerjang hujan yang kian menghujam tubuh kecilnya. Dia harus cepat sampai rumah, memastikan kebenaran berita burung yang di dengarnya tadi siang.
                “Tong, rumeh lu kebanjiran!” Cuma sepotong kalimat itu yang membuatnya berlari kesetanan malam ini.
                Seusai menutup toko kelontong milik Koh Acong tempat ia mencari nafkah, ia berpamitan. Tanpa persiapan apapun, ia hanya ingin cepat pulang, melihat emaknya tersenyum .
                Selalu seperti itu, Otong pulang dari kota, membuka pintu kardus yang dibingkai bambu sisa pembangunan pabrik dekat rumah mereka, kemudian mencium tangan emaknya yang beraroma semangat dengan penuh takzim, dan emak akan mengelus rambut anak semata wayangnya itu dengan lembut teriring kalimat menangkan.
                “Emak baik baik aja Tong, lu baik baik juga di rumah orang. Jaga amanah yang udah di kasih ke lu baik baik. Kita emang orang enggak punya tapi kita punya Allah yang bakalan ngasih apa yang kita butuhin setelah kita usaha.”
                Tanpa perlu banyak kata, Emak tahu kepulangan putranya selalu membawa rindu, tidak penting bingkisan apa yang menyertai kepulangan putranya  itu, baginya melihat Otong pulang dalam keadaan sehat adalah nikmat Allah SWT yang tak terbantahkan.
                Sayangnya, tidak untuk Otong, setiap bingkisan yang menyertainya pulang adalah bagian dari ragam cara ia menyatakan cinta pada emaknya. Dia bukan si penggombal ulung yang selalu sanggup membuat siapapun melayang sebab lontaran sebuah kalimat, bukan pula seorang yang akan merajuk dengan kalimat kalimat manja agar diperhatikan, bahkan untuk sekedar memanggil emaknya dia tak sanggup.
                “Tong, kebanyakan manusia di dunia ini masuk neraka karena lisan yang tidak terjaga, lisan yang terkadang melukai tanpa disadari, lisan yang sering lincah menggunjing, Juga lisan yang dihias penuh dusta. Lu harus bersyukur dengan keadaan lu sekarang ini, sebab dengan keadaan lu ini, lu udah dimudahkan untuk menutup satu pintu penyebab dosa menumpuk.” Dan Otong akan tersenyum bangga pada emaknya, teriring anggukan untuk syukur tiada tara memiliki emak seperti perempuan di depannya.
                Otong terus berlari, dan hujan masih tanpa tahu diri mengguyurnya yang kian kuyup. Otong harus cepat sampai rumah, batinnya berteriak. Bersama genggaman ditangannya yang kian mengerat, diapun mempercepat laju kaki bersandal aus itu.
    ^O^
                Melalui ragam gerak dan isyarat, Otong bertanya pada orang orang di sana. Pada bapak berseragam, pada manusia berkamera, pada rekan satu profesi, juga beberapa tetangga yang ia kenal. Dan mereka hanya menggelengkan kepala, atau mengusir dengan tatapan, “Haiisssh mengganggu saja!”
                Mereka, orang orang itu, yang mengaku peduli dan ingin menyelamatkan, mereka tidak peduli pada Otong, mereka tidak menggagas Otong yang juga harus diselamatkan. Selamatkan ia dari status sebatang kara! Otong duduk dalam keputusasaan, hendak menyalahkanpun tak akan merubah keadaan. Hanya doa yang mampu ia rapalkan dalam dalam, berkali kali.
                “Ya Allah, semoga Emak baik baik aja, dan jika masih diijinkan, Otong ingin meluk Emak sebelum Engkau memeluknya di surga.”
