Minggu,
25 Mei 2014
“Nak, tidak ada cita cita yang
ketinggian, hanya saja tidak semua usaha setinggi cita citanya, itulah mengapa
ada beberapa cita cita yang tak tercapai sebagaimana yang di impikan.” Ayah
Karsito
^O^
Dan kalimat petuah itu mengendap dalam
benak kami, anak anaknya. Cita cita adalah hal utama yang ditanyakan Bapak
setelah hal agama. Cita cita, sebab ia adalah tujuan. Ibarat papan putih di
depan mata, cita cita adalah titik berwarna di tengah luasnya samudra putih yang
membuat pandang kita jelas tertuju padanya, fokus pada satu hal yang kasat
mata. Tanpa adanya titik berwarna itu langkah hanya akan menjadi peluh tanpa
arah. Cita cita adalah tujuan. Sebuah visi hidup seseorang yang mengarahkannya
untuk melunasi banyak misi.
“Gantungkan cita citamu setinggi
bintang di langit!” Dapat dikatakan cita cita adalah bintang yang bertaburan di
langit. Pilihlah satu yang paling menarik dan mampu memompa semangat ketika
menatap bias cahayanya. Dari ribuan bintang di langit pilihlah satu yang mampu
membuatmu terus berjuang dalam kenyamanan pilihan, bukan yang melenakan hingga
lupa pada sekitar.
Dan ketika pilihan telah meluncur,
maka perlakukanlah cita cita itu sebagaimana mestinya. Perlakukanlah cita cita
dengan perjuangan. Bukan sekedar pembanggaan diri karena telah memiliki cita
cita setinggi langit namun peluh hanya menetes di atas tanah tanpa pernah
membekas. Ketika kita telah mengharga mati sebuah cita cita maka sudah
sepatutnya berjuang penuh daya untuk mewujudkannya, agar ia tak menjadi isapan
mimpi semata.
Bocah itu barangkali belum paham apa
itu harga mati, pun dengan fokus pada satu warna, namun setidaknya bocah
delapan tahun itu paham bahwa memiliki mimpi sama dengan siap berjuang
mewujudkan mimpi. Bocah kelas tiga sekolah dasar itu, mengabarkan pada saya tentang
cita cita sederhana mengantarkan para penumpang sampai pada tujuan mereka
dengan selamat melalui rel rel besi. Ya, bocah itu bercita cita menjadi
Masinis, Supir Kereta Api.
Sejak saya kabarkan bahwa pengemudi
kereta itu harus tinggi serendah rendahnya seratus enam puluh centimeter, dia
tanpa ba bi bu mulai proses meninggikan badan. Entah mendapat informasi dari
mana, Riki, begitu ia sering kami sapa, mulai enggan diantar Bunda ke sekolah.
Riki memilih bersepeda berangkat pulang sekolah dengan sepeda merah bekas saya sewaktu SD
yang nyaris pensiun.
“Kalau naik sepeda kan kakinya bisa
jadi panjang.” Jelasnya menanggapi keheranan saya.
Riki Yuliawan, semoga kelak namamu
ada dalam daftar Masinis Baik, yang tak hanya mengantarkan para penumpang
selamat hingga tujuan namun juga membuat mereka kerasan dalam perjalanan. :”)
Dan seperti kata Ayah. Ketika bakat dan minat sejalan, cita cita menjadi
pekerjaan lakukanlah dengan kesenanghatian terhias keikhlasan agar saat
dijalani seperti liburan. :D Kalau kerjanya setiap hari kan seneng :D
liburannya juga setiap hari.
0 comments:
Post a Comment