Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Senin, 05 Mei 2014
Ribuan rintik pernah turun sebelumnya. Memadamkan rupa Bara menjadi kelam tanpa
raga. Dan selalu hujan tak pernah menetap, hanya lewat dan membuat basah. Tapi
tidak kali ini. Ada setetes yang masih menyejukkan api. Dia datang dalam
ketiadaan. Hadir dalam kesahajaan menggenggam rasa. Hi, Embun ^^
Bersama wujudku yang nyaris
padam, ku beranikan diri menyapamu yang masih bening. Dan kamu lebih dari
sekedar bening, kamu indah meski tak berwarna, menawan penuh pesona
kesucian. Dan senyummu, bahkan pelangipun akan bersembunyi sebab malu mengakui
ada yang melebihi indah lengkungnya.
“Hi Bara!” balasmu mendekat satu langkah. Enggan kalah ku ikuti pemangkasan
jarak ini. Sejengkal kita kini, bersama dua tangan yang saling menjulur, saya
dan kamu mencoba menggandeng kita.
“Tssssssss!”
desis dua kulit ari kita. Menyedot sebagian dari kita menjadi udara. Sepertinya
semesta tak merestui kita, batinku mulai meronta. Kamu menunduk, menahan isak.
Ah ya, kamu tak pernah bisa untuk menangis. Kamu hanya akan diam dan tentu
saja, meredam kejanggalan. Saya berfikir keras, merajuk pada Tuhan agar
menurunkan perintah.Nya. Melirik.Nya agar merestui kami yang teranugerahi
cinta.
Melalui sebuah pandang yang jatuh sembarang, ada sebatang batu kecil di dekat pijakan kita. Ya, serupa tongkat batu yang tak akan terbakar olehku atau hanyut olehmu. Kembali mencoba bergandeng, lantas menyamakan langkah untuk berjalan beriringan, dengan saya di ujung kiri dan kamu di ujung kanan. Kita melangkah menyeimbangkan semesta.
“Bagaimana cara menggungkapkan kebahagiaan dengan tepat?” batinku mulai
bertanya.
Ah sudahlah, sapaan bayu penuh sepoi serta ramahnya para pinus sepertinya sudah
cukup menyatakan kebahagiaan kita yang masih tetap melenggang. Kian tumbuh
dalam ragam pijakan yang kita ambil. Membersamai satu sama lain dengan langkah
berlahan. ^^ Menyeimbangkan semesta agar tak lagi timpang.
Dan rupanya kamu amm banyak kata. Bercerita tentang bagaimana awan menggodamu
untuk tetap tinggal, danau dan samudra yang selalu menanti kehadiranmu, belum
para ikan yang senantiasa merinduimu. Ah sepertinya kamu hidup dalam kubangan
cinta.
Berbeda denganku yang yaa meski terkadang manusia memujiku sebab memancarkan
hangat, namun tak jarang mereka menyumpahiku sebab panas yang menyengat, belum
lagi saat pertumbuhanku yang pesat berkolaborasi dengan kelalaian mereka,
dengan angkara murka mereka tak segan untuk ...meniadakanku.
Kamu tahu? Melangkah bersamamu sejauh ini membuatku seperti menggali rasa, memperdalam bersama langkah kita. Kian menyukaimu yang ceria, dan kamu tahu apa yang paling menggembirakan? Tak satu katapun yang keluar dari lisanmu bahkan narasi narasimu yang menyatakan sebuah keluhan. Meski kamu lelah, meski kamu seperti ingin menyerah, meski kamu ah barangkali sangaaat lelah, kamu masih tetap sama. Membungkus peluh dalam kerapian senyum. Dan jelas, di sini saya harus paham.
“Istirahat yuk!” ajakku menunjuk sebongkah batu yang nampak kokoh.
Kamu mengganguk, mengiyakan penuh lega ajakanku. Semua bincangmu mengudara.
Tentang aksi kejar kejaran yang kerap kamu lakukan dengan segerombol awan.
Tentang pembauranmu bersama garam dan terumbu karang samudra. Dan bagian yang
paling saya suka, ketika kamu tertawa. Menampakkan kilaumu yang apa adanya.
Indah tanpa buatan. Kisah yang terus mengalir, mengantarkan kita dalam lena
mimpi. Membiarkan kita sejenak hening bersama.
“Batu!” seruku menganggetkanmu. Mengembalikanmu ke alam fana.
“Kenapa?” tanyamu segera.
“Batu pipih kita hilang.” Ulangku kembali, melempar pandang ke segala arah. Dan
ya, di arah jam sebelas seekor semut tanpa sopan santun mengambil batu itu dari
kita.
“Embun, disini dulu ya... Bara
akan mengambil batu kita itu!” pintaku padamu.
“Sebentar Bara!” teriakmu dari balik punggungku.
“Iya Bara hanya sebentar kok!” seruku masih dalam ikhtiar mengejar batu yang
kian menjauh.
“Nahhhh! Kena kau sekarang semut tidak punya sopan santun!” seruku dengan nafas
tersengal. Mengambil batu pipih itu dan baru tersadar si Semut berjalan
terlampau cepat dalam mini ukurannya -_-. Embun jauh di belakang saya.
Tunggu! Akan hujankah? Mengapa tiba tiba cahaya matahari tak nampak? Kenapa
tiba tiba gelap begini? Batinku terus bertanya.
Bukan matahari yang tak nampak,
hanya saja ada raksasa berdiri tepat di belakang saya. Manusia pencari cahaya
rupanya! -_- Melalui tangan kokohnya, saya berpindah tempat. Mengakar pada
sumbu minyak kompor di genggamannya. Melalui kakinya, saya serasa melesat kian
jauh meninggalkan Embun.
“Embuuuuuuuuuuuuuuun!” teriakku putus asa.
Langkahmu memang tak berdebum keras, namun nyata saya melihatmu berlari kecil
jauh dibalik punggung si Manusia ini. Beberapa kilometer di depan, pondok kayu
itu berdiri sendirian di atas bukit. Serupa raga renta yang kesepian menanti
ajal.
Dan sebuah benda bening itu mengurungku.
Menghidupiku dengan larutan minyak di bawah sumbu tumpuan. Lantas mata hanya
mampu menunduk mencari pasrah, mengamati sekitar yang asing dengan satu liang
mengarah pada pandang di luar. Tunggu! Ada sosok bening dibalik tirai.
“Embun?!” seruku penuh kejut, bahagia.
“Ssstttt!” kodenya dengan telunjuk di bibir.
Saya menggangguk, paham bahwa kita harus waspada. Kamu mendekat, menanjaki meja
kayu yang memasungku bersama obor kaca.
“Bagaimana kamu bisa sampai disini?” serbuku segera dari atas pijar minyak.
“Aku hanya terus berjalan, dan mengaktifkan radar!” sahutmu tenang. Ah dimana
kelelahanmu, bukankah kaki kecilmu barusan menempuh puluhan kilo?
“Berjalan? Mengikutiku? Dan radar apa yang kamu maksudkan Embun?” alisku
tertaut, mencari tahu.
“Iya aku berjalan bersama angin yang membersamai.
Hehe iya radar, aku percaya setiap dari kita memiliki radar. Sebuah radar
dengan formula satu sama lain yang sama, dan aku percaya kode dan formula yang
Tuhan berikan untuk kita itu serupa, makannya kita bisa saling menemukan tanpa
harus saling melewati masa penantian yang menjemukan.” Ulasmu menerawang,
menyamankan duduk memandang lautan bintang di langit luar jendela. Melepas
lelah juga, barangkali.
“Hmm mungkin serupa tulang rusuk dan tulang punggung yang tak akan salah untuk
saling mengenali. Satu bintang dengan bintang yang lain untuk bersama membentuk
satu rasi? Begitu kah?” saya turut menerawang. Mengulas beberapa pertemuan
insan dengan insan lain untuk kemudian menjadi pasangan.
“Mungkin.” Sahutmu pendek penuh lirih.
“Kalau begitu dahsyat ya kekuatan radar itu. Dari banyaknya ragam nanusia, dari
banyak taburan bintang, mereka masih dimampukan untuk saling menemukan satu
sama lain. Haha seperti rekayasa semesta gitu ya Embun? Ammm Apakah kita pun
demikian?” Tanyaku retoris.
Tak ada sahutanmu. Ku tengok kebawah, ada magnet dari suara nyenyak lelap
“Zzzzz...” ah kamu tertidur rupanya.
Angin masih saya berlarian diluar sana, mencari sarangnya yang barangkai ikut
mengudara tanpa landasan untuk mendarat. Dedaunan bahkan masih terkikik sebab
godaan rayu Si Angin Sepoi. Dan saya masih menyelami kisah kita,
pertemuan awal yang jauh dari duga, perjalanan melewati jejakan masa dalam kebersamaan
saling menjaga, hingga kini kekuatan rasa yang teruji dalam jeruji kaca.
“Hmm Embun...” Gumamku masih menatapmu.
“Oh jadi kamu yang tadi Embun cari!” kaget sebuah suara tanpa wujud.
“Siapa kamu?” Seruku kaget.
“Aku Angin! Sahabatnya Embun!”
“Oh Angin. Iya, tadi Embun sempat bercerita bahwa bersamamu dia mencariku.
Terima Kasih ya....”
“Iya, kenapa kalian tak juga bersatu? Bukankah kalian sudah sama sama tahu
tentang ‘itu’?” tanyanya tanpa tameng.
“Itu?” Alisku tertaut.
“Iya, tahu cinta dan bagaimana menjaganya dalam sahaja!”
“Ammm kami masih menjalani bagian dari takdir kami sebelum benar benar
disatukan oleh Yang Maha Satu. Kami paham kalau takdir kami yang satu ini masih
tak memungkinkan kami bersatu, api dan air jika bersatu hanya akan memusnahkan
satu sama lain. Sangat berlawanan dengan kami yang ingin menjaga satu sama
lain.” Jelasku.
“Bagaimana jika aku bantu?”
“Bantu apa?”
“Bersatu!”
Tanpa sempat ku iyakan, Angin telah mengabur tanpa suara. Lantas datang dengan
atmosfer hangat dari para dedaunan.
“Angin apa yang kamu lakukan pada Embun?! Jangan sakiti dia!” berontakku di
balik kaca. Tak tega melihat raga Embun yang kian menipis, mengudara hingga
tiada. Berlahan dan pasti, ada ruang di hati yang mengosong seketika.
“Embuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun!” teriakku tanpa daya. Saya kehilanganmu tanpa sempat
membantu.
Saya
pasrah atas ketiadaanmu. Saya paham jika memang ini yang Tuhan mau. Bersama
tangan renta si Manusia, ku titipkan semua rasa kepada Sang Maha Mencinta.
Tuhan, penuhi hati ini dengan keikhlasan pada.Mu semata. Bara padam seketika.
Mengudara bersama cinta yang juga telah tiada.
“Embunn...” lirihku pada
semesta, sekedar melegakan hati yang sedari tadi menahan.
“Iya, Bara!” sahut sebuah suara penuh ceria.
Ah separah inikah rasa ini, hingga mampu membuatku berhalusinasi senyata ini?
“Sadar Bara! Sadar! Embun sudah bahagia disana!” tamparku pada diri. Tak mau
terbelenggu rasa yang nyata enggan berlalu.
“Ini benar aku Bara, Embun!” Seru suara itu lagi.
Saya mengitari pandang, mencari sumber suara yang mengaku ‘Embun’.
Di sana, arah jam tiga. Satu sosok serupa Embun berdiri manis. Menampakkan
seulas senyum pengalah pelangi.
“Embuuun!” seruku penuh bahagia.
“Baraaaaaa!” sambutmu penuh cinta.
Layaknya adegan Rahul dan Angeli
saat bertemu pertama kali setelah sekian tahun tak kunjung bertemu, kita nyaris
lupa untuk saling menjabat.
Dan, betapa pemurah.Nya Tuhan.
“Sekarang kita bisa berpegangan tangan?” Alisku tertaut, antara heran dan
bahagia.
“Iya Bara! Kita bisa bersama, bersatu!” serumu tak kalah bahagia.
Dan angin masih setia pada rayuannya menggelitik dedaunan. Awan masih setia
memayungi keceriaan Embun. Langit masih tersenyum membersamai mereka yang
saling cinta dalam sahaja. Bintang masih bertasbih dalam kelipnya, mengaminkan
doa doa mereka yang menjaga cinta.Nya dalam restu Illahi.
Ya, kita telah serupa hingga Tuhan membebaskan kami menyatakan cinta masing
masing.
Pic: Copas From here
0 comments:
Post a Comment