                Untuk seorang Otong, emak adalah harta seluruh dunia dikali tujuh, tak akan ada yang mampu menggantikannya. Bersama Emaknya, Otong menjadi jutawan cinta yang hidup bahagia meski serba seadanya. Sarapan pukul sebelas siang setelah menukarkan hasil memulungnya sedari pagi, pun dengan lauk sambel terasi dan orak arik telur seharga tiga ribu rupiah. Tidur beralas kasur tipis dengan dinding seng yang membuat gerah kala siang. Emak adalah pahlawan tanpa tanda jasa untuk Otong. Emak dengan keranjang dipunggung dan sebuah tongkat multifungsi ditangan kanannya, memilih dan memilah ragam sampah yang masih bisa dimanfaatkan, dikumpulkan lalu ditukarkan dengan beberapa lembar kapitan patimura. Emak adalah pahlawan, tak hanya untuk Otong, tapi juga untuk penghuni Jakarta Raya. Emak dan semua rekan rekan pemulungnya, mengajari Otong banyak hal. Tentang siklus kehidupan, bagaimana sebuah ciptaan harus menjadi berguna meski dunia memandang sebelah mata. Ketika manusia manusia lain memandang sampah sebagai benda tak berguna, Emak dan rekan lainnya melihat sampah sebagai ladang pahala. Proses pendaurulangannya, keikhlasan Emak terpandang sebelah mata, juga keihsanan Emak hidup di pesisir Sungai Ciliwung ini.
                Kemudian setelah apa yang dilakukan Emak dan rekan rekannya pada lingkungan ini, haruskah Emak yang menjadi korban kebinalan manusia manusia kota membuang sampah sembarangan? Bahkan melalui tangan keriput Emak Sungai Ciliwung tidak tersedak sampah terlalu banyak. Bahkan melalui kaki telanjang Emak Sungai Ciliwung tak sedangkal pemikiran orang orang kota. Dan bahkan Emak tak pernah meminta Kalpataru atas seluruh tindakannya.
                Tangis Otong melebur bersama riuh hujan, lidahnya asin menelan getir air mata dan keringat di dahinya, asin itupun berlahan menjadi pahit, bingkisan itu belum sempat ia berikan pada pahlawannya.
                “Emaaakk...” seru Otong susah payah mencoba bersuara, dan yang terdengar hanya serupa teriakan tak jelas. Laranya terbungkus gemuruh petir juga lolongan mobil bantuan. Keramaian yang membuatnya tak sadar akan sebuah kehadiran.
                “Otong, Lu ngapain masih di sini, Emak Lu nunggui Lu di tenda pengungsian.” Colek seorang tetangga mengagetkannya.
                Dengan wajah terperangah ia melangkah di belakang sang tetangga yang juga rekan seprofesi Emak. Otong diam, berkali mengorek telinganya, takut jika salah dengar. Berkali mencubit pipi, khawatir jika hanya mimpi.
                Dan di sana, dalam rimbunnya lalu lalang para pengungsi, ada sosok manusia berbadan gempal, dengan senyum hangat suam kuku, dan binar penuh semangat, juga jilbab kumal aroma surga, sedang duduk menantinya. Lisannya sibuk mengingat asma Allah teriring tangan bersenandung dengan tasbih alamiah. Melihat kedatangan putra semata wayangnya, Emak segera beranjak, menghambur haru dalam peluk Otong.
                “Lu baik baik aja kan Tong? Lu enggak kenapa kenapa kan?” serbu Emak terhias isak.
                Otong hanya mengangguk pasti, harta dunia dikali tujuhnya sudah kembali. Otong tak lagi sendiri. Otong menatap lekat lekat sosok di depannya, menghapus air mata Emak, dan menyerahkan bungkusan yang sedari tadi ia genggam.
                “Sepatu Boots?” tanya Emak seusai membuka bingkisan terbungkus kresek hitam.
                Otong hanya mengangguk, tersenyum pasti.
                “Buat Emak?”
                Otong kembali mengangguk, tersenyum, dan memperlihatkan sebaris surat yang ia tulis dengan susah payah, les berbulan bulan dari anak majikannya yang kelas lima SD, tiga tahun dibawahnya.
                Ini buat Emak. Sepatu untuk melindungi surganya Otong yang ada ditelapak kaki Emak. Semoga Emak suka.”
                    Dan bahagia yang berlebihan itu membisukan Emak, membuatnya mengeratkan pelukan pada buah hatinya. Emak bahagia tanpa banyak kata, dan tanpa perlu banyak harta. Dan bahagia menjadi begitu sederhana, sebab sepasang sepatu yang akan melindungi kaki dari kerikil kerikil tajam, juga dari tusukan beling berkarat yang diberikan penuh cinta oleh putra satu satunya.    

  2. 0 comments: