Rss Feed
  1. Satu Hari Di Awal Maret

    Tuesday 6 May 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Senin, 28 April 2014



                Setelah bersama waktu itu, jarum jam pun tak mampu melangkah; detaknya terhenti. Seolah ada yang tertinggal di sana. Sebuah kenang tentang kita yang saling berjuang, enggan tunduk pada penyerahan tanpa ikhtiar. Ya, satu hari di awal maret tepat dibawah kangkangan kaki Lawu, kisah kita terukir di antara arca arca semesta. Sabtu/01/03/2014.
    ^O^
                “Harga membawa rupa?” benarkah? Ah tidak juga. Nyata kami mematahkan ungkapan itu. Lima puluh ribu rupiah mampu menyajikan kemewahan pandang sebuah kaki Lawu. Meski tak jenjang, Kaki Lawu melenggang penuh kenang dalam benak mereka yang pernah menjejakinya.
                Bersama hangatnya mentari pukul sembilan, kami melenggang meninggalkan jantung kota Solo. Menjajaki Slamet Riyadi hingga ujung Ir Sutami menuju pinggir teduh Kota Karanganyar. Menghampiri destinasi pertama di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso.
    Foto By Setia Adi Firmansyah            Lima belas ribu pertama yang tertuang dalam tangki si Mio J kesayangannya. Mengantarkan kami pada sebuah pandang tak terdefinisikan indahnya kata yang menyambut perjuangan melawan gravitasi selama hampir dua jam bersama kekuatan maksimum mesin Mio J, 7, 75 PS dengan torsi puncak 8,5 Nm di 5.000 rpm.
                Lantas pecahan enam ribu yang melayang bersama dua lembar tiket masuk Candi Sukuh. Mengantarkan pada sebuah keagungan makna perawan di ketinggian 1.186 mdpl. Menyingkap arca saksi atas pertumbuhan peradaban semasa Kerajaan Majapahit hingga kini,   saksi yang berdiam diri di agungnya singgasana Dusun Sukuh. Memaparkan lika liku menawan yang menampakkan sisi megah Waduk Wonogiri. Menikmati nyanyian alam dari gemerisik pucuk cemara.
                Lalu enam ribu selanjutnya bersama dua tiket serupa. Menuju destinasi kedua, Candi Cetho. Setelah melintas dengan topografi Karanganyar selama empat puluh lima menit, mengacuhkan liukan terjal di depan mata, kami pun melaju menuju ketinggian 1.400 mdpl. Menyambangi Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi sebagai keberadaan Candi Cetho. Menjamah altar suci dengan tatanan bangun yang simetri.
    Foto By Setia Adi Firmansyah
                Sesuai namanya ‘Cetho’ nyata menjelaskan makna sebuah kejelasan untuk kami. Di sajikan dengan pesona pandang pegunungan yang mengitarinya, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, juga menawannya si Gunung Kembar, Sindoro Sumbing. Belum lagi suguhan pemandangan miniatur Kota Surakarta hingga Klaten. Meski beberapa saat sempat terhalang kabut pegunungan, namun mata hati kian cerah memaknai sajian semesta.
                Kemudian masihkah menilai rupa dari harga? Enam ribu menjadi sangat timpang jika tak disandingkan dengan syukur tiada tara atas nikmat pandang tersebut. Dan jelas meski bukan bersama Si Fino, iya, rekan satu rahim dari Mio J kesayangannya itu. Si Fino Fi yang menawan dalam kemasan vintage. Si Klasik Yang Asik dengan headlamp menyerupai bentuk permata, lampu samping serupa daun serta lampu belakang merah delima yang memukau. Fino yang diam diam mengemas kekuatan mesin 125 cc dilengkapi Fuel Injection yang terhubung dengan ECU (Electronic Control Unit) sehingga dapat menghasilkan tenaga 11,4 PS dan torsi 10,4 Nm. Syukur itu masih saja menyeruak, memenuhi rongga hati. ^^ Hanya berharap masih ada sempat menggandeng Fino Fi menanjaki dataran tinggi lainnya. Ya, masih sebatas itu.
                Dan akhirnya bersama dua lembar sepuluh ribuan yang tersisa, kami tukarkan dengan dua porsi nasi goreng Kaki Lima di pinggiran kota atas rekomendasi seorang rekan. Pengusir lapar seusai menyusuri Kaki Lawu. Membungkam kemerucuk isi perut yang tertahan semenjak keluar area Candi Cetho. Memadam kelaparan yang menyerang selama nyaris dua jam perjalanan menuruni bukit Desa Gumeng.
                Jingga ufuk barat menyambut kepulangan kami, menampakkan keramahan tanpa buatan. Memesonakan kami berulang kali atas banyak rupa fenomena semesta.
                “Betapa pemurah.Nya Tuhan.” Batinku melirih mengantar kepulangan ke Kota Bersinar, Negeri Klaten kelahirannya.
                Membiarkan punggungnya di telan tikungan jalan, membekaskan janji pertemuan kembali berbulan bulan kemudian, bersama destinasi yang lain lagi. Barangkali.
    ^O^
                Nyata tak butuh mahal untuk bahagia. ^^
             Lima puluh ribu nyata beranak pinak menjadi jutaan sel syukur tiada tara atas segala nikmat yang terlimpah dari.Nya ^^ Mengemas kebersamaan dan kesyukuran atas sajian semesta teruntuk umat manusia. 



  2. 0 comments